Lembar Budaya
B
A R A T A Y U D A
Perang
Haq-Bathil atau Perang Dipaksakan?
Hermawan
Widodo
Beberapa
pertanyaan iseng yang berkaitan dengan baratayuda, belum saya dapatkan
jawabannya baik yang iseng atau serius. Saya yakin pertanyaan-pertanyaan itu
pasti akan dianggap konyol. Pertanyaan dari orang yang tidak mengerti kenthang kimpule cerita baratayuda versi
Jawa. Namun untuk memuaskan keisengan saya, apapun anggapannya, akan saya
terima dengan lapang dada, dan tangan terbuka, demi mendapatkan jawabannya.
·
Bagaimana
hirarki kekuasaan di kahyangan itu?
Yang saya dengar
dari uraian dalang Ki Hadi Sugito saat semalam suntuk mengudara di radio PTDI,
pimpinan tertinggi kahyangan adalah Bethara Guru. Namun dalam berbagai cerita,
Bethara Guru dikisahkan sering berbuat salah. Semar yang yang berani menegurnya.
Bethara Guru hanya tunduk ketika pemomong Pandawa itu marah-marah kepadanya. Demikian
juga Semar akan selalu manthuk-manthuk
di hadapan Hyang Pada Wenang. Siapakah Hyang Pada Wenang ini, diakah sang penguasa
mutlak,yang tak ada lagi kekuasaan di
atasnya?
·
Mengapa
perseteruan harus diselesaikan dengan perang?
Ketika Kresna
menjadi duta untuk menyelesaikan urusan Pandawa dan Kurawa, mengapa sebagai
manusia yang dianggap waskitha, ia
tidak mampu menyelesaikan misi itu dengan win-win
solution? Saya hanya mendengar cerita dari ki dalang, waktu itu antara kubu
Duryudana dan Yudisthira tidak sedang dalam kondisi perang. Duryudana dan bala kurawa
hidup aman di kerajaannya, Yudistira dan saudaranya juga sudah menempati
wilayah merdeka yang aman. Apa yang diperebutkan dalam perang itu? Alangkah
indahnya jika keluarga barata itu bisa hidup rukun damai sejahtera bersama
rakyat di negara masing-masing yang berdaulat.
·
Pendawa
benar, Kurawa salah?
Saya benar-benar
awam tentang miqdar al haq untuk
menimbang kebenaran Pandawa dan Kurawa ini. Jika pihak Kurawa salah, di sana
berdiri Bhisma, tokoh yang bagi saya tidak perlu disangsikan lagi dalam
menegakkan kebenaran. Ada Salya, juga ada Karna dan Durna meski yang ini agak
kontroversi. Juga si bule Baladewa, di
pihak mana dia selama perang berkecamuk?
Kresna pasti berdiri
di belakang Pandawa. Namun dari tokoh ini, saya malah sering mendengar dari
uraian ki dalang strategi-strateginya dalam memenangkan perang. Yang klasik
adalah strategi Kresna membohongi Durna tentang kematian anaknya. Kresna dengan
lihai memasang Gatutkaca untuk menghadapi senjata ampuh Karna. Kresna dengan
sengaja memberitahu titik kelemahan Suyudana, saat Bima duel adu gada dengan
raja Hastina itu. Kresna dengan kesaktiannya menutup matahari, sehingga Arjuna
yang sudah putus asa bisa memenuhi janjinya membunuh musuhnya sebelum matahari
tenggelam. Itu semua adalah strategi licin Kresna dalam perang besar itu. Saya
tidak berani menyebutnya dengan sebagai strategi licik, tetapi jelas kotor, menodai
jiwa perwira yang berani konsekuen dan menjunjung kejujuran.
·
Perang
demi apa-untuk siapa?
Menurut ki
dalang, Kresna harus mengendalikan perang sesuai dengan kitab yang baku,
skenario para dewa. Karenanya tokoh-tokoh yang diyakini bakal mengganggu jalannya
perang sesuai skenario, harus disingkirkan dulu. Ontorejo, Ontoseno dan
Wisanggeni yang super sakti harus mati sebelum perang dimulai. Empunya senjata
nenggala disingkirkan, meski tidak dimatikan. Kresnakah yang berambisi? Atau
dewa-dewa kahyangan yang tidak mau kompromi?
Jalannya
peperangan yang begitu dahsyat sudah dipahami. Tetapi setelah perang usai, yang
terjadi tidaklah seperti semangat ketika memulai. Yudistira tidak lagi
berselera menjadi raja. Dia lebih sedih kehilangan saudara-saudaranya. Dua ibu
yang anak-anaknya berseteru dan saling bunuh, selesai perang justru dengan guyup rukun menyingkir ke dalam hutan
ditemani Widura. Tragis, tak berapa lama kemudian, ketiganya tewas terbakar di
dalam hutan. Tak kalah tragis adalah seluruh nasib kawula Kresna, habis tak tersisa, saling bunuh sesama bangsanya
sendiri.
Untuk apa perang
itu? Sungguh pilu kalau hanya sekedar untuk memenuhi nadzar yang begitu sangar,
keramas dengan darah saudaranya sendiri. Atau alangkah rendahnya makna perang jika
sebatas untuk melampiaskan dendam.
Namun itulah penggalan-penggalan
kisah yang menyisakan pertanyaan saya. Meski ki dalang sudah semalam suntuk
membeberkan ceritanya, jawaban itu tidak saya temukan hingga tancep kayon.
** Hermawan Widodo **
Bakule Kacang “Nyamleng” Kunden Blora
Tidak ada komentar:
Posting Komentar