S
|
ebelum Pramoedya
Ananta Toer menulis tetralogi Buru yang fenomenal, mungkin tidak banyak orang
yang tahu tentang sosok Tirto Adhie Soerjo alias Minke. Menurut data terbaru
yang dihimpun penerbit, Minke alias R.M. Tirto Adhie Soerjo adalah adalah anak
dari penarik pajak di Bojonegoro, cucu Bupati Blora, dan cicit Ong Kadut,
Bupati Lasem yang Chinese. Selain itu, diketahui pula dia pernah menjadi
menantu Sri Sultan Hamengkubuwana VIII. Berkat usaha dan kerja keras Pramoedya
Ananta Toer, dibantu data dari para mahasiswa ketika dia mengajar di
Universitas Res Publica, orang mulai mengenal nama Tirto sampai akhirnya
presiden keenam (yang diakui secara resmi) Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) menganugerahi dia gelar pahlawan nasional pada Hari Pahlawan, 10 November
2006.
Ada
sebuah cerita menarik di balik penganugerahan gelar pahlawan nasional di
Semarang itu. Yudhi Sancoyo, yang ketika itu menjabat Bupati Blora, pada acara
itu, ketika bersalaman dengan SBY, setelah diberi tahu yang bersalaman
dengannya adalah Bupati Blora, segera saja bertanya tentang Tirto Adhie Soerjo.
Namun sang bupati justru geleng-geleng karena sama sekali tidak mengetahui
tentang tokoh dari daerah yang dia perintah itu.
“Gimana sih? Masa bupati nggak tahu tokoh dari daerahnya sendiri?”
Mungkin itulah sindiran yang dikatakan dalam hati kecil SBY.
Setelah
kembali ke Blora, segera saja Yudhi Sancoyo mengerahkan anak buah dari
Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Blora untuk mencari buku Sang Pemula ke Perpustakaan Pataba.
Karena ketika itu buku sedang dipinjam Saudari Lies dari Desa Tutup, segera
saja mereka memburu bak teroris.
“Tim
pemburu” itu ditemui oleh sang adik, karena Lies sedang di Jogja. Adik Lies
yang tidak tahu apa-apa ketakutan karena “disergap” oleh “segerombolan
berpakaian hijau”. Setelah menjelaskan tujuan mereka, akhirnya buku Sang Pemula pun dapat “ditangkap” dan
diserahkan kepada sang bupati.
Beberapa
waktu kemudian, kembali datang orang suruhan Bupati ke Perpustakaan Pataba,
kali ini sopirnya. Dia disuruh meminjam buku Bumi Manusia, Arus Balik,
dan Arok Dedes. Namun karena buku Sang Pemula belum dikembalikan, Soesilo
Toer selaku penanggung jawab Perpustakaan Pataba tidak meminjamkannya.
“Kembalikan
dulu buku Sang Pemula,” katanya.
“Bapak
nggak percaya pada saya?” kata sang
sopir.
“Kembalikan
dulu buku Sang Pemula,” jawab Soesilo
Toer kukuh.
Sang
sopir kembali menemui Bupati dengan tangan hampa dan menceritakan apa yang
terjadi. Tidak lama kemudian sang sopir kembali ke Perpustakaan Pataba
memberikan berita duka tentang hilangnya buku tersebut.
“Saya
tidak mau tahu, pokoknya kembalikan buku itu,” kata Soesilo Toer.
Menurut
cerita sang sopir, anak Bupati yang kuliah di Universitas Indonesia Jakarta
sudah mencari buku itu. Namun gagal. Entah bagaimana ceritanya, dari mana mendapatkannya,
akhirnya buku Sang Pemula kembali.
Namun hasil “kloning” alias fotokopi.
***
Selain
Tirto Adhie Soerjo, ada banyak tokoh lain dari Blora yang telah tenar. Sebut
saja Harya Penangsang pada zaman Kerajaan Demak, Marco Kartodikromo dan Samin
Soerosentiko pada zaman penjajahan Belanda dan tentu saja Pramoedya Ananta
Toer. Khusus untuk Samin Soerosentiko, belakangan ini Pemerintah Kota Blora
gencar mempromosikan namanya sebagai pahlawan nasional. Namun hal itu masih
terkendala masalah data kelahiran dan kematiannya yang abu-abu. Bahkan mungkin
untuk mewujudkan ambisi itu, Pemerintah Kabupaten Blora sudah membangun sebuah
gedung khusus bernama Gedung Samin Surosentiko di Jalan Pemuda, di mana
terpampang gambar Samin Soerosentiko dalam ukuran besar.
Dalam
usaha membantu mengangkat tokoh Samin Soerosentiko itulah, kami sebagai
penerbit yang peduli dan ingin memajukan nama Blora, menerbitkan buku ini.
Pemuatan nama Samin bukan untuk menjelek-jelekkan, melecehkan, menghina,
ataupun merendahkan Samin Soerosentiko beserta para pengikut yang dikenal
dengan Sedulur Sikep. Soesilo Toer sebagai penulis buku ini juga merupakan
pengagum sekaligus peneliti Samin. Bahkan Soesilo Toer membuat tesis yang
menyatakan Mahatma Gandhi dengan ajaran Ahimsa mencontek dari Samin
Soerosentiko. Tesis yang dia buat berdasarkan logika bahwa Mahatma Gandhi
belajar di Inggris, bersamaan waktu dengan “pembuangan” Samin Soerosentiko ke
Sawahlunto. Berita soal pembuangan Samin Soerosentiko ke Sawahlunto diberitakan
oleh surat kabar Belanda di Jakarta yang juga terbit di Belanda. Dan, bukankah
Belanda dan Inggris hanya dipisahkan oleh Selat La Mash yang hanya membutuhkan
waktu tempuh sekitar seperempat jam dengan speedboat?
Berdasarkan materi, analisis, dan logika itulah Soesilo Toer berani membuat
pernyataan tersebut.
Bukan
itu saja, Mastoer, bapak Soesilo Toer, juga pengagum, pengikut, dan bahkan
mengimplementasikan gaya bicara Samin. Hal itu dapat kita simak ketika Mastoer
yang memiliki sejumlah utang, saat ditagih oleh piutang asal Rembang, menolak
membayar dengan alasan uang pinjaman dibuat mendirikan sekolah dan sekolah itu
ditutup oleh Jepang. Jadi seharusnya bukan kepada Mastoer mereka menagih utang
itu, melainkan kepada Jepang. Dan dia menang, karena memang ilmu gertak itulah
salah satu kelebihannya.
Buku
Dunia Samin I sebelumnya terbit
dengan judul Suka-Duka si Pandir pada
tahun 1963 oleh N.V. Nusantara-Bukittinggi-Djakarta
dan mendapatkan sambutan baik di masyarakat. Itu menunjukkan buku tersebut
ditulis sebelum Soesilo Toer berangkat ke Uni Soviet pada 1962.
Buku Dunia
Samin II ditulis ketika sang penulis, Soesilo Toer, menempuh pendidikan di Uni Sovyet. Hal itu dapat kita
lihat pada akhir naskah buku tersebut yang tertulis “Leninskii Prospyekt,
Moskwa, 26 September 1964.” Itu berarti dua tahun
setelah dia belajar di sana.
Sementara Dunia
Samin III baru ditulis setelah sang penulis keluar dari penjara Orde Baru
selama lima setengah tahun. Itu dapat kita lihat
pada akhir tulisan ini, yang tertulis “Jakarta, 3 Januari 1979 Jalan Multikarya 16 Utankayu.” Itu berarti buku ini
diselesaikan ketika sang penulis tinggal bersebelahan dengan kakak
perempuannya, Koesaisah. Ketika itulah sang penulis berada pada masa jaya
sebagai pengangguran berat. Selain buku Dunia
Samin III, ada juga beberapa buku lain yang dapat diselesaikan ketika itu,
seperti Komponis
Kecil (terbit Juli 2015), Anak Bungsu, Pesta Sekolah, Serigala, Indra Tualang alias Doktor Kopi
dan beberapa tulisan lain tentang dunia yang tidak bisa dilepaskan dari
hidupnya: sejarah, pendidikan, dan ekonomi, serta tentu saja tentang Pramoedya
Ananta Toer yang kemudian dikumpulkan kembali dan diterbitkan dengan judul Pram dalam Kelambu (terbit Februari
2015) dan Pram dalam Bubu (terbit
April 2015).
Pada kesempatan ini, penerbit
menerbitkan ulang buku Dunia Samin
secara utuh dan lengkap sejak buku pertama sampai ketiga. Jadi, dengan
demikian, kita dapat memperbandingkan alam pikiran Soesilo Toer sebelum ke Uni
Soviet, ketika di Uni Soviet, dan setelah dari Uni Soviet. Tidak lupa kami
sertakan pula pengantar penulis untuk buku Dunia
Samin I yang belum sempat cetak ulang. Penerbit berharap, penerbitan buku
akan makin mengangkat nama Samin Soerosentiko khususnya dan Blora umumnya.
Selain itu juga sedikit-banyak merehabilitasi nama Samin Soerosentiko dan para
pengikutnya yang bagi sebagian kalangan (masih) dianggap sebagai penjahat,
orang aneh, pemberontak, pengemplang pajak, blandong
hutan, dan sebagainya. Karena, sebenarnya suku Samin adalah kelompok masyarakat
yang baik atau semacam Robin Hood Jawa, seperti kata Soesilo Toer ketika
menilai Samin Soerosentiko.
Blora, 26 Februari 2016, 23:20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar