K U M A L A
Malaikat
Penyejuk Jiwa
Hermawan
Widodo
Tiba-tiba
saja dia muncul. Seorang gadis yang masih benar-benar remaja. Taksiranku kurang
dari 19 tahun. Namanya Kumala, lengkapnya Dwi Astuti Kumala Ningrum. Aku tidak
tahu kapan dia menjadi bagian dari komunitas Madani ini. Namun kemunculannya
cukup menyedot perhatianku. Dia selalu hadir di saat aku memberikan
pengajaran-pengajaran kolektif. Aku yang cukup banyak bergaul dengan banyak perempuan,
tidak menemukan padanan seperti dia. Badan tinggi semampai melebihi tinggi
kebanyakan orang. Tidak tampak sedikitpun ada lemak berlebih, cenderung agak
kurus, kesan tinggi semakin kentara. Kulit putih tampak dari jari-jari
tangannya yang dihiasi cincin sederhana tetapi elegan. Kebanyakan perempuan
bangga dengan kuku panjangnya yang penuh dengan cat warna-warni, namun makhluk
cantik ini tidak. Wajahnya oval perpaduan Jawa-Arab dengan pipi yang selalu
bersinar, dipadu hidung mancung. Bola matanya berbinar, dengan sorot mata tajam
cukup membuat orang yang tidak memiliki segumpal mental cukup, akan langsung
rontok dalam sekali tatap. Alisnya melintang tipis bertengger sempurna tepat di
atas mata yang sorotnya memabukkan. Di bawah hidung mancung itu, bertengger
dengan manis bibir tipis, yang selalu tampak segar merah merekah. Di balik
bibirnya yang selalu menampilkan senyum menawan, terpajang dengan sempurna
gigi-gigi putih berbaris rapi. Mereka dengan patuh berada pada posisinya, tanpa
ada satu bijipun yang menonjol melebihi yang lainnya. Saat berbicara, mulutnya
tak pernah terlalu lebar terbuka. Nadanya suaranya empuk, dengan intonasi yang
enak dalam tangkapan indera dengar. Ada yang khas di tiap akhir kata. Suara
desis terdengar sensual. Bagi yang berpikir ngeres mungkin terdengar erotis.
Wajah nan ayu itu ditopang oleh leher jenjang, yang tak kalah putih dan
mulusnya. Tetapi definisi cantik itu relative, sangat personal sehingga tidak
bisa disamaratakan. Tergantung dengan referensi yang dimiliki, komunitas
pergaulan, sudut pandang, dan tentu selera. Namun secara umum orang akan
sepakat, Omas atau Mpok Ati itu, tidak lebih cantik dari Luna Maya. Tidak tahu
kalau ada orang yang lebih gandrung dengan Mpok Ati daripada kepada Luna Maya.
Mungkin oleh Andrea Hirata akan dimasukkan dalam kategori penyakit gila nomer 69
: lebih menyukai wanita tua jelek daripada wanita muda cantik.
Tanpa
kusadari ternyata dia menjelma menjadi makhluk cantik yang selalu menghantuiku.
Di mana aku berada, makhluk cantik itu juga selalu hadir, meski hanya sebatas
bayangan imajiner. Aku tidak bisa lepas dari sosok makhluk cantik nan ayu itu, yang
sepertinya memang dikirim khusus oleh Tuhan yang Maha Tahu, turun ke bumi untuk
membuat suasana menjadi indah. Teman-teman di komunitas Madani tahu kalau aku
mengagumi Kumala. Istriku juga tahu kalau aku senang dengan Kumala. Saat aku
menceritakan bahwa di komunitas Madani ada gadis yang cantik kepada istriku,
tanggapannya dingin saja. Ketika aku terus nerocos bahwa anak ini tinggi,
semampai, putih dan cantik, dia baru bereaksi.
“Naksir
ya?” sergapnya.
Aku
gelagapan, “Nggak..nggak Mama lebih cantik!” jawabku spontan.
Istriku
mendekat, “Kaya apa sih orangnya, kok Mas semangat sekali ceritanya.”
Waktu
itu aku hanya mampu mendeskripsikan dengan kata-kata. Aku tidak tahu bagaimana
istriku merekonstruksikan rupa makhluk yang kuceritakan itu, dalam benak dan
pikirannya.
Saat
kutunjukkan foto Kumala yang kutemukan di sekretariat komunitas Madani, istriku
bilang, “Cantik banget dia Mas, orang mana?”
“Orang
sini saja,” jawabku singkat.
Ternyata
istriku tidak marah. Istriku memang bukan saja tercantik di dunia, namun juga
hebat luar biasa. Hatinya tak mudah terbakar oleh rasa yang tidak semestinya.
Dia begitu dewasa banget. Ketika ada pertemuan bersama, dan di situ ada Kumala,
istriku menghampirinya. Kulihat istriku berbincang akrab. Mungkin karena sesama
wanita cantik hingga mudah akrab. Saat pulang istriku bilang bahwa Kumala
memang cantik.
Aku
menggoda, “Mama nggak cemburu?”
Mendengar
itu istriku mencubit pinggangku.
“Kalau
dia secantik itu ya tidak bikin cemburu lah, pantas kalau orang kagum. Kalau
Mas seneng sama dia wajar. Kecuali seneng sama Surtinah pembantu tetangga
sebelah, itu baru ngaco, tidak waras. Tapi awas kalau macam-macam ya!”
“Iya.Iya..Mama
itu bagiku istri satu-satunya. Istriku yang tercantik di dunia. Tapi boleh to
seneng pada makhluk cantik itu?”
Istriku
tak menjawab, malah mencubit lagi pinggangku lebih keras.
“Dasar
laki-laki, semua yang cantik dimauinya!”
Aku
hanya tertawa, istriku menambah lagi cubitannya.
Aku
mengagumi Kumala dengan cukup memandangnya saja, tak lebih dari itu. Dan itu
sudah lewat sekian tahun yang lalu. Setelah itu aku tidak pernah jumpa dengan
Kumala entah sudah berapa lama. Ada rasa kangen, ingin kembali memandangnya.
Kemudian tiba-tiba saja peristiwa naas itu menimpaku. Rombongan mobil yang
kutumpangi bertabrakan dengan mobil lain di Pemalang. Aku, anakku, dan
penumpang lain menjadi korban dalam kecelakaan maut itu. Untung tidak satupun
nyawa melayang. Suatu mukjizat bagiku, mengingat kondisi mobil yang betul-betul
ringsek. Cukup lama aku terkapar tanpa daya di rumah sakit. Aku tidak mampu
berbuat apa-apa. Istriku dengan setia mendampingiku selama di ruang pesakitan
itu. Sahabat-sahabat bergantian datang memberi support. Tapi dari sekian orang
yang datang, satu makhluk ciptaan Tuhan yang kuharapkan kehadirannya tidak
tampak di antara mereka. Tiap-tiap mereka datang berombongan, kucari-cari makhluk
cantik itu. Ya Kumala, aku berharap dia hadir di antara mereka. Nyatanya dia tidak
pernah ada. Akupun sudah pupus berharap. Bagaikan si pungguk merindukan bulan.
Aku pasrah kepada nasib yang sudah digariskan. Selamat tinggal makhluk
cantikku. Maafkan segala salah dan khilafku.
Tetapi
kadang memang Tuhan memiliki skenario sendiri, ketika tiba-tiba di senja yang
temaram selepas maghrib. Saat istriku baru saja selesai membersihkan badanku,
dan aku selesai sikat gigi. Tanpa diduga datang makhluk yang sudah kuhapal
betul. Makhluk itu berjalan mendekat bed di mana aku terkurung selama ini. Aku
kucek-kucek dua mataku memastikan bahwa ini bukan mimpi. Benar, fenomena ini
nyata bukan maya. Makhluk cantikku itu tiba-tiba saja sudah hadir di hadapanku.
Dia sekarang menjelma menjadi malaikat yang cantik jelita. Sungguh aku
dibuatnya terpana. Mulutku menganga, namun segera ditutup oleh istriku. Kemudian
istriku mencium pipiku seraya berbisik di dekat telinga, “Tuh pujaanmu telah
datang membezoek.”
Istriku
keluar ruang memberi kesempatan aku berdua dengan Kumala. Seluruhnya tampak
indah dipandang mata. Menutup rambutnya, kerudung yang digelung dengan asesoris
pilihan. Ada kalung kecil melingkari lehernya yang jenjang putih mulus. Dua anting
elegan bertengger di telinganya. Gelang berhias mutiara melingkar di tangan
kanannya menambah elok penampilannya. Pakaian yang dikenakan belum pernah
kulihat sebelumnya. Semua terpadu dengan sempurna. Keindahan yang tersaji tiada
tara. Sungguh Kumala bagaikan malaikat yang turun dari surga, datang khusus di
bangsal ini. Kecantikkannya mampu memberikan daya magis luar biasa. Jiwaku
termotivasi untuk segera bangkit, sembuh dari sakit, keluar dari bangsal sial
pembawa sengsara. Tidak banyak kata-kata, hanya sorot matanya memandangku lembut
meneduhkan. Harapanku yang sudah pupus, terpenuhi lebih dari yang kuminta.
Kumala hadir dengan segenap auranya yang luar biasa.
Ketika
dia duduk di samping bed, banyak pengunjung yang lewat menyempatkan diri untuk
menengok malaikat cantik itu. Para perawat tidak ketinggalan memanfaatkan
waktunya ketika mengontrol aku untuk sekedar melihat dari dekat, Kumala yang
sungguh memikat. Hidungku jadi megar.
Pasti
mereka akan berkata dalam hatinya, “Ini orang kok dijenguk oleh seorang
perempuan cantik sekali.”
Aku
biarkan saja pikiran-pikiran mereka dalam hati itu.
Kujawab
juga dalam hati, “Baru tahu kamu semua. Inilah makhluk cantikku yang kutunggu
kedatangannya. Sekarang dia hadir bagaikan malaikat dengan keindahan sempurna.”
Bagai
tahu jawaban dalam hatiku, mereka bergumam dalam hati, “Pak Wid ini hebat,
temannya banyak, istrinya cantik, yang jenguk tak kalah cantiknya.”
Dalam
hati aku tertawa,” Haa..Haa..jangan salahkan aku kalau istriku cantik, dan yang
di hadapanku sekarang malaikat super cantik yang baru saja turun dari kahyangan.”
Tidak
terasa waktu begitu cepat berlalu. Istriku sudah masuk dalam ruangan. Kumala
berdiri mendekatiku, kemudian mengenggam tangan kananku. Dengan lembut dia
berkata “Cepat sembuh Pak. Kumala pamit pulang.”
Aku
hanya tertegun, tak menjawab apa-apa. Tangannya kugenggam erat. Sebelum kulepaskan
tangannya yang lembut itu, aku hanya berucap pendek ”Terimakasih.”
Kumala
kembali memandangku dengan tatapan yang sungguh menyejukkan. Hatiku terasa
membumbung. Sakitku bagaikan lenyap melayang saat itu. Tidak kurasakan apapun.
Andaikan saat itu ada sebutir kelapa besar atau sebongkah batu jatuh menimpa
kepalaku, mungkin aku tidak akan merasakannya. Kumala berdiri menghampiri
istriku. Mereka berpelukan dan berciuman pipi kiri dan kanan. Kudengar istriku
mengucapkan kata terima kasih. Kumala hanya mengangguk. Kuikuti setiap jengkal
geraknya. Dia menengokku, kemudian berjalan menuju pintu. Istriku mengiringi di
belakangnya. Sebelum keluar dari pintu ruang itu, Kumala membalikkan badannya
dan kembali memandangku. Mataku beradu pandang dengan matanya yang bagaikan
mutiara. Kesejukan kembali mengalir ke pembuluh darahku, menyirep rasa sakit di
sekujur tubuhku.
“Assalamu
alaikum,” ucapnya lirih sebelum dia benar-benar hilang dari pandanganku.
Itu
pertemuanku dengannya yang pertama dan terakhir selama kurang lebih seratus
hari aku menjadi pesakitan. Selama itu istriku yang menjadi nyawaku. Tanpanya
mungkin aku sudah tumbang. Tetapi memang ada motivasi kuat untuk bisa kembali
bangkit oleh kehadiran malaikat yang tak terduga itu. Pulang ke rumah aku masih
harus banyak di atas ranjang. Hanya pagi dan sore aku keluar untuk
berjalan-jalan dengan penyangga. Sekedar untuk menggerakkan badan dan membuang
bosan seharian terkurung di dalam rumah. Aku berharap Kumala datang menjengukku
di rumah. Harapan yang agak mengada-ada tentu. Tetapi sepertinya Tuhan memang
terlalu sayang padaku. Apa yang kuharapkan, meski jauh dari kenyataan, terwujud
oleh kuasaNya.
Sore
itu aku berjalan-jalan di trotoar jalanan yang agak ramai. Dari arah berlawanan
kulihat sebuah sepeda motor mendekat. Aku agak minggir menghindari, kalau-kalau
sepeda motor itu remnya blong. Aku tidak mau mengalami kecelakaan lagi untuk
yang kedua kali. Sepeda motor itu berhenti persis di depanku. Penumpang berhelm
dengan penutup kaca kemudian turun. Ternyata dia seorang wanita. Aku agak
heran, namun aku merasa mengenal sosok yang masih mengenakan helm berkaca gelap
itu. Begitu helm itu dibuka, dan menampakkan wajah, seketika aku terkesima.
Ternyata Kumala, sang malaikat yang hanya sekali membezoekku di rumah sakit.
Dia tiba-tiba sudah ada di depanku lagi. Tuhan memang Maha Misterius. Aku yang
tidak lagi berharap bisa bertemu, malah dipertemukan di trotoar pinggir jalan.
Dia berjalan mendekatiku yang masih belum pulih benar kesadarannya dari rasa
shock. Cara berjalannya begitu anggun. Dia membawa plastik kresek putih. Begitu
di depanku dia acungkan tangannya yang lembut. Kuraih tangannya untuk kujabat
dengan erat.
“Bagaimana
kabarnya Pak?” sapanya.
“Alhamdulillah.
Ya seperti ini sekarang. Tetap disyukuri apapun kondisinya,” aku berusaha tegar
di hadapannya.
“Maaf,
tidak bisa menengok ke rumah. Kumala belum tahu rumahnya yang mana?” ungkapnya
kemudian.
Dengan
bersemangat kusampaikan kepada Kumala alamat rumah kontrakanku lengkap dengan
arah-arahnya, warna cat rumah, dan tanda-tanda lain yang memudahkan untuk
mencarinya.
“Ya,kapan-kapan nanti Kumala ke rumah,”
ungkapnya yang di telingaku bagaikan suara dari surga.
Aku
betul-betul tersanjung malaikat cantikku mau datang ke rumah. Dia serahkan
plastik kresek warna putih itu kepadaku.
“Ini
kolak buatan Kumala, tidak tahu enak atau tidak.”
Kresek
isi bungkusan kolak itu kuterima dengan hati berbunga-bunga.
“Terima
kasih. Tidak mampir ke rumah sekarang?” ucapku berharap.
“Sudah
menjelang maghrib. Kapan-kapan saja saya berkunjung.”
Setelah
menjabat tangan, dia kembali ke sepeda motornya, menstaternya kemudian melaju
meninggalkanku yang masih termangu sambil membawa plastik kresek putih isi kolak
buatan Kumala. Begitu Kumala sudah hilang dari pandangan, aku bergegas pulang.
Rasanya kaki melangkah lebih ringan. Plastik kresek isi kolak kupegang erat,
takut terjatuh. Plastik kresek itu bagiku benda yang sangat berharga. Saat itu
aku akan membela mati-matian dengan tongkat penyanggaku, jika ada orang yang
berniat jahat maupun tidak jahat, yang ingin mengambil kresek putih isi kolak
itu. Bagiku tas kresek itu adalah simbol dari Kumala itu sendiri. Di dalamnya
ada kolak buatan tangannya sendiri. Di dalamnya ada hatinya kurasa. Di rumah
kolak itu kumakan bersama istriku. Istriku sepakat bahwa rasa kolak itu sangat
enak. Manis, ada gurih dan aroma nangka yang khas. Bahkan seandainya kolak itu
rasanya asin sekalipun, aku akan merasakannya sebagai manis. Rasa itu
berhubungan dengan perasaan. Jika sedang sakit, gule masakan enak favoritku
akan terasa hambar di lidah. Namun kata Gombloh tahi kucing pun serasa coklat
ketika hatinya sedang kasmaran.
Waktu
berjalan terus dari jam ke hari, dari hari ke minggu dan dari minggu ke bulan
tanpa henti. Setelah momen kolak di trotoar pinggir jalan itu, aku kembali tak
mendengar kabar Kumala. Sayup-sayup kudengar dia pergi ke ibu kota atau ke luar
Jawa, tak begitu jelas. Aku hanya berharap dia baik-baik saja. Tetapi kembali
Tuhan mungkin memiliki keinginan sendiri untuk makhluknya. Aku mendengar kabar
yang tidak mengenakkan tentang Kumala. Kudengar kabar samar-samar, Kumala telah
bergaul terlalu jauh dengan orang yang tidak kupahami siapa. Ada rasa galau, tidak
terima dan cemburu hebat yang menyergap seluruh jiwaku. Meski begitu aku berusaha
untuk menenangkan pikiranku dan hatiku yang kacau balau. Aku berusaha menempatkan
diri sebagai seorang dewasa yang harus mampu berpikir jernih. Dari berita yang
berkembang kucoba untuk mereka-reka bagaimana malaikatku saat itu. Kumala nun
jauh di sana berjumpa dengan seorang muda yang tentu memiliki segala hal yang
dikehendaki oleh tiap gadis. Wajah cakap, tubuh atletis, pendidikan cukup, dari
keluarga ekonomi mapan, pergaulan luas dan modern. Orang muda yang dengan
pengalamannya mampu membuat gadis yang diharapkan tunduk padanya. Kumala yang
sedang tumbuh dalam mengarungi kehidupan, mendapatkan seorang muda yang bisa
memberikan pengalaman baru. Pengalaman yang mungkin selama ini tabu. Jangankan
dilakukan, sedang melihatnya saja tidak. Namun memang sesuatu yang dilarang
itu, merangsang untuk mencoba melihat, melakukan dan membuktikan. Orang muda
itu mampu, dengan pengalamannya membimbing Kumala pada pengalaman-pengalaman
baru yang selama ini tak didapatkannya di
komunitas Madani. Pengalaman yang awalnya menakutkan, meragukan untuk
dilakukan, hingga akhirnya menjadi pengalaman yang menyenangkan. Pengalaman
yang kemudian ingin terus diulang. Aku memahami betul hal itu. Aku tidak mau
egois berharap Kumala sempurna seperti harapanku. Saat itu aku hanya sangat
berharap ada penolakan dari Kumala ketika orang muda itu berusaha mengajaknya.
Aku hanya berharap Kumala berkata tidak, menjelang detik-detik kejadian itu.
Meskipun aku yakin berteriak tidak, sekeras dan sekuat apapun, tidak akan mampu
menghentikan kejadian yang sudah digariskan itu. Dua orang berbeda jenis, dalam
kondisi seperti itu hanya dapat menjalani bimbingan birahi yang tidak disadari telah
menguasainya.
Aku
hanya termangu, antara ingin tahu dan rasa malu. Terus terang sejak kabar yang
sampai ke telingku secara sayup-sayup itu, aku malu ketemu Kumala. Ada rasa
enggan. Ada yang sudah berubah pada diri Kumala. Aku hanya ingin tahu bagaimana
dia, namun aku tidak ingin ketemu Kumala. Aku masih simpan nomernya, namun aku
tidak pernah mencoba menghubungi Kumala. Dengan iseng dan tentu sangat ngawur,
kucoba telusuri keberadaan Kumala di internet. Saat kuketik lengkap nama Dwi
Astuti Kumala Ningrum, yang kudapatkan malah pernyataan mungkin yang anda
maksud Astuti. Aku hanya geleng-geleng mendapatkan informasi ini. Kuanggap mbah
Google ini gendeng. Mauku mencari Kumalaku, yang disajikan data Astutinya Gito
Rollies. Mungkin mbah Google juga menganggapku sableng, mencari orang yang tak
terkenal kok di internet. Mestinya ke pasar-pasar, bertanya kepada para penjual
sayur, atau ke terminal bertanya kepada kondektur. Begitu mungkin maunya mbah
Google. Aku tidak kalah sengit, jika mbah Google tidak mengenal Kumalaku yang
cantik jelita, berarti dia goblok, matanya buta minimal rabun, atau buta warna.
Tetapi ada benarnya juga saran itu. Aku mulai mencari tahu keberadaan Kumala ke
pasar-pasar, bertanya kepada tukang penjual sayur, penjaga toko, tukang obat
keliling hingga tukang parkir. Tidak ada dari mereka yang tahu siapa itu
Kumala. Ada yang bilang Kumala berada di pojok pasar, ternyata itu nama kucing
milik bos toko emas di pojok pasar itu. Penelusuran di pasar-pasar nihil tanpa
hasil. Aku mencoba ke terminal, menanyakan kepada sopir bus, sopir angkot
hingga tukang ojek. Kepada para kondektur hingga pengamen yang turun naik bus
juga kutanyakan, apakah tahu Kumala. Jawabannya hampir semua sama, dengan
gerakan geleng kepala. Kumala sudah betul-betul tidak ada. Jangankan orangnya,
jejaknya saja tidak terlacak.
Hingga
suatu ketika Marjono, salah seorang kawan mengajakku ke rumah salah seorang
koleganya. Ketika masih termangu di depan pintu, aku kaget oleh pintu yang
tiba-tiba terbuka itu. Lebih kaget lagi ketika melihat sosok yang baru saja membuka
pintu. Aku tidak percaya. Mataku kukucek, jariku kupitek untuk memastikan aku
tak sedang mimpi. Belum sadar benar, keluar dari mulutnya suara yang juga sudah
sangat melekat di gendang telingku.
“Mari
silakan masuk. Kakak sedang keluar sebentar menjemput anaknya.”
Ternyata
dia Kumala. Tak ada yang berubah darinya, hanya tubuhnya tampak berisi, lebih
gemuk dan segar. Aku bagai kerbau dicocok hidungnya, mengikuti dari belakang
masuk ruang tamu. Kumala menawari minum. Sebentar kemudian Kumala sudah muncul
membawa dua gelas berisi teh hangat. Langsung kuminum teh itu untuk mengurangi
rasa grogi yang sudah menggerogoti hatiku. Lidahku mulai kelu. Penyakit laten langsung
menyergap begitu dekat dengan Kumala. Kosa kataku hilang, aku tidak mampu
bicara. Aku malah sibuk memandangi Kumala yang lama tak kujumpa. Aku ingin
meresapi malaikatku hingga ke dalam lubuk hati paling dalam. Mataku terus
memandangnya. Ketika Kumala juga mengarahkan pandangannya kepadaku, mataku
beradu pandang dengan matanya yang bagai kejora. Sesaat kemudian Kumala
menunduk, membuang pandangan ke arah luar melalui pintu. Dari dialognya dengan
Marjono, dapat sedikit kuserap informasi, Kumala sekarang sudah sendiri.
Suaminya sudah tidak ada lagi. Usaha peninggalan suaminya dikelola oleh adik
suaminya. Dia memilih kembali tinggal di kota kelahirannya. Mendengar isi dialog
itu, terus terang hatiku teriris, begitu trenyuh mendengar perjalanan nasibnya.
Saat kakaknya datang, dan keperluan dengan Marjono sudah cukup, kami pamit
pulang. Aku genggam erat tangan Kumala saat pamitan. Kupandangi wajahnya.
Kumala tersenyum sangat manis. Pandanganku nakal, dari wajah turun ke bawah,
leher, dada hingga perut yang sekarang nampak lebih gemuk berisi. Kumala
mengiringi hingga halaman depan. Aku pandangi sekali lagi Kumalaku yang ayu
itu. Dia tetap tersenyum. Aku merasa bahagia saat itu. Aku pulang dengan
perasaan yang luar biasa. Hatiku gembira ria, girang gemirang campur aduk.
Ternyata
itu adalah pertemuan yang butuh waktu sangat panjang untuk dapat diulang.
Berkali-kali aku sengaja ke rumah kakaknya, dengan harapan ketemu dengan
Kumala, tetapi selalu tidak ada. Kumala sudah kembali ke rumah orang tuanya di
lereng gunung Muria. Aku mendengar kabar entah dari mana sumbernya yang
menyebutkan Kumala melahirkan. Mendengar kata melahirkan aku kaget bukan alang
kepalang. Kapan hamilnya, dengan siapa. Sebuah pertanyaan kalut dan naif. Aku
lupa bahwa Kumala pernah menjadi istri orang. Aku juga tidak begitu menyadari
ada perubahan di tubuh Kumala, terutama perutnya yang agak gemuk saat ketemu di
rumah kakaknya sekian bulan lalu. Sungguh aku dibuat kelimpungan memikirkannya.
Lebih kelimpungan lagi ketika aku juga tidak punya daya apa-apa. Aku tidak
mampu berbuat sekecil apapun untuk malaikatku itu. Aku serasa di atas bukit
yang tinggi, ketika Kumala sedang berada di ujung jurang. Aku menyesali diriku
yang seperti itu. Aku malu. Saking malunya akupun tidak berani menengoknya
sekedar untuk melihat keadaannya. Aku ingat bagaimana ketika aku terkapar di rumah
sakit, malaikatku hadir membawa kesejukan di jiwaku. Sementara ketika dia
sedang seorang diri dalam kondisi seperti, aku malah menjauhi. Sungguh aku
menyesal luar biasa dalam. Maafkan aku Kumala. Mungkin engkau tidak bakal
pernah memaafkanku. Atau malah mungkin engkaupun tak pernah menganggap aku ada.
Aku tak tahu misteri jawaban itu. Hanya dirimu sendiri yang tahu, dan yang di
Atas sana. Yang jelas aku merutuki ketidakmampuanku, entah sampai kapan.
Aku
melupakan ketidakmampuanku dengan menenggelamkan diri dalam rutinitas. Aku
berusaha tidak mencari tahu bagaimana kondisi Kumala kini. Aku betul-betul
ingin menguburnya. Mengubur yang paling dalam hingga tidak lagi tampak di
permukaan. Karena kemunculannya hanya akan menyembulkan lagi rasa penyesalanku
yang paling dalam. Tetapi entah mengapa, timbul juga hasrat untuk sekedar
mendengar kabarnya. Aku mencoba membuka memori HP bututku. Kucoba menulis SMS
dengan HP bututku itu. Hai bagaiamana kabarnya? Di ujung kalimat setelah titik,
kububuhi inisial Wid. SMS itu terkirim, berdasarkan laporan dari HPku. Aku
menunggu-nunggu balasan. Lama tak ada respon apa-apa pada HPku yang sudah
sangat merana itu. Tak ada dering khas super jadul tanda SMS masuk. Menit
berlalu. Jam pun telah lewat. Akhirnya siang sudah menuju malam, dan hari pun
sudah berganti. SMS balasan itu tidak kunjung datang. Namun aku tidak kapok
hanya sekali itu mengirimi Kumala SMS. Setiap ada kesempatan aku selalu
mengirim dia SMS. Kalimatnya sama, persis tak kuubah sedikitpun. SMS yang sudah
kukirim, kukirim lagi dan lagi.
Hingga
suatu ketika usahaku yang ngotot itu membuahkan hasil. Dari HP bututku
satu-satunya itu terdengar nada dering khas. Saat dengan malas kubuka SMS
masuk, yang muncul adalah nama Tut Kumala.
Aku
berteriak, “Yes!”
Dengan
buru-buru kubuka SMS dari malaikatku yang sudah lama kutunggu.
Isinya
singkat saja : “Alhamdulillah baik.”
Aku
lega membacanya. Ternyata Kumala baik-baik saja. Dan yang lebih penting dia mau
menjawab SMSku. SMS dari Kumala itu tetap kusimpan dan tidak kuhapus. Sejak itu
aku berusaha selalu menanyakan kabarnya dengan bantuan teknologi SMS. Meski
lebih sering tak dibalasnya. Jikapun dibalas hanya singkat, dua tiga kata saja.
Padahal aku menulis berkalimat-kalimat, bahkan mungkin beralinea-alinea.
Suatu
ketika aku memiliki keberanian yang muncul tiba-tiba. Aku ingin ke rumah Kumala
di lereng gunung Muria itu. Aku ingin melihat keadaannya. Mungkin sekali sudah
sangat terlambat. Namun pepatah bijak lebih baik terlambat daripada tidak sama
sekali berbuat. Aku tekadkan ke rumah Kumala dengan mengajak Jihan. Kuajak dia
ke salah satu warung menthok goreng kesukaannya. Saat masih di warung makan
itu, aku mengirim SMS kepada Kumala. “Bolehkah aku mampir ke rumah?”
Kutunggu
jawaban dari Kumala. Lama tak ada nada dering khas tanda SMS masuk. Hingga satu
porsi nasi dan sepotong menthok goreng hampir habis, tak ada balasan dari
Kumala. Aku sudah tidak berharap bisa ke rumahnya. Mungkin memang aku tak boleh
ke sana. Ketika sendok terakhir nasi masuk ke mulut, tiba-tiba saja nada dering
khas yang kutunggu-tunggu itu berbunyi. Kubuka SMS dari Kumala “Silahkan. Saya
di rumah”.
Aku
tersenyum, hatiku lega. Aku bakal ketemu Kumala, makhluk cantik itu,
malaikatku. Kujadikan SMS Kumala itu sebagai alibi kepada Jihan untuk kuajak
mampir ke rumahnya. Tentu dia tak bisa berkutik lagi. Sogokan menthok goreng
satu porsi cukup membuatnya manut-manut saja.
Tidak
sampai lima belas menit sepeda motor yang kami tumpangi sudah berada di depan
rumahnya. Kuketuk pintunya yang tertutup. Hatiku deg-degan. Tak lama kemudian,
pintu terbuka. Tiba-tiba saja sudah berdiri di depanku, seorang perempuan yang sudah
pernah sangat kukenal. Namun aku terkejut ketika melihatnya. Aku seratus persen
yakin, dia memang Kumala. Tetapi kenapa badannya begitu kurus. Sekelebat
ingatanku melayang pada Kumala sekian tahun lewat, saat dia duduk di barisan
paling depan ruang pengajaran. Saat dia menjengukku sendirian di rumah sakit.
Juga saat dia membukakan pintu ketika aku bertandang ke rumah kakaknya. Kumala
yang berkelebat dalam memoriku, sangat berbeda jauh dengan Kumala yang saat ini
di hadapanku. Aku kaget saat Kumala mengajak masuk. Dengan agak gugup aku
melangkah dan duduk di kursi tamu. Kumala masuk ruang sebelah dan kembali sudah
membawa dua gelas sirup dan toples snack. Tiba-tiba ada suara tangis anak
kecil. Kumala permisi untuk menggendong bocah itu. Dalam gendongannya bocah itu
diajak menemuiku. Bocah laki-laki kecil itu adalah anaknya. Berkulit putih
bersih, wajah cakep, menurun dari wajah ibunya. Aku tidak tahu bagaimana wajah
ayahnya. Tidak lama aku di rumahnya. Karena pasti aku akan gagap di hadapannya.
Aku sudah merasa cukup bisa mengetahui kondisi Kumala terkini. Kondisi yang membuatku
sangat terpukul. Aku tidak siap menerima malaikatku sekarang begitu. Badannya sangat
kurus, wajah tirus dengan mata cekung. Kumala pasti telah begitu menahan beban berat
yang amat sangat selama ini. Dan itu ditanggungnya sendirian. Tidak ada siapa-siapa
di belakangnya. Tidak juga aku, yang justru menjauh di saat Kumala bergumul
dengan masalah sangat pelik. Aku hanya bisa kembali merutuki diriku. Penyesalan
yang sudah pasti tidak berarti.
Blora, tengah
malam 10 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar