SIAPA
PUN TAK BERHAK
MERANCANG
NASIBNYA SENDIRI *
Soetarmin
Purwo S. Dono
Saudara
Hermawan Widodo, dalam tulisannya (Kilas Fakta edisi 10 januari 2012)
melontarkan beberapa pertanyaan yang menggelitik saya untuk menjawabnya.
Pertanyaan itu meliputi : - Bagaimanakah hirarki kekuasaan di kahyangan, -
Mengapa perseteruan harus diselesaikan dengan perang, - Apakah Pendawa benar,
Kurawa salah, - Perang baratayuda demi apa, untuk siapa, - Kresnakah yang
berambisi atau para dewa yang tidak mau kompromi.
Hirarki
kekuasaan di kahyangan dikaitkan dengan perang baratayuda jawabannya pada lakon
‘Kresna Gugah’. Pihak Pandawa dan Kurawa telah mendapatkan wahyu atau petunjuk,
siapa saja yang mampu membangunkan Kresna yang berubah wujud menjadi raksasa
dari pertapa tidurnya, maka dialah yang akan menjadi pemenang dalam perang.
Sebenarnya raksasa yang sedang pertapa tidur itu adalah jasmani Kresna.
Sedangkan ruhani/sukmanya masuk ke ruang kerja Bethara Guru dan Bethara Narada.
Sebelum dua dewa ini membuat skenario perang baratayuda, Kresna menyelinap di
bawah meja Bethara Guru. Bethara Guru yang berbicara, sedangkan Bethara Narada
yang mencatatnya. Ketika skenario baru selesai ditulis, dan tinta belum lagi
ditutup, tiba-tiba datang Arjuna menghadap. Melihat kedatangan Arjuna, Kresna
yang berada di bawah meja turut menyambutnya. Maka tumpahlah tinta itu
membasahi skenario perang yang baru saja ditulis. Namun Kresna memiliki
keistimewaan sehingga ia mampu menghafal seluruh skenario itu, sejak awal
hingga akhirnya.
Kresna
bertanya kepada Arjuna, apa permintaannya dalam perang baratayuda ini? Arjuna
menjawab supaya para Pandawa unggul dalam peperangan. Mendengar itu, Kresna
kaget, dan menanyakan kembali, lalu bagaimana dengan anak-anak dari Pandawa.
Arjuna juga mohon anak-anak Pandawa semua selamat. Hal itu tidak mungkin
terjadi karena seorang ksatria hanya boleh berkata sekali, tidak berubah-ubah, sabda ratu tan kena wola-wali.
Perang
baratayuda terjadi atau tidak, kuncinya ada pada Suyudana. Jika Suyudana rela
menyerahkan kerajaan kepada yang memiliki hak, bahkan hanya separonya saja,
maka perang tidak akan terjadi. Kresna sebagai duta resmi Pandawa tidak mampu
menyadarkan Suyudana. Sehingga membuat keputusan, mempertahankan kerajaan dalam
kekuasaannya dengan perang. Setelah Kresna tidak mampu ‘mengalahkan’ Suyudana,
untuk mengembalikan kerajaan kepada Pandawa, Kresna tidak langsung kembali,
namun mengunjungi Kunti, ibu para Pandawa. Kresna mengajak Kunti ke Amarta.
Sebelum pergi ke Amarta, Kunti bertemu dengan Karna, anak hasil hubungan
gelapnya dengan Dewa Surya. Kunti membujuk Karna untuk berpihak dengan Pandawa.
Namun Karna tidak mau karena sudah merasa berhutang budi banyak kepada Kurawa.
Dia merasa memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk membelanya. Meskipun
resikonya harus berhadapan dengan saudara-saudaranya sendiri seibu. Untuk itu
kepada Kunti, Karna berjanji siap mati dalam perang itu untuk kemenangan
Pandawa.
Ketika
perang baratayuda akhirnya terjadi, Karna tanding melawan Arjuna. Karna dapat
dikalahkan oleh Arjuna dengan senjata andalannya Pasopati. Saat lakon ‘Karna
Tanding’ ini, Kresna banyak memberikan wejangan kepada Arjuna. Pelajaran itu
disebut dengan Astha Brata (8 pengajaran).
Dr.
GAJ Hazea dalam tulisannya yang kemudian digubah oleh Mangkudimejo dalam bahasa
Jawa ‘Kawruh Asalipun Ringgit Sarta Gegepokanipun Kaliyan Agami Ing Jaman Kina’
menyebutkan, Prabu Jayabaya berkehendak menggambar para leluhurnya. Setelah
selesai kemudian disebut dengan wayang purwa. Pembuatan gambar dimiripkan para
dewa, para manusia di awal jaman. Hal itu dilakukan kira-kira pada tahun 861
saka atau 1339 masehi. Menurut catatan dari tulisan Jawa kuno menyebutkan
adanya pertunjukan wayang sudah dilakukan pada 400 tahun sebelum masehi. Yaitu
ketika ‘kepercayaan yang dianut sebagian besar bangsa Melayu Plinesia’ belum
tercampur dengan agama Brahma atau Budha. Orang Jawa masih melaksanakan
kepercayaannya sendiri.
Pada
buku Negarakertagama halaman 72 baris 1-5 disebutkan Lohgawe berlayar ke tanah
Jawa mencari orang bernama Ken Arok dengan ciri-ciri tangan panjang melebihi
lututnya, rajah telapak tangan kanannya cakra, kirinya tutup kerang. Lohgawe
menemukannya di desa Taloka. Ketika Raja Dandang Gendhis bersumpah tidak dapat
dikalahkan kecuali oleh Bethara Guru, maka Ken Arok mengambil nama-nama Bethara
Guru disaksikan oleh para pendeta. Namun ketika pengaruh Hindu sudah menurun,
Tuhannya orang Jawa asli kemudian muncul lagi ditempatkan di atas posisi
Tuhannya orang Hindu yaitu Sang Hyang Toga/Sang Hyang Pada Wenang/Sang Hyang
Tunggal. ‘Beliau’ hanya seorang diri, di atas para dewa yang dikepalai oleh
Bathara Guru.
Pada
awalnya, wayang bertangan menyatu dengan tubuh. Namun kemudian berkembang,
wayang kulit memisahkan tangan antara bahu dan lengannya. Kecuali Bethara Guru
saja yang masih memakai tangan dan bahu menyatu dengan tubuhnya. Hal itu
dimaksudkan untuk mengingat karya jaman Mataram pertama.
Demikian
sedikit yang dapat saya sampaikan untuk mencoba menjawab tulisan saudara
Hermawan Widodo. Atas perhatiannya disampaikan terimakasih. Mohon maaf jika
kurang berkenan.
Soetarmin Purwo S. Dono, penulis buku ‘Wedha
Sanyata Seputar Islam’
Tinggal
di Desa Bangkle Kota Blora
*
Dikutip dari judul tulisan Dr. Soesilo Toer, PhD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar