PATABA
LAHIRKAN ANAK PERTAMA
Hermawan
Widodo
Kelahiran
PATABA
Perpustakaan PATABA,
adalah perpustakaan nirlaba di Blora yang dikelola Soesilo Toer, adik Pramoedya
Ananta Toer yang merupakan keturunan Mastoer, tokoh pendidik legendaris asal
Blora.
PATABA, akronim dari
Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa, merupakan upaya yang dilakukan oleh
Soesilo Toer untuk mengenang salah satu kakaknya itu. Kenangan yang ia bangun
bukan saja untuk dirinya sendiri, melainkan untuk semua masyarakat Blora,
masyarakat Indonesia dan dunia.
Pramoedya Ananta Toer,
meski jasadnya telah menyatu dengan tanah lebih lima tahun lalu, namun
semangatnya tidak pernah mati. Kenangan itu yang ingin ia abadikan. Ada banyak
cara yang mungkin lebih gagah dan meriah. Namun, adik kebanggaan Pram itu, lebih
memilih membuka ruang baca, memanfaatkan salah satu bagian bangunan rumah
peninggalan bapaknya. Soesilo Toer ingin membangun budaya membaca dan menulis
di tengah rendahnya budaya baca dan tulis masyarakat Indonesia. Cita-cita yang
kemudian menjadi motto PATABA “Masyarakat
Indonesia Membangun adalah Masyarakat Indonesia Membaca menuju Masyarakat
Indonesia Menulis”.
Meramahkan
Rumah Hantu
Karena PATABA menjadi
satu bagian dari rumah tua bapaknya, yang masih dianggap angker, bahkan disebut
sebagai rumah hantu oleh sebagian kalangan, maka Soesilo Toer menjadikan rumah
itu ramah. Rumah yang mampu memberikan ketenangan, keteduhan, kedamaian, dan
jaminan keamanan dari rasa haus dan lapar. Kebutuhan paling mendasar setiap
manusia hidup. Di rumah itu, setiap tamu akan selalu disediakan air minum,
cemilan bahkan juga makan besar jika sudah waktunya makan. Maka banyak tamu datang dengan berbagai
keperluan. Ada yang ingin menggali ilmu dari ribuan koleksi buku yang dipajang
di perpustakaan. Ada juga yang ingin menimba ilmu dan pengalaman dari Soesilo
Toer, tokoh sepuh Blora yang menganggap dirinya sebagai anak haram Negara. Maka
pak tua yang masih tampak bugar itu, dengan penuh semangat akan membagi ilmu
dan pengalamannya kepada siapa saja yang dating, tanpa membedakan suku, agama,
ras, ideologi, jenis kelamin maupun usia. Gelar doktor yang ia raih dari salah
satu perguruan tinggi ternama di Rusia, tidak menjadikannya seolah menara
gading, yang susah dipahami bicaranya, karena ketinggian ilmunya. Pak Soes,
demikian biasa ia dipanggil, dengan sangat luwes menyesuaikan cara menyampaikan
ilmu kepada tamunya yang heterogen.
Membangun
Pondasi Budaya Membaca dan Menulis
Meski baru lima tahun
berdiri, PATABA mampu memberikan dorongan geliat membaca di kalangan
masyarakat. Ada langkah yang patut diacungi jempol untuk merangsang budaya
membaca. PATABA memberikan penghargaan kepada pengunjung yang paling rajin
meminjam buku. Sejak penghargaan itu diberikan, yang mendapatkan bukan dari
kalangan pelajar, mahasiswa maupun guru, justru diterima oleh seorang lelaki
tua yang sehari-harinya sebagai tukang parkir di Jl. Lawu Blora, Sujono
namanya. Membanggakan dan ironi sekaligus.
Membangun budaya
menulis, ia lakukan dengan menulis berbagai hal yang kemudian dicetak secara
swadaya, menjadi buku-buku tipis yang sederhana. Banyak karyanya yang ia pajang
di perpustakaan itu, sebagai oleh-oleh bagi tamu yang berkunjung ke
perpustakaannya. Spirit menulis itu ia gelontorkan kepada kaum muda pelajar,
dengan menyelenggarakan lomba menulis bagi pelajar di Blora pada awal tahun
2011. Ternyata naskah yang ia terima malah datang dari berbagai daerah Nusantara.
Ada lebih seratus naskah yang dikirim oleh pelajar dari Sumatera, Jawa, Bali,
Kalimantan dan Sulawesi. Saya ikut membantu mengetik ulang dan menyunting
naskah-naskah itu menjadi buku-buku tipis dan sederhana. Buku yang diberi judul
‘Kumpulan Tulisan Terpilih Karya Anak Semua Bangsa’ itu diterbitkan menjadi
lima seri. Ya, meski masih sederhana, namun itulah karya. Mengutip pernyataan
pemenang Nobel untuk ekonomi Gunnar Myrdal dari Swedia bahwa sekecil apapun
tulisan pasti memiliki manfaat.
Maka
Lahirlah Anak Pertama
PATABA bukan berhenti
sampai di situ. Soesilo Toer ingin menguji dan membuktikan tesis Prof. Teeuw,
kritikus sastra Indonesia dari Belanda yang menyatakan bahwa dalam seabad belum
tentu lahir pengarang sekaliber Pramoedya Ananta Toer. Maka ketika ada seorang
perempuan bernama Lina Kelana, ingin menerbitkan karyanya di PATABA, Soesilo
Toer langsung mengiyakan. Naskah yang ia terima yang belum ada judul dan cover
itu, kemudian dicetak menggunakan payung PATABA Press. Buku itu kemudian diberi
judul “Suwung” dengan cover lukisan gunungan. Bagi PATABA, Lina Kelana dan “Suwung”
adalah anak kandung pertamanya. Sebelumnya PATABA telah memiliki anak,
Soetarmin Purwo S. Dono yang menuliskan buku “Wedha Sanyata Seputar Islam”. Dia
bisa dikatakan sebagai ‘anak tiri’ karena lahir bukan dari rahim PATABA
sendiri.
Kehadiran ‘anak
pertama’ tentu sangat membahagiakan orang tuanya. Maka untuk menyambutnya,
PATABA mengadakan hajadan. Hajadan yang terbilang meriah. Mulai sore ba’da
ashar, Kamis 22 Desember 2011, di pelataran rumah pusaka keluarga besar Toer
diadakan pentas seni budaya. PATABA memberikan ruang untuk tampilnya anak-anak
dari SD, SMP dan SMA. SDN 1 Jetis menyajikan berbagai tarian, sedangkan SMPN
2 Blora menggelar opera Arya Penangsang.
SMA Katholik Wijaya Kusuma yang juga dijadwalkan, sore itu karena suatu hal
urung tampil. Puncaknya adalah penampilan barongan yang mampu menghibur
penonton dengan sajian tarian dan musiknya yang sangat atraktif.
Bedah buku ‘Suwung’
yang lahir dari rahim PATABA, sebagai acara inti digelar malamnya, memasuki
malam Jum’at Kliwon, di pelataran rumah yang katanya juga angker. Acara dipandu
oleh Eko Arifianto, dimeriahkan oleh orkes keroncong jalanan Kebo Marcuet, yang
biasa mangkal di stasiun lama Blora, juga pembacaan puisi karya Lina Kelana
oleh para penyair muda dari Manado dan Tuban. Banyak tokoh hadir dalam hajadan
itu. Di atas karpet yang digelar di pelataran, tampak duduk pengarang Beni
Setia dari Madiun, penulis Gunawan Budi Susanto dari Semarang, para penyair
muda dari Manado dan Tuban, penulis Soetarmin Purwo S. Dono dari Blora,
sejarahwan Probo Sutejo dari Blora, peneliti dari LIPI, wartawan, tokoh sepuh
dan masyarakat umum Blora.
Hampir semua yang hadir
memberikan apresiasi atas lahirnya penulis wanita ini. Soesilo Toer sebagi ‘orang
tuanya’ merasa sangat bangga bisa melahirkan penulis. Apalagi seorang
perempuan, yang menurutnya di berbagai Negara, penulis perempuan dibanding
laki-laki adalah 1:7. Di Indonesia bisa lebih jauh, mencapai 1:30 bahkan
mungkin 1:50. Diakuinya sebagai karya, tidak ada yang sempurna. Masih dijumpai
kesalahan di sana-sini, namun itu tidak mengurangi kebahagiaannya.
Beni Setia yang cukup aktif
terlibat dalam ‘persalinan’ buku ini, memberikan uraian bagaimana ia berusaha
terus memompa Lina agar mewujudkan karyanya. Maka lahirlah “Suwung” sebagai
sebuah karya sastra. “Suwung” mengangkat tema pergolakan batin seorang wanita
Ra Hasti Dewantari, yang lahir dari rahim seorang wanita pribumi. Ia ada karena
benih yang ditanam secara paksa di rahim ibunya, oleh seorang berandal kulit
putih di masa penjajahan Belanda. Seorang wanita yang terlahir ‘berbeda’, yang
lebih mirip dengan ‘bapak’, yang sangat ia benci, meski ia tak mengenalnya.
Latar belakang itulah yang menjadikannya memiliki kepribadian bukan saja ganda,
namun tiga kepribadian sekaligus yang tumpang tindih dalam satu tubuh. Suatu
tema yang menurut Beni Setia, cukup berat.
Gunawan Budi Susanto,
yang biasa dipanggil Putu oleh kawan-kawannya itu, membenarkan bahwa karya Lina
Kelana ini termasuk karya tulis yang berat. Sebagai manusia yang sudah berumur
lebih dari lima puluh tahun, sangat berat membaca buku “Suwung”. Ia harus mengerahkan
konsentrasi tinggi, dan juga alat bantu kaca mata untuk bisa memelototi
tulisan-tulisan yang begitu kecil dan rapat. Selain tulisan yang begitu mungil,
mungkin ini menyesuaikan dengan penulisnya yang mungil, alur cerita juga mbulet-mbulet, membuat dahinya mengkeret karena mumet. Namun ketika tulisan itu terus dibaca, meski dengan memaksa,
pada akhirnya ia mendapat kesimpulan, membaca buku “Suwung” itu mencapaikkan namun mengasyikan. Mungkin
mas Putu tidak tega untuk menyatakan membaca buku “Suwung”, rasanya seperti berhubungan
dengan istri, capai tapi asyik. Malah ia menyebut “Suwung” ini sebagai karya hybrid, model baru dalam khazanah sastra
Indonesia. Maka ia sangat menganjurkan kepada semua yang hadir untuk membaca
buku “Suwung”, jika ingin mendapatkan sensasi itu. Baginya yang utama adalah
keberanian Lina Kelana menerbitkan buku itu, dengan segala pengorbanan dan
resikonya. Keberanian itu yang patut mendapat apresiasi dan dorongan.
Sebenarnya, “Suwung”
malam itu tidak sendirian. Dia temani oleh adik kecilnya, buku tipis tulisan
keroyokan Soesilo Toer, saya dan Yuni Kiki Handini, yang masih kebul-kebul baru keluar dari
‘percetakan’. Namun buku mungil yang diberi judul “PATABA, Mutiara dari Blora”
itu tidak ikut dibedah. Dia menjadi souvenir bagi para tamu yang hadir. Buku
yang mencoba menampilkan perpustakaan PATABA, menurut versi masing-masing
penulisnya.
Menguji dan Membuktikan Mimpi
Baru lima tahun PATABA
berdiri, sudah lahir satu penulis dari rahimnya. Soesilo Toer tidak mengukur
besar kecilnya penulis. Baginya yang penting telah lahir seorang penulis. Masih
terentang waktu panjang untuk menguji tesis Prof. Teeuw, apakah penulis itu
akan menyamai Pramoedya Ananta Toer. Dalam rentang waktu itu, tentu masih akan
lahir penulis-penulis baru. Jika ‘kelahiran normal’, andaikan setiap tahun
lahir dua penulis, maka 90 tahun ke depan akan lahir 180 penulis. Soesilo Toer
yakin, salah satunya akan menjadi seorang penulis besar. Sembilan puluh lima
tahun, tidak sampai 100 tahun. Sebuah keyakinan yang terus ia pupuk, ia semai
dan pelihara.
Maka ia dengan PATABA
tidak akan berhenti. Akan terus berusaha mengandung dan melahirkan
penulis-penulis di kemudian hari. Kalau saat ini sudah lahir Lina Kelana, maka
ke depan akan lahir Lina-Lina yang lain. Lina Kelana meski bertubuh mungil,
namun semangat dan nyalinya tidaklah kecil. Banyak orang besar yang tidak
identik dengan tubuh besar. Munir, tubuhnya mungil, namun nyalinya luar biasa.
Jendral Soedirman, fisiknya ringkih, namun semangatnya berkobar tak surut oleh
tekanan siapapun. Lina Kelana telah berani lahir sebagai penulis dengan segala
konsekuensinya.
Soesilo Toer masih akan
terus menguji dan membuktikan mimpinya, melahirkan penulis-penulis di masa
depan Dengan senyum kebapakkan, dan suara lembut ia berujar, “Selamat datang
anakku, mari kita isi dengan karya-karya tulis yang lebih baik, dan terus lebih
baik, untuk Indonesia dan dunia.”. (*)
Hermawan
Widodo
Bakul
Kacang ‘Nyamleng’ Blora
Sedang
belajar membaca dan menulis di perpustakaan PATABA Blora
Tidak ada komentar:
Posting Komentar