APAPUN MUSIBAHNYA HONDA BIANGNYA
Hermawan Widodo
Saya
dan Agus satu level saat duduk di kelas 2 SMPN Baturetno. Sebenarnya saya dan
dia beda tingkat. Tahun kelulusannya dari SD Mutihan III Wirokerten
Banguntapan, lebih duluan satu tahun dibandingkan saya. Tetapi saya dan dia
beda kelas, saya di kelas 2C sedangkan dia 2A. Setahun kemudian saat kelas 3
baru kami sama-sama di kelas 3A.
Saya
dan Agus sering sekali bermain bersama-sama. Kebersamaan itu sudah berlangsung
sejak SD. Dia ikut di rumah Mbah Kaji Wir. Rumah Mbah Kaji dengan rumah saya
hanya berjarak 10 meter, hanya terpisah oleh kebun kosong. Jadi intensitas
ketemu cukup tinggi. Kebersamaan itu banyak melahirkan kejadian-kejadian yang
cukup membuat geleng-geleng kepala orang tua.
Salah
satu kejadiannya adalah saat saya dan dia goncengan menggunakan motor Honda 70
yang saat ini biasa disebut motor capunk. Ada juga yang menyebut dengan Si
Pitung. Mungkin maksudnya motor pitung puluh. Motor bebek warna merah itu
memang menjadi andalan kami ke mana-mana. Minggu pagi sekitar jam 10, kami
meluncur ke selatan ke arah Bantul. Tujuan utama ke pantai di daerah Bantul.
Kami berniat menyusuri pantai hingga Parangtritis. Di Bantul pantai yang cukup
dikenal adalah Samas dan Parangtritis.
Kami
ingin menyusuri pantai dari Bantul barat hingga pantai Parangtritis di Bantul
timur. Suatu niat yang mulia dan terdengar heroik. Padahal saat itu saya belum
pernah membaca Che Guevera yang melakukan tour menggunakan sepeda motor.
Jangankan membaca bukunya, mendengar namanya juga belum.
Dari
Kepuh, desa tempat kami mukim selama ini, kami mengambil jalur utama Jalan
Bantul, menuju Palbapang. Perjalanan dari Kepuh hingga Palbapang dengan motor
capunk merah itu sekitar 90 menit. Maklum bukan sembarang motor. Hanya orang-orang
tertentu saja yang bisa dan berani mengendarai si pitung itu. Bukan karena
saking bagusnya, namun karena serba memprihatinkannya motor itu, sehingga
seingat saya hanya Agus saja yang biasa mengendarai. Orang lain tidak ada yang
mau. Tidak mau repot karena kemungkinan mogok amat sangat besar sekali.
Dari
Palbapang kami kemudian menuju ke pantai terdekat. Saya tidak tahu pantai apa
namanya, yang pasti masih di bawah kekuasaan Ratu Kidul. Satu kawasan dengan
pantai selatan. Pantai selatan merupakan pantai yang memiliki pasir bagus.
Pantai berpasir lembut bersih dengan gunung-gunung pasirnya yang khas, yang
hanya ada di Parangtritis. Gunung pasir yang tampak seperti padang pasir yang
sering muncul di film-film jazirah Arab.
Setelah
istirahat beberapa saat di pinggir pantai, saya dan Agus mulai menjalankan misi
besar yaitu menyusuri pantai hingga Parangtritis. Dengan semangat yang masih
meluap, si pitung digenjot dan segera memacu langkahnya. Kuda Jepang yang sudah
dimakan umur itu merayap di atas gundukan pasir basah. Kami berusaha menjaga
jarak dengan air laut. Menurut teori paling sederhana sekalipun, motor butut
itu akan langsung KO jika terendam air laut.
Probabilitas
kejadian itu sangat besar, sehingga Agus harus selalu fokus pada jalan depan,
sedangkan saya di belakang memposisikan diri sebagai navigator. Saya bertugas
mengamati posisi air laut, sehingga mampu menempatkan laju kendaraan pada jalur
yang aman. Dengan cara begitu si pitung mampu berjalan sesuai dengan harapan.
Selaku
majikan yang sehari-hari bergelut dengan si pitung, Agus paham persis kekuatan
hambanya itu. Dia tidak memaksakan diri dengan memacu si pitung terlalu
kencang. Dia geber dengan lamban bahkan mungkin sangat-sangat lamban. Kondisi
medan memang memberikan permakluman. Pasir lembut yang senantiasa membenamkan
ban menjadikan laju roda sangat terhambat.
Setengah
jam perjalanan, kami belum jauh meninggalkan tempat kami start. Perkiraan baru
sekitar lima kilo kami menyusuri pantai itu. Kami istirahat dulu untuk kembali
mendinginkan si pitung yang sepertinya sudah kepayahan.
Sepuluh
menit kemudian kami mulai jalan lagi.
Baru lima menit berjalan dengan jarak tempuh sekitar 20 meter tiba-tiba si pitung
berhenti. Ban depan ambles ke dalam pasir, tak mampu digerakkan. Dalam kondisi
tanpa daya itu, tidak diduga ombak laut selatan datang menerjang.
Si
pitung yang sudah setengah tak sadar tidak mampu mengelak dan pasrah saat saat
diterjang ombak laut selatan. Dia langsung terendam air asin sekujur badannya,
si pitung KO seketika, tidak mampu bangkit. Begitu melihat kondisi si pitung,
kami langsung menyadari bahwa kami benar-benar dalam situasi yang tidak
menguntungkan. Jauh dari penduduk, di tengah-tengah padang pasir, tak akan ada
orang yang mendengar jika kami minta tolong. Hanya Ratu Kidul mungkin
satu-satunya makhluk yang mendengar jika kami berteriak sekuatnya. Itupun jika
Ratu Kidul belum mati, karena konon katanya dia sudah menjadi pacar Panembahan
Senopati ratusan tahun silam.
Melihat
posisi si pitung saat diterjang air laut, pasti air garam itu masuk sampai ke
posisi-posisi strategis. Benar saja, hampir seluruh area kaburator dan mesin
terendam air garam bercampur pasir lembut. Melihat kondisi hambanya yang
memelas itu Agus angkat tangan. Namun kami terbiasa tidak langsung menyerah.
Dengan alat yang ada di jok motor, busi dibuka, kaburator dibersihkan. Hasilnya
nihil. Mesin sama sekali tidak mau diajak kompromi, mati total.
Langkah
satu-satunya adalah mendorongnya kembali ke tempat kami start. Dan itu bukan
pekerjaan mudah, menuntun motor di padang pasir. Waktu sudah menjelang ashar.
Kami berdua mendorong si pitung dengan tenaga yang ada. Agus di depan pegang
stang, saya pegang jok mendorong dari belakang.
Dua
jam kami menyusuri pantai dengan tertatih. Kemudian kami belok ke jalan utama.
Kami berharap ada bengkel di situ. Hasilnya juga nihil. Tidak ada bengkel. Kami
terus mendorong motor menyusuri jalan. Kami bertanya kepada orang yang kami
temui di pinggir jalan, bengkel yang ada di sekitar situ. Dia memberi tahu ada
bengkel di ujung jalan, namun jika sore tutup. Memang saat itu hampir maghrib,
wajar jika bengkel sudah tutup.
Sampai
di Palbapang, Agus ingat bahwa ada teman
bapaknya di sekitar jalan itu. Maka dia kemudian mencari teman bapaknya
itu, dan alhamdulilah ketemu. Agus menemui bapak itu dan bilang bahwa dia
adalah anaknya Pak Darmo Kepuh. Dia juga bilang jika motornya rusak, dan tidak
ada bengkel buka. Oleh teman bapaknya, yang bernama Pak Narto itu, disarankan
untuk dibengkelkan besok saja. Dia minta agar kami menginap di rumahnya, karena
jika pulang sudah tidak ada angkutan. Angkutan baru akan ada lagi subuh. Kami
tidak punya pilihan lain selain menuruti saran Pak Narto.
Setelah
mandi tanpa ganti baju, kami kemudian sholat magrib. Selesai sholat kami
disuruh makan. Waktu makan itulah timbul rasa khawatir saya, karena tadi saat
berangkat tidak pamitan ibu. Meski kadang saya juga tidak pamitan saat pergi,
namun tidak sampai nginap seperti sekarang. Kalaupun menginap pasti orang tua
tahu di mana saya menginap. Saya sudah biasa menginap di rumah teman sejak SD.
Saat
kekhawatiran itu saya sampaikan ke Agus dia juga merasakan hal yang sama.
Sebenarnya persoalan itu tidak sulit jika punya telpon. Namun sarana komunukasi
itu masih langka. Jangankan HP, telpon rumah yang konvensionalpun masih jarang
yang punya. Jikapun ada, di rumah kami juga tidak ada telpon. Sebenarnya ada
cara untuk menyampaikan keberadaan kami kepada orang tua, yaitu melalui radio
atau koran. Tetapi itu bukan solusi yang cerdas, yang tidak perlu diuraikan di mana
letak ketolololannya.
Tiba-tiba
terlintas di benak saya koramil. Waktu mendorong motor itu kebetulan kami
melewati kantor koramil. Agus dan saya naik sepeda mendatangi koramil itu.
Sesampai di kantor koramil, kami menemui petugas piket.
Dengan
bahasa tertatih-tatih saya menceritakan kejadian yang saya alami sejak awal
hingga sampai koramil itu. Adapun maksud dan tujuan saya adalah, meminta
pertolongan kepada bapak koramil itu, untuk memberikan kabar saya kepada orang
tua di rumah.
Tentu
bapak koramil yang berpangkat kopral dua itu kaget mendengar permintaan saya.
Namun saya tahu bahwa di tiap-tiap koramil memiliki jaringan komunikasi melalui
HT. Maksud saya adalah koramil ini mengabarkan kondisi saya ke koramil
Banguntapan, kemudian nanti salah satu tentara dari koramil Bnaguntapan
menyampaikan ke rumah Udin yang hanya berjarak kurang dari 50 meter dari kantor
koramil Banguntapan. Biar Udin nanti yang akan ke rumah saya untuk menyampaikan
kepada orang tua saya di Kepuh.
Sebuah
skenario yang agak berbelit dan membuat tambahan pekerjaan bagi bapak-bapak
tentara. Tentu saja upaya kami tidak mulus. Banyak dari tentara yang lagi piket
itu justru menggojlok saya dan Agus dengan berbagai pernyataan yang sudah
sering kami dengar. Ungkapan yang biasa disampaikan oleh orang tua yang sedang
jengkel kepada anaknya.
Setelah
mendapatkan ceramah cukup bahkan menurut kami panjang lebar, kamipun
dipersilakan pulang. Bapak-bapak itu berjanji akan menyampaikan berita tentang
kami ke koramil Banguntapan, sesuai permintaan kami.
Kami
kembali ke rumah Pak Narto. Setelah sedikit ngobrol, saya dan Agus beranjak
tidur, karena besok subuh kami harus siap-siap naik angkutan untuk kembali ke
Kepuh. Kami berdua tidur di ranjang tanpa kasur, dengan sarung sebagai selimut.
Hawa malan itu lumayan dingin. Tanpa menunggu lama kami sudah bablas
mendengkur.
Seperti
dijanjikan empunya rumah, sebelum subuh kami sudah dibangunkan. Setelah sholat
subuh, kami pamitan dan tidak lupa minta maaf serta terima kasih kepada tuan
rumah atas segala keramahan dan servisnya. Pak Narto mengantar kami hingga
jalan raya. Tanpa menunggu lama angkutan pun sudah di depan mata. Kami naik
mobil colt Mitsubisi.
Angkutan
itupun meluncur ke arah utara. Selama 30 menit perjalanan tanpa hambatan.
Sebelum jam 6 pagi kami sudah sampai di pertigaan Grojogan. Kami turun,
perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki, karena dari situ ke rumah saya tidak
ada akses angkutan umum. Jarak ke rumah kami sekitar 4 km. Setelah melewati Sampangan, kami potong
kompas menembus Kepuh Tegal.
Sampai
sungai yang membelah Kepuh Wetan dan Kepuh Kulon, kami melewati jembatan di
atasnya, kemudian kami berpisah. Agus pulang ke rumahnya di Kepuh Kidul, saya
ke rumah di Kepuh Lor. Lima menit saya sampai rumah. Di teras depan rumah sudah
menunggu ibu dan Mbah Wondo. Mungkin bapak sudah berangkat kerja.
Baru
melangkah masuk teras, saya mendengar Mbah Wondo berkata ke ibu, “Tidak perlu
dimarahi, biar anaknya cerita sendiri”
Saya
kemudian bilang kalau menginap di Bantul karena motor mogok. Saya juga bilang
sudah memberi kabar Udin supaya mengabari rumah. Tetapi tidak ada orang yang
sampai ke rumah untuk memberi tahu kondisi kami di Bantul. Rupanya penjelasan
saya bisa diterima. Namun sepertinya faktor Mbah Wondo, adiknya mbah yang
paling bungsu yang mempengaruhi, sehingga ibu tidak marah kepada saya. Kemudian
saya disuruh mandi dan hari itu saya tidak masuk sekolah. Surat ijin baru saya
serahkan wali kelas hari berikutnya dengan alasan yang paling universal, sakit.
Itu
adalah bencana pertama bersama Honda.
Bencana
yang senada juga saya alami karena Honda. Sabtu malam Minggu, saya betiga
dengan Agus dan Hartono berangkat ke pantai Parangtritis. Rencana awal mau
menginap di pantai dan menunggu terbitnya matahari. Kami goncengan bertiga
dengan satu motor Honda GL warna hitam. GL itu biasa dipakai Pak Darmo untuk
berangkat ke kantor kecamatan tempatnya mengabdi sebagai PNS selama ini.
Setiap
melakukan perjalanan, kami memang tidak ada persiapan khusus. Yang penting
jalan, membawa bekal uang secukupnya. Urusan selanjutnya dipikir sambil jalan.
Bertiga dengan persiapan seperti itu, kami berangkat ke Parangtritis.
Meluncur
dari Kepuh Kidul rumahnya Agus, jam delapan malam. Perjalanan ditempuh dengan
santai. Saat itu sedang tidak dalam momen hari khusus, sehingga lalu lintas
jalan tidak begitu ramai, sangat sepi malah. Sampai perempatan Jejeran, Honda
GL belok selatan ke arah makam Imogiri, tempat bersemayamnya jasad para raja
Jogja dan Solo. Pertigaan Imogiri kami belok kanan menuju Siluk. Sepuluh menit
berikutnya kami sudah melewati jembatan kali Opak, belok kanan memasuki jalan
di lereng-lereng perbukitan Siluk-Panggang.
Perjalanan
di malam hari itu, kami tidak dibantu sama sekali oleh terang bulan. Saya tidak
tahu tanggal berapa, apakah masih muda atau sudah terlalu tua sehingga bulan
tak kelihatan. Yang jelas kegelapan malam itu hanya disuluh oleh lampu motor
saja. Empat puluh menit kami menyusuri jalan turun naik itu, hingga kami sampai
di Kretek, tembusan jalan raya Parangtritis. Belok kiri kami menyusuri jalan
raya, sepuluh menit kemudian kami sudah masuk pintu gerbang obyek wisata pantai
laut selatan.
Sampai
di pantai yang berpasir lembut itu kami tidak menjumpai turis domestik maupun
asing yang berada di situ. Rasanya memang aneh, malam-malam lepas jam sepuluh
jalan-jalan di pantai kalau bukan orang yang kurang pekerjaan. Kami bertiga
duduk-duduk beralaskan koran yang ada di sekitar situ. Mungkin bekas dipakai
orang yang berwisata sore hari sebelumnya. Sambil ngobrol bermacam-macam tema,
kami terus melewati malam.
Sekitar
jam dua belas tengah malam, Agus mengajak kami ke gua Langse. Gua itu berada di
sebelah timur Parangtritis, sudah masuk kawasan Kabupaten Gunungkidul. Jika
berjalan kaki butuh waktu sekitar dua jam untuk sampai gua di bibir pantai itu.
Gua yang terletak persis di bawah tebing itu memang cukup menantang untuk
dikunjungi. Kami sudah beberapa kali ke sana. Di gua itu pula seniman asal
Pati, Ragil Suwarno Pragola Pati raib jasadnya, hingga sekarang belum diketahui
keberadaannya.
Kami
bertiga berangkat keluar dari pantai menuju ke arah timur. Namun baru sekitar
satu kilo perjalanan, saya bilang ke Agus untuk berhenti dulu. Saat berhenti
saya bilang ke Agus, baiknya tidak usah ke gua Langse, sudah malam pulang saja.
Tidak tahu mengapa saat itu ada perasaan malas untuk berjalan di kegelapan
malam menuju gua yang konon tempat semedinya Panembahan Senopati itu. Pinginnya
pulang saja. Tidak tahu juga mengapa mereka berdua menurut, tidak yang protes
ketika saya provokasi begitu. Akhirnya kami atret, ambil arah ke barat untuk
kembali pulang.
Sampai
pertigaan Kretek kami ambil ke kanan menyusuri jalan di pinggir perbukitan.
Lima belas menit menyusuri jalan turun naik itu, saya merasakan ada hal yang
tidak beres dengan motor Honda GL yang kami kendarai. Suaranya mulai
mbrebet-mbrebet seperti kehabisan bahan bakar. Dan benar saja tidak sampai lima
menit setelah gejala awal, motor GL yang kami tumpangi bertiga berhenti
kehabisan bensin.
Saat
itu kami berada di jalan di antara perbukitan, jauh dari permukiman. Perkiraan
waktu itu mendekati jam 1 malam, saatnya orang sudah terlelap dibuai mimpi.
Begitu motor berhenti dan upaya menolong secara darurat dengan cara memiringkan
tangki bensin tidak bisa, maka Agus selaku driver menuntun Honda GL itu.
Hartono di belakangnya mendorong, sedangkan saya berjalan di sampingnya. Kami
bertiga berjalan melewati area pertegalan yang ditanami ketela. Menyusuri jalan
turun naik, perjalanan sudah lima belas menit belum menemukan rumah penduduk.
Setelah mengatur napas Agus berjalan lagi.
Sepuluh
menit kemudian kami menemukan gedung sekolah SD. Di sebelah gedung SD itu ada
rumah namun gelap. Hartono berjalan mendekati rumah itu kemudian mengetuknya.
Beberapa kali ketukan, tidak ada respon dari empunya rumah. Hampir lima menit Hartono
mencoba mengetuk pintu, tetap tanpa hasil. Ada kemungkinan rumah itu memang
tidak berpenghuni.
Usaha
pertama gagal. Kami bertiga kembali mendorong motor mencoba mencari rumah yang
lain. Ketika kami mulai berjalan, saya menoleh ke belakang. Secara samar saya
menangkap seberkas cahaya api. Saya menduga itu bara api dari ujung rokok yang
digerakkan. Posisi berkas cahaya itu agak jauh dari saya berdiri saat itu. Saya
bilang ke Agus, ada orang di belakang. Agus menoleh namun dia tidak melihat apa
yang saya lihat.
Tanpa
mempedulikan apa yang saya lihat, kami bertiga bergegas meninggalkan tempat
itu. Rasa was-was sudah mulai muncul saat itu. Posisi kami bertiga ada di
tengah bulak. Kami tidak tahu seberapa jauh dari perkampungan. Agus menuntun
Honda GL itu dengan lebih cepat. Saya dan Hartono mengikuti dari belakang.
Kilatan api di belakang kami ternyata juga ikut bergerak.
Hartono
sambil berlari mendekat ke Agus berkata pelan memberi tahu kalau ada orang di
belakang mengikuti. Agus menoleh ke belakang, saat itu memang nampak oleh kami
bertiga kilatan api yang bergerak-gerak. Saya menduga itu tidak hanya satu
orang. Tanpa kami duga Agus melarikan motor itu. Kami berdua juga ikut berlari.
Terus
terang saat itu terbayang di benak saya alangkah naasnya kalau kami bertiga
dirampok. Motor dibawa, kami kemudian diikat atau bahkan mungkin dibuang di
perbukitan atau tragisnya lagi dibunuh dan dibiarkan di pinggir jalan.
Membayangkan tragedi yang akan menimpa itu, saya miris bahkan mungkin saja
hampir menangis. Saya termasuk anak yang kuat untuk tidak menangis menghadapi
masalah. Saat itu saya hanya pada tahap hampir menangis, nyaris, namun belum
dan memang saya tidak sampai menangis.
Sambil
terus berlari dan menoleh ke belakang, tiba-tiba Agus berteriak , “ Wan, bedhile
disiapke. Nek nyerak tembak wae, mati rapopo! “
Saya
kaget, kapan membawa bedhilnya. Namun reflek saya cukup bagus untuk mampu
menangkap maksud Agus.
Dengan
berteriak saya menjawab , “Yo! Ngko nek
nyerak tak tembake ndhase!”
Hartono
juga ikut teriak , “Nek mrene tak babate!”
Ternyata
ide kreatif Agus mempu membangkitkan nyali kami. Sambil terus berlari dialog
yang kami bangun adalah masalah senapan dan pedang. Maksudnya biar yang di
belakang mendengar bahwa kami bertiga tidak bertangan kosong. Ada senapan dan
pedang yang siap digunakan oleh ahlinya.
Namun
orang-orang di belakang itu juga terus memburu kami, dan semakin mendekat.
Tahu-tahu saja mereka sudah berada di depan kami, tiga orang berkalung sarung
dan membawa pentungan.
Tiga
orang yang salah satunya masih memegang rokok menyala itu kemudian bertanya
kepada kami, “Kenapa dik, mogok motornya?”
Ternyata
mereka tidak seperti yang kami duga. Mereka adalah warga di lingkungan itu yang
kebetulan sedang keliling. Mendengar pertanyaan mereka, kami berkurang
ketegangannya.
Agus
menjawab, “Bensin habis pak!”
“
Di sini tidak ada warung yang jual bensin. Jalan terus sekitar 1 kilo dari sini
ada warung. Ketok saja jika tutup. Mungkin masih ada bensin” terang bapak yang lain
panjang lebar. Penjelasan itu melegakan dan sekaligus menguapkan seluruh
ketegangan kami. Kami menyampaikan terima kasih kepada mereka. Sebelum pergi salah
seorang menambahkan petuah : “Hati-hati dik jalan malam-malam di tempat begini.
Di sini masih banyak gendruwo yang senang menggangu pejalan kaki.”
Selesai
berkata begitu mereka tertawa bersama, tetapi kami yang menjadi kecut lagi.
Benar
saja setelah berjalan sekitar seribu meter, ada warung di samping jalan. Warung
itu sudah tutup. Ternyata bapak-bapak yang mengejar kami tadi benar. Yang tidak
terbukti adalah omongan tentang gendruwo yang gentanyangan. Seperti yang
dipesankan untuk mengetuknya jika tutup. Hartono mengetuk pintu. Hanya dengan
tiga ketukan, sudah ada respon. Keluar dari balik pintu bapak-bapak setengah
baya bersarung dan membawa senter.
Hartono
berkata pelan, “Tumbas bensin.”
Lelaki
itu kembali masuk ke rumah. Dia keluar lagi dan sudah membawa satu botol isi
bensin dan saringannya. Agus segera membuka tutup tangki bensin. Tak butuh satu
menit bensin dalam botol sudah masuk tangki.
Hartono
bilang : “Dua liter pak.”
Dia
masuk lagi, dan keluar lagi sudah membawa satu botol bensin.
Mendapatkan
bensin itu rasanya kami sudah terbebas dari himpitan masalah besar. Setelah
membayar dengan uang pas dan ucapan terima kasih, kami melanjutkan perjalanan
pulang. Membutuhkan beberapa genjotan untuk menghidupkan Honda GL pembawa
musibah itu.
Begitu
mesin hidup saya segera naik, kemudian diikuti Hartono di belakang saya. Motor
dipacu dengan cepat, tahu-tahu sudah masuk perempatan Jejeran. Belok kanan
berhenti dekat lapangan bola Wonokromo di warung hik pinggir jalan. Habis
beberapa gorengan dan teh panas, Honda GL digenjot lagi.
Tak
sampai lima belas menit kami sudah sampai di Kepuh Kidul. Kami bertiga tidur di
mushola depan rumah, hingga adzan subuh terdengar. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar