SOESILO
TOER & PATABA
MUTIARA
DARI BLORA
Hermawan
Widodo
Suatu pagi di hari
Minggu, bertempat di Masjid Agung Blora, saya mengikuti diskusi tentang sejarah
Islam Blora. Terus terang, saya tidak begitu mengenal sejarah Blora. Bagi saya
yang buta Blora hanya sedikit paham bahwa, Blora itu Pramoedya Ananta Toer.
Blora itu, Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo. Blora itu, Aryo Penangsang. Blora
itu, Samin! Ketika pemakalah menyatakan bahwa penyebar ajaran Islam di Blora
adalah Sunan Pojok, saya betul-betul tidak paham siapa dia. Menurut saya, nama
yang agak aneh untuk seorang tokoh penyebar ajaran besar. Biasanya pojok
digunakan untuk nama warung makan atau toko, bahkan malah jadi plang tukang
cukur atau tambal ban. Saya tidak begitu tertarik dengan pemaparan sejarah itu.
Saya baru tertarik
ketika ada seseorang yang maju ke depan saat sesi tanya jawab. Seorang bapak,
yang menurut perkiraan saya, berumur tujuh puluhan tahun. Berperawakan sedang,
rambut sudah semua putih, dengan cambang cukup tebal yang juga sudah putih.
Berbaju batik lengan pendek warna coklat, dan celana panjang abu-abu. Bapak tua
itu mengenalkan dirinya sebagai Susilo, pekerjaan pemulung. Dia tidak bertanya,
namun memberikan data-data tentang sejarah Blora, dari buku yang dibacanya. Data
yang justru belum pernah dipahami oleh pemakalah yang memaparkan sejarah Blora.
Setelah bapak tua itu
kembali ke tempat duduknya, saya kemudian berkenalan dengannya. Sebelumnya saya
minta menggeser seorang siswa yang duduk dekat bapak tua itu, agar saya bisa
duduk berdampingan dengannya. Setelah berkenalan, saya menanyakan kepadanya, apakah
seorang Aryo Penangsang itu pahlawan atau pemberontak. Ternyata dia tidak
memberikan jawaban. Menurutnya, dia belum menemukan referensi yang akurat
tentang hal itu. Dia kemudian menawarkan kepada saya, untuk datang ke rumahnya
di Jalan Sumbawa, kalau mau membaca buku. Katanya di rumahnya ada berbagai
macam buku. Saya waktu itu berpikir, dia adalah penjual buku-buku bekas. Dugaan
saya itu diperkuat oleh pernyataannya, bahwa dia juga menjajakan buku di depan
masjid tempat diskusi dilaksanakan. Saat saya keluar masjid selesai acara usai,
saya melihat-lihat buku yang dijajakan. Ternyata yang dimaksud buku itu adalah
foto copy tulisan yang dijilid tipis-tipis. Sebagian besar tulisan tentang
Pramoedya Ananta Toer. Ada Pramoedya dan Seks, Memperingati 1.000 hari
Pramoedya Ananta Toer. Buku-buku itu dihargai Rp.5.000,- Saya timang-timang
buku tipis sampul merah, bergambar tangan diborgol sedang memegang pena,
berjudul Pram dalam Sastra&Fakta, Memperingati 1.000 Hari Pramoedya Ananta
Toer. Buku tipis itu saya beli dan saya bawa pulang.
Sampai rumah, saya buka
buku tipis itu, isinya tulisan bermacam-macam. Ada kumpulan puisi untuk Pram,
berbagai penilaian orang terhadap Pram. Ada tulisan yang membandingkan Pram
dengan Samin Surosentiko. Ada juga tulisan panjang yang mendominasi hampir
seluruh halaman buku, yang ditulis oleh Soesilo Toer. Saya baca tulisan itu
hingga selesai. Tulisan yang mengesankan bahwa penulisnya amat sangat dekat
dengan Pram. Dari buku itu saya baru tahu kalau Soesilo Toer, adalah adiknya
Pramoedya Ananta Toer.
Tiba-tiba pikiran saya
melayang kepada pemulung dan penjual buku, di Masjid Agung Blora.
Jangan-jangan…. Saya bolak-balik buku itu. Di salah satu halaman dicantumkan beberapa
nama kontributor. Ada Muhidin M Dahlan dan Soesilo Toer. Nama Muhidin M.
Dahlan, saya paham sebagai penulis novel “Tuhan Biarkan Saya Jadi Pelacur” dan
pernah masuk acara Kick Andy, saat dia berbicara tentang bukunya yang membahas
Lekra. Nama Soesilo Toer, saya baru tahu dari buku tipis itu. Saya selama ini
berpikir Pramoedya adalah seorang diri saja. Ketika saya baca alamat yang
menjadi sekretariat : Jl.Sumbawa 40 Jetis Blora, pikiran saya kembali mengait
kepada pak tua yang mengundang saya ke rumahnya Jl.Sumbawa. Nama yang mirip dan
alamat yang hampir sama. Daya tebak saya langsung mengarah bahwa, Susilo si
pemulung itu adalah Soesilo Toer, adik sang maestro sastra Indonesia. Hati saya
langsung berdesir, jantung berdetak lebih kencang, keringat dingin keluar meski
tidak sampai mengucur. Daya nalar saya juga menyajikan kesimpulan yang sama,
bahwa pemulung yang mendebat pembicara di masjid tadi adalah Soesilo Toer
adiknya Pramoedya Ananta Toer. Pantesan, meski sudah tua tetap galak.
Saya tidak peduli siapa
Soesilo Toer, yang pasti dia adalah adiknya Pramoedya Ananta Toer. Orang besar
tidak akan meninggalkan sesuatu yang tidak besar. Sudah pasti tidak bisa ketemu
dengan Pram, bisa ketemu adiknya sudah merupakan kanugrahan luar biasa besar. Adrenalin saya untuk segera datang ke
Jl.Sumbawa, langsung membumbung. Saya membayangkan akan datang ke rumah
Pramoedya Ananta Toer. Masuk ke rumah masa kecil, penulis besar dunia. Mas Ari,
kakak ipar saya yang penggemar berat Pram, pasti iri jika tahu, saya bisa masuk
rumah penulis legendaris itu. Meskipun mas Ari dosen filsafat di Universitas
Islam Bandung, yang koleksi buku Pram-nya lebih lengkap dari saya, namun saya
yakin haqul yaqin, dia belum pernah
melihat langsung rumah Pram di Blora. Jangankan melihat rumahnya, sedang
menginjak tanah Blora pun belum. Saya sudah membayangkan akan mendapati
buku-buku Pram, dan membacainya semua-muanya.
Dalam siraman gerimis
ba’da maghrib, saya kayuh sepeda onthel menuju Jl. Sumbawa. Sampai di Jl.
Sumbawa, saya datangi seorang bapak yang sedang duduk di ruang tamu.
“ Pak, rumah pak Soes
mana?” saya bertanya pelan.
Bapak bersarung itu
menunjuk sebuah rumah di sebelah yang nampak gelap. Begitu melihat kondisi
rumah yang gelap dan kelihatan seram, saya pastikan lagi ke bapak tadi.
“Rumahnya kok gelap?”
“Masuk saja, biasanya
juga begitu, ada orangnya di dalam. Ketok saja!” jawabnya meyakinkan.
Sepeda saya tuntun
memasuki halaman rumah. Sampai depan rumah, mata saya langsung tertumbuk pada
papan warna dasar putih ukuran sekitar satu meter persegi, bertuliskan huruf
merah bernada provokasi : BACALAH, BUKAN BAKARLAH!! Disamping tulisan itu, ada
gambar khas Pram berkacamata dan bertopi. Saya ketuk pintunya berkali-kali,
tidak ada yang menyahut. Setelah hampir sepuluh menit, baru ada suara sahutan
dari seorang perempuan yang menanyakan mencari siapa. Ternyata saya salah
ketuk. Saya diminta untuk masuk ke rumah samping yang masih gelap gulita.
Saya melangkah ke
pekarangan yang dipenuhi tumbuhan kenikir. Sebelum sampai teras, lampu di dalam
rumah tiba-tiba menyala. Pintu terbuka, saya disambut langsung oleh sosok yang
tadi pagi ketemu di Masjid Agung Blora. Setelah menjabat tangan, dengan hangat
dia mengajak saya masuk. Saya duduk di kursi kayu jati berpoliteur hitam,
dengan jok warna biru. Ketika duduk, saya masih berusaha untuk meyakinkan diri
sendiri, bahwa saya sedang duduk di dalam rumah Pramoedya Ananta Toer, dan
orang yang sedang di depan saya adalah adik kandungnya. Di ruang ukuran sekitar
4x5 meter persegi itu, terdapat rak-rak berisi buku banyak sekali, ditata
berdiri, yang hanya menampakkan judul buku dari samping. Ruangan yang tidak
begitu luas itu juga dipenuhi oleh foto, lukisan, sketsa berbagai ukuran dan
warna. Wajah Pram mendominasi dinding bercat putih itu.
Pak Soes, demikian panggilan
sehari-hari, menjelaskan tentang perpustakaan yang dikelolanya. Perpustakaan
itu adalah gagasannya, untuk mengenang kakaknya Pramoedya Ananta Toer. Dengan
memanfaatkan bangunan baru hasil pemugaran dan pemekaran dapur, jadilah
perpustakaan yang diisi buku-buku koleksi pribadinya. Ada juga sebagian buku
dari Koesalah Soebagya Toer dan juga buku peninggalan Pramoedya. Perpustakaan
itu diberi nama PATABA akronim dari Pramoedya Ananta Toer Anak Blora. Akronim
itu kemudian disempurnakan menjadi Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa,
yang dipakai hingga sekarang. Baru beberapa menit berbicara tentang PATABA,
tetangga yang mau berangkat kumpulan RT memanggil Pak Soes untuk berangkat
bersama. Saya pamitan dan berjanji akan datang lagi, lain waktu secepatnya.
Sebelum pulang saya
masuk warnet, mencari informasi tentangnya. Saya jadi sedikit tahu bahwa
Soesilo Toer adalah seorang doktor ekonomi jebolan Institut Plekhanov, salah
satu perguruna tinggi bergengsi di Rusia, dosen beberapa universitas di
Jakarta, pernah menjabat sebagai rektor, penulis, dan memiliki pengalaman
mendekam di penjara selama 6 tahun semasa orde baru. Saya yakin dengan tesis
saya, bahwa orang besar tidak akan meninggalkan sesuatu yang tidak besar.
Pramoedya Ananta Toer, selain memiliki karya-karya besar, juga memiliki
keluarga yang juga orang-orang besar. Meski kebesaran itu terpayungi oleh
kebesaran nama Pramoedya sendirian. Namun demikian dalam hati terdalam, saya
yakin sepenuhnya bahwa Soesilo Toer adalah sosok besar dengan cara dan gayanya
sendiri.
Sesuai janji, saya
datang lagi ke Jl. Sumbawa. Pak Soes, meski umurnya sudah mendekati 75 tahun,
bicaranya masih meledak-ledak. Ketika saya berbicara menggunakan bahasa Jawa
kromo, dengan maksud menempatkan beliau lebih tinggi dari saya, ternyata dia
tidak pernah menggunakan bahasa Jawa. Saya lupa bahwa keluarga Pram, khususnya
Pram pribadi, menentang segala bentuk feodalisme. Maka saya terbawa untuk
berbahasa Indonesia ketika berbicara dengannya. Meski baru ketemu tiga kali :
di masjid Blora, malam sebelumnya yang hanya sebentar, dan siang itu, pak Soes
sudah menceritakan berbagai hal, tentang Pram, tentang dirinya, tentang Mastoer
bapaknya dan keluarga besar Toer lainnya. Dia tidak membuat jarak, meskipun
jelas jarak saya dengannya sangat jauh. Pak Soes penulis yang sudah teruji
kadar kepenulisannya. Bahkan sebelum tulisan Pram dilarang oleh penguasa,
tulisannya sudah lebih dahulu dicekal karena dianggap berbahaya. Sejak masih
umur belasan, tulisannya sudah dimuat di berbagai media. Dia mampu
menyelesaikan pendidikan strata tertingginya di Rusia yang tentu membutuhkan
perjuangan luar biasa berat. Sedangkan saya, bukanlah siapa-siapa. Namun siang
itu, antara saya dan dia seakan tanpa jarak. Saya seperti sedang berhadapan
dengan seorang teman lama yang sudah bertahun-tahun tidak pernah bertemu.
Sejak pertemuan siang
itu, saya merasa bahwa pak Soes adalah sosok guru yang mengajari tanpa harus
menggurui. Kuat keinginan saya untuk menyerap segala ilmu yang bersemayam pada
sosok bertubuh tidak terlalu besar, namun berjiwa sangat besar itu. Pernah saya
tanyakan bagaimana dulu orang tuanya mendidik anak-anaknya, sehingga mampu
menghasilkan generasi yang berkualitas tinggi. Jawaban yang dipaparkan oleh Pak
Soes, di luar yang saya duga. Meski bapaknya adalah seorang guru, bahkan tokoh
pendidik yang legendaris di Blora, ternyata Soesilo kecil tidak pernah diajari
belajar oleh bapaknya. Ada pembiaran di sana. Soesilo kecil dibiarkan semaunya.
Belajar silakan, main boleh, semua terserah, semaunya anak. Ketika kemudian
anak-anaknya menjadi orang-orang yang kapabel di bidangnya, itu karena memang
sudah dari sononya, gawan bayi.
Saya kemudian menjadi
sering bertandang ke rumahnya. Setiap kali ke Blora, saya selalu ke rumahnya.
Tanpa merasa lelah, apalagi bosan Pak Soes menerima kehadiran saya, kemudian
menceritakan tentang dirinya dan keluarga besarnya lebih detil dan mendalam.
Sebagaian besar bersifat off the record,
cukup saya simpan untuk diri saya pribadi. Dari apa yang disampaikannya, saya
semakin memahami sosok besar yang sering saya kunjungi ini. Betapa ikhlas
menjalani kehidupan, berusaha tidak menyakiti orang, berusaha melayani semua
orang, berusaha hidup mandiri tidak bergantung kepada siapapun.
Dalam suatu kesempatan,
dia pernah menceritakan masa lalunya. “Kalau saya mau, saya tidak akan sengsara
di negeri sendiri. Karena kecintaan saya kepada negeri ini, tawaran untuk hidup
aman, nyaman dan enak di negeri orang, saya tolak. Saya lebih cinta negeri
Indonesia. Maka saya pulang dari Rusia, meski konsekuensinya saya sengsara,”
katanya dengan mata menerawang.
“Namun saya sangat
bersyukur bisa hidup hingga kini, melewati hari tua di negeri sendiri,” katanya
kemudian dengan berapi-api.
“Banyak kawan-kawan
saya, ingin sekali menginjakkan kaki di negeri sendiri, tidak terwujud hingga
kini,” sambungnya.
Ya, dia ingat peristiwa
sekian puluh tahun yang lalu, saat keluar dari pesawat yang membawanya pulang
dari Rusia tempat dia menyelesaikan pendidikan tingginya, ke tanah airnya
Indonesia. Turun di bandara, dia dijemput oleh orang yang sudah sangat dia
kenal, kawan satu alumni di Rusia. Situasi politik saat itu tidak lagi mengenal
kawan. Jangankan kawan, saudara sekandung saja, tidak lagi dianggap, ketika
berbeda ideologi. Oleh kawannya, yang sudah tidak lagi mengenal kawan itu, dia
langsung dibawa ke kantor Imigrasi untuk “ditanyai”, dan selanjutnya diinapkan
di berbagai “pondokan”, istilah lebih beradab daripada penjara. Setelah
beberapa kali pindah pondokan, akhirnya dia terdampar di pondokan Kemayoran
Lama, hingga genap enam tahun.
Keluar dari sana tanpa
memiliki apa-apa, kecuali tambahan gelar sebagai mantan tapol PKI selain gelar
resminya sebagai doktor ekonomi yang tidak diakui. Dengan bekal pendidikan di
bidang ekonomi yang dimilikinya, dia mencoba melakukan usaha dagang. Nasiblah
yang kemudian membawanya menjadi dosen di Universitas Tujuhbelas Agustus
(Untag) Jakarta, ketika dia dimintai bantuan salah seorang koleganya. Dari
hasil dagang dan mengajar itu, dengan susah payah dia mampu mendirikan rumah di
daerah Bekasi.
Kenyamanan yang hanya
bisa dinikmati sebentar saja, karena statusnya sebagai mantan tapol, dia harus
kembali berhadapan dengan penguasa. Ternyata enam tahun di penjara belumlah
cukup, menghapuskan kesalahan yang tidak pernah dilakukannya. Semua perlawanan
untuk mempertahankan haknya, tidaklah mempan di hadapan penguasa. Betul dia
warga negara Indonesia, tetapi berbeda dengan warga negara yang lainnya.
Penguasa dengan bisa mengambil apa yang ada pada dirinya. Rumahnya digusur,
tanahnya diambil paksa, jadilah dia dan keluarganya tuna wisma, tanpa rumah dan
tanah. Nasib jugalah yang kemudian membawanya kembali ke tanah kelahirannya
Blora, tanpa membawa apa-apa.
Di Blora, dia rawat
rumah peninggalan bapaknya dengan sisa-sisa tenaganya. Dia tanami dengan
tangannya sendiri, pekarangan rumah yang luas itu dengan ratusan pohon jati,
dan aneka tetumbuhan lain. Usaha mulia itu mendapatkan ganjaran penyakit
prostat yang dideritanya hingga sekarang. Sebuah jenis penyakit yang sangat
menyiksa dirinya jika kambuh. Untuk itu dia berharap penyakit itu tidak betah
lagi singgah di tubuh tuanya. Harapan sederhana, namun rasanya sangat sulit
terlaksana.
Pak Soes suatu ketika pernah
menceritakan awal merintis ruang baca yang diberi nama PATABA itu. Dia tidak
akan melupakan aksi brutal tentara puluhan tahun lalu di Jakarta, terhadap
buku-buku yang berbeda dengan ideologi penguasa. Itulah mengapa dia memasang
plang dengan tulisan mencolok : BACALAH, BUKAN BAKARLAH!!, di depan pintu rumah
utama. Usaha mulia mendirikan perpustakaan itu, oleh pemerintah setempat,
perpustakaan itu mendapat predikat istimewa, sebagai perpustakaan liar.
Meski tidak diakui oleh
pemerintah Blora, perpustakaan itu dia kelola dengan sepenuh hati. Kini ruang
baca itu menjadi tempat yang mengasyikkan bagi pengunjung untuk melampiaskan
minat bacanya. Bukan saja dari Blora, juga bukan saja dari Indonesia, namun
dari berbagai negara orang datang, untuk membaca, mencari data, studi banding,
atau hanya sekedar ingin merasakan aura kebesaran penulis kelas dunia,
Pramoedya Ananta Toer, di rumah tua itu. Di situ, pengunjung boleh meminjam
buku apa saja dari ribuan koleksinya. Di situ, disiapkan kamar khusus untuk
menginap jika membutuhkan. Di kamar itu juga, Pramoedya Ananta Toer biasa tidur
jika sedang menginap di Blora, di hari-hari terakhir hidupnya. Di situ, juga
disediakan minum dan snack gratis. Bahkan jika waktunya makan, dia akan
mengajak pengunjung untuk makan bersama keluarganya. Rasanya tidak ada di
belahan negara manapun, perpustakaan liar yang keramahannya melebihi dari
perpustakaan yang dikelolanya.
Dia bukan sekedar
merangsang minat baca, namun juga berusaha merangsang minat menulis. “Bacalah
apa-apa yang telah mereka tulis, sebab membaca itu lebih mudah dari menulis.
Kemudian tulislah, maka kamu akan abadi,” katanya suatu hari. Dia bisa berkata
begitu, karena memang dia adalah penulis sejak masih sangat belia.
Karya-karyanya banyak dimuat berbagai media di Jakarta saat itu, sebelum dia
berangkat ke Rusia. Komponis Kecil, merupakan
salah satu buku kumpulan ceritanya yang pernah sangat laris.
Sebagi penulis, dia
tidak segan-segan memberikan bimbingan kepada siapa saja yang ingin belajar
menulis. Banyak naskah yang dibawa oleh penulisnya ke rumahnya di Jalan Sumbawa
no.40 Jetis Blora, untuk mendapatkan koreksinya. Ketika naskah itu ada di
hadapannya, dia akan total mencurahkan kemampuannya untuk mengoreksi, kemudian
memberikan masukan-masukan yang membangun, sehingga naskah-naskah itu menjadi
lebih baik. Dari usaha kerasnya mengoreksi semua naskah yang dibawa ke
rumahnya, dia akan mendapatkan ganjaran ungkapan terima kasih. Meski begitu dia
sudah sangat bahagia, ketika naskah yang dikoreksinya bisa diterbitkan, baik
menjadi buku atau dimuat di media cetak.
Pada awal tahun 2011, dia
juga menyelenggarakan lomba menulis untuk pelajar. Maksudnya hanya untuk
pelajar dari Blora saja. Ternyata naskah yang masuk banyak juga yang dari luar
Blora, bahkan luar Jawa. Ada naskah yang dikirim oleh pelajar dari Sumatera,
Bali, Kalimantan dan Sulawesi. Naskah sejumlah 103 baik berupa tulisan tangan
maupun ketikan itu, semua mendapat apresiasi dan penghargaan dari Pak Soes.
Meski meraih gelar
sarjana strata tertinggi, namun gelar itu tidak pernah diakui pemerintah.
Diakui atau tidak, baginya tidak menjadi masalah. Baginya, yang penting dapat
berbuat yang terbaik, semaksimal yang mampu diperbuatnya untuk orang banyak.
Bahkan seandainya, kertas ijazah doktornya itu dibakar habis, ilmu yang sudah
terserap dalam memori dan jiwanya tidak akan hangus.
Karena tidak diakui
sebagai siapa-siapa itu, maka dia lebih senang mengklaim dirinya sebagai
pemulung, selain tentunya sebagai penulis. Pak Soes sangat bangga dengan mata
pencahariannya sebagai pemulung. Apapun dia pulung. Berbagai macam benda dari
besi mulai dari sekrup, baut, obeng bahkan uang recehan dia ambil. Karena tidak
merokok, jika menemukan rokok, dia simpan kemudian diberikan kepada tamu yang
mau. Semua benda-benda bekas itu disimpan. Dia memiliki obsesi akan menjadikan
semua benda hasil temuannya itu, nanti ditata secara artistik untuk kemudian
bisa dilihat oleh semua pengunjung perpustakaan. Pengunjung tidak hanya membaca
buku, namun juga bisa melihat foto-foto, lukisan atau karya seni yang lain. Dia
ingin rumah itu menjadi cagar budaya dari Blora untuk dunia. Ketika ada tamu
dari Inggris, Pak Soes menanyakan bahasa Inggrisnya pemulung. Sang tamu
menyebut satu kata. Namun definisi kata itu, tidak sama dengan yang
dilakoninya. Meskipun belum menemukan padanan kata yang pas dalam bahasa
Inggris, namun dia tetap bangga dengan profesinya. Saking bangganya, pernah
terungkap bahwa istri ketiganya, yang asli Sleman Jogja, didapatkan juga dengan
cara mulung. Karuan Bu Soes menangis dan mencak-mencak hebat, disamakan dengan
barang bekas.
Namun dasar seorang
penulis yang pandai merangkai kata, Pak Soes mampu menjelaskan dengan sangat
elegan, “Kamu itu emas yang saya pulung.”
Mendengar itu istrinya
tertawa, tetapi malam harinya menangis lagi. Cita-citanya sejak lama adalah
menjadi pemulung profesional. Dia berharap menemukan kalung, gelang atau cincin
emas. Untuk mendukung cita-cita pak Soes itu, sebenarnya mudah. Buang saja
kalung, gelang atau cincin emas anda di depannya. Faktanya, belum pernah ada
orang yang cukup gila, mau berbuat begitu, sehingga keinginan mulia pak Soes
itu, harus dipendam dalam-dalam.
Pak Soes percaya dan
yakin akan dharma. Barang siapa berbuat baik kepada orang lain, maka akan
mendapatkan penggantinya. Suatu ketika ada dua orang pengunjung perpustakaan
yang menginap karena kemalaman. Malam itu Bu Soes kebetulan tidak masak nasi
maupun sayur. Sementara di dapur hanya tinggal indomie dua bungkus. Dia
perintahkan istrinya untuk merebus dua bungkus indomie terakhirnya itu, dan
menyajikannya kepada tamu., Malam-malam mendapat sajian mie rebus panas, dua
tamu itu senang bukan kepalang. Sebaliknya dua orang tuan rumah, malam itu
harus menahan lapar hingga pagi menjelang. Itu bagian dari konsekuensi dharma
yang diyakininya. Faktanya tidak sampai berganti minggu, ada wartawan datang
untuk wawancara, dan memberinya buku sebagai kenang-kenangan. Ketika sampul
buku itu dibuka, di dalamnya terselip amlop berisi uang lima lembar bergambar
Soekarano-Hatta. Belum sampai habis uang itu dipakai, Pak Soes mendapat kiriman
royalti dari Gramedia atas sumbangan tulisannya dalam buku Bersama Mas Pram.
Suatu hari ba’da Isya’,
ketika saya berkunjung ke rumahnya, saya sudah membawa beberapa lembar tulisan
yang sudah saya cicil selama ini. Saat membawa tulisan itu dalam map hijau,
saya sertakan juga spidol warna merah.
Ketika Pak Soes menanyakan
tulisan tentang apa, saya jawab, “ Macam-macam.”
Saya lega ketika pak
Soes hanya bilang, “Tinggal saja, nanti saya baca!”
Plong rasanya, seolah
lepas dari beban berat yang menghimpit rongga dada. Selain lega saya juga
sangat bangga. Bagaimana tidak, seorang Soesilo Toer, penulis besar, mau
membaca tulisan saya, yang tidak jelas bentuk apalagi mutunya.
Seminggu kemudian
ketika saya berkunjung lagi ke rumah Pak Soes, saya sudah meniatkan diri untuk
menyerahkan nasib saya dan tulisan-tulisan kepadanya. Saya siap dibantai habis.
Ternyata tulisan saya dikembalikan utuh tanpa catatan apapun, apalagi coretan
spidol merah. Saya menduga pasti tidak dibaca. Setelah saya terima kembali
tulisan-tulisan itu, Pak Soes secara lisan memberikan penilaian terhadap
tulisan yang sudah dibacanya. Menurutnya, sudah baik, sudah lancar, isinya
masih sangat datar, tidak ada gejolak, tidak jelas mau cerita apa. Namun yang
nyantel di kuping dan hati saya adalah pernyataan ‘sudah baik’ dari seorang
Soesilo Toer. Woou…luar biasa rasanya. Saya tidak begitu hiraukan isinya yang
datar-datar saja itu. Saya sudah terlanjur hanyut oleh pernyataan sudah baik
itu saja.
Ketika saya tanyakan
mengapa sama sekali tidak ada koreksi atau coretan. Menurutnya setiap tulisan
adalah hak intelektual seseorang. Orang lain tidak boleh mengubah-ubah
sekehendaknya. Apa yang ditulis oleh seseorang, adalah apa yang dipikirkan dan
dirasakan, bersifat sangat personal, persepsi individual, yang sangat mungkin
tidak dipikirkan dan dirasakan oleh orang yang mengoreksi. Menurutnya, tidak
selayaknya orang dengan semena-mena mencoret-coret tulisan orang lain. Katanya,
Pram juga tidak pernah mengoreksi tulisannya. Pram membiarkan tulisan itu
sendiri yang akan mencari jalan hidupnya. Kalau baik, akan hidup lama dalam
ingatan orang, jika jelek, tak lama akan ditinggalkan. Pada kali pertama
menilai tulisan saya, Pak Soes tidak memplonco calon muridnya yang masih hijau,
dengan coretan-coretan spidol merah seperti yang saya bayangkan sebelumnya.
Saya pernah meminta Pak
Soes untuk membubuhkan paraf di buku-buku Pram yang saya miliki. Sebelumnya,
saya menanyakan terlebih dahulu, apakah etis jika saya memintanya membubuhkan
paraf itu. Menurutnya tidak masalah, justru dia merasa tersanjung. Bisa jadi
anak-anak Pram yang akan protes, karena omnya yang membubuhkan paraf di buku
karangan bapaknya. Dia menjelaskan bahwa parafnya itu selalu berbeda di setiap
kesempatan. Tidak seperti paraf Pram, yang selalu nampak persis sama di mana
saja dibubuhkan. Saya tidak mempermasalahkan bentuknya sama atau tidak, yang
penting ada parafnya. Akhirnya semua buka Pram yang saya punya dibubuhi paraf
oleh Pak Soes. Buku tebal Tetralogi Buru, yang lebih tipis semacam Bukan Pasar
Malam, Larasati, Jalan Raya Pos Jalan Daendels, Gadis Pantai hingga yang paling
akhir saya beli Arok Dedes diparafnya. Saya berkeyakinan paraf Soesilo Toer di
buku itu, nanti akan memiliki nilai sejarah tinggi.
Tulisan-tulisan saya
yang sudah saya serahkan ke Pak Soes dan dikoreksinya, kemudian saya perbanyak dan saya jilid layaknya buku.
Kumpulan tulisan yang tetap saya anggap buku itu, saya beri judul agak sangar “Kepuh, Tragedi Pembunuhan Berencana -
Mutiara Dari Bantul Hingga Blora”. Di sampul belakang saya cantumkan
tulisan : “Masyarakat Indonesia
Membangun, adalah Masyarakat Indonesia Membaca, menuju Masyarakat Indonesia
Menulis”. Buku itu hanya saya buat terbatas, untuk anak-anak saya dan teman-teman dekat. Salah satunya saya
serahkan kepada Pak Soes dan mejadi salah satu koleksi perpustakaan PATABA.
Beberapa waktu
kemudian, Pak Soes menyerahkan buku yang sudah tampak tua dan menguning. Buku
itu adalah Komponis Kecil, karyanya pada
kurun waktu tahun ’50 an. Itu adalah buku satu-satunya yang masih dia simpan.
Dia minta saya untuk mengetik kembali kumpulan cerita itu dan menerbitkannya.
Saya sanggupi permintaan itu. Seminggu kemudian setelah ketikan dan rencana
covernya selesai, saya serahkan untuk mendapatkan koreksi. Setelah Pak Soes
memberikan persetujuan, naskah itu kemudian dicetak. Cover depan saya ambil
foto seorang anak laki-laki kecil sedang memainkan biola di depan rumahnya.
Anak kecil itu adalah Idris Sardi. Di cover belakang, selain saya tampilkan
profil Pak Soes, saya cantumkan juga tulisan Masyarakat Indonesia Membangun,
adalah Masyarakat Indonesia Membaca, menuju Masyarakat Indonesia Menulis.
Kemudian Pak Soes minta
kepada saya untuk mengetik dan menyunting kembali naskah-naskah dari pelajar
yang masuk. Pak Soes sudah memilih naskah-naskah yang dianggapnya layak. Hingga
kini sudah diterbitkan buku yang ke empat, dari lima yang direncanakan. Cover
belakang sama dengan buku Komponis Kecil, sedangkan cover depan saya ambil foto
anak-anak yang sedang bermain di pantai. Judul buku itu adalah Kumpulan Tulisan Terpilih Karya Anak Semua
Bangsa. Buku-buku itu diterbitkan di bawah bendera Pataba Press. Sebelumnya
dia telah menulis dan menerbitkan sendiri buku-buku kecil, untuk selanjutnya
dipajang di perpustakaannya. Buku-buku kecil itu, kini sudah berada di berbagai
daerah bahkan juga negara-negara lain, dibawa oleh pengunjung yang datang ke
perpustakaannya. Sejak itulah Pak Soes menjadikan “ Masyarakat Indonesia Membangun, adalah Masyarakat Indonesia Membaca,
menuju Masyarakat Indonesia Menulis “, sebagai semboyan PATABA.
Di usianya yang semakin
menua, kemampuan yang masih dimilikinya ingin dia darmakan untuk negerinya.
Meski belum tentu, apa yang didarmakannya, diterima dengan suka cita, bahkan
mungkin dipenuhi oleh syak wasangka dan curiga. Semua itu dia terima dengan
lapang dada. Dia resapi betul nama besar Toer yang disandangnya. Toer, dia
akronimkan dengan “Tansah Ora Enak Rasane”,
karenanya dia senantiasa ikhlas menjalaninya. Di rumah pusaka itu, dia tinggal
bersama istrinya tercinta, dan salah satu kakaknya, Prawito Toer. Ini menjadi
bagian dari perjalanan hidup, justru di masa tuanya, dia harus merawat kakak
kandungnya yang disebutnya sebagai pejuang yang kalah itu. Sedangkan anak
laki-laki semata wayangnya Benee Santosa, selesai menamatkan sekolah di Blora,
kemudian bekerja di Jakarta hingga sekarang
Di usianya yang sudah
senja, semangat untuk membangun bangsa dan negerinya, melalui budaya baca dan
budaya tulis tidak pernah padam. Dia berjuang dengan caranya sendiri. Dia yakin
martabat negara akan terangkat dengan karya tulis anak bangsanya. Maka dia juga
tetap menulis. Dia setia dengan keyakinannya itu. Dia sangat ingin mewujudkan
karya terakhirnya yang diharapkan menjadi karya fenomenal, masterpiecenya, yang
akan menjadi warisan untuk istri dan anaknya tercinta, juga untuk bangsanya. Pak
Soes pernah bilang ingin hidup lebih lama lagi. Dia ingin menyaksikan panen
ratusan pohon jati yang ditanamnya sendiri, di pekarangan rumahnya. Ingin
mewujudkan rumah pusaka peninggalan bapaknya, betul-betul menjadi cagar budaya
untuk dunia. Ingin hidup tenang dan damai di bumi Blora tempat dia lahir dan
dibesarkan hingga umur belasan. Ingin terus berjuang mempertahankan dan
mengembangkan prinsip-prinsip hidupnya. Mengutip tulisan tangan Robert Wolter
Monginsidi dalam penjara sebelum dieksekusi “Setia
hingga akhir dalam kejakinan”. Keinginan yang terwujud dan tidaknya, hanya
menjadi rahasia Tuhannya
Saya yakin Pak Soes
akan terus berjuang dengan caranya sendiri. Akan terus memberikan bimbingan
kepada yang muda-muda untuk mau membaca dan menuliskan apa-apa yang sudah
dibaca. Dia selalu menebarkan ajakan : “Bacalah! Sebab menulis itu lebih
sulit”. Kita tinggal membaca apa yang orang-orang tulis. Meningkat dari itu
adalah : “Tulislah! Sebab dengan menulis itu kamu akan abadi”. Menurut saya, Soesilo Toer dan PATABA, adalah
mutiara dari Blora. (*)
Hermawan
Widodo
Bakule
Kacang “NYAMLENG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar