SUMUR
BERDARAH
Hermawan
Widodo
Sekolah
Dasar Negeri (SDN) Mutihan III yang berada di belakang balai desa Wirokerten,
di dusun Glondong, merupakan sekolah yang umum bagi anak-anak Kepuh Lor dalam
menempuh pendidikan dasarnya. Meskipun demikian ada beberapa anak Kepuh Lor
yang memilih sekolah di kelurahan lain, di SDN Jambidan yang berada di timur
kampung Kepuh Lor. SDN Jambidan berada di wilayah pemerintahan Kelurahan
Jambidan. Wirokerten memiliki beberapa SD Negeri, tetapi tidak ada yang
menggunakan nama Wirokerten. Baru saat Koco, adik saya yang bungsu masuk SD,
berdiri SDN Wirokereten di dusun Wirokerten, sebelah selatan Kepuh Lor.
Saya
masuk SDN Mutihan III, karena sekolah TK saya bersebelahan dengan sekolah itu.
TK Pertiwi itu dikelola oleh pemerintah Kelurahan Wirokerten, sehingga begitu
lulus TK, secara otomatis dimasukkan ke SD sebelahnya.
Meskipun
ada banyak anak dari Kepuh Lor, baik laki-laki maupun perempuan, saya di
sekolah malah tidak sering bermain dengan mereka. Saya di sekolah justru sering
bermain dengan Isul yang berasal dari dusun Glondong. Dusun terdekat dari
lokasi sekolah. Isul, panggilan dari Endro Sulastomo, adalah anaknya Pak Jito
kepala SDN Mutihan III, sekolah kami.
Saya
dan Isul hampir selalu bersama dalam kegiatan di sekolah maupun di luar
sekolah. Kami selalu bersama dalam kelompok belajar, latihan silat, hingga main
petak umpet di Glondong. Meskipun dia anaknya Pak Jito, kepala sekolah kami,
namun untuk urusan juara, dia tidak pernah bisa melampaui saya. Dia selalu jadi
nomor dua setelah saya. Itu berlangsung saya hingga lulus dari sekolah dasar itu.
Tetapi untuk urusan membuat kisruh, dia selalu pegang posisi tertinggi, saya
selalu di bawahnya.
Saat
saya kelas IV, sekolah kami membuat proyek pembangunan sumur, kamar mandi dan
WC. Letak sumur dan kamar mandi itu berada di lorong sebelah selatan bangunan
gedung SD. Lorong itu sebelumnya merupakan pemisah antara bangunan gedung SD
dengan TK. Dengan adanya bangunan itu, maka bangunan gedung SD dan TK
tersambungkan. Di depan lorong dibuatkan pintu, sehingga ketika akan masuk ke
kamar mandi atau WC, harus melewati pintu itu.
Sumur
yang digali mengeluarkan air yang sangat jernih. Galian sumur itu dipasangi cor-coran
beton berbentuk lingkaran, dengan diameter kurang dari satu meter. Karena di
atas sumur dipasang kaca transparan, sinar matahari mampu menembus air sebening
kaca itu, hingga ke dasarnya. Air di sumur memiliki kedalaman sekitar 7-8
meter. Sedangkan permukaan air dari bibir sumur berjarak sekitar 5 meter.
Sebuah
ember terbuat dari plat seng yang masih baru, dikaitkan pada tali yang terbuat
dari karet ban, kemudian dilingkarkan pada sebuah kerekan di atas sumur.
Kerekan itu dikaitkan pada kayu usuk bangunan. Kamar mandi dan WC dibuat
berdampingan.
Kamar
mandi dibuat tersendiri, terpisah dari WC. Jadi di dalam kamar mandi tidak ada
WC. Kalau mau buang hajad partai besar dan mandi, harus masuk di dua kamar yang
berbeda. Tidak bisa 2 in 1 seperti umumnya sekarang. Bangunan baru itu diberi
atap asbes, kecuali di atas sumur dipasang kaca bening.
Meskipun
hanya berupa sumur, kamar mandi dan WC, bangunan baru itu merupakan tempat
favorit saya dan Isul untuk bermain. Bahkan kami berdua pernah tidak masuk
kelas, gara-gara keasyikan bermain air di situ. Tetapi entah oleh kekuatan apa,
sehingga kami tidak pernah ditegur oleh guru saat itu. Mungkin disebabkan fakta
bahwa Isul adalah anak kepala sekolah, diperkuat oleh fakta bahwa saya juara
kelasnya, sehingga kami selalu bisa lolos dari jerat hukum Komisi Disiplin
Sekolah, saat kebablasan dalam bermain air.
Yang
dimaksud bermain air itu adalah mandi di sumur. Bukan sekedar menimba air
dengan ember seng itu, kemudian dipakai mandi. Kami mandi di dalam sumur,
benar-benar nyemplung ke dalam sumur.
Cara
masuk ke dalam sumur, terlebih dahulu naik di bibir sumur, setelah itu badan
diturunkan ke sumur dengan dua tangan menahan beban badan. Kaki dibentangkan
hingga menjangkau tebing sumur. Setelah kaki cukup kuat menahan beban badan,
dua tangan diturunkan untuk kemudian menjangkau lagi tebing sumur. Dengan
menggunakan tangan untuk menahan badan, dua kaki diturunkan untuk kemudian
menjangkau lagi tebing sumur. Langkah itu dilakukan hingga mendekati permukaan
air sumur. Begitu kaki sudah menyentuh air, maka dengan serentak kaki dan
tangan melepaskan tumpuan dari tebing
sumur. Byuur..., tubuhpun terhempas dalam air sumur yang dalam itu.
Saat
di dalam sumur itu, saya pernah berusaha menjangkau hingga dasar sumur, namun
tidak pernah berhasil. Dengan kedalaman sekitar 8 meter itu, saya sudah tidak
mampu lagi untuk menahan nafas, sebelum kaki menyentuh dasar sumur. Isul juga
belum pernah mampu melakukannya.
Di
dalam sumur yang sempit itulah, saya dan Isul biasanya mandi sekaligus berenang
untuk menahan tubuh agar tidak tenggelam. Saat itu tidak ada yang mengganggu,
karena memang selama ini tidak ada yang tahu kalau kami nyemplung ke sumur itu
untuk mandi. Gerakan underground itu terus berlangsung terus secara rutin,
hingga sebuah kejadian yang berdarah-darah menghentikan gerakan bawah tanah
kami.
Kronologisnya
kira-kira begini. Seperti biasa, saya dan Isul bermain di dalam sumur. Waktu
itu saya sudah cukup lama di dalam air, dan sudah merasa kedinginan. Saya ingin
naik duluan keluar dari sumur. Isul masih tetap ingin bertahan di dalam sumur.
Saya naik ke atas dengan teknik sama saat turun. Menggunakan tumpuan kaki dan
tangan untuk menahan badan. Saat naik rasanya lebih mudah daripada saat turun.
Setelah
di atas, saya kemudian memakai baju. Celana saya basah, karena dipakai waktu
mandi di sumur. Waktu itu sudah di luar jam sekolah. Jadi saya bisa langsung
pulang dengan celana basah itu. Saat mau beranjak menuju ke pintu keluar, saya
melihat ember menggantung di kerekan. Biasanya tali timba dan ember,
menggeletak di lantai dekat bibir sumur. Tetapi saya tidak begitu memperhatikan
perbedaan posisi ember seng yang masih baru itu.
Saya
berjalan menuju pintu keluar. Baru separuh jalan, saya mendengar suara
reketek...reketek..., kerekan timba berputar. Saya menoleh ke belakang, dan
melihat ember yang menggantung di
kerekan sudah meluncur ke bawah.
Bebepa
detik kemudian saya mendengar Isul yang masih di dalam sumur berteriak dengan
kerasnya, “ Aduuh…!!”
Saya
berlari mendekat ke sumur dan langsung menengok ke bawah. Di dalam sumur saya
melihat Isul memegang kepalanya. Saya melihat darah mengucur. Saya juga melihat
ember seng yang dasarnya agak tajam itu berada di samping Isul.
Melihat
kepala Isul berdarah saya teriak ke dia, “ Piye?”
Dia
menjawab, “Jariku hampir putus, waduh
sakit pol!”
Ternyata
darah itu keluar dari jarinya, bukan dari kepalanya.
Saat
ember seng pembawa bencana itu meluncur ke bawah disertai suara kerekan
berputar, Isul sempat melihatnya. Secara reflek tangannya langsung mengambil
posisi melindungi kepala. Sehingga yang jadi sasaran empuk, tempat jatuhnya
ember berdasar agak tajam yang meluncur kencang dari atas adalah jari-jari
tangan kanan yang berada di atas kepala. Masih untung hanya jari-jari yang
tertebas benda agak tajam yang meluncur dengan kecepatan tinggi itu.
Saya
berteriak ke dia, “Bisa naik tidak?”
Dia
jawab dengan tegas, meski lemah : “Bisa!”
Saya
minta dia segera naik. Dengan menahan sakit, itu nampak dari raut wajahnya yang
memelas, Isul berusaha naik ke atas. Usaha naik dari kubangan sumur itu menjadi
sangat sulit dan berat. Karena yang semestinya mengandalkan tangan dan kaki,
saat itu Isul hanya mengandalkan kaki dan tangan kirinya untuk tumpuan. Darah
masih terus mengucur dari jari-jarinya.
Saya
ingin sekali membantu dia segera sampai ke atas, namun tidak bisa, karena
memang tidak tahu bagaimana caranya. Menggunakan tali, khawatirnya malah
menjerat lehernya. Menggunakan ember jelas tidak cukup untuk menampung badan
Isul yang cukup subur. Mencari tangga untuk turun tidak ada, harus pinjam dulu
di kelurahan. Jadi saya pasrah saja, sambil berdoa semoga Isul selamat sampai
atas.
Setelah
dengan bersusah payah dan menahan sakit itu, Isul mampu mendekati bibir sumur.
Sampai di situpun saya tidak bisa membantunya. Isul harus bisa melampaui bibir
sumur untuk kemudian meloncat ke lantai. Itu harus dilakukan sendiri, tidak
bisa dibantu, jika salah langkah malah bisa menjadikannya terjengkang, terjatuh
kembali ke dalam sumur berdarah itu. Akhirnya Isul sampai di atas dengan
selamat.
Dia
masih memegangi tangan kana dengan tangan kirinya. Ada luka menganga di dua
jarinya yang masih mengalirkan darah segar itu. Saya bantu dia menuju ruang
guru. Waktu itu masih ada beberapa guru yang belum pulang termasuk kepala
sekolah. Melihat anaknya basah tanpa baju dan berdarah, Pak Jito dan guru yang
lain kaget.
“Kena
apa itu, tanganmu sampai berdarah-darah?”
Isul
menjawab, “Kejatuhan ember!”
Pak
Jito kemudian mengambil sapu tangannya dari sakunya celananya. Dibantu guru
yang lain, luka itu dibersihkan. Salah satu guru mengambil obat merah di kotak
obat, kemudian diteteskan ke luka itu. Saat itu betadin belum diproduksi, semua
luka gores cukup diberi obat merah. Setelah cukup diobati dengan obat merah
itu, baju Isul yang saya bawa, saya serahkan dan kemudian dipakainya. Isul
kemudian diboncengkan bapaknya dengan motor pulang ke Glondong, sedangkan saya
pulang ke Kepuh Lor bersepeda.
Setelah
peristiwa berdarah-darah itu, saya dan Isul tidak pernah nyemplung ke sumur
pembawa petaka itu lagi. Saya dan dia sepertinya kapok, tidak mau mengulang
lagi kejadian yang berdarah-darah. Sepandai-pandai
tupai melompat, akhirnya kejatuhan ember juga. Sepandai-pandai menyimpan
pelanggaran, akhirnya terbongkar juga. Tak peduli dia anak kepala sekolah, tak
pandang dia juara kelas, yang berbuat salah pantas mendapatkan ganjaran yang
setimpal. Meskipun yang salah berdua, rupanya Allah masih sangat sayang kepada
saya, sehingga cukup Isul yang dijadikan sebagai wakil untuk memberikan
peringatan kepada kami.
Sampai
sekarang sumur berdarah itu masih ada, dan tetap difungsikan sebagai sumber air
untuk TK Pertiwi Wirokerten dan SDN Mutihan III. Ketika ada yang berlatih sepak
bola di lapangan bola samping gedung sekolah, para pemain juga memanfaatkan
sumur itu untuk bersih-bersih selesai latihan. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar