PERJUMPAAN
TANPA SENGAJA
DENGAN
PRAMOEDYA ANANTA TOER
Hermawan
Widodo
Tanggal
30 April 2012, adalah peringatan 6 tahun meninggalnya penulis besar asal Blora,
Pramoedya Ananta Toer. Meskipun ia adalah seorang penulis yang diakui oleh
dunia internasional, namun bangsanya sendiri masih banyak yang belum
mengenalnya. Saya termasuk salah satu dari orang Indonesia yang tidak mengenal
penulis yang berkali-kali menjadi nominator pemenang Nobel itu.
Harus
saya akui, sejak masuk sekolah dari TK hingga SMA, saya sama sekali belum
pernah mendengar nama Pramoedya Ananta Toer. Mungkin karena saya yang kurang
pergaulan, jarang membaca, sehingga tidak pernah mengetahui dunia luar, selain
lingkup tembok sekolah yang terbatas.
Seingat saya, guru-guru Bahasa Indonesia yang sedikit mengajarkan
tentang sastra tidak pernah sekalipun menyinggung namanya. Nama-nama yang sudah
populer semacam Idrus, Sanusi Pane, Amir Hamzah dan lain-lain, masih terekam
dalam ingatan.
Setelah
masuk Perguruan Tinggi pada pertengahan tahun 1990, saya baru mendengar nama
Pramodeya Ananta Toer dari omongan teman-teman. Kejaksaan Agung waktu itu melarang
buku ‘Jejak Langkah’ yang dianggap membawa ideologi komunis. Itulah kali
pertama saya mendengar nama Pramoedya Ananta Toer.
Namun
karena saya tidak belajar di fakultas sastra, politik atau hukum, maka kasus
itu hanya beberapa saat, kemudian lenyap dari perhatian saya. Waktu itu SDSB
dan Sudomo lebih banyak menjadi topik pembicaraan. Kemudian kasus Arswendo
Atmowiloto dengan jajak pendapatnya di tabloid Monitor. Disusul dengan kasus
dibredelnya majalah langganan mahasiswa, Tempo oleh penguasa. Nama Pramoedya masih
belum ‘nyantel’ di pemikiran saya.
Ketika
Budiman Sujatmiko membuat PRD , partai baru di luar tiga partai yang sudah ada,
saya kembali membaca nama Pramoedya di media. Nama itu tetap masih belum masuk
dan menjadi perhatian saya. Sampai kemudian terjadi huru-hara di Jl. Diponegoro
yang mengakibatkan deklarator PRD itu masuk bui, nama Pram seolah malah hilang
dari ingatan saya.
Setelah
hampir satu dekade sejak saya mendengar kali pertama nama Pram, secara tidak
sengaja saya menemukan Pram justru di rumah mertua saya. Saya tidak ingat
persisnya, namun sangat mungkin pada akhir tahun 1998. Ketika saya sedang
mencari kipas untuk anak saya yang kegerahan, saya melihat fotokopian dijilid yang
cukup tebal. Saya tidak tahu itu milik siapa, namun patut diduga itu milik
kakak ipar saya yang pernah kuliah di fakultas filsafat, satu kampus dengan
saya di Bulaksumur Jogja. Fotokopian itu tidak ada sampulnya, hanya ada tulisan
jejak langkah. Saya tertarik, dan saya ambil ‘buku diktat’ yang cukup tebal
itu. Saya buka halaman pertama ada tulisan ‘Jejak Langkah’ dan Pramoedya Ananta
Toer. Saya langsung buka halaman tengahnya. Saya menduga, diktat itu berisi teori-teori
politik. Ternyata isinya cerita. Dari dua halaman yang sempat saya baca,
menggambarkan kondisi kota Surabaya tempo dulu. Saya tidak melanjutkan membaca
karena saya tidak tertarik dengan ‘buku diktat’ foto kopian itu. Saya sudah
‘kadung mblenger’ dengan diktat-diktat kuliah yang membosankan. Pramoedya
Ananta Toer dan diktat itu pun langsung lenyap dari pikiran saya.
Pertengahan
tahun 2005, saya lolos dari maut karena laka lantas, meski akibatnya mengharuskan
saya berlama-lama bengong di rumah. Saat
itulah saya mencari-cari kesenangan untuk membunuh jenuh yang menghinggapi tubuh
tanpa daya. Pertama yang saya buru adalah kaset rock era ’70-‘80an. Pink Floyd,
Led Zeppelin, Genesis, Deep Purple dan yang lain menemani indera dengar saya
sehari-harinya. Ketika kuping sudah sering digelontor musik-musik cadas
kesayangan, ganti indera mata yang minta dilayani. Saya baca-baca apa yang bisa
dibaca. Kebetulan waktu itu lagi heboh buku ‘Laskar Pelangi’ Andrea Hirata. Saya
nitip teman untuk dibelikan buku itu. Saya dapat bajakannya seharga dua puluh
ribu rupiah. Meski dengan kondisi kertas buram dan penjilidan yang amburadul,
saya dibuat terpingkal-pingkal olehnya.
Tak
tahu dari mana ilham itu muncul. Tiba-tiba saja nama Pramoedya Ananta Toer
terlintas di pikiran saya. Saya ingin membaca bukunya. Dari media yang saya
baca, saya tahu Pramoedya Ananta Toer telah meninggal. Dari media pula, saya
jadi tahu karya yang paling terkenal adalah ‘Bumi Manusia’. Saya ingin membaca
buku itu. Upaya pinjam ke sana-sini tidak membuahkan hasil. Akhirnya saya minta
teman yang kebetulan di Jakarta membelikan. Teman saya kaget ketika mendapati
harganya di Gramedia, sembilan puluh delapan ribu, hampir seratus ribu. Demi
teman dia terpaksa belikan juga. Tentu saya dengan suka cita menerimanya.
Buku
cukup tebal dengan sampul muka gambar andong dan penumpang dua wanita itu
begitu berharga bagi saya. Pertama karena memang harganya yang selangit, selebihnya
karena itu buku Pramoedya Ananta Toer yang pertama kali saya pegang. Saya mendapatkan
buku itu tahun 2008, tepat sepuluh tahun kemudian, setelah saya menemukan tanpa
sengaja ‘diktat foto kopi jejak langkah’ di rumah mertua. Dari buku itu, saya
baru tahu bahwa ‘Bumi Manusia’ adalah seri pertama ‘Tetralogi Buru’. Seri
berikutnya adalah ‘Anak Semua Bangsa’, ‘Jejak Langkah’ dan ‘Rumah Kaca’.
Sejak
itulah saya mulai memburu buku Pram. Tentu saya mengandalkan jasa teman-teman,
karena saya masih belum berdaya ke mana-mana. Saya tidak sekaligus mampu
mendapatkan ‘Tetralogi Buru’. Setelah ‘Bumi Manusia’ secara bertahap justru
saya mendapatkan ‘Bukan Pasar Malam’, ‘Larasati’ dan ‘Jalan Raya Pos Jalan
Daendels’ dari teman lain di Jakarta. ‘Anak Semua Bangsa’ kemudian saya
dapatkan dari teman di Semarang. Ketika saya sudah bisa berjalan, adik saya di
Jogja membelikan ‘Jejak Langkah’ dan ‘Gadis Pantai’. Seri terakhir ‘Tetralogi
Buru’ saya dapatkan dari kolega yang lain, beberapa hari menjelang lebaran Idul
Fitri tahun 2010. Meskipun semua buku itu harganya selangit, namun saya
sepeserpun tidak pernah keluar uang. Mereka membelikan untuk saya. Saya tidak
tahu mereka suka atau tidak dengan Pram dan buku-bukunya. Namun yang jelas
mereka suka dengan saya, karena dengan rela membelikan buku itu untuk saya.
Buku
yang saya peroleh dengan uang saya sendiri adalah ‘Arok Dedes’. Itupun tidak
murni, karena saya mendapatkannya dengan barter. Pemilik kios buku di Rembang,
tertarik dengan kaos yang saya pakai. Dia minta kaos itu. Sebagai gantinya saya
mendapatkan salah satu buku Pram, yang katanya pesanan orang, namun lama tidak
diambil. Kaos saya beli seharga empat puluh ribu, sedang bandrol harga buku itu,
tujuh puluh ribu. Kalau dihitung, saya malah mendapat untung tiga puluh ribu.
Ketika
saya ke Blora, saya malah mendapatkan sesuatu yang lebih dari yang saya duga.
Saya bisa berjumpa dengan salah satu adik kandung Pramoedya Ananta Toer,
Soesilo Toer secara tidak sengaja pula. Saya betemu dengan doktor lulusan Rusia
itu di Masjid Agung Blora. Sejak itulah saya lebih mengenal Pram, dari sosok
sederhana yang menjadi penanggung jawab rumah masa kecil Pram di Jl. Sumbawa 40
Jetis Blora. Sejak itu pula saya berproses kemudian bersenyawa, hingga saya merasa
menjadi bagian dari Pataba, perpustakaan nirlaba yang dikelolanya. Perpustakaan
liar yang memiliki cita-cita mulia. Membangun budaya membaca dan budaya menulis
di kalangan masyarakat Indonesia.
Selain
berjumpa dengan Pramoedya Ananta Toer tanpa sengaja, saya berjumpa dengan tidak
sengaja pula, tokoh sepuh yang saya sebut dengan mutiara dari Blora itu. Saya
hanya sempat berjumpa dengan Pram melalui buku-bukunya, justru setelah Pram
tiada.(*)
Kudus,
Ba’da Magrib 6 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar