KARATE KANTONG GANDUM
Hermawan Widodo
Sejak
kecil saya sudah senang dengan olah raga beladiri. Alasannya sederhana, yaitu
saya senang melihat orang bisa berkelahi, ciat-ciat dan menang. Nampak gagah,
heroik dan macho, benar-benar laki-laki. Selain itu juga pengaruh dari
film-film adu jotos baik lokal maupun dari luar.
Film
dari luar kebanyakan film Mandarin. Film yang isinya jotosan terus,
sehingga banyak teman yang menjuluki
sebagai film Chino ngamuk. Film laga lokal umumnya dibintangi oleh mantan atlet
beladiri. Yang terkenal adalah Barry Prima, Advent Bangun, George Rudy dan
lainnya. Sedangkan pemeran film Chino ngamuk yang sering saya lihat adalah Liu
Tek Hua yang kemudian jadi Andy Lau, Ti Lung, Chen Lung yang menjadi Jacky
Chan, Samo Hung dan lainnya.
Bruce
Lee sebagai king of kungfu, malah belum pernah saya tonton filmnya di bioskop.
Tahun ‘80an film-film Bruce Lee sudah tidak beredar lagi di bioskop. Saya
melihat aksi bintang film pertama Tiongkok yang mampu menaklukkan Amerika dan
dunia itu di video. Kebetulan rental video cukup lengkap menyediakan film-film
Bruce Lee. Semua film Bruce Lee sudah saya lihat. Dialah idola untuk urusan
jotosan ini.
Selain
pengaruh dari luar, sebenarnya secara genetik saya memiliki darah pendekar. Pak
Tuwo, sebutan untuk mbah dalam keluarga saya, baik dari bapak maupun ibu
merupakan orang-orang yang memiliki skill mumpuni dalam hal adu jotos itu.
Utamanya bapaknya ibu, selain sebagai tokoh ketoprak pada jamannya, dia adalah
seorang pendekar, pelatih pencak silat bahkan memiliki padepokan perguruan
silat dengan murid yang banyak. Nama besarnya sudah sering saya dengar dari
cerita banyak orang. Meskipun sudah cukup berumur Pak Tuwo masih cukup energik.
Badannya masih langsing. Untuk urusan adu jotos, meski sudah dimakan usia, Pak
Tuwo masih ditakuti.
Pernah
suatu ketika adik saya Igun berkelahi dengan temannya. Karena kalah, temannya
itu mengadu kepada bapaknya. Bapaknya kemudian menghadang Igun saat pulang
sekolah dan melakukan intimidasi disertai kekerasan. Igun menangis dan berjalan
pulang. Sampai di rumah ditanya oleh Pak Tuwo. Igun waktu itu memang tinggal
bersama Pak Tuwo, tidak bareng dengan saya dan adik-adik di rumah sendiri. Igun
mengadu kalau habis dihadang oleh bapak temannya yang kemarin berkelahi
dengannya. Dijelaskan oleh Igun, kalau orang itu rumahnya Druwo desa sebelah.
Mendengar itu Pak Tuwo langsung mengambil sepeda, Igun diboncengkan dan
langsung memacu sepeda menuju Druwo.
Sampai
Druwo Pak Tuwo langsung menemui
dukuhnya. Pak dukuh yang sudah mengenal Pak Tuwo tentu kaget melihat kedatangan
Pak Tuwo yang tidak biasanya. Lebih kaget lagi ketika Pak Tuwo minta warganya
yang baru saja memukul Igun dihadirkan mau diajak jotosan sesama orang tua. Di
hadapan Pak Dukuh, Pak Tuwo marah-marah. Melihat kegaduhan itu banyak warga
yang ikut merubung. Dari situ baru diketahui siapa yang baru saja memukul Igun.
Seorang laki-laki masih muda datang membawa belati.
Melihat
itu Pak Tuwo langsung mendamprat ,“Orang tua hanya berani melawan bayi. Sini
kamu, hadapi orang tua ini, kalau sudah bosan hidup!”
Ternyata
orang itu tidak takut, “Saya tidak takut dengan seorang tua bangka!”
Meski
lisannya menyatakan tidak takut, ternyata dia tidak segera menyerang Pak Tuwo.
Dia hanya memainkan belatinya. Belati bergagang hitam itu diputar-putar dengan
tangan kanannya. Saat orang itu akan menyerang Pak Tuwo, justru orang-orang
yang berkerumun itu menjadi ketakutan. Mereka tanpa dikomando mendekati orang
itu dan berusaha meringkusnya.
Mereka
berteriak, “Kamu berani melawan Mbah
Darmo, sakali gebrak modar kamu. Sudah pulang saja, dia bukan tandinganmu!”
Meski
memberikan perlawanan, namun orang itu mampu juga dibawa menjauhi arena.
Setelah
orang itu pergi, Pak Dukuh kemudian meminta maaf atas ulah warganya. Dia mohon
Pak Tuwo tidak meladeni orang itu, biar warga Druwo yang memberikan pelajaran.
Pak Tuwo bisa menerima, namun hatinya masih gonduk juga.
Dengan
tegas dan keras dia bilang ke dukuh itu, “Biar tuwa jika ular welang, bikin mati
sekali gigit!”
Pada
hari yang lain, saat pak Tuwo pulang malam-malam dari Kepuh ke Saman, tanpa
disangka Pak Tuwo dicegat oleh tiga orang di tengah jalan. Begitu melihat ada
yang menghalangi laju sepedanya, Pak Tuwo meminggirkan sepeda itu kemudian
meletakkan di pinggir jalan. Dia datangi tiga orang itu dengan gaya pendekar.
Begitu
mendekat Pak Tuwo langsung menyalak, “Maumu apa menghalangi jalan orang tua?”
Tiga
orang itu kaget saat orang yang dicegatnya justru mendatangainya. Lebih kaget
lagi ternyata yang dicegatnya itu adalah Darmo Dalimun Saman. Mereka langsung
mengkeret.
Dengan
merendah bilang, “Eh mbah Darmo. Dari mana malam-malam Mbah?”
“Dari
mana-dari mana, dengkulmu mlocot!” semprot Pak Tuwo kepada begundal yang
mengahalangi jalannya itu.
Itu
kejadian saat Pak Tuwo sudah berumur tujuh puluh tahunan. Sepak terjang Pak
Tuwo saat masih muda lebih heboh lagi, yang akan saya ceritakan dalam bab
tersendiri. Saat meninggal Pak Tuwo umurnya lebih dari 80 tahun. Meskipun Pak
Tuwo adalah pendekar yang disegani, namun dia tidak mau mengajari, melatih dan
menurunkan ilmu silatnya kepada saya. Padahal saya adalah cucu laki-laki
pertamanya, cucu kesayangannya.
Saya
ikut berlatih beladiri pertama kali, waktu kelas 4 SD. Saat itu ada tetangga
yang umurnya beberapa tahun lebih tua dari saya, Harjiu namanya, biasa
dipanggil Gedud. Dia sudah ikut berlatih karate di Kotagede. Karena baru awal
dan masih sangat bersemangat berlatih, maka dia memiliki rasa pede tinggi
sebagai karateka tingkat Taman Kanak-Kanak.
Baru
beberapa bulan berlatih dia sudah mengajak anak-anak berumur di bawahnya, termasuk saya untuk
dilatih karate. Latihan karate dilakukan di lapangan volley dekat rumah saya.
Lapangan volley yang ada di Kepuh Lor saat itu meminjam kebun milik Mbak Jazim,
bulik saya.
Hari
itu, Sabtu malam Minggu, kami berkumpul di lapangan itu. Cukup banyak yang
ikut sekitar 15 anak, semua
sepantaran saya. Malam itu bulan tidak
menampakkan dirinya. Saya dan anak-anak lain dibariskan dengan jarak sekitar 1
meter. Gedud yang agak kekar itu, kemudian mengajarkan pemanasan. Setelah itu
dia mengajarkan gerakan-gerakan dasar karate.
Dia
memberikan contoh gerakan yang kemudian kami tirukan, mulai dari kuda-kuda,
pukulan dan tendangan. Dengan gaya mirip-mirip pelatih beneran, Gedud
memberikan aba-aba dengan teriakan lantang , “Kuda-kuda, cu dang cu ki…!”
Saya
dan anak-anak lain bergerak sesuai aba-abanya sambil berteriak, “Yaech!”
Karena
latihan dilakukan di malam hari tanpa penerang alam maupun buatan, gerakan yang
kami lakukan tidak bisa dikontrol akurasinya. Yang penting keras berteriaknya,
maka sudah dianggap benar.
Ternyata
latihan karate model seperti itu tidak berlangsung lama. Saya hanya ikut sekali
itu saja, untuk selanjutnya tidak pernah ikut lagi. Anak-anak lain juga, tidak
ada yang melanjutkan latihan karate tanpa pola itu.
Kelas
5 SD saya diajak Isul, teman sekelas saya, berlatih bela diri pencak silat
tapak suci di Kotagede. Latihan tapak suci itu dilakukan malam hari. Pertama
ikut latihan, karena saya tidak punya seragam latihan, saya dipinjami celana
silat warna putih oleh Odin. Sebenarnya tidak ada seragam khusus, yang penting
memakai celana silat dan berkaos.
Kami
bertiga, saya, Isul dan Odin berangkat dengan bersepeda, bersama-sama dari rumah
Isul di Glondong. Tempat latihan yang dituju ada di utara kantor pos Kotagede.
Di sebelah show room HS Silver, kerajinan perak khas Kotagede, masuk gang ke
timur. Ada sebuah aula seluas sekitar 150 meter persegi di samping rumah. Di tempat itu sudah ada beberapa orang
yang juga akan ikut latihan silat.
Tak
berapa lama datang seseorang yang ternyata adalah pelatih. Orangnya masih muda,
kulit kuning, rambut lurus dan berbadan kurus, tidak nampak layaknya jagoan
berantem. Pelatih langsung mengajak memulakan latihan dengan berdoa, kemudian
pemanasan sebentar dan dilanjutkan latihan jurus.
Setelah
mempelajari beberapa jurus, kami kemudian duduk membuat lingkaran. Saat itu
sesi latihan full body contac, yaitu berlatih adu jotos. Dua orang diminta
berdiri kemudian memberi hormat pada pelatih dan berantemlah mereka.
Gabrus..gabrus..gabrus..adu jotos itu berlangsung sekitar 5-10 menit.
Tergantung pelatih menghentikan keduanya dari aksi adu jotos dan adu tendang
itu.
Saya
sudah was-was menghadapi sesi ini. Bagaimana tidak, baru datang sekali latihan, sudah dihadapkan pada sesi
adu jotos beneran. Tetapi saat itu saya sudah meniatkan diri untuk nekat dan
menyiapkan jurus pamungkas berupa jurus
mengamuk, obral pukul dan tendang. Pokoknya harus bisa memukul atau menendang,
meskipun saya nanti akan menerima pukulan atau tendangan lebih banyak. Saya
tidak mau menjadi kambing congek yang dengan mudah dipukul tanpa balas. Widji
Thukul mungkin terinspirasi oleh tekad saya ketika dia meneriakkan slogannya
yang legendaris: “Hanya satu kata. Lawan!”
Ternyata latihan itu hanya berlangsung untuk
3 pasang saja. Setelah 3 kali
diperagakan adu jotos oleh 6 orang, sesi itu diakhiri dan sekaligus
menutup latihan perdana saya di Kotagede.
Saya
berlatih tapak suci di Kotagede ini, juga tidak berlangsung lama. Tidak sampai
5 kali saya ikut latihan. Berhentinya saya dari berlatih pencak silat khas
Muhammadiyah itu, karena latihan dilakukan pada malam hari. Selesai latihan,
sudah mendekati jam 10 malam. Saat itu di Kepuh Lor belum ada listrik, maka jam
selarut itu sudah sangat gelap. Sementara untuk pulang dari Glondong ke Kepuh
Lor harus lewat area sawah yang luas. Timbul kemudian penyakit klasik saya ialah malas. Penyakit itu menyerang
dengan sangat sitematis. Mula-mula, sekali tidak ikut latihan. Berikutnya tidak
ikut lagi, hingga latihan itu tidak saya ikuti lagi, sampai akhirnya berhenti total
dengan sempurna.
Meskipun
sudah tidak ikut latihan lagi, namun celana silat milik Odin yang saya pinjam
belum saya kembalikan, tetap saya simpan dalam kondisi bersih.
Kelas
6 saya diajak Limpung ikut latihan beladiri di Balai Desa Potorono. Dengan
bekal celana milik Odin dan kaos saya berangkat bersama Limpung ke Balai Desa
Potorono. Sebelumnya mampir ke Dusun Balong untuk menyambangi Sulis, kerabat
Limpung yang sudah mendaftar duluan. Nama perguruan itu Porbika, akronim dari
Persatuan Olah Raga Beladiri Karate. Pendiri dan guru besarnya adalah anggota
garnizun Kodim Sleman. Perguruan itu pusatnya di Sleman, sedangkan di Potorono
adalah cabangnya.
Waktu
latihan pertama hanya ditanyakan namanya dan kemudian diminta langsung ikut
latihan. Saat itu ada sekitar empat puluh orang, kebanyakan laki-laki, hanya
sedikit yang perempuan. Pelatihnya adalah Darno dan kakaknya dari Nggandu
Berbah serta Hardi dari Potorono. Ada teman berlatih yang sampai sekarang masih
saya ingat, Kelik panggilannya, anaknya Pak Lurah Potorono, yang sekolah di
SMPN Baturetno, tempat saya sekolah kemudian.
Latihan
yang diajarkan, dasarnya adalah karate, namun perguruan ini bukan hanya
mengajarkan karate. Berbagai seni beladiri seperti judo, jiu jitsu bahkan gulat
digabungkan dan diajarkan. Makanya di ujung sabuk ada tulisan kajigawa yang
maknanya karate, jiu jitsu, gulat dan yudo. Rasanya kok tidak pas akronim itu.
Biarlah namanya juga akronim, mau disingkat apa saja tidak akan ada yang
protes.
Tahap
awal adalah gerakan dasar semacam kuda-kuda, cara menggenggam tangan, memukul
dan menendang. Setelah itu baru diberikan latihan jurus yang disebut dengan
jurus dan kombinasi. Jurus satu diajarkan pertama, kemudian jurus dua dan
seterusnya. Setelah jurus baru diajarkan kombinasi satu, kemudian kombinasi dua
dan seterusnya. Saya tidak bisa membedakan antara jurus dan kombinasi, sebab
sepertinya sama saja.
Oh..nya,
sebelum latihan itu ada ritual berdoa. Kami duduk bersila berjajar. Pelatih di
depan menghadap kami. Kemudian kami mengatur pernapasan dengan mengambil dan
membuang napas dalam-dalam. Setelah itu kemudian berdoa menurut keyakinan
masing-masing. Saya kira semua Islam, karena saat itu non muslim jarang ada di
antara kami. Selesai berdoa kami kemudian berdiri dengan cara meloncat dari
posisi duduk dan berteriak dengan keras , “Yeach..!!”. Itu ritual yang selalu
saya ingat.
Suatu
saat ada acara di Kelurahan Potorono, kami dilibatkan untuk menjadi pengaman
sekaligus pendamping sisi kiri dan kanan pembicara di panggung. Tidak tahu apa
alasannya, kami mesti naik di panggung mendapingi para bapak yang sedang
pidato. Meski begitu rasanya juga bangga, menggunakan uniform beladiri dan berdiri
tegak di belakang kanan dan kiri pejabat desa, mirip ajudan presiden saat
pidato.
Saat
kami persiapan di aula balai desa, kami duduk untuk berdoa dan selesai berdoa
kami berdiri meloncat dan berteriak , “Yeach!”
Tentu
aksi kami membuat kaget orang-orang yang berekerumun di balai desa Potorono.
Mereka langsung menoleh dan melihat kami. Sepertinya mereka kagum kepada kami.
Wah saat itu rasanya melambung dan ge
er.
Suatu
ketika setelah beberapa kali ikut latihan, saya mengalami nasib apes oleh
akibat celana silat yang sudah buluk dan lapuk milik Odin. Saat itu latihan
yang diajarkan adalah melakukan tendangan. Saya selalu bersemangat untuk
latihan jenis ini. Hal itu, karena sejak saya ikut pertama kali latihan sudah
mendapatkan pujian dari pelatih untuk gerakan yang mengandalkan kaki ini.
Saking
semangatnya saya melakukan tendangan itu dengan melemparkan kaki tinggi-tinggi.
Saat itu saya betul-betul pol menendangnya. Dalam posisi kaki di atas, tanpa
diduga terdengar suara preet..week..persis dari selangkangan saya.
Tentu
semua yang sedang konsentrasi menendang itu mencari sumber suara. Dan sayalah
sumbernya. Celana naas milik Odin itu sobek sesobek-sobeknya persis di
selangkangan. Karuan semua tertawa berjama’ah tanpa bisa dibendung lagi. Saya
yang jadi obyek tertawaan, menjadi merah padamlah mukanya. Beruntung, saat itu
saya masih menggunakan celana dobel, berupa celana pendek warna hijau.
Celana
pendek itu yang mampu menahan malu saya, sekaligus menahan isi celana, untuk
tidak melesat keluar. Tak terbayang jika saya tidak memakai celana dobel, atau
malah sama sekali tidak memakai celana dalam. Jika itu terjadi pada jaman
sekarang, sudah terkena pasal UU Anti Pornografi, delik aduan mempertontonkan
anggota tubuh yang tidak semestinya, di tempat umum.
Meskipun
sudah terlanjur malu, saya tetap ikut latihan dengan celana sobek itu hingga
selesai. Tak butuh satu menit pasca latihan, celana sobek pembawa malu itu saya
lepas, kemudian saya buang tanpa harus merasa kehilangan. Saya pulang hanya
bercelana pendek hijau penyelamat itu dan kaos oblong bergambar si Unyil.
Sehari
kemudian saya minta uang kepada ibu untuk membuat celana karate yang benar.
Ukuran benar saat itu adalah berbahan kantong gandum, yang dijahit oleh tukang
jahit di pasar Pleret. Mesin jahit yang dipakai masih menggunakan mesin jahit
yang cara kerjanya dengan memutar roda di samping kanannya dengan tangan,
sehingga mampu menggerakkan jarum jahit. Mungkin saat ini sudah sangat jarang
dijumpai mesin jahit model itu. Sebagian besar sudah menggunakan tenaga listrik
untuk menggerakkannya, atau yang lebih modern, mesin Juki.
Murid
yang berlatih karate bersama saya sebagian besar memakai seragam karate
berbahan kantong gandum. Hanya satu dua orang yang memakai seragam karate
berbahan kain tebal dan bagus buatan pabrik yang hanya dapat dibeli di toko
khusus olah raga. Satu dua orang itupun adalah pelatih. Bahkan ada pelatih yang
memakai seragam kantong gandum.
Saya
hampir saja memiliki dan memakai seragam karate berbahan bagus itu. Saat saya
sudah SMP, saya tidak latihan lagi di Porbika. Saya bosan latihan karate, dan
ingin belajar bela diri jenis yang lain, tae kwon do. Olah raga tendang pukul
asal Korea itu, mampu membuat saya kesengsem, khususnya gerakan tendangan
melingkar. Saya sering melihat aksi Barry Prima si Joko Sembung mengakhiri
musuh-musuhnya di film dengan tendangan yang mematikan itu.
Jauh-jauh
dari Kepuh Lor saya naik sepeda onthel menuju Gondomanan. Gedung olah raga yang
terletak persis di sebelah barat perempatan Gondomanan itu menjadi area latihan
berbagai jenis olah raga. Saya bertanya ke sekretariat, prosedur mendaftar dan
ikut latihan. Oleh seorang pemuda yang berbadan besar, dijelaskan untuk uang
pendaftaran Rp.5.000,- dan uang seragamnya Rp.25.000,- sejumlah Rp.30.000,-.
Bayangkan uang SPP saya di SMPN Baturetno saja, hanya Rp.300,- per bulan. Untuk
bisa ikut latihan tae kwon do, saya harus menyiapkan duwit setara dengan 100
bulan bayar SPP. Terlampau amat sangat mahal.
Seketika
nafsu saya menjadi tae kwon doin lenyap. Kenyataan itu membuat saya patah
arang. Saya mutung. Sejak itu saya tidak mau lagi belajar bela diri, apapun
bentuknya. Kesempatan memakai seragam tae kwon do yang bagus, yang hanya dapat
dibeli di toko khusus olah raga, juga lenyap. Saya sudah tidak minat lagi.
Titik. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar