NONTON
KONSER I
“Beatles
Sukses Raksasa Godbless”
Hermawan
Widodo
Beatles
merupakan salah satu grup musik yang mampu menyeret saya untuk menggilainya,
menjadikan saya keranjingan. Sebenarnya saya tertarik dengan Beatles secara
tidak sengaja. Waktu itu saya membaca majalah Vista Musik yang memuat artikel
bersambung tentang Beatles.
Artikel
seri ke dua itu mampu membuat saya langsung tertarik dengan Beatles. Artikel yang
ada gambar kartun mereka berempat di dekat buaya itu memuat beberapa album yang
sudah dikeluarkan Beatles. Juga memuat pernyataan John Lennon yang mengatakan
Beatles lebih terkenal dari Jesus. Saya juga menemukan potongan koran di kebun Mbah
Adi yang memuat berita tentang John Lennon menjadi hantu pasca kematiannya.
Sedangkan
yang mampu membuat saya terobsesi dengan mereka adalah saat RRI Jogjakarta
mengudarakan lagu Obladi Oblada. Itulah lagu Beatles pertama yang saya
dengar.
Wujud kecintaan saya pada Beatles,
teraktualisasi pada gaya rambut yang saya buat mirip-mirip poni. Bermodalkan
rambut lurus maka gaya poni saya lumayan mirip. Apa jadinya jika rambut saya
kribo atau kriwil-kriwil, sangat susah untuk memponikannya. Selain gaya rambut,
saya juga mengoleksi banyak poster dari mereka. Poster itu saya tempel di
dinding ruang tamu, dinding kamar tidur, bahkan sampai dinding kamar mandi
pernah saya tempeli poster Beatles.
Koleksi
kaset Beatles saya juga lumayan lengkap. Semua album studio yang pernah dikeluarkan
Beatles dari Meet The Beatles hingga Let It Be saya punya. Waktu itu koleksi
yang umum berupa pita kaset. Piringan hitam dan CD merupakan barang mewah. Satu
biji kaset baru C-60,harganya Rp.1.750 (seribu tujuh ratus lima puluh rupiah).
Sedangkan untuk C-90 harganya Rp.2.250 (dua ribu dua ratus lima puluh rupiah).
Maksud kode C-60 adalah masa putar kaset itu per sisi selama 30 menit sehingga
total 60 menit. Sedangkan C-90 totalnya 90 menit.
Hampir
sebagian besar kaset saya keluaran dari Aquarius. Produsen rekaman itu biasanya
mengeluarkan album seri bagi grup atau penyanyi solo. Di dalam album seri itu,
lagu-lagu dalam satu album dari grup atau penyanyi solo dapat secara utuh
dinikmati. Cover album biasanya juga sama persis dengan yang yang sebenarnya.
Ada beberapa kaset koleksi saya keluaran dari label lain semacam Atlantik,
A&M, Hins dan Yess, namun tidak banyak. Semua album Beatles saya keluaran
Aquarius, dengan cover kaset sama persis dengan yang saya baca di majalah.
Saya
membeli kaset Beatles pertama kali di salah satu kios shooping center. Kaset
bajakan seharga seribu perak itu saya simpan sampai saya tahu bahwa itu adalah
kaset bajakan. Ketika saya mulai membeli kaset dari label Aquarius, kaset
bajakan yang pernah saya beli di shooping center itu saya buang semunya.
Setiap
hari di rumah saya tidak pernah lepas dari suara lagu Beatles. Tape yang besar
itu, di rumah menjadi andalan untuk menyetel kaset-kaset Beatles. Meskipun
tidak stereo, namun output yang dihasilkan cukup enak di telinga. Bas dan
trebelnya lumayan jelas. Dan yang penting keras, sehingga dapat terdengar dari
luar rumah saat saya pagi-pagi harus menyapu halaman yang luasnya 3x lapangan
volley itu.
Setiap
minggu pagi jam 6 sampai 8 di radio Unisi Pasar Kembang Jogja, yang waktu itu
masih AM ada acara remember The Beatles. Penyiar rutin yang membawakan acara
tersebut adalah Aditya atau nama udaranya mas Adit. Saya termasuk yang sering
request lagu di acara tersebut. Maka bisa dipastikan setiap minggu pagi, saya
tidak bisa diganggu kegiatan yang lain karena konsentrasi dengan acara radio
tersebut. Termasuk ketika di kampung ada kegiatan kerja bakti, saya ikut turun
kerja bakti saat acara remember The Beatles selesai. Jadi saya datang ke arena
kerja bakti, pas waktunya mereka sedang istirahat sambil minum dan makan snack.
Semua
media yang dapat digunakan untuk menyalurkan kebeatlesan saya, selalu saya
manfaatkan. Salah satunya adalah pelajaran seni lukis. Saat itu Pak Manto guru
seni lukis dan sekaligus wali kelas memberikan tugas untuk membuat gambar cover
buku. Saya menggambar wajah John Lennon dari samping. Gambar itu saya tiru dari
salah satu cover kaset. Gambar wajah dengan kaca mata khas itu saya beri judul
Lennon&Me. Sebenarnya judul aslinya Elvis&Me karangan mantan istri Elvis.
Namun karena saya tidak suka Elvis, judul itu saya comot dan Elvis saya ganti
dengan Lennon.
Kemudian
saat ada tugas membuat gambar cerita pendek empat babak. Saya membuat gambar
dengan tokoh saya sendiri. Gambar satu adalah saya membeli kaset Beatles.
Gambar dua saya membayangkan enaknya jadi Beatles yang terkenal. Gambar tiga
saya tidur dan mimpi menjadi Beatles sedang konser ditepuki penonton. Gambar
empat saya bangun dan muncul keinginan kuat mewujudkan mimpi dengan belajar dan
berlatih keras untuk mampu seperti mereka.
Film
tentang Beatles juga sebagian besar pernah saya lihat. Namun untuk bisa nonton
film mereka saya harus rela tinggal di asrama polisi Patuk. Di rumah Mbak Jazim
ada video. Berbekal uang dari rumah saya menyewa kaset video Beatles.
Film
pertama yang saya lihat adalah film hitam putih A Hard Days Night. Kemudian
Help yang sudah berwarna, dan Let It Be konser mereka di atas bangunan
bertingkat itu. Hanya tiga film, karena di rental yang ada juga hanya ada tiga
judul. Saya belum memiliki referensi lain di luar tiga film itu. Ternyata
belakangan baru saya paham ada film lain yang dibuat oleh mereka Magical
Mystery Tour.
Buku-buku
tulis, juga saya tempeli dengan potongan-potongan poster mereka. Karena itulah
saya oleh sebagian teman SMP dipanggil John. Khususnya Zuni yang selalu
memanggil saya John hingga SMA.
Nonton
konser Beatles adalah sebuah obsesi yang tak pernah padam. Namun karena mereka
sudah bubar sebelum saya lahir, maka hil yang mustahal untuk dapat melihatnya
secara live. Maka kelompok Barata yang membawakan lagu-lagu Beatles di panggung
menjadi penggantinya. Pengusung lagu Beatles paling laris di Indonesia itu
dikomandani oleh Abadi Soesman yang memegang kibor dan kadang gitar. Jelly Tobing menabuh drum dan dua personel lainnya
memegang gitar dan bas. Di Jogja juga ada kolompok musik yang khusus membawakan
lagu Beatles, namanya agak panjang sehingga saya lupa.
Ketika
ada salah satu EO menyelenggarakan konser musik dengan tema Beatles membuat
saya semangat untuk nontonnya. Sebagai penyaji utama adalah Barata. Yang lain
sebagai pembuka adalah band lokal dari Jogja. Sabtu siang sepulang sekolah saya
mengendarai motor Yamaha L2 Super yang biasa dipakai harian oleh bapak ke
kantor menuju Kemetiran Kidul, tempat sekretariat panitia. Saya beli dua tiket.
Harga tiket Rp.5.000,- per lembar.
Rencana
saya mau nonton bareng dengan Usman. Saya dan Usman sudah janjian. Dia akan
menghampiri saya membawa Honda Astreanya, sore ba’da magrib. Manusia hanya punya rencana, sedang Tuhan yang menentukan
segalanya. Satu jam sebelum waktu janjian dengan Usman untuk melihat konser
mirip-mirip Beatles, ada kejadian tragis yang membuyarkan rencana dan
angan-angan saya.
Ceritanya, ibu saya ketika hendak memindah
wajan penggoreng, tiba-tiba secara tak terduga wajan berisi minyak goreng yang
masih super panas itu tumpah. Tumpahnya tidak di tempat yang tepat. Minyak
goreng panas yang super kurang ajar itu menimpa kaki ibu yang tercinta. Kontan
ibu meraung kesakitan saking panasnya.
Kami
sekeluarga kaget dan panik atas tragedi yang terjadi menjelang maghrib itu.
Keributan di rumah mengundang saudara dan tetangga mendatangi rumah saya. Dalam
waktu sekejap rumah penuh dengan orang. Banyak saran yang diberikan untuk
meredakan sakit. Ada yang bilang dengan odol. Saat itu memang kaki ibu sudah
dipenuhi warna putih odol. Ada yang menyarankan diolesi dengan oli. Maka dengan
ember diisi oli kaki ibu direndam di dalam ember isi oli itu.
Butuh
waktu lebih satu jam untuk meredakan rasa sakit akibat terjangan minyak panas
itu. Waktu adzan maghrib orang yang berkerumun sudah mulai bekurang, mereka
satu per satu pulang. Hanya ada keluarga dan saudara yang masih bertahan di
teras, bagian depan rumah. Ibu duduk di kursi panjang dengan kaki masih
terendam di ember oli. Saya lihat ibu masih menahan rasa sakit. Itu nampak dari
ekspresi wajah dan juga gerakan tangannya. Di saat kondisi seperti itulah Usman
datang.
Melihat
kerumunan keluarga di rumah, Usman nampak kaget. Apalagi saat melihat ibu duduk
di kursi panjang dengan wajah menahan sakit dan kaki direndam di ember. Saya
jelaskan kalau ibu baru saja terguyur minyak goreng. Saya kemudian masuk rumah
dan mengambil dua tiket konser Beatles mirip-mirip itu. Tiket saya serahkan ke
Usman. Saya minta dia mengajak teman lain untuk menggantikan saya. Sayang kalau
tidak dilihat. Setelah basa-basi sebentar dia pamit dan pulang.
Dia
harus kembali ke Wonokromo dulu untuk mengajak teman yang lain. Saya
mengiringnya hingga ke depan rumah. Kepergian Usman juga menghapus angan-angan
saya melihat konser Beatles. Meskipun saya keranjingan Beatles, saya tidak
sampai hati melihat ibu begitu. Ibu yang melahirkan saya sedang menderita,
mosok saya tinggalkan hanya untuk nonton konser sambil jingkrak-jingkrak dan
berteriak yeah..yeah..alangkah durhakanya saya.
Dua
tahun setelah kejadian itu saya
berkesempatan nonton Barata kembali konser di Mandala Krida. Namun saat itu saya sudah tidak lagi jatuh
cinta kepada Beatles. Saya masih sayang, namun saat itu hati saya sudah
kecanthol pada grup musik yang lain. Grup musik itu adalah Pink Floyd.
Keinginan
nonton konser saya berganti dari Beatles ke Pink Floyd. Keinginan itu ternyata
bisa terwujud meskipun juga hanya melihat yang mirip-mirip saja. Karena mana
mungkin mampu melihat mereka secara langsung di Indonesia. Sedangkan untuk ke
luar negeri mungkin hanya mimpi di siang bolong.
Waktu
itu Log Zelebour selaku promotor dan produsen rekaman menyelenggarakan tour
untuk promosi album Godbless yang terbaru Raksasa. Setahun sebelumnya Godbless
juga melakukan konser untuk album Semut Hitam yang legendaris. Konser yang
disponsori oleh Gudang Garam itu digelar di stadion Kridosono. Selain Godbless,
sebagai pembuka disertakan Power Metal, Mel Shandy dan El Pamas. Formasi
Godbless sudah ada perubahan, gitarisnya dari Ian Antono diganti Eet Syahrani.
Personel yang lain masih tetap.
Saya,
Siloek dan Haryadi sepakat untuk nonton konser itu. Tiket yang membelikan
Siloek. Di sekolah siang sebelum konser saya dan Hari sudah mendapatkan tiket
itu dari Siloek. Sebenarnya ada bonus satu bungkus rokok Gudang Garam untuk
tiap tiketnya. Namun oleh Siloek rokok itu diserahkan ke penjual tiket. Kami
meskipun gandrung musik rock namun jauh dari rokok dan alkohol. Siloek bilang
mau berangkat sendiri dari Umbulharjo. Saya dan Hari berangkat goncengan dari
Jagalan.
Lepas
maghrib saya dan Hari berangkat. Ternyata Bimo dan Tutik juga sudah dapat tiket
dan mau nonton juga. Bimo adalah kakak Hari yang kuliah di Kedokteran Umum UGM
dan sudah lulus sepa milsuk AD berpangkat letda. Sedangkan Tutik kakak
perempuannya kuliah di Kehutanan UGM. Dua-duanya merupakan alumni SMA5 Kotagede
kebanggaan kami bersama.
Sampai
di stadion Kridosono, motor kami titipkan di tempat parkir. Meski berangkat
bareng, namun saya dan Bimo terpisah. Saya tidak tahu mengapa terpisah. Yang
jelas kami tidak bareng sampai di Kridosono. Begitu menitipkan motor, saya dan
Hari menuju ke stadion.
Ternyata
di luar stadion sudah banyak orang yang antri untuk masuk stadion. Seluruh
calon penonton itu berjajar satu-satu menuju pintu masuk. Sangking panjangnya
mereka hampir mengitari setengah stadion. Saya dan Hari ikut antri di barisan
belakang. Untungnya antrian orang yang mengular itu berjalan tertib. Tidak ada
yang saling mendahului. Saat saya ikut antri itu, band pembuka sudah tampil.
Power
Metal dari luar terdengar dengan jelas sedang menyanyikan Future World-nya
Helloween. Mereka terus menyanyi, kami masih terus antri. Karena antrian sangat
panjang sampai jatah waktu untuk Power Metal habis. Kami yang di luar sudah
mendengar Mel Shandy menyanyi. Kami masih setia berdiri antri. Beberapa lagu
hit dia di album Bianglala sudah dinyanyikan. Ternyata antrian begitu
panjangnya. Mel Shandy usai tampil, saya dan Hari baru mendekati pintu masuk.
Saya dan Hari baru dapat masuk stadion berbarengan dengan tampilnya El Pamas di
panggung.
Kami
berusaha mendapatkan tempat duduk yang strategis dari padatnya orang di dalam
stadion. Kerumunan penonton di depan panggung sudah sangat menjamur. Untuk ke
depan sudah tidak mungkin. Mereka sudah jingkrak-jingkrak sejak Power Metal
muncul. Saya dan Hari dapat tempat duduk lesehan di sisi timur stadion,
menghadap panggung meski agak jauh. Untung panggung dibuat lumayan tinggi,
sehingga aksi para personel grup musik yang tampil dapat terlihat jelas.
Saya
betul-betul terpesona oleh penampilan El Pamas. Meskipun mereka mengusung lagu
manca, namun mereka tampil tidak sembarangan. Lagu yang dibawakan juga bukan
lagu yang mudah. Mereka mengusung lagu-lagu Pink Floyd idola saya, dari album
terbaik mereka The Wall.
Saat
Baruna yang nampak seperti bule itu berteriak, “The Wall Pink Floyd!!”
Semua
penonton terdiam, lampu di panggung padam. Hanya satu sorot lampu dari luar
panggung yang mengenai sosok vokalis berambut gondrong itu. Baruna mengangkat
dua tangannya. Penonton spontan menyalakan api dari korek yang dibawanya.
Suasana
tampak ngelangut saat ada suara bayi menangis mengawali lagu The Thin Ice.
Baruna menyanyi lagu itu dengan apik. Saat dia bersenandung, “ Uuh baby….” Semua
penonton turut ikut koor.
The
Thin Ice selesai, masuk Another Brick in The Wall part 1. Saya merinding.
Instrumen di akhir lagu itu benar-benar bikin hanyut, ngelangut. Sampai
kemudian muncul sound gemuruh suara helikopter menandai masuk ke lagu The
Happiest Days Of Our Lives. Lagu rancak itu mampu mengubah dari rasa nglangut
yang sudah terbangun dari awal lebih bergairah.
Hingga
kemudian masuk lagu puncak yang menjadi sangat klasik Another Brick In The Wall
part 2. Koor anak-anak yang ada di rekaman aslinya itu, di stadion Kridosono diganti
oleh koor penonton.
Sajian
The Wall oleh El Pamas benar-benar membuat saya jatuh cinta dengan Pink Floyd.
Terimakasih kepada Totok Tewel dan kawan-kawan yang membawa saya untuk
menyenangi musik yang lebih rumit, bukan musik yang biasa-biasa saja.
Sebenarnya
saya sudah cukup puas dengan penampilan El Pamas. Namun ternyata El Pamas bukan
penyaji utama. Puncak konser malam itu adalah Godbless dengan formasi barunya.
Tahun ’89 Ahmad Albar masih sangat gagah dengan kribonya. Iyek didukung oleh
Jockey Suryoprayoga, Doni Fatah, Tedi Sujaya dan gitaris baru Eet Syahrani.
Melihat track recordnya, kualitas tampilan mereka sudah tidak perlu diragukan
lagi.
Mereka
membawakan hampir semua lagu di album Raksasa dan Semut Hitam. Semua lagu yang
dibawakan selalu diikuti oleh penonton. Ahmad Albar begitu mampu mengusai
penonton. Meskipun ada kerumunan massa begitu banyak namun tidak terjadi
kerusuhan.
Saya
dan Hari tidak beranjak dari tempat duduk sejak semula kami duduk. Ada
keinginan untuk maju ke depan untuk ikut jingkrak-jingkrak. Namun saya punya
teori, bahwa yang namanya kerumunan massa itu mudah tersulut. Sehingga lebih
aman memang menjauh. Tujuan nonton konser itu untuk menikmati penampilan, bukan
jingkrak-jingkrak sendiri, sehingga malah tidak melihat yang sedang beraksi di
panggung.
Setelah
beberapa lagu dinyanyikan, Iyek kemudian mempersilakan personel Godbless tampil
solo. Yang pertama muncul adalah Doni Fatah dengan bas gitarnya. Kemudian
disusul solo drum oleh Teddy Sujaya. Kemudian debutan Eet Syahrani selaku
gitaris baru Godbless unjuk gigi.
Saat
dia unjuk kebolehan menyayat gitar, saya dengar celotehan orang-orang di
sekitar saya yang mengomentari aksi Eet Syahrani. Katanya jauh dari Ian Antono.
Saya hanya diam saja. Tidak bisa membandingkan antara Eet dan Ian. Ilmu saya
tidak sampai ke situ. Saya hanya mendengar Eet meraung-raungkan gitarnya. Kalau
saya baca di majalah mirip dengan aksi Edward Van Hallen.
Aksi
solo terakhir Jockey dengan keyboardnya. Kali ini dia betul-betul menampilkan
diri sebagai musisi yang luar biasa. Beberapa instrumental lagu klasik dia
bawakan. Yang sangat special saat dia mengarransemen lagu Padamu Negri,
benar-benar membangkitkan semangat patriotisme yang menggelora dan mendalam.
Selesai
arransemen yang apik itu, Iyek muncul lagi dengan lagu Semut Hitam. Beberapa
lagu selanjutnya masih dinyanyikan oleh Iyek dengan kekuatan yang penuh. Hingga
memasuki lagu akhir, Iyek menyanyikan lagu Raksasa yang menjadi brand konser
tersebut, sekaligus judul album terbarunya. Ketika lagu hampir mendekati usai,
tiba-tiba di panggung bagian depan terjadi hujan kembang api.
Aksi
penutup itu benar-benar sangat memukau dan mengesankan. Saya sangat puas dengan
aksi yang ditampilkan oleh Godbless. Tidak rugi saya harus antri satu jam lebih
untuk melihat langsung penampilan Raksasa Godbless dan El Pamas yang mengusung
The Wall Pink Floyd itu. Jam 11 malam konser usai, tanpa ada kerusuhan
sedikitpun. Saya sukses nonton konser tanpa satu gangguan yang berarti kecuali
panjangnya antri untuk masuk stadion. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar