HIKAYAT
SEORANG BOCAH
Vinca
Dia Kathartika Pasaribu (Jember Jawa Timur)
Hujan di luar
memasung semesta
Di balik kelambu
sehitam mendung angkasa
Seorang bocah
berdiri mengutuki hari kelahirannya
Tak dihiraukan
tubuh tirusnya menyeri terpagut gigil
Justru dia ingin
menguliti dirinya sendiri
Agar telanjang
dalam kehampaan
Betapa telah
sungguh-sungguh dipahaminya kemelut
Sejak dirinya
dicampakkan takdir
Ke gubuk tua
yang hampir roboh oleh gelap perasaannya
Hanya gaung air
sungai yang masih setia menyapanya
Tiba-tiba
ingatannya terbang ke masa purba
Dibacanya
tulisan tangannya yang berantakan
Terbukukan
menjadi memoar
Berisikan
dongeng-dongeng ibunya setiap malam
Sewaktu ia masih
kanak
Dongeng yang
selalu berakhir legit
Sangat berbeda
dengan kehidupannya
* * *
**************************************************************
SEMUA
BUTUH WAKTU
Luisa
Leonardo (Denpasar Bali)
Apakah semua cerita
akan berakhir bahagia? Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang tidak lepas dari
benakku. Hidupku tidak ada apa-apanya dan aku sangat bosan menjalaninya. Awal
dari kehidupanku saja tidak menarik, hanya sempat bahagia sebentar, lalu dalam
sekejap semua kebahagiaan itu pergi dan tidak kembali.
Namaku Anna Fransisca
Gunawan. Ayahku Henry Gunawan dan ibuku Alisa Putri. Mereka bukanlah orang kaya
yang mempunyai rumah mewah, mobil mewah atau perhiasan mahal. Namun aku
bersyukur kepada Tuhan karena kami hidup berkecukupan dengan tubuh sehat. Kami
tinggal di Bandung di daerah Cihampelas, Bandung bagian atas. Biasanya cuaca
sangat dingin di malam hari namun sangat panas di siang hari.
Seperti sudah
dikatakan, hidupku tidak ada apa-apanya. Aku bahkan merasa bahwa aku tidak
diharapkan oleh ayahku. Sejak dulu ayahku ingin anak laki-laki. Meski begitu,
ibuku selalu mendukungku dari belakang, menyayangiku dengan sepenuh hati,
merawatku dengan senyum, keringat dan air mata.
Ketika umurku tiga
tahun, adik laki-lakiku lahir. Ia sangat lucu dan tampan. Ayah memberi nama
Daniel Gunawan. Ayah begitu bahagia dengan kelahiran anak laki-lakinya. Sejak
itu, aku merasa semakin tersisih. Ayah selalu memberikan yang lebih untuk Niel,
dan itu membuatku cemburu.
Ketika aku ulang tahun
yang ke tujuh, ibu dan Niel memberiku hadiah buku diari warna biru yang indah
dan terbungkus rapi. Sedangkan ayah tidak memberiku apa-apa. Ayah lebih
mementingkan urusan kerjanya. Ketika ayah keluar dari pintu rumah tanpa
melihatku pada hari yang berbahagia itu, aku lari ke pangkuan ibu, menangis
tersedu-sedu. Dunia terasa hampa, aku sangat sedih, sedih sekali.
Hari pertama masuk
sekolah, aku memakai seragam putih merah, dasi merah dan sepatu hitam yang tidak
baru, serta tas punggung yang sudah ada sobekan di pojokan karena usangnya.
Teman-teman lain semua memakai sepatu dan baru. Meski demikian aku sangat
senang masuk sekolah. Temanku banyak, semua baik. Aku termasuk murid yang
paling cerewet. Aku senang berteman dengan mereka semua. Aku menemukan
kebahagiaan tersendiri di sana, bisa tersenyum, tertawa gembira.
Kelas IV wali kelasku
adalah seorang guru yang masih muda, pak Gilang namanya. Pak Gilang menjadi
idola murid-muridnya karena memang tampan. Lisa teman sekelasku yang paling
ekspresif menunjukkan kesukaannya kepada pak Gilang. Lisa pernah menulis surat
cinta kepada wali kelasku itu. Aku juga suka dengan pak Gilang, meski aku tidak
seperti Lisa. Kebetulan pak Gilang berusaha dekat dengaku. Hal itu yang membuat
Lisa pernah sangat marah kepadaku dan menjambak rambutku. Untung pak Gilang
datang dan menghentikan aksi Lisa yang nekat itu. Saat pak Gilang mengantarku
pulang, aku dibelikan es krim. Pak Gilang bercerita bahwa aku mirip dengan
adiknya Hana. Foto kecil ditunjukkan kepadaku. Memang mirip denganku. Adiknya itu sudah meninggal setahun lalu. Aku
tahu kini mengapa pak Gilang ingin sekali dekat denganku.
Waktu terus berjalan
begitu cepat. Aku sudah kelas VI sekarang. Ada anak baru yang masuk kelasku.
Namanya Violet, anak pindahan dari Jakarta. Cantik, tinggi, putih dan tampak
kaya dari apa-apa yang dipakainya. Violet anaknya cerewet, sedikit angkuh dan
tampak sombong. Meski begitu temannya banyak dan langsung popular di sekolah kami
karena Violet tampak beda dengan yang lain.
Suatu ketika aku
dikerjainya. Kursiku ditempeli permen karet. Saat aku tegur, dia marah-marah
dan mengejekku. Memang aku pendek dan tidak cantik. Namun ketika dia mengejekku
aku jadi marah. Aku jambak rambutnya, dan terjadi pergulatan. Perkelahian tidak
wajar itu terhenti ketika kepala sekolah lewat kelasku. Kami segera dipanggil
ke kantor. Tentu Violet tidak mau mengakui perbuatannya. Dia malah menuduhku
menjambak rambutnya. Aku hanya tertunduk, dan mengakui perbuatanku, karena
memang aku yang menjambaknya duluan. Aku dihukum membersihkan toilet selama
seminggu, mulai besok.
Besoknya saat aku
membersihkan toilet, Violet datang menghampiriku dan meminta maaf. Sejak itu
aku berteman akrab dengannya. Aku sering diajak ke rumahnya. Rumahnya besar dan
mewah. Bapak ibunya sangat hangat. Dua kakaknya juga sangat sayang pada Violet.
Aku iri melihatnya. Sangat berbeda dengan kondisi keluargaku.
Hari pengumuman
kelulusan setelah beberapa hari menempuh ujian akhir yang membuatku tegang.
Dalam daftar siswa yang lulus terpampang nama : Anna Fransiska Gunawan. Aku
lulus. Aku sangat senang dan bahagia. Namun kebahagiaanku itu langsung sirna,
ketika pak Gilang mengajakku segera bonceng motornya. Aku diajak ke rumah
sakit. Saat masuk kamar nomer 208, aku melihat ibuku terbaring lemah. Ibu
mengalami kecelakaan. Dokter berusaha menyelamatkan ibu. Luka-lukanya cukup
parah. Ibu banyak kehilangan darah. Usaha dokter yang maksimal tidak mampu
menyelamatkan ibuku. Ayah sangat terpukul, melihat ibu sudah tak mampu
bergerak. Niel dan aku hanya mampu menangis histeris.
Sebulan setelah ibu
pergi, aku dititipkan ayah kepada pamanku di Jakarta. Aku masuk sekolah yang
sangat berbeda suasananya dengan sekolahku sebelumnya. Aku menjadi gadis pendiam,
dan tidak banyak teman yang dekat denganku. Dalam kondisi begitu Violet
mengirimiku kabar mau datang ke Jakarta. Tentu aku senang akan ketemu dengan
sahabat dekatku. Sesuai janjinya dia datang ke rumah pamanku membawa mobil.
Aku, Niel dan Lukas anak paman diajak Violet bersama dalam mobilnya. Kami
putar-putar kota Jakarta dan berbicara banyak hal. Aku sangat senang. Violet
sepertinya sangat bahagia. Dia seperti menaruh hati kepada Lukas. Aku tahu dari
caranya berbicara. Sejak itu aku sering berkomunikasi dengan Violet, sekedar
menanyakan kabar dan lainnya.
Tiba-tiba saja, saat
aku berangkat ke sekolah, sebuah motor yang melaju cepat menabrakku. Aku tidak
tahu persis kronologisnya. Tahu-tahu aku sudah tergeletak di rumah sakit. Saat
kubuka mataku, aku melihat ayah telah disampingku. Meskipun samar, aku bisa
melihat ayah menangis saat itu. Aku dipeluknya. Tentu aku sangat terharu
karenanya. Aku menangis. Ternyata ayah sangat mengkhawatirkanku. Mendengar aku
tertabrak motor, ayah langsung ke Jakarta. Ayah setiap hari menemaniku di rumah
sakit.
Hampir dua minggu aku
opname. Setelah boleh pulang, ayah mengajakku kembali ke Bandung. Aku dan Niel
dibawa oleh ayah kembali ke Bandung. Rumah kami bersihkan bertiga. Kami makan
bersama, bercanda bersama, tertawa bersama. Aku menemukan kebahagiaan di dalam
keluargaku. Lebih berbahagia lagi ketika aku masuk sekolah yang sama dengan
Violet. Bahkan aku sekelas dengannya. Aku merasa Tuhan telah memberiku lebih
dari yang kuharapkan. Meskipun itu butuh waktu. Memang semua butuh waktu.(*)
**************************************************************************
TELAGA
NGERONG
Achmad
Nasta’in (Lamongan Jawa Timur)
Musim kemarau panjang
telah tiba. Penduduk di desa Perengan sekitar lereng gunung yang kekurangan
air. Mereka telah mencari air di mana-mana tidak menemukan air setetespun. Desa
tersebut mengalami kekeringan. Mereka tidak dapat menanam, karena setia yang
ditanam layu kemudian mati. Manusia juga mulai ada yang mati karena kekurangan
pangan.
Salah satu penduduk di
desa itu adalah seorang janda yang sedang hamil tua. Suaminya telah mati, tidak
lama setelah mereka menikah. Janda itu menyusuri jalan setapak berbatu untuk
mencari air. Karena lelah dia istirahat di atas bongkahan batu.
“Ya Tuhan, harus kemana
lagi aku harus mencari air,” ungkapnya penuh doa.
“Nak, kamu tidak akan
mendapatkan air jika Tuhan tidak menghendaki,” tiba-tiba suara kakek muncul
dari belakangnya.
“Kakek siapa?”
“Aku kakek Kerong!”
“Adakah air untukku
kek?”
“Ada, ini,” kakek itu
menunjukkan sebuah tongkat.
“Mana kek? Ini hanyalah
tongkat. Mana airnya?”
“Atas ijinNya, kakek
dapat mengubah tongkat ini menjadi air. Tetapi kakek ada pesan untuk kamu dan
penduduk desa ini. Kakek ingin penduduk desa bersedekah setiap bulan Maulud.”
“Iya kek, nanti saya sampaikan kepada penduduk
desa.”
“Kakek tidak mau
begitu. Kakek mau mereka semua ada di sini untuk menerima pesan itu.”
Janda itu menyerahkan
guci tempat air kepada kakek. Setelah menerima guci itu, tiba-tiba kakek itu
menghilang. Janda itu kemudian menyampaikan pesan kakek misterius itu kepada
penduduk desa. Lewat kepala desa, semua penduduk dikumpulkan. Kepala desa
memukul kentonga. Tak lama kemudian semua penduduk sudah berkumpul di depan
rumah kepala desa.
“Saudara-saudara
sekalian, kita dapat pesan dari kakek Kerong, jika kita ingin mendapatkan air,
kita harus bersedekah setiap bulan Maulud. Apakah saudara semua setuju?”
“Setuju..!”
“Kalau begitu besok
kita berkumpul kembali untuk menemui kakek Kerong di mana ibu ini ketemu
dengannya.”
Esok harinya, penduduk
dipimpin kepala desa dan dipandu janda menuju tempat bertemu kakek Kerong
dengan janda sebelumnya.
“Kakek Kerong, ini aku
sudah bersama penduduk.”
“Bagus-bagus. Kamu
sudah menyampaikan pesan kakek?”
“Sudah kek.”
“Kakek hanya bisa
memohon kepada Tuhan, agar mengabulkan permohonan kalian semua.”
Kakek menggaruk-garuk
tanah dengan tongkatnya. Tak berapa lama mengalir air dari lobang tanah itu.
Awalnya hanya sedikit, lama-lama air muncul dengan deras. Melihat air demikian
melimpah, penduduk menjadi gembira. Mereka segera mengambil air yang lama
mereka cari. Mereka tidak sadar ternyata kakej Kerong sudah tidak lagi ada di
situ. Mereka baru sadar ketika janda itu berteriak “Kakek Kerong hilang!”.
“Kalian semua jangan
lupa dengan pesan kakek!” suara tanpa wujud terdengar sangat jelas.
Sumber air itu kemudian
dipelihara sehingga dapat dimanfaatkan oleh seluruh penduduk. Dengan adanya sumber air itu, kini penduduk
tidak lagi kekurangan air. Mereka sangat terbantu dengan adanya sumber air itu.
Bahkan sumber air itu berkembang menjadi sungai.
“Saudara-saudara,
bagaimana kalau sungai ini kita beri nama?” kata kepala desa.
“Setuju.”
“Karena di sini ada goa
juga, bagaimana kalau kita sebut saja dengan Goa Ngerong.”
Penduduk sepakat dengan
nama itu. Untuk meresmikan nama itu penduduk mengadakan sedekah bumi.
Bertahun-tahun kemudian Goa Ngerong menjadi obyek wisata yang banyak dikunjungi
orang. Penduduk desa Perengan kecamatan Rengel kabupaten Tuban tidak pernah
melupakan pesan kakek Kerong untuk bersedekah setiap bulan Maulud. (*)
***********************************************************************
BAHAGIAKU
SURGA MEREKA SENGSARAKU PILU MEREKA
Amri
Ramadhan ( Sragen Jawa Tengah)
Suatu senja, ketika
matahari mulai tenggelam di ufuk barat pantai Marmara, seorang pemuda duduk
sendirian di kursi kayu tua di ruangan sudut bangunan. Ia hanya menunduk. Dari
sudut matanya meleleh air bening hangat. Lama-lama air mata itu deras mengalir
membasahi wajahnya. Di tangannya tergenggam kertas surat. Entah apa yang
menjadikannya begitu tampak terpukul. Ia baru bangkit ketika terdengar suara
adzan. Pemuda itu menghapus air matanya dan bergegas menuju ke masjid.
Pagi hari, Fajar
menyiapkan dirinya untuyk belajar di OMU (Ondokuz Mayiz Universitesi). Ia tidak
punya cukup waktu untuk sarapan. Selama dalam perjalanan di atas bus dari
Cengiz menuju Samsun, ia masih memeikirkan kondisi keluarganya di tanah air,
Indonesia. Sebuah surat ia terima kemarin yang mengabarkan ibunya sakit, dan
selalu mengigau menyebut dirinya dalam tidurnya. Ia bingung, galau dan gelisah.
Sebentar lagi ujian kelulusan. Bingung untuk memutuskan kembali ke Indonesia
atau menyelesaikan terlebih dahulu ujian. Ia sudah sepenuhnya siap menghadapi
ujian. Namun sebagai anak ia sangat mencemaskan kondisi ibunya.
Malam hari ia
memutuskan untuk bermalam di masjid. Ia mencoba mendekatkan diri kepada Allah.
Ia menangis dan memohon ampunan. Setelah shalat istikharoh, ia memantapkan
pilihan dalam mengambil keputusan.
Esok siangnya, sepulang
dari kampus, ia membeli sebuah kaset. Ia akan merekam suaranya dalam kemudian
mengirimkannya kepada ibunya tercinta. Setiba di kos ia segera merekam suaranya
yang lembut.
Assalamu
alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Apa
kabar Bu? Semoga ibu lekas sembuh. Fajar mau cerita. Selama belajar di sini,
sesuatu selalu terlintas di fikiran Fajar. Sesuatu itu adalah apa yang telah
ibu lakukan sampai sekarang. Ibu telah membopongku ketika dirimu hamil selama
Sembilan bulan. Ibu telah berjuang untuk hidupku dan mempertaruhkan nyawa demi
kelahiranku di dunia ini. Ibu merawatku dengan penuh cinta. Ayah yang
mengajariku dan bekerja keras dengan ikhlas. Keringat ayah dan ibu mengalir
deras sehingga Fajar dapat menikmati hidup detik demi detik, hari demi hari
sepanjang waktu. Akan tetapi apa yang sudah Fajar lakukan sebagai balasan?
Sering Fajar menutup telinga tidak mendengar nasehat ibu. Fajar sering
berbohong demi kepuasan sendiri. Fajar sering melawan jika ayah memarahiku,
bahkan sering mengelurakan kata kasar yang tidak pantas. Tetapi apakah ibu
membenciku? Fajar yakin ibu akan selalu memaafkanku, menyayangiku dalam setiap
waktu. Ibu dan ayah selalu menyebut nama Fajar dalam setiap doa, sehingga Fajar
bisa menjadi seperti sekarang ini. Fajar harap ibu dan ayah dapat melihatku
saat upacara kelulusan. Terimakasih ibu, ayah, Fajar saying ibu dan ayah sampai
akhir hayat. Ini tidak cukup untuyk membalas apa yang telah ibu berikan kepada
Fajar sampai sekarang.
Wassalamu
alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
Anak
ibu tercinta, Fajar
Malam itu Fajar shalat
tahajud dan berdoa, “Ya Allah semoga rekaman itu dapat sampai secepat mungkin,
semoga ibu hamba segera sehat, dan keluarha hamba dilimpahkan kemudahan.” Setelah
itu ia niatkan untuk puasa.
Sambil menunggu adzan
magrib, ia membaca Al Qur’an. Hingga saat adzan ia baru sadar belum memiliki
makanan untuk buka. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu.
“Assalamu alaikum
arkadasim, sahabatku!” Emre memberi salam kepada Fajar.
“Waalaikumsalam wa
rahmatullahi wa barakatuh, Emre. Ne var, ada apa?” jawab Fajar.
“aku ingin bertanya
tentang pelajaran, apakah waktunya luang? Dan ini untukmu!” Emre memberikan
sekantong plastic berisi makanan.
“Ne teasduf, wah tepa
sekali Em! Ayo masuk dulu dan sikat habis bareng-bareng!” Fajar bersemangat.
Lalu mereka makan bersama dilanjutkan shalat maghrib. Setelah shalat mereka
belajar bersama.
Hari berikutnya Emre
mengunjungi Fajar. Mereka belajar bersama. Emre selalu mentraktir Fajar. Mereka
selalu belajar bersama hingga dua hari menjelang ujian. Fajar berdoa, “Ya Allah
hamba berharap keadaan ibu baik, sembuhkan ia dari sakitnya, ampuni dosa ibu
dan ayahku. Tolong bombing hamba dan teman-teman dalam ujian besok ya Allah,
amin.”
Ujian dimuylai hri
Senin hingga Jumat. Fajar menghadapinya dengan sungguh-sungguh. Waktu berjalan
dengan cepat. Hari Jumat hari terakhir ujian. Fajar berencana pamit kepada
teman-teman untuk pulang ke Indonesia. Ia telah membeli tiket pesawat untuk
hari Sabtu pagi.
Matahari terbit
bersinar dari ufuk timur Gunung Ulu. Fajar telah berada di bandara sejak jam
empat pagi, dan pesawat akan lepas landas satu jam kemudian. Ia berdoa semoga
selamat sampai Indonesia dan keluarganya dalam keadaan baik.
Pukul dua siang pesawat
telah mendarat di Indonesia. Tak seorangpun datang menyambutnya di bandara. Ia
langsung menuju kampungnya di Manyaran Wonogiri. Menggunakan bus, jam enam pagi
ia telah sampai di depan rumahnya. Ia terkejut mendapati bendera merah dipasang
di dekat rumahnya. Hatinya tidak enak. Jantungnya terasa berhenti berdetak.
Dilihatnya banyak orang memakai baju hitam di rumahnya. Ia berlari masuk rumah
dan melihat seseorang telah diselimuti kain kafan. Dengan air mata yang
membasahi wajah, dibukanya kain penutup jasad orang yang sangat dicintainya.
Dilihat wajah ibunya sangat tenang dan ada senyum tipis tersungging. Melihat
wajah ibunya, hati Fajar menjadi agak tenang. Setelah membacakan melakukan
shalat jenazah, Fajar membaca beberapa ayat suci. Tak berapa lama kemudian jasad
ibunya dikemumikan.
Selesai upacara
pemakaman, Fajar tertidur karena capainya. Ia melihat ibunya berjalan emndekati
Fajar sambil menggelengkan kepala.
“Tidur, tidurlah yang
nyenyka! Kamu lelahm mengasolah dulu sejenak, Nak!” bisik ibunya.
“Bu, ibu!” Fajar
mengigau.
“Tidurlah yang nyenyak,
istirahatlah, nyamankan dirimu!” kata ibunya.
Fajar menyingkap
selimutnya, turun dari tempat tidurnya, berlutut ke lantai, mencium tangan
ibunya. “Ibu di sini? Dari mana ibu datang? Maafkan aku Bu!” Fajar memohon.
“Ya tentu. Kau tidak
bersalah, Nak. Ibu telah meninggalkan dunia ini. Ibu datang untuk mengatakan
ini. Fajar kamu adalah anak kesanyan ibu. Kehendak Allah tidak dapat diubah
manusia.” Kata ibunya.
“Akan kuingat ibu
selalu! Fajar merasa ibi selalu di dekatku sampai ke dasar sanubariku. Tolong
lihat kesuksesan Fajar ketika nanti memakai pakaian kelulusan, toga dan menjadi
murid terbaik. Tolong hadiri hal itu dulu Bu!” Fajar memohon dengan sangat.
“Ibu selalu
memperhatikanmu, Nak. Ibu bangga atas semua yang telah kamu raih. Ibu sangat
bahagia telah emlahirkan seorang anak yang heba.”
“Tetapi Fajar pikir,
fajar belum membahagiakan ibu. Pakaian kelulusan, toga dan sebaginya tidak
berarti apa-apa daripada cinta ibu.”
“Tidak apa-apa, Nak.
Ibu sudah bahagia jika kamu berguna bagi agama dan bansga. Sekarang ibu harus
pergi. Terimalah restu ibu,” wanita itu meletakkan tangannya di atas kepala
Fajar lalu berpamitan.
“Ah, Ibu! Ibu! Tunggu,
tunggu dulu!” teriak Fajar dalam mimpinya. (*)
**************************************************************
PAK
TUA DAN BECAKNYA
Mahardia
Prihati Yuda (Sumatera Selatan)
Pak Tua adalah seorang
tukang becak. Seluruh hidupnya dihabiskan di atas sadel becak, mengayuh dan
mengayuh untuk member jasa kepada orang yang naik becaknya. Mengantarkan kemana
saja sang pelanggan inginkan, dengan imbalan uang sekedaranya. Tubuhnya
tidaklah perkasa. Pereawakannya malah tergolong kecil untuk ukuran becaknya
atau orang yang menumpang becaknya. Tetapi semangatnya luar biasa untuk
bekerja. MUlai jam enam pagi setelah selesai ibadah, ia telusuri sepanjang
jalan untuk mengantr pelanggannya. Ia akan mengakiri kerja kerasnya itu jam
delaman malam. Para pelanggan sangat suka kepada Pak Tua, karena pribadinya
yang ramah dan senyumnya tak pernah lekang dari wajahnya. Ia tidak mematok
berapa harus membayar. Namun karena sifatnya itu, justru banyak pelanggan yang
member lebih.
Pak Tua tinggal di
gubuk reyot yang nyaris rubuh. Bersama kaum yang hampir sama nasibnya, sesama
tukang becak, pedagang asong dan pemulung. Hanya ada tikar yang sudah
robek-robek untuk alas merebahkan tubuh saat penat. Ruangan begitu sempit,
sehingga ruang itu untuk segala keperluan. Kardus tempat baju yang juga sudah
lusuh teronggok di pojok. Ada lampu teplok yang dinyalakan kala malam untuk
sedikit memberikan penerangan. Pak Tua sendirian tinggal di gubuk reyot itu.
Tak ada sanak saudara yang bersamanya. Orang hanya tahu ia pendatang. Meskipun
begitu banyak orang di sekitaranya yang kemudian menjadi saudaranya. Pak Tua
sangat ringan tangan dalam menolong sesamanya.
Pendapatan yang
diperolehnya seharian menayuh becak, sebenaranya cukup untuk membeli makan dan
pakaian yang layak. Namun ia tidak lakukan itu. Sebagian hasil kerjanya ia
serahkan kepada sebuah yayasan di Palembang yang menyantuni sekitar 300 anak
yatim piatu. Hatinya sangat tersentuh ketika suatu ia baru istirahat setelah
mengantar pelanggannya. Ia menyaksikan seorang bocah lelaki kurus umur 6 tahun
yang menwarkan jasa untuk mengangkat barang seorang ibu yang baru berbelanja.
Tubuh kecil tampak sempoyongan menggendong beban di pundaknya. Dan dengan
gembira ia menerima upah uang receh dari ibu itu. Dengan wajah tengadah ia
bergumam, bersyukur kepada Tuhan. Beberapa kali anak itu memberikan jasa kepada
ibu-ibu. Kemudian dilihatnya bocah itu ke tempat sampah, mengais-ngais dan
mendapatkan sepotong roti yang kotor. Dibersihkannya roti itu kemudian
disantapnya dengan mantap, seolah makanan dari surge.
Pak Tua tercekat
melihat itu. Ia hampiri bocah itu dan memberikan bekal makanan siangnya
kepadanya. Ia heran, mengapa bocah itu tidak membeli makan dari uang yang
diperolehnya.
“Uang yang saya dapat
untuk makan adik-adik saya.” Kata bocah itu.
“Orang tuamu di mana?”
“Saya tidak tahu. Ayah
dan ibuku pemulung. Tetapi sudah sebulan lalu mereka tidak pernah pulang. Saya
harus bekerja mencari makan untuk saya dan adik saya.”
Pak Tua mengajak bocah
itu ke raunahnya. Melihat kondisi rumah dan adik-adiknya yang kurus-kurus,
menjadikan Pak Tua semakin trenyuh. Kondisi lingkungan juga tidak begitu
berbeda. Semua terbelenggu oleh kemiskinan. Pak Tua kemudian membawa bocah itu
dan dua adiknya ke yayasan yang bisa menampung anak yatim piatu. Kepada
pengurus yayasan itu, Pak Tua bilang akan mengantarkan semua penghasilannya
untuk membantu anak-anak miskin itu agar mendapatkan makan dan minum serta
pendidikan yang layak.
Sejak
itulah Pak Tua menghabiskan waktunya untu mengayuh becak. Seluruh pengahsilnya
setelah dipotong sewa gubuk dan membeli tiga nasi bungkus di warung
langganannya, diserahkan semua ke yayasan itu. Ia merasa sangat bahagia
melakukan itu semua. Merupakan kememawan luar biasa bila ia mendapatkan pakaian
rombeng yang layak untuk dipakai dari tempat pembuangan sampah. Ia menagyuh
becak selama 365 hari setahun. Tidak ada hari libur baginya.
“Tidak apa-apa
menderita, yang penting anak-anak itu dapat makan dan bersekolah layak.”
Demikian sudah menjadi tekadnya.
Rutinitas itu dilakukan
terus menerus hingga Pak Tua hampir mencapai umur 90 tahun. Sudah 20 tahun ia
terus menerus memberikan sumbangan kepada yayasan itu setiap hari. Hari itu ia
datang ke yayasan dan menyerahkan uang tabungannya sejumlah 650 ribu rupiah.
“Saya sudah tidak dapat
menyumbang lagi. Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Mungkin ini
sumbnagan terakhir darissaya.” Kata Pak Tua dengan sedih.
Tiga tahun kemudian Pak
Tua mangkat. Pak Tua meninggal di gubuk reyot itu, dan tetap miskin. Meskipun
demikian ia telah seumbangkan tak kurang dari 470 juta rupiah kepada yayasan
yatim piatu. Tidak seorangpun peduli, tidak ada yang menangisi kematiannya,
bahkan mungkin yayasan yatim piatu itu. (*)
*************************************************************
KRISIS
DI BUMI
Fardian
Bimo Aji (Cilacap Jawa Tengah)
Bumi adalah planet yang
indah, yang diciptakan Tuhan beserta isinya. Kita sebagai manusia seharusnya
menjaga dan membuat bumi ini tetap lestari.
Indonesia adalah salah
satu negara di Asia Tenggara yang memiliki lingkungan dan alam yang indah,
gunung yang menjulang, perairannya yang luas dan hutannya lebat. Bahkan
Indonesia dijuluki negara maritim dan bahari.
Negara Indonesi
letaknya sangat strategis di garis katulistiwa sehingga rakyatnya sejahtera.
Penataan alam di
Indonesia dimulai sejak dini dengan menanamkan pendidikan bagi para pelajar
tentang arti penting menjaga kelestarian alam. Contohnya dengan diadakan
kegiatan pramuka. Pramuka menanamkan perilaku-perilaku terpuji. Contohnya
bersedekah dan perbuatan sosial lainnya. Berdarma wisata juga sangat baik
karena kita dapat mengenal banyak hewan dan tumbuhan di daerah-daerah yang
masih asli keindahan alamnya agar cikal bakal bangsa Indonesia bisa menyadari
betapa besar anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia.
Memang kebanyakan
manusia hanya bisa merusak, mengambil dan tidak memperbaikinya kembali. Di Indonesia sangat banyak pembalakan liar,
penangkapan hewan-hewan langka. Oleh sebab itu kita sebagai warga negara yang
baik harus selalu menjaga dan memperbaiki kerusakan alam. Contohnya menanam
pohon, mengurangi polusi udara dan membuang sampah pada tempatnya.
Bumi juga punya hati
dan perasaan. Jika bumi disakiti, bumi juga akan marah dan mengganggu kehidupan
manusia. Contohnya, karena PT Lapindo mengebor minyak terlalu dalam, sampai
menjebol lapisan bumi yang dalam sehingga keluar lumpur yang sangat banyak.
Lumpur itu menenggelamkan jalan-jalan di Sidoarjo bahkan banyak desa yang
tenggelam, hilang dari peta.
Di tengah situasi dunia
yang semakin panas, terjadi peperangan di mana-mana. Banyak negara mengalami
konflik karena perebutan kekuasaan. Presiden Mesir berhadapan dengan rakyatnya
karena tidak mau turun dari jabatannya. Banyak bangunan dan benda-benda
bersejarah dijarah bahkan dihancurkan. Korban jiwa juga berjatuhan. Banyak
warga negara Indonesia yang dipulangkan atau dipindahkan ke negara lain.
Korupsi di Indonesia
masih merajalela. Gayus Tambunan dipenjara kerena kasus korupsi. Namun karena
uangnya banyak dia bisa keluar penjara untuk melihat pertandingan tenis di
Bali. Meski Indonesia adalah negara hukum ternyata hukum bisa dibeli.
Jakarta adalah ibu kota
Indonesia, yang juga disebut dengan kota metropolitan. Tetapi sayang masyarakat
di sana bukannya makmur tetapi malah tertindas dengan kondisi ekonominya.
Memang ada banyak yang makmur dan menjadi pengusaha, tetapi lebih banyak lagi
yang hidup sengsara, banyak yang menjadi pemulung, pengemis atau pengamen yang
tinggal di kolong jembatan, bantaran sungai, di pinggir rel kereta api dengan
rumah-rumah dari kardus. Kondisi itu sangat berbahaya bagi keselamatan mereka.
Jika sungai meluap mereka akan hanyut terbawa air. Itulah Jakarta yang tidak
peduli dengan kondisi rakyatnya.
Banjir menjadi bencana
langganan Indonesia. Tiap tahun banjir menghantui rakyat Indonesia. Air
dimana-mana, rumah-rumah tenggelam, banyak yang terkena penyakit diare, kudis,
gatal, batuk dan lainnya. Banjir akibat ulah manusia sendiri yang sembarangan
dan tidak peduli dengan alam. Membuang sampah sembarangan, memenuhi tanah dengan
bangunan sehingga air tidak dapat teresap dengan baik ke tanah.
Kemacetan adalah
masalah yang sangat sulit diantisipasi oleh pemerintah. Jakarta hampir setiap
hari macet. Meskipun sudah banyak cara dilakukan tetapi tidak mampu
menyelesaikan masalah. Dibuatkan jalan tol, mengatur jam kerja dan jam sekolah,
tetapi solusi itu selalu gagal. Bahkan tahun 2014 Jakarta diramalkan akan macet
total dan tidak ada lagi kendaraan yang bisa bergerak.
Gunung meletus menjadi
ancaman juga bagi Indonesia. Merapi, Bromo dan yang lain. Bahkan Merapi hingga
kini masih mengancam dengan lahar dingin yang berbahaya bagi manusia. Tanah
longsor karena gundulnya hutan menjadi ancaman bagi rakyat Indonesia. Karena
itu kita harus menanam pohon agar Indonesia tetap hijau, sehingga banjir dan
longsor bisa dicegah.
Ozon di bumi ini memang
makin menipis dan bisa membahayakan manusia di bumi. Sinar ultraviolet yang
langsung mengenai manusia akan membahayakan kulit dan mata.
Mari kita berdoa agar
dunia ini tetap setabil dan alam Indonesia tidak rusak dan kekacauan di bumi
ini segera dihentikan. (*)
*****************************************************************
SAYA,
BIASA DAN LUAR BIASA
Landia
Rani Astiti (Wonosobo Jawa Tengah)
Saya, seorang anak yang
biasa-biasa saja. Pernah merasakan betapa susahnya hidup dalam kekurangan dan
bagaimana rasanya ketika hidup berkecukupan. Merasakan mempunyai teman,
kehilangan teman dan bersosialisasi dalam kehidupan dengan dengan manusia lain.
Kehidupanku juga biasa saja, seperti layaknya orang-orang lain di permukaan
bumi ini.
Di sekolah, aku adalah
siswa biasa. Di rumah aku adalah sewajarnya seorang anak, di desa akupun biasa
saja. Ya, semua serba biasa tentang aku ini.
Seorang temanku, ketika
penilaian berpidato di depan kelas, dia begitu fasih berbicara. Seisi kelas
terkagum-kagum karenanya. Beberapa hari kemudian ketika bu guru menyuruh kami
membuat sebuah karangan, salah seorang temanku mengarang dengan sangat indah.
Ceritanya begitu merasuk dalam hati kami semua. Karangan selanjutnya selalu membuat
kami terpukau. Ketika semua siswa berpikir keras menyelesaikan satu soal
matematika hingga hampir menghabiskan jam pelajaran matematika. Dalam
detik-detik penghabisan itu, tepat seorang temanku mampu menyelesaikannya.
Sungguh tak diduga, jawabannya benar dengan cara-cara yang tepat. Padahal, kami
semua tahu, guru matematika kami telah mengatakan soal itu sangat sulit
dibanding soal biasa. Satu komentar kami, “wah” untuknya.
Hari ini, aku melihat
di telivisi, seorang penyandang cacat berpendapatan ribuan dollar dari bisnis
melalui internet. Sungguh, dia sangat luar biasa, aku yang melihat saja serasa
melayang-layang membayangkan banyak hal. Bagaimana dengan diri orang itu
sendiri ya? Bagaimana rasanya?
Beberapa temanku juga,
mereka tak lagi anak biasa sepertiku. Mereka bisa melakukan itu semua, hal yang
cukup luar biasa bagi seisi kelas. Seperti apa ya perasaan mereka? Ah,
entahlah..
Kini aku bukan anak
biasa. Tetapi, remaja bisa. Kata biasa masih melekat pada diriku. Semakin
bertambah usiaku, entah mengapa aku selalu memikirkan “biasa, biasa, dan
biasa…”. Sampai di malam yang dingin ini, kuambil baju hangat di lemari dan
ketika menutup lemari, mataku melirik cermin lemari pakaian tadi. Lama aku
bercermin dan tersadar, selama ini aku terlalu banyak melihat orang lain,
diriku sendiri lupa untuk dilihat. Ternyata aku masih biasa dan mulai tumbuh
menjadi luar biasa buat mereka.
Sekarang aku mampu
mengatakan, dan seringkali ketika seseorang memandang dirinya sendiri dan
kemudian melakukan hal luar biasa, dia baru tahu kalau ada emas dalam dirinya.
Yang sungguh amat mahalnya dari pada emas di tambang-tambang.
Aku mampu menjadi luar
biasa, kumampu melakukan lebih dari yang orang bisa lakukan. Kuyakin setiap
orang pasti tahu, perlu pengorbanan atas berbagai kesulitan. Namun jiwa
pemberani dan pantang menyerahlah yang bisa melewati semuanya, apapun itu.
Beberapa temanku itu,
sebelumnya adalah seorang anak biasa yang dalam perjalanannya kemudian menjadi
luar biasa. Nah, dari sini aku menyadari bahwa orang-orang biasa selalu punya
potensi untuk menjadi “luar biasa” yang positif tentu saja. Mereka bisa
melakukannya, karena mereka dekat dengan hidupnya sendiri dan juga asal
dirinya.
Satu hal penting yang
patut kuingat : dulu mereka adalah orang biasa. Berada di posisi biasa, tanpa
tantangan dan hidup statis. Namun, merubah hidup yang statis adalah tantangan.
Banyak dari mereka yang luar biasa berasal dari jiwa seorang yang biasa. Orang
yang biasa adalah bakal calon seorang yang luar biasa. Jadi, aku adalah calon
orang luar biasa. Telah kurangkai jalanku, dan saatnya aku melewatinya. Akan kutemukan
di ujung sana, seperti apakah aku jadinya.(*)
*************************************************************
HUKUM
KARMA CINTA
Ankaa
Rafflesia Andhini (Blora Jawa Tengah)
Di suatu malam minggu,
aku yang sedang melamun sambil menulis puisi, seperti malam minggu sebelumnya
aku selalu sendiri. Aku jadi ingat waktu awal pindah ke Blora dan bingung mau
neneruskan ke sekolah SMA mana.
“Bu, gimana ini? Aku
mau di sekolah di mana?” tanyaku.
“Ibu sendiri juga
bingung!”
Ketika itu aku dan ibu
kebingungan, untuk aku sekolah di mana. Padahal nilaiku cukup tinggi di Jepon, yaitu
36,15. Rencana semula mau masuk SMA 1 Blora, namun tidak bisa. Seleksi masuk
sekolah favorit itu dilakukan sebelum ujian nasional SMP.
Aku memutuskan sekolah
di SMA 1 Jepon. Tidak kuduga ternyata aku mendapat peringkat parallel 1. Ketika
masuk sekolah aku berkenalan dengan seorang cewek yang duduknya satu bangku
denganku. Namanya Amel.
“Hai, nama kamu siapa?
Dan kamu dari SMP mana?” tanyaku pada Amel.
“Namaku Amel, dari SMP
1 Jepon. Kalau kamu?”
“Aku Antares dari SMP 3
Tuban!”
“Oh kamu yang namanya Antares,
yang dapat parallel 1 tow? Selamat ya!”
Setelah beberapa hari
masuk sekolah, aku mulai banyak memiliki kenalan. Statusku saat itu masih
pacaran dengan Alif. Dia wanita hebat. Sudah ditinggal ayah dan ibunya sejak
TK. Meskipun sudah yatim piatu namun Alif mampu tegar menjalani hidup. Suatu
ketika aku ingin memutuskan hubungan dengan Alif karena ingin serius belajar di
Blora. Aku menelponnya untuk menyampaikan niatku.
“Yank, aku sebelumnya
minta maaf. Mulai saat ini kita cukup bersahabat saja ya. Aku mau fokus,
konsentrasi belajar di Blora.”
“Tetapi kenapa Yank?
Apa salahku? Aku benar tulus mencintaimu. Kamu yang membuatku semangat
menjalani hidup!” Alif menjawab sambil menangis.
Tiba-tiba HP mati. Setelah
itu Fransiska, sahabat Alif telpon.
“Alif kamu apain kok nangis?”
“Gimana ya, sebenaranya
aku tidak tega, tetapi aku mau konsentrasi belajar!”
Suatu kali Novia,
sahabat Alif juga telpon.
“Heh, brengsek lo ya,
mutusin Alif. Gue gak rela Alif lo bikin nangis. Kampret lo!”
“Pliss, ngertiin aku,”
pintaku.
“Trus yang mau ngertiin
Alif siapa? Awas lo kalau lo ke Tuban, gue bikin gak hidup!”
Hari berlalu. Akibat
memutuskan hubungan dengan Alif masih berlanjut. Kakaknya Alif telpon aku.
“Dik, kenapa Alif dari
kemarin nangis terus dan nggak mau makan?”
“Maaf kak, aku mau fokus
sekolah dulu, maka hubunganku dengan Alif putus dulu!”
“Tapi kasihan Alif, dia
sangat sayang kamu. Sejak pacaran dengan kamu semangat hidupnya kuat.”
“Ya kak, aku tau.
Tolong bantu aku njelasin ke Alif. Aku akan selalu merhatiin dia.”
“Janji ya!”
Sejak itu aku jadi
khawatir memikirkan Alif. Kekhawatiranku terus bertambah. Aku merasa sudah
berbuat jahat kepada Alif. Hingga malam aku tidak bisa tidur. Aku gelisah.
Setelah minum obat tidur 3 butir aku baru bisa tertidur.
Waktu terus berlalu. Aku
sudah bisa melupakan Alif. Hidupku hanya sekolah, belajar, tidur. Aku tidak
banyak keluar rumah. Rasanya hidup sepi.
Waktu ujian mid
semester nilaiku kurang begitu bagus. Aku hanya dapat rangking 2. Aku malu
karena aku adalah peringkat 1 paralel. Aku memotivasi diriku untuk lebih baik.
Hal itu dipacu oleh salah satu cewek di kelasku, Fani namanya. Ternyata aku
diam-diam jatuh cinta padanya. Dia yang membuatku bersemangat berangkat sekolah
pagi-pagi. Awalnya dia cuek saja. Namun lama-lama, karena aku selalu
memperhatikan dia, akhirnya luluh juga.
Pada suatu malam, Fani
SMS ke HPku. Aku kemudian telpon balik Fani.
“Hai selamat malam!”
“Malam juga.”
“Fan, aku mau jujur
kepadamu. Aku benar-benar suka dan sayang padamu. Maukah kamu menjadi pacarku?”
“Aku juga suka sama
kamu. Aku mau!”
Sejak itu aku dan Fani
resmi pacaran. Kami saling memotivasi untuk lebih giat belajar. Terbukti pada
ujian semester 1 aku mampu meraih peringkat 1 di kelas, dan peringkat 3
paralel. Sedangkan Fani mendapatkan peringkat 5.
Setelah penerimaan
rapor, sekolah libur selama 2 minggu. Aku berlibur ke Semarang dan bertemu
dengan teman-teman lama. Selesai liburan aku kembali ke Blora siap-siap masuk
sekolah lagi. Tiba-tiba Fani telpon malam-malam itu.
“Ada apa Fan?”
“Aku minta kita putus!”
“Kenapa, apa salahku?”
“Gak ada yang salah.
Aku merasa tidak nyaman saja dengan kamu!”
“Kamu kok tega banget
sama aku. Apa tidak boleh sama orang tuamu?”
“Iya. Aku takut, karena
SMSmu kemarin itu dibaca adikku dan dilaporkn ke ayahku. Maka kita putus saja.”
Aku sakit hati banget
diputus oleh Fani begitu saja. Rasa sakit itu terus terasa dan tidak hilang
begitu saja. Aku tumpahkan sakit hatiku dalam bentuk puisi. Aku jadi berpikir,
apakah dulu Alif juga merasa sakit seperti ini? Apakah ini yang disebut karma?
Aku telah menyakiti Alif, kini aku yang ganti tersakiti. Aku mendapatkan karma
karena cinta. (*)
*********************************************************
BOLA
BASKET CINTAKU
Anatalia
Dwi A (Blora Jawa Tengah)
Kisah ini berawal ketika aku beranjak dewasa.
Aku mulai sedikit mengerti makna kehidupan yang sebenarnya. Awalnya yang
kupikirkan hanya kesenangan-kesenangan saja, tanpa berpikir sedikitpun tentang
rintangan hidup. Ternyata baru kusadari sekarang asam pahitnya kehidupanku,
yang awalnya hanya seorang murid biasa yang tidak pernah menonjolkan kelebihannya
di muka umum seperti murid-murid yang lain. Mereka selalu berlomba mencari
perhatian orang lain dengan cara positif, tetapi banyak juga dengan cara-cara
yang negative. Entahlah, aku tidak mau ambil pusing tentang itu semua, aku
tidak peduli. Teman-temanku sering mengatakan kalau aku cuek. Memang aku punya
dunia sendiri yang tidak bisa dimasuki oleh mereka. Keluargaku juga beranggapan
sama dengan teman-temanku. Aku hanya ingin dimengerti, bahwa yang mereka duga
sesungguhnya tidaklah benar adanya. Hingga suatu ketika aku mengenal makhluk
Tuhan yang disebut dengan laki-laki.
Ketika aku duduk di
kelas 3 SMP, aku masuk kelas 3A, kelas yang diinginkan oleh banyak murid di
sekolahku, karena kelas 3A adalah kelasnya murid-murid yang pintar dan menonjol
prestasinya.. Aku sendiri heran bisa masuk kelas 3A, karena aku merasa bukanlah
murid yang pandai.
Hari Senin, guruku
menyuruh semua murid ke lapangan untuk upacara. Padahal selama ini di sekolahku
upacara hanya diadakan pada waktu hari-hari besar saja, tidak rutin setiap hari
Senin seperti sekolah yang lain. Banyak teman-teman yang menggerutu disuruh
upacara yang tidak biasanya itu. Selesai upacara dijelaskan oleh kepala sekolah
bahwa sejak hari ini, setiap hari Senin diadakan upacara pengibaran bendera. Hal
ini karena ada edaran dari bupati yang baru, yang mewajibkan semua sekolah
melakukan upacara setiap hari Senin.
Menjelang Ujian Akhir
Nasional (UAN) aku bertemu dengan seorang laki-laki. Dika namanya. Dia lebih
tua dariku, sudah kelas 3 SMA. Aku tidak tahu mengapa sejak pertemuan itu
hatiku jadi tidak menentu. Ketika bertemu lagi dan mengobrol dengannya aku
selalu gugup, keringat dingin mengucur dan menjadi salah tingkah karenanya.
Karena lebih tua ia lebih sering memberiku nasihat. Dari situlah aku mulai belajar
mengenal hidup dan mulai peduli dengan lingkungan sekitarku. Aku yang
sebelumnya sangat cuek, bisa berubah. Perubahan tabiatku membuat teman-temanku,
guru dan juga keluarga menjadi heran.
Tiga bulan menjelang UAN pelatih basketku
mengatakan akan ada Pekan Olah Raga Pemuda Daerah (POPDA). Dia memberoku target
bisa masuk tim basket POPDA. Aku tidak tahu mengapa pelatih membebaniku target
begitu. Padahal aku baru ikut kegiatan ekstra basket belum lama. Kata pelatih
aku memiliki bakat yang besar di bidang basket. Jika diasah dan dilatih akan
menjadi pemain yang bagus. Aku bingung. Sebentar lagi UAN, dan aku harus lulus.
Sementara juga ada latihan basket untuk seleksi masuk tim basket POPDA. Orang
tuaku menyuruh aku tidak usah ikut basket. Aku harus lulus biar tidak memalukan
keluarga. Tetapi aku mengambil sikap untuk ikut seleksi POPDA sambil tetap
belajara menghadapi UAN.
Seleksi untuk masuk tim
basket berlangsung sangat ketat. Aku harus bersaing dengan pemain basket
terbaik dari sekolah-sekolah lain untuk bisa masuk tim basket yang mewakili
daerah dalam ajang POPDA. Pada saat seleksi itu, aku merasakan ada perubahan
sikap dari teman-teman, guru-guru dan keluargaku kepadaku. Mereka mulai
mengerti bagaimana aku. Guru-guru malah menjadikan aku sebagai contoh untuk
murid-murid lain. Orang tuaku mulai membanding-bandingkanku dengan
kakak-kakakku. Pada saat seperti itu Dika menyatakan cinta kepadaku. Namun
kutolak cintanya. Aku masih sakit saat melihatnya bergandengan mesra dengan
cewek lain. Ternyata saat aku dekat dengannya, Dika sudah memiliki kekasih.
Ketika putus dengan kekasihnya itu, Dika kemudian menyatakan cintanya kepadaku.
Sikap yang membuatku muak dan benci sekali.
Seminggu menjelang UAN,
aku sangat cemas. Jujur saja aku khwatir tidak lulus. Kukemasi kumpulan
soal-oal try out yang kumiliki. Aku juga
membeli buku detik-detik matematika. Wali kelasku tersenyum saat melihat aku
membeli buku itu. Dengan penuh semangat kukerjakan kumpulan soal-soal itu. Aku
yakin dengan upayaku. Saat pelaksaan UAN tiba, tidak lupa aku minta doa kepada
orang tua. Aku berusaha sekuat tenaga menjawab soal-soal yang menentukan
kelulusanku itu. Akhirnya hari-hari yang menegangkan itu terlewat. Aku sudah
berusaha maksimal. Aku tidak tahu bagaimana nasibku. Lulus atau tidak kuserahkan
pada yang Kuasa.
Saat hari penentuan
kelulusan, aku sedang menyetrika baju. Aku belum mandi, baru cuci muka dan gosok
gigi. Tiba-tiba ada SMS dari pelatih basketku : kalau lulus kamu mau apa? SMS itu kubalas : mau lari dari rumah ke sekolah. Ada balasan SMS dari pelatih basket
: ya sudah sekarang kamu lari saja ke
sekolah. Tanpa pikir panjang, aku segera keluar rumah dan berlari ke
sekolah. Jarak sekolah dari rumahku lebih dari 3 kilo meter. Aku tidak peduli
saat itu belum mandi. Aku berlari kencang ke sekolah. Saat sampai di sekolah,
aku segera menuju papan pengumuman. Dari kertas yang ditempel nama-nama yang
lulus, namaku ada di situ. Tentu aku sangat bahagia melihatnya. Segera kutelpon
orang tuaku, dengan bangga kusampaikan kalau aku lulus.
Setelah pengumuman itu,
kami semua kelas 3 mengadakan tour wisata ke Surabaya. Dalam bus kami bercanda
ria. Meskipun semua tertawa, namun ada perasaan galau di dalam hati, karena
setelah ini harus berpisah. Tiga tahun bersama di SMP, untuk kemudian
melanjutkan sekolah tingkat atas. Namun kenangan indah saat bersekolah tidak
akan pernah terlupakan.
Hari pertama masuk SMA,
masih dalam masa orientasi. Pada masa orientasi itu, aku melihat laki-laki yang
membuat hatiku merasa bergetar. Dia di SMA lain tidak satu sekolah denganku.
Kebetulan, Kris temanku sekelas saat SMP satu kelas dengan laki-laki itu di
sekolah barunya. Pada suatu kesempatan aku bertemu dengan Kris sedang bersama
laki-laki itu. Oleh Kris aku dikenalkan dengannya. Namanya Andry. Sejak
perkenalan itu, aku dan Andry mulai ada komunikasi. Saling telpon atau minimal
SMS. Saat sudah merasa dekat, aku nekat menyampaikan cintaku padanya. Aku pede
saja saat itu. Ternyata Andry sudah memiliki pacar, teman satu sekolah
dengannya. Aku malu, hati perih rasanya. Aku tidak tahu hal itu. Sejak itu
hubunganku dengan Andry menjadi renggang. Namun setelah agak lama menjauh,
Andry malah sering kirim SMS. Dia curhat masalah hubungan dengan kekasihnya.
Aku yang pernah merasa sayang padanya, sekarang menganggapnya hanya sebagai teman
saja. Dari curhat itu, aku tahu hubungan Andry dengan pacarnya sudah diambang
putus. Akhirnya memang pacaran itu putus di tengah jalan. Aku sedih, namun juga
senang. Karena memang sebenarnya aku masih memendam rasa sayang padanya.
Sejak itu, aku dan Andry
mulai dekat lagi. Tetapi aku tidak mau mengulang peristiwa yang sudah lalu.
Meski aku ingin sekali, namun aku tidak banyak berharap. Aku hanya menunggu
saja sikap Andry kepadaku. Mudah-mudahan saja Andry juga memiliki rasa suka
kepadaku. Hingga akhirnya pada pergantian malam tahun baru, Andry menyatakan
cinta kepadaku. Tentu aku bahagia, dan menerima cintanya. (*)
****************************************************************
PETAKA
ROKOK
Sukron
Jayadi (Daser Kalimantan Timur)
Siang itu, seusai pulang
sekolah, aku dan teman-teman sekolahku berkumpul di salah satu warung makan
langganan kami. Setiap pulang sekolah, kami biasa menghabiskan waktu di warung
itu. Biasanya sahabatku Andrian yang mentraktir. Tetapi saat itu dia sedang
rapat OSIS, jadi dia tidak ikut gabung. Namun aku tenang saja, karena waktu itu
aku memiliki cukup uang. Selesai makan di warung, kami tidak langsung pulang,
namun beranjak menuju gedung tua di sebelah sekolah. Di tempat itu, kami kemudian
menghisap puntung rokok bersama sambil bercanda ria.
Aku mulai mengenal
rokok sejak sebulan lalu. Aldi, adalah teman yang mengenalkan rokok pertama
kali kepadaku.Awalnya aku tidak mau, namun bujukan Aldi mampu membuatku
penasaran. Akhirnya aku mencoba satu dua hisapan. Rasanya aneh, dan aku
langsung butuk-batuk. Namun pada hisapan selanjutnya, aku sudah tidak batuk
lagi. Sejak itu aku mulai biasa menghisap rokok.
“Mau coba rokok baru?”
tanya Aldi kepadaku.
“Wah, sepertinya enak,”
jawabku.
“Tapi ini lebih keras.
Kalau tidak kuat bisa bikin kamu klenger,”jelas Aldi.
Ternyata rokok baru
Aldi terasa enak. Ada rasa yang berbeda di tenggorakan. Tanpa kami sadari sudah
banyak batang yang kami hisap dan terbakar. Karena disertai dengan canda tawa,
kami jadi sering lupa waktu.
Saat kami masih asyik
dengan rokok-rokok itu, Adrian datang menghampiri. Adrian adalah temanku sejak
kecil, juga temanku sekolah dari SD, SMP hingga kini di SMA. Meski teman dekat,
namun aku beberapa hari belakangan kesal dengan dia, karena dia selalu
memberiku ceramah dan protes keras jika aku merokok. Dia tidak merokok dan
tidak setuju aku merokok. Namun karena aku nekat dia tidak lagi
mempermasalahkan. Bahkan saat dia kuminta untuk tidak bilang kepada siapa-siapa
tentang hal itu, dia juga tidak keberatan.
“Sudah selesai rapatnya
Yan?” tanyaku padanya.
“Sudah. Tadi aku ke
warung, kamu tidak ada. Katanya kamu dan teman-teman berjalan ke arah sini.
Jadi aku langsung saja ke sini. Ayo pulang!” ajaknya.
Di perjalanan, dia
kembali memberiku cermah tentang rokok. Namun ceramah itu aku bantah. Bantahan
itu yang membuat Adrian terdiam.
“Kamu sekarang boleh
bilang begitu. Tetapi jika nanti kamu sudah kenal rokok, kamu akan berkata
lain. Lagi pula penyakit itu datangnya dari Tuhan. Banyak orang yang merokok
hidupnya lama dan tetap sehat. Tetapi ada yang sama sekali tidak merokok, namun
tetap sakit-sakitan, bahkan mati tanpa sekalipun merokok.”
Setelah beberapa waktu
dalam suasana hening, karena masing-masing diam, Adrian tiba-tiba bicara dengan
tema lain.
“Kemarin ibuku ketemu
dengan ibuku. Katanya, ibumu akhir-akhir ini sering kehilangan uang. Apa betul
begitu?”
“Ak..aku tidak
tahu,”jawabku agak gelagapan.
“Kok tidak tahu. Memang
ibumu tidak cerita masalah itu?”
“Tidak,” jawabku dengan
harapan Adrian tidak meneruskan pembicaraan itu lagi. Tetapi harapanku sia-sia.
Dia bertanya lagi dan langsung ke inti masalah.
“Kamu tidak ada
kaitannya dengan masalah hilangnya uang ibumu kan?”
“Maksud kamu apa?” aku
tersinggung oleh ucapannya.
“Maaf Ton. Akhir-akhir
ini aku sering melihatmu membeli rokok. Saat di warung juga aku sering lihat
kamu beli macam-macam minuman kaleng. Kan biasanya aku yang traktir,” tegasnya.
“Jadi kamu nuduh aku
yang ngambil uang ibuku?” balasku sengit.
“Bukan begitu
maksudku.”
“Sudahlah, aku malas
ngomong masalah itu. Aku kecewa dengan kamu, Yan!” Aku melangkah cepat
meninggalkannya.
Sampai di rumah, aku
mendengar ibu dan bapak ribut-ribut. Aku segera masuk kamar. Dari kamarku aku
mendengar ibu berusaha menjelaskan masalah uang yang hilang kepada bapak. Namun
sepertinya bapak tidak percaya, uang bisa hilang di dalam rumah.
“Pulang ke rumah, bukannya
mendapatkan sambutan yang menyejukkan, malah dikabari berita yang susah
dipercaya,” kata bapak sambil keluar rumah.
Saat aku keluar kamar,
kulihat ibu hanya menunduk dan kudengar suara isak tangis. Ibuku menangis
karena bapak tidak percaya dengan ucapannya. Aku tidak menyangka ternyata uang
yang hilang itu berefek begitu besar kepada ibu. Bahkan hingga seminggu bapak
belum bisa meredakan amarahnya. Sikap bapak masih dingin. Meski begitu ibuku
tetap memberikan pelayanan seperti biasa kepada bapak. Makanan dan minuman
selalu tersaji. Aku saat itu baru sadar telah membuat hubungan ibu dan bapak
menjadi tidak enak. Itu semua karena rokok. Aku merasa sangat bodoh saat itu.
Waktu di kelas aku
banyak diam. Bel berbunyi tanda masuk jam pelajaran pertama. Namun masih ada kursi
yang kosong. Ternyata Adrian tidak masuk. Saat diabsen, Rio menyampaikan kalau
Adrian sakit dan sedang dirawat di rumah sakit.
Ketika pulang sekolah,
Aldi dan teman yang lain seperti biasa mengajakku ke gedung tua untuk pesta
rokok. Aldi menawarkan rokok baru yang katanya lebih enak dan akan dibagi
cuma-cuma kepada semua. Namun tawarn Aldi kutolak. Aku berniat menengok Adrian
ke rumah sakit.
Tiba di rumah sakit,
aku melihat ibu Adrian sedang menunggui Adrian yang sedang tidur. Ibunya Adrian
menjelaskan, kalau Adrian paru-parunya sakit. Itu akibat asap rokok. Tentu saja
aku heran karena Adrian tidak merokok.
“Adrian menurut dokter
termasuk perokok pasif. Meskipun dia tidak merokok tetapi orang-orang di
sekitarnya yang menyebulkan asap rokok itu yang kemudian masuk ke paru-parunya
hingga membuat rusak. Bibi juga heran, padahal kami semua di rumah tidak ada
yang merokok. Teman-temannya juga bibi lihat tidak ada yang merokok,” jelas
ibunya Adrian panjang lebar.
Keheranan ibunya Adrian
itu membuatku berpikir, bahwa akulah yang menyebabkan Adrian sakit. Selama ini
Adrian hanya dekat denganku yang perokok, yang selalu mensupalinya asap perusak
itu.
“Ton, itu Adrian
bangun!” kata ibunya Adrian.
“Sejak kapan kamu di
sini Ton?” tanya Adrian.
“Baru saja. Bagaimana
keadaanmu?”
“Sudah lumayan. Dua
hari lagi sudah boleh pulang. Hanya disuruh banyak istirahat.”
“Maaf ya Yan. Kamu
begini gara-gara aku,” aku berucap lirih agar tak terdengar ibunya.
“Bukan salahmu Ton. Ini
sudah takdir. Kan sakit itu datangnya dari Tuhan. Kamu kan yang bilang begitu,”
kata Adrian tentu menyindir ucapanku beberapa waktu lalu.
“Ya memang semua dari
Tuhan, tapi aku yang menjadi perantara. Juga masalah uang ibu itu. Aku juga
yang menjadi penyebabnya,” tanpa terasa aku telah nerocos memberikan pengakuan.
“Aku selalu punya
syarat. Kamu kuamaafkan asal kamu tidak lagi merokok. Bagaimana?”
“Ya. Aku berjanji tidak
merokok lagi. Kusadari kini akibat rokok, bapak dan ibuku jadi bertengkar. Kamu
jadi sakit paru-paru. Sedang aku tidak mendapatkan apa-apa dari rokok itu!”
Setelah itu aku dan
Adrian berbincang-bincang lama dan hangat. Aku sudah akrab kembali dengan
Adrian. Memang apa yang diomongkan Adrian semua benar. Tiba-tiba Rio tetangga
Adrian datang. Dia membawa kabar kejadian siang tadi.
“Kalian tahu, gedung
tua sebelah sekolah? Gedung itu baru saja terbakar. Katanya itu akibat puntung
rokok yang masih menyisakan api, yang banyak dibuang di sana. Sekarang sedang diusut
pelakunya oleh polisi.”
Deg. Jantungku rasanya
berhenti. Keringat dinginku meleleh. Wajahku mungkin pucat saat itu. Aku
membayangkan seandainya tadi siang sepulang sekolah aku ikut Aldi ke gedung tua
itu. (*)
********************************************************************
SAMPAI
BAPAK MENUTUP MATA
Aryati
Rahayu ( Blora Jawa Tengah)
Pagi itu cuaca sejuk
dan cerah. Di sana sini masih basah karena hujan yang mengguyur desa Sumber
tadi malam. Pak Harjo membuka pintu kandang yang letaknya tidak jauh dari
rumahnya. Suara hewan-hewan ternak piaraannya langsung menyambut. Diletakkannya
ember berisi pakan ternak yang sudah diaduknya. Setelah memberi makan semua
ternaknya, pak Harjo segera kembali ke rumah untuk bersiap-siap ke pasar. Hari
ini dia akan menjual hasil panen sayur mayur. Ladangnya menghasilkan panen yang
lumayan.
Pak Harjo tinggal
sendirian. Istrinya sudah lama meninggal. Anaknya kuliah di Jakarta. Sebagai
petani sukses kehidupan pak Harjo lebih dari cukup. Meskipun begitu dia tidak
mau kawin lagi. Pak Harjo sudah merasa tua. Dia ingin mengurus ternak dan
ladangnya saja.
Sudah beberapa waktu
anak kesayangannya tidak memberikan kabar. Pak Harjo berpikir anaknya sedang
sibuk kuliah. Fadli hanya pulang setahun sekali saat hari raya saja. Selebihnya
Fadli sama sekali tidak pernah menengok bapaknya yang sendirian di desa. Namun
ketika pak Harjo rindu dengan anaknya itu, perasaannya ia tekan. Pasti anaknya
sedang tekun belajar agar segera lulus dari kuliah.
Baru saja pak Harjo mau
berangkat ke pasar, ada suara yang memanggilnya.
“Pak, tunggu..!”
Samin tetangganya
berlari-lari menuju ke tempat pak Harjo berdiri.
“Ada apa, kok bikin
kaget orang tua?”
“Ini ada surat dari mas
Fadli!” Samin menyerahkan sepucuk surat kepada pak Harjo dan langsung pamitan.
Pak Harjo dengan senang
membuka dan membaca surat dari anaknya yang tersayang. Ternyata isinya hanya
singkat.
Assalamualikum
wrwb.
Pak,
maaf Fadli baru bisa beri kabar. Fadli sedang sibuk kuliah. Fadli butuh uang.
Mohon bapak kirim wesel sepuluh juta. Ditunggu segera. Terimaksih
Wassalamu
alaikum wrwb
Putramu
Fadli.
Selesai membaca surat
itu, pak Harjo mengambil nafas dalam-dalam. Matanya termangu menatap surat itu
dan melipatnya kembali. Hatinya sedih. Pak Harjo berharap Fadli memberi kabar
yang banyak. Apakah dia tidak kangen dengan bapaknya? Apakah dia betul-betul
sibuk dengan kuliahnya? Apakah uang itu begitu mendesak untuk membayar
keperluan kuliahnya? Banyak pertanyaan yang muncul di hati pak Harjo. Namun tak
ada jawaban yang diperolehnya. Meski begitu pak Harjo mengambil keputusan untuk
memenuhi permintaan anaknya. Segera dihidupkan mesin mobil pick up
kesayangannya untuk mengangkut sayur mayur ke pasar. Setelah itu ia akan
mengirim uang kepada Fadli, anak semata wayangnya.
Beberapa hari berlalu
setelah surat dari Fadli datang itu. Uang juga sudah dikirimkan sesuai
permintaan. Hatinya sudah merasa tenang. Dia sudah mampu melupakan kekecewaannya
kepada Fadli tentang suratnya yang hanya pendek. Pak Harjo sudah tenggelam
dalam rutinitas mengurus ternak dan ladangnya. Siang hari sepulang dari ladang,
pak Harjo menyalakan tivi. Pembawa berita sedang menyampaikan berita
penggerebekan oleh polisi terhadap beberapa pemuda yang sedang pesta narkoba.
“Ini jaman edan.
Mestinya pemuda itu belajar dan memikirkan masa depan, ini malah madat.
Rusak,rusak benar jaman ini,” pak Harjo bergumam.
Begitu tivi itu
menayangkan salah satu pelaku pesta narkoba, mata pak Harjo terbelalak,
jantungnya bagai berhenti, tubuhnya kaku.
“Tidak mungkin, tidak
mungkin. Pasti itu bukan dia,” ujarnya.
Tiba-tiba saja pak
Harjo sudah tak sadarkan diri. Tetangga dekat membawa pak Harjo ke rumah sakit.
Tiga hari pak Harjo tidak sadarkan diri. Pak Harjo terkena stroke yang membuat
separo tubuhnya lumpuh, mulutnya miring tidak dapat berbicara. Berita
tertangkapnya Fadli dalam pesta narkoba, membuat pak Harjo terguncang. Tekanan
darahnya tak terbendung dan pecah, membuatnya lumpuh. Anaknya adalah sandaran
hidupnya, setelah istrinya tiada. Namun kekecawaan itu membuatnya tidak lagi
memiliki semangat hidup.
“Duh Gusti, apa dosa
hambamu ini? Anak yang paling hamba sayang dan hamba banggakan telah membuat
kecewa hamba. Hamba merasa gagal menjadi orang tua yang baik. Ampuni hambamu
duh Gusti.”
“Fadli, putra
bapak..Bapak sayang padamu, Nak. Mengapa kamu membuat bapak kecewa? Tidak, Nak.
Bapak tidak akan menyalahkan kamu. Ini salah bapak, tidak mampu mendidikmu.
Bertobatlah anakku. Jalanmu masih panjang. Jangan sia-siakan hidupmu. Bapak sayang
padamu, Nak.”
“Gusti, sekarang hamba berserah padaMu. Hamba
ikhlas kembali ke sisiMu. Tuntunlah anak hamba. Tunjukkanlah ia kepada jalan
yang benar. Asyhadu ala illa ha ilallah wa asyhadu ana Muhammadarrarulullah,”
suara pak Harjo lirih sekali, sebelum memajamkan mata selamanya. Dia sudah
rindu bertemu dengan istrinya (*).
*******************************************************************
DAIRY
DEPRESIKU
Widya
Naurmala (Blora Jawa Tengah)
Blora,
12 Oktober 2009
Ini adalah hari
terburuk dalam hidupku. Hari yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya, saat aku
harus melihat senyum bunda untuk yang terakhir kalinya.
Perceraian ayah dan
bunda membuatku sangat terpukul. Hari-hari suram seolah menantiku di kemudian
hari. Hatiku hancur berkeping-keping, sakit dan perih rasanya.
“Ahmad Prayoga anak
bunda, apapun yang terjadi, bunda akan selalu sayang pada Yoga. Jaga dirimu
baik-baik ya,” kata bunda sambil memelukku.
Aku hanya menangis,
namun tidak bisa berbuat apa-apa. Hatiku remuk. Bunda melepas pelukannya dan
berlalu meninggalkan rumah.
Blora,
12 November 2009
Belum lagi sebulan
bunda meninggalkan rumah, ayahku sudah membawa wanita lain ke rumah.
“Yah, kenapa ayah
setega itu?”
“Ada apa?”
“Belum sebulan, bunda
pergi. Ayah sudah bersama wanita lain. Bagaimana perasaan Bunda jika tahu hal
ini. Ayah juga tidak peduli perasaanku,” aku nerocos marah.
“Anak kecil, tahu apa
kamu? Dan orang yang kau sebut bunda itu, aku sudah tidak peduli!” ucap ayahku
keras.
Mendengar itu, aku
langsung masuk kamar. Aku tidak tahan dengan ucapan ayahku. Ternyata aku sama
sekali tidak dianggap oleh ayahku. Itu berarti aku juga tidak perlu menganggap
ayahku.
Di kamar kepalaku
rasanya pusing sekali. Tanpa sengaja kutemukan pil penenang yang biasa diminum
bundaku. Kini aku tahu mengapa bunda sering minum pil itu. Bunda depresi
menghadapi kelakukan ayahku.
Blora,
12 Desember 2009
Hidupku sekarang
benar-benar berubah. Aku bukan lagi Ahmad Prayoga yang polos. Kini aku menjadi
sosok yang dipenuhi kebencian, tidak peduli, tidak mengenal aturan.
“Apa sebenaranya mau
kamu? Sering bolos, melawan guru, tidak mengerjakan PR. Memang kamu pikir ini
sekolah apa?” bu Ambar wali kelasku marah di depanku. Aku diundang oleh wali
kelas menghadap ke ruangannya.
“Semua guru mengeluhkan
ulahmu. Ibu ingatkan, jika kamu tidak merubah sikapmu, kamu bisa dikeluarkan
dari sekolah ini. Kamu paham Yoga?” ancam bu Ambar.
“Ya!” jawabku singkat.
“Bagus kalau paham.
Sangat disayangkan kalau kamu sekarang seperti ini. Padahal dulu kamu itu murid
yang baik.”
“Tahu apa, ibu tentang
saya?” ucapku kesal.
“Apa?” pekik bu Ambar
sangat kaget.
“Ibu tidak tahu, dan
tidak akan pernah tahu tentang kehidupan saya!” tegasku.
“Yoga, ibu mengerti.
Untuk ukuran murid SMP, masalahmu memang berat. Tetapi ibu yakin, kamu bisa
melewati masalah itu dengan baik.”
Aku langsung berdiri
meninggalkan ruangan bu Ambar, dan langsung keluar dari halaman sekolah. Saat
itu jam sekolah memang sudah selesai. Aku kayuh sepedaku dengan sekuat tenaga.
Tiba-tiba, sepedaku menabrak seseorang perempuan. Sepedaku oleng dan aku
terjatuh.
“Yoga, bangun,” ucap
perempuan yang kutabrak tadi.
“Bella?” gumamku.
“Iya, aku Bella. Kamu
Yoga kan?”
“Kenapa kamu di sini?”
“Aku pindah ke Blora.
Ayahku pindah tugas. Jadi sekarang aku sekolah di Blora. Bagaimana kabarnya om
dan tante?”
Bella adalah temanku
masa kecil. Dia pindah ke Jakarta saat kelas V SD, karena bapaknya pindah tugas
ke sana.
“Kamu kenapa?”
“Aku sekarang tidak
punya keluarga lagi.”
“Maksud kamu apa?”
“Ayah dan bundaku telah
bercerai. Bunda sekarang entah ke mana. Ayahku telah punya keluarga baru. Aku
sekarang tidak punya keluarga.”
Blora,
20 Maret 2010
Aku kaget, saat pulang
ke rumah, ada bunda dan ayah duduk di ruang tamu.
“Yoga!” pekik bunda
sambil merangkulku.
Aku diam saja. Saat ini
aku benci kepada bundaku. Aku lepaskan pelukan bunda, dan pergi dari ruang
tamu.
“Yoga, maafkan Bunda,”
ucap bunda sambil menangis.
“Maaf? Semudah itu
bilang maaf? Aku sudah sangat sakit. Hatiku hancur. Kalian benar-benar membuat
hidupku berantakan. Orang tua yang benar-benar tidak tahu perasaan!” ujarku
dengan penuh amarah.
“Maafkan Bunda, Yoga,”
ucap bunda sambil beusaha memelukku.
Aku segera lari keluar
rumah. Aku tidak mau melihat mereka berdua. Aku sudah benar-benar benci. Aku
berhenti di depan rumah Bella. Tanpa malu aku menangis saat itu.
“Mengapa kamu menangis?”
tanya Bella begitu ia keluar dari rumahnya.
“Bell, bunda datang ke
rumah.”
“Aku tahu kamu pasti
tertekan.”
“Lebih dari itu, sakit
sekali rasanya.”
“Yoga, semua orang
punya sisi gelap dalam hidupnya. Kamu harus dewasa menghadapi masalah ini. Kalau
kamu bersikap bigini kapan selesaianya?” kata Bella.
“Ini mungkin tidak akan
pernah selasai,” kataku putus asa.
“Iya. Masalah ini tidak
akan selesai, kalau kamu bersikap begini. Kamu menyimpan kebencian, memenuhi
dirimu dengan penderitaan. Bagaimanapun kamu membutuhkan orang tua, membutuhkan
kasih sayangnya. Kamu harus berusaha merubah dirimu,” kata Bella lembut.
Mendengarnya aku merasa
agak tenang. Memang sepertinya mudah, namun sungguh berat bagiku untuk
melakukannya. Aku berusaha untuk bersikap lebih dewasa. Aku pulang kembali ke
rumah. Bunda dan ayahku masih di sana.
“Sekarang, sebenaranya
apa yang ayah bunda inginkan dari saya,” kataku dengan datar.
“Maafkan Bunda, Yoga.
Kami sepakat, kalau kamu mau, kamu setelah lulus SMP ikut Bunda ke Bandung,”
kata bunda dengan lembut.
“Sebenarnya, aku ingin
bersama bunda. Namun jika ingat peristiwa yang lalu, aku jadi ragu. Beri aku
waktu,” kataku masih datar.
Bunda kemudian
memberikan kartu nama. Bunda berharap aku memberi kabar setelah aku membuat
keputusan. Setelah itu bunda pergi meninggalkan rumah. Aku masuk kamar tanpa
menghiraukan ayah.
Tak berapa lama, saat
aku keluar rumah, akukembali bertemu dengan Bella. Kuceritakan semua
pembicaraan dengan bundaku. Bella menyimak ceritaku. Sepertinya ia mendukung
aku ikut bunda ke Bandung.
“Di tempat itu, kamu
akan lebih tentram. Kamu tidak akan melihat ayahmu bersama keluarga barunya.
Kamu bisa melupakan, dan menjalani kehidupan baru,” katanya lembut.
“Tunggu.., kalau aku ke
Bandung berarti kita pisah dong?”
Kulihat wajah Bella
berubah. Sepertinya ia juga berat pisah denganku.
“Tetapi kamu harus
bersama dengan keluargamu. Kita kan bisa berhubungan lewat telphon, email atau
surat,” katanya menghibur diri.
Blora,
12 Mei 2010
Hari ini benar-benar
hari yang membingungkan, antara perasaan sedih sekaligus bahagia. Aku bahagia
karena aku lulus, namun sedih harus segera pisah dengan Bella untuk menyusul
tingga bersama bunda di Bandung.
“Selamat ya,
mudah-mudahan kamu senang dan bahagia di Bandung,” tiba-tiba Bella sudah berada
di sampingku.
“Ya, aku sedih harus
pisah denganmu, Bell. Aku pasti akan sangat merindukanmu.”
“Apalagi aku,” ucap
Bella dengan suara sendu.
Blora,
20 Mei 2010
Tepat pukul 06.00, aku
dan bunda sampai di Bandung. Aku sekarang telah berdiri tepat di depan rumah
bunda. Rumah bercat kuning ini terasa sejuk.
“Ayo, Sayang masuk,”
ajak bunda.
Aku masuk dalam rumah
baru dan kehidupan baru. Aku berharap hidupku ke depan lebih baik.
Bandung,
29 Juni 2010
Aku terbaring di rumah
sakit. Aku belakangan ini sering sakit-sakitan. Mulai dari sakit ringan hingga
harus opname, seperti saat ini. Bundaku selalu mendampingiku.
“Yoga, sakit apa,
Bunda?” tanyaku.
“Tidak masalah. Yang
penting sekarang, Yoga selalu dekat Bunda. Sebentar juga sembuh,” jawab bunda
sambil mengelus rambutku. Kurasakan kasih sayang itu mengalir ke seluruh
tubuhku. Kini kusadari betapa arti penting kasih sayang bunda kepadaku. Dalam
sakitku, aku diberikan apa yang selama ini telah hilang. Kasih sayang seorang
ibu kepada anaknya. Rasa sakit itu kini telah tidak ada lagi. Terimakasih
Tuhan. (*)
***********************************************************
TENTANG
PENULIS
Nama : Vinca Dia Kathartika
Pasaribu
Sekolah : SMPN 1 Jember Jawa Timur
Judul : Hikayat Seorang Bocah
Nama : Luisa Leonardo
Sekolah : SMP
Dyatmika Denpasar Bali
Judul : Semua Butuh Waktu
Nama : Achmad Nasta’in
Sekolah : MA Ma’arif 7 Sunan Drajat Paciran
Lamongan Jawa Timur
Judul : Goa Ngerong
Nama : Amri Ramadhan
Sekolah : SMAN Sragen Bilingual Boarding School
Jawa Tengah
Judul : Bahagiaku Surga Mereka
Sengsaraku Pilu Mereka
Nama : Mahardika Prihati Yuda
Sekolah : SMAN 3 Unggulan Kayuagung Sumatera
Selatan
Judul : Pak Tua dan Becaknya
Nama : Fardian Bimo Aji
Sekolah : SMPN 2 Kesugihan Cilacap Jawa Tengah
Judul : Krisis di Bumi
Nama : Landia Rani Astiti
Sekolah : SMAN 1 Wonosobo Jawa Tengah
Judul : Saya, Biasa dan Luar
Biasa
Nama : Ankaa Rafflesia
Andhini
Sekolah : SMAN 2 Blora Jawa Tengah
Judul : Hukum Karma Cinta
Nama : Anatalia Dwi A
Sekolah : SMA Katolik Wijaya Kusuma Blora Jawa
Tengah
Judul : Bola Basket Cintaku
Nama : Sukron Jayadi
Sekolah : SMAN Long Ikis Daser Kalimantan Timur
Judul : Petaka Rokok
Nama : Aryati Rahayu
Sekolah : SMK 2 Blora Jawa Tengah
Judul : Sampai Bapak Menutup
Mata
Nama : Widya Naurmala
Sekolah : SMP di Blora Jawa Tengah
Judul : Diary Depresiku
###########################################################
Dapatkan
tulisan-tulisan yang lain pada posting berikutnya :
“ Kumpulan
Tulisan Terpilih Karya Anak Semua Bangsa Jilid IV “
Semua adalah
persembahan Pataba Press Blora
Pataba ada di
Blora untuk Indonesia dan dunia
Membangun
Masyarakat Indonesia
adalah
Membangun Budaya
Membaca dan Menulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar