KETOPRAK SAYEMBARA
“Mayat Hidup Lahir Dalam Kubur”
Hermawan Widodo
TVRI
sebelum munculnya RCTI sebagai stasiun tivi swasta pertama di Indonesia,
merupakan satu-satunya stasiun tivi yang
ada, dan bisa dikatakan rajanya tivi. Sebagai stasiun tivi pelat merah, TVRI
betul-betul dimanfaatkan oleh penguasa waktu itu, untuk memberikan informasi
tentang berbagai hal menurut versi pemerintah. Namun bagi kami warga dusun
Kepuh Lor, tidak begitu mempersoalkan apakah yang disiarkan itu untuk
kepentingan pemerintah atau untuk kepentingan siapa, yang penting acaranya
menyenangkan.
Acara
TVRI yang begitu populer adalah Aneka Ria Safari, Selekta Pop untuk acara
musik. Sedangkan untuk seni pertunjukan adalah ketoprak dan wayang orang. Kami
sudah dibuat takjub dengan penampakkan gambar Bima yang lebih besar dari tokoh
yang lain. Juga saat Gatotkaca bisa terbang di atas awan. Belakangan juga acara
mbangun desa yang diperankan oleh sebagaian besar awak Teater Gandrik.
Tokoh-tokoh seperti Pak Bina, Kang Kuriman, Lek Sronto, dan tentu Baguse Ngarso begitu melekat di ingatan.
Ada
satu acara TVRI yang begitu fenomenal yaitu acara ketoprak. Setiap malam Rabo
bisa dipastikan perhatian warga terfokus pada acara ketoprak dipancar luaskan
oleh stasiun Jogja itu. Antusiasme warga untuk melihat acara tivi kesayangan
tersebut memang betul-betul signifikan.
Saya
dan keluarga merasakan denyut antusiasme mereka. Saya tahu karena keluarga kami
saat itu adalah pemilik pesawat tivi satu-satunya di Kepuh Lor. Pesawat tivi
hitam putih ukuran 14 inc merk JVC. Meskipun ada tetangga lain memiliki pesawat
tivi, tetapi yang open house memang hanya di rumah saya saja.
Penayangan
acara ketoprak baru mulai jam 7 malam, namun kegiatan yang mendukung sudah
dilakukan ba’da maghrib. Mereka dengan kesadaran sendiri menyiapkan pesawat
tivi tentu dengan akinya ke halaman depan rumah. Kebetulan halaman depan rumah
kami berupa lantai plesteran semen yang biasanya dipakai untuk menjemur padi
saat panen. Halaman itu disapu, kemudian digelar tikar. Di tempat itulah nanti
hampir seluruh warga tumplek duduk lesehan melihat acara ketoprak kesayangannya.
Melihat
fenomena seperti itu, ada yang cukup kreatif menangkap peluang bisnis di
kerumunan orang. Orang itu bukanlah jebolan sarjana ekonomi atau minimalnya
SMEA, namun hanyalah seorang embah putri yang sudah sepuh, Mbah Rono namanya.
Rumahnya berdiri di bantaran sungai yang membelah antara Kepuh Wetan dan Kepuh
Kulon. Beliau selalu menggelar berbagai macam cemilan mulai dari pisang godog,
kacang godog dan jajanan model kampung lainnya, termasuk es sirup.
Jadi
ketika asyik melihat ketoprak, mereka juga asyik makan cemilan. Tetapi Mbah
Rono adalah penggemar fanatik ketoprak sehingga begitu acara dimulai dia tutup
dagangannya dan tidak mau lagi melayani pembeli. Dia asyik bersama yang lain
larut acara nonton bareng ketoprak di depan tivi.
Pemandangan
seperti itu terus akan terulang lagi nanti pada hari Selasa malam Rabo. Saat
saya lulus SMP, sudah mulai ada orang lain yang memiliki tivi. Orang yang
tadinya rajin melihat tivi di rumah saya secara bertahap memiliki pesawat tivi
sendiri, sehingga tidak harus mendatangi rumah saya untuk sekedar melihat tivi.
Namun
bagi yang belum memiliki pesawat tivi sendiri mereka masih tetap setia dengan
tivi di rumah saya. Bukan hanya saat penayangan acara ketoprak saja yang memang
menjadi acara idola, tetapi juga pada saat hari yang lain. Bahkan mereka nonton
acara tivi itu hingga TVRI selesai mengudara sekitar jam 10 malam, kecuali hari
sabtu malam minggu ada penanyangan film akhir pekan, TVRI tutup jam 12 malam.
Kami
tentu tidak selamanya harus menunggu mereka melihat tivi. Jika memang sudah
mengantuk, mereka dibiarkan melihat sendiri. Baru ketika sudah saatnya mau
pulang, mereka memberesi seluruh perangkat tivi itu, kemudian membangunkan kami
untuk pamit dan juga agar kami mengunci pintu. Sepanjang pengalaman
berlangsungnya open house tivi itu, mereka selalu disiplin dengan mekanisme tak
tertulis itu. Jika kami agak susah dibangunkan, terpaksa mereka menunggui
sampai salah satu dari kami bangun untuk kemudian pamit. Belum pernah ada
kejadian satu kalipun mereka meninggalkan tivi tanpa pamit kepada kami.
Ketoprak
di tivi mengalami masa jaya saat dibuat model kethoprak sayembara. Cerita
dibuat bersambung menjadi 4-5 episode , di akhir cerita ada jawaban pertanyaan
yang dijadikan sebagai sayembara. Tentu sayembara ini berhadiah bagi yang
beruntung. Beruntung karena jawabannya benar, dan beruntung karena muncul
namanya sebagai pemenang saat diundi. Dengan model bersambung seperti itu, rasa
penasaran selalu hinggap di setiap episode cerita, dan selalu mengharapkan
kelanjutannya. Saya tidak begitu ingat apa judul ceritanya karena agak panjang,
seingatku ada kata langitnya. Hanya ada satu tokoh yang tidak lupa sampai sekarang
yaitu Ki Bongol, kalau tidak salah pemerannya Yoyok Aryo.
Ketoprak
agaknya tidak bisa dijauhkan dari keluarga saya. Pak Tuwo sebutan mbah, dari
ibu adalah seorang pemain ketoprak yang cukup disegani pada jamannya. Jika
menyebut Darmo Dalimun, orang yang pernah hidup sejaman dengan mbah saya dan
penggemar ketoprak pasti mengenalnya, paling tidak pernah mendengar namanya.
Kemampuan bermain ketoprak Pak Tuwo itu menurun pada Lek Sapar adiknya ibu.
Meskipun sekedar untuk solidaritas,
tetapi saat pentas kethoprak 17an Lek Sapar pasti menjadi pemeran utama
protagonis.
Bapak
saya juga tak kalah fanatiknya. Bapak
berasal dari Sekarsuli Sendangtirto Berbah Sleman. Kecamatan Berbah sudah
dikenal oleh masyarakat perketoprakan sebagai gudangnya pemain ketoprak dan
juga kelompok ketoprak. Meskipun bapak bukan pemain, namun setiap ada pentas
ketoprak tobong tidak pernah absen nonton.
Waktu
itu kelompok ketoprak Sapta Mandala binaan Kodam Diponegoro biasa mengadakan
pertunjukan keliling selama 30 hari nonstop. Saat Sapta Mandala menggelar pentas di lapangan Pleret Bantul, bapak
selalu melihatnya. Saya kadang diajak melihat. Dari situ saya sedikit banyak
mengenal tokoh-tokoh ketoprak. Nama-nama seperti Widayat, Marjiyo, Marsidah,
Darsono, Miyanto, Dirjo Tambur, Sopyan dan lainnya begitu familiar. Yang paling
terkenal dan menjadi idola adalah Widayat dan istrinya Marsidah. Pasangan suami
istri itu sering memerankan tokoh utama pria dan wanita. Karena suami istri,
maka saat adegan romantis mereka melakukannya tanpa sungkan. Merangkul,
memegang janggut, menggendong dan adegan roman lainnya, dilakukan dengan
sungguh-sungguh. Ternyata Widayat itu adalah kakak sepupu teman sekelas saya
waktu SMA.
Lek
Gi yang merupakan adik bungsu bapak saya juga pernah ikut main ketoprak saat digelar
di rumah Pak Tuwo Sekarsuli. Usianya masih 10 tahunan, ketika memerankan anak
raja yang masih kecil. Adegan yang harus diperankan hanyalah duduk dan kemudian
ditandu oleh para abdi, tanpa sepatah katapun dialog. Namun begitu penampilan
Lek Gi sudah membuat kami-kami ini bangga.
Generasi
terakhir yang pernah terlibat dalam dunia perketoprakan adalah adik saya Igun.
Saat acara 17an di Kepuh Lor, adik saya ikut terlibat dalam pementasan
ketoprak. Meskipun bukan menjadi tokoh utama, tetapi bukan sekedar sebagi
pemain figuran atau baladupak yang sekali muncul langsung mati dan tidak muncul
lagi. Baladupak tidak perlu menghafal dialog, cukup ciat ciat dan adegan
jotosan dengan durasi maksimal 3 menit. Igun cukup sering muncul, dan dialognya
juga lumayan banyak. Tentu kami sekeluarga ikut euforia menanti kemunculan Igun
di panggung.
Pentas
itu adalah pentas pertama dan juga yang terakhir. Sebab setelah itu Kepuh Lor
sudah tidak pernah menggelar acara ketoprak lagi saat 17an. Alasannya tentu
karena biaya yang tinggi dan mungkin juga sudah mulai tidak diminati lagi. Seiring
dengan berjalannya waktu, sepertinya ketoprak akan menjauh dari keluarga kami,
bersamaan dengan kepergian Igun selamanya pada tahun 2007.
Selain
di tivi dan dipentaskan, ketoprak juga sudah ada rekamannya dalam bentuk pita
kaset. Saya juga sering mendengarkan ketoprak dari tape recorder. Biasanya saya
mendengarkan ketoprak lewat tape recorder itu di rumah Agus. Sudah sering saya
tidur di rumah Agus. Dia secara nasab masih adik sepupu saya. Mbahnya adalah
adik mbahku. Jadi menurut perhitungan Jawa dia semestinya memanggil saya mas,
meskipun secara umur, dia dua tahun lebih tua dari saya. Tetapi saya dan Agus
sehari-hari cukup memanggil nama, tidak menggunakan embel-embel mas.
Rumah
Agus merupakan peninggalan dari Mbah Kaji. Ada tiga rumah yang ukuran dan
bentuknya persis dengan rumah itu. Selain rumah keluarga Agus di Kepuh Kidul,
adalah rumah mbah Wondo di Kepuh Lor, dan rumah mbah Lurah di Wirokerten.
Meskipun
besar, namun tidak ada kamarnya, hanya berupa ruangan-ruangan. Untuk
menjadikannya kamar, biasanya disekat dengan almari pakaian. Jadi tempat
tidurnya ada di belakang almari pakaian itu. Di depan rumah ada halaman yang
cukup luas yang diplester semen. Halaman itu fungsi utamanya untuk menjemur
padi yang baru dipanen. Ruang depan dibagi tiga bagian. Ruang utama biasanya
untuk menerima tamu, persis di bawah limasan dengan empat tiang kayu jati. Di
samping kanan dan belakang ada ruangan lagi yang juga difungsikan untuk tamu.
Tiga ruang itu dipisah oleh semacam lorong membentuk huruf U.
Kemudian
di ruang tengah juga dibagi menjadi tiga ruangan. Disamping kanan ada gandok,
kemudian yang tengah merupakan ruang khusus keluarga. Di dalam ruang keluarga
ini ada ruangan kecil yang disebut dengan senthong. Biasanya untuk menyimpan
barang berharga. Di samping ruang keluarga dibatasi tembok ada ruangan namun
lebih mirip lorong. Di ruangan itu saya pernah melihat berbagai koleksi senjata
tajam semacam tombak, keris, pedang dan lainnya. Ruang belakang difungsikan
sebagai dapur dan area mandi cuci kakus.
Selain
ada sumur di dalam, di depan rumah juga ada sumur untuk keperluan wudhu bagi
jama’ah yang hendak sholat di mushola depan rumah. Bangunan mushola ukuran
sedang berdiri di depan sisi kanan rumah. Sebelah barat mushola terdapat sungai
kecil dan langsung bersinggungan dengan kuburan. Sebelah barat kuburan terdapat
sungai yang membelah dusun Kepuh Wetan dan Kepuh Kulon.
Suatu
ketika saat menginap di rumah Agus, kebetulan orang tuanya, Pak Darmo dan Mbak
Zaenab sedang tidak di rumah. Agus, saya dan Hartono tidur di rumah itu.
Awalnya
kami bertiga ngobrol macam-macam sambil makan kacang dan minum teh. Kebiasaan
yang sampai sekarang masih terpelihara, utamanya minum teh. Menjelang larut,
Agus berinisiatif menyetel ketoprak RRI dengan lakon Lahir Sakjroning Kubur,
saduran dari karangan Abdullah Harahap. Pemeran dalam lakon itu utamanya adalah
Widayat, Marsidah, Wahono, Marjiyo dan lainnya.
Ceritanya
memang cukup menyeramkan untuk ukuran anak. Berawal dari kisah istri raja yang
dibunuh oleh ibu mertua dan adik iparnya, dalam kondisi mengandung. Ternyata
saat dikubur, janin yang ada di dalam perut tidak mati, dia lahir di dalam
kubur. Ibu bayi yang masih gentayangan itun memburu satu persatu para pembunuhnya.
Mereka satu-persatu dicekik hingga mati.
Saat
kemunculannya itu disertai dengan suara khas yang membuat bulu kuduk berdiri
hii.hii.hii..serem banget.
Saat
cerita pada fase puncak kengerian, tiba-tiba saja lampu satu-staunya penerang
mati. Tentu kami panik, untuk tidak menyatakan diri dengan takut. Sebab dalam
kegelapan total itu suara horror hii.hii.hii.., masih terus terdengar, sebab
tape tidak mati, kaset masih berputar.
Tanpa
dikomando kami pun tiarap masuk ke dalam sarung masing-masing. Tidak ada
satupun yang berinisiatif mematikan tape yang menebar horor itu. Baru ketika
pita habis, terdengar bunyi jeglek, kaset secara otomatis berhenti. Setelah itu
kami baru bangun dari tiarap, mencari korek api untuk menyalakan lampu yang
tadi mati tanpa sebab yang pasti.
Kejadian
yang sama terulang saat kami tidur di rumah Agus, namun kaset ketoprak yang
diputar dengan lakon Mayat Hidup. Dengan para pemain yang hampir sama.
Ceritanya bermula dari sayembara memperebutkan seorang putri bernama Maya sebagai
calon istri. Dalam satu perang tanding Yudas kalah oleh musuhnya. Permintaan
terakhirnya agar mayatnya disimpan dan diawetkan. Sebelum mati dia menulis
surat untuk pujaan hatinya yang tak kesampaian.
Sekian
tahun kemudian di tempat mayat Yudas itu disimpan ada maling yang mengambil
barang-barang berharga. Tanpa sengaja maling itu mengambil kain berisi surat
untuk Maya. Dengan penasaran maling itu membaca surat itu hingga selesai.
Begetu selesai surat itu dibaca, tiba-tiba mayat itu hidup dan berjalan. Tentu
sang maling ketakutan dan mengambil langkah seribu.
Munculnya
mayat hidup itu membuat panik penduduk. Kata-kata yang terucap hanya satu
Maya..! Maya..! Saat lakon itu dimunculkan di TVRI, mayat hidup yang berbentuk
mumi itu benar-benar menakutkan. Keseraman itu masih terekam dan melekat saat
kami mendengarkan lakon itu dari kaset. Kondisi gelap gulita, dengan suara
Maya..!Maya..! itu membuat kami benar-benar mati kutu.
Entah
kejadian itu ada kaitan dengan rumah Agus yang hanya berjarak kurang dari 3 meter
dengan kuburan atau tidak, yang jelas dua kali mendengarkan kaset ketoprak yang
menceritakan orang mati, pasti endingnya horror.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar