J
U D I
Nasib
di Ujung Persilangan
Hermawan Widodo
Tangisnya
belum juga berhenti, meski area makam di pinggir Kali Kembangsuli itu sudah
sepi. Judi tetap bersimpuh di samping pusara yang masih basah. Tangannya
menggenggam tanah, meremas-remasnya, tak segera dilepas. Bahunya terguncang
oleh tangisnya.
Sutini
memegang bahu suaminya, “Ikhlaskan Mas. Biarkan anak kita tenang.”
Judi
perlahan bangkit. Sutini membantunya berdiri tegak. Judi tertunduk memandang
pusara anaknya. Air matanya kembali meleleh.
“Maafkan
Bapak. Tenangkan dirimu Nak. Tunggu Bapak ya. Tak bakal lama, Bapak akan temani
kamu, sayangku” ucapnya lirih.
Istrinya
membimbing Judi menyusuri area makam untuk menghindari menabrak nisan. Mendung
yang sedari pagi menggantung tak sanggup lagi menahan beban kandungan airnya.
Begitu pasangan muda itu meninggalkan makam yang baru saja merengkuh jasad
anaknya, hujan turun tak terbendung. Air membasahi bumi dan segala isinya. Air
mata Judi membasahi pipi dan mengoyak hatinya.
***
Rasanya
baru kemarin Judi merengkuh kebahagiaan. Sutini, kembang desa mampu disandingnya.
Pemuda lain yang mencoba mendekati, begitu melihat gelagat Judi menaruh hati
pada Sutini, mundur teratur. Mereka tahu diri, Judi bukan saingan sebanding. Judi
dari kalangan keluarga terpandang di Kembangsuli. Bapaknya adalah pemilik sawah terluas di desanya. Ibunya,
pedagang yang tokonya paling besar di pasar desa. Namun sesungguhnya karena
faktor Judi sendiri, yang menjadikannya melaju tanpa pesaing untuk mendapatkan
Sutini. Mereka tahu persis kualitas Judi. Orang muda yang hampir tanpa rasa
takut. Siapa saja yang menjadi penghalang, dibuatnya tunggang langgang. Yang
pernah berurusan dengan Judi, tahu benar resiko membuat masalah dengannya. Para
pemuda itu tahu. Orang tua Sutini tahu. Pun Sutini sendiri tahu. Menerima
pinangan Judi adalah langkah kompromi. Hanya Sugeng, kakak Sutini yang
keberatan dengan rencana perkawinan itu.
“Saya tidak setuju Sutini kawin dengan
adikmu,” kata Sugeng kepada Martinah istrinya.
“Pantangan,
dalam satu keluarga terjadi perkawinan silang model begitu. Seorang laki-laki
punya adik perempuan dikawin oleh adik kandung istrinya. Akan terjadi hal-hal
yang tidak diharapkan dalam keluarga ini. Tetapi apa dayaku. Aku hanya menantu.
Bapak dan ibumu yang memiliki daya penentu. Orang tuaku sama saja denganku, tak
mampu.”
“Jangan
terlalu percaya takhayul begitu Mas. Percaya Gusti Allah. Semua telah
digariskan. Berdoa saja, semoga yang Mas khawatirkan tidak menimpa keluarga
kita.”
“Ya,
hanya berdoa, yang orang-orang lemah bisa lakukan,” ungkap Sugeng galau.
Maka
pesta pernikahan berlangsung dengan meriah. Keberatan yang diajukan oleh
Sugeng, tenggelam oleh kemeriahan pesta nikah.
***
Sejak
menyanding Sutini, perangai Judi berubah. Sikap ugal-ugalan sewaktu lajang
ditinggalkan secara perlahan. Judi menjelma menjadi sosok suami yang
benar-benar cinta istri. Apalagi setelah mengetahui istrinya mengandung,
perhatian Judi semakin tak terbendung. Puncak kebahagiaan Judi ketika buah
cintanya lahir dengan selamat. Seorang bayi laki-laki yang sempurna, tanpa
cacat, membuat Judi tersungkur, bersujud. Ia betul-betul bersyukur dan
berterima kasih kepada Tuhannya. Judi menjadi lebih religius. Sikap dan
tindakan yang belum pernah ia lakukan ketika masih lajang. Sutini yang membuat
Judi berubah.
“Sutini
mau menerima pinangan mas Judi, dengan syarat mas Judi mau mencintai Sutini
dengan sepenuhnya. Mas Judi juga mau meninggalkan kebiasaan-kebiasaan jahiliyah
itu. Kalau mas Judi berjanji, Sutini juga akan mencintai mas Judi sepenuhnya,”
kata Sutini ketika Judi secara jantan meminangnya.
“Ya
Dik. Aku akan mencintaimu sepenuhnya. Tak ada yang lain yang mampu mengisi
hatiku selain dirimu. Dengan kekuatan cintamu, aku akan buang semua perilaku
jahilku selama ini. Aku berjanji Dik. Dan janji ini akan kupegang sampai aku
mati.”
Sugeng
selalu berusaha meyakinkan dirinya bahwa tidak akan terjadi hal-hal buruk
menimpa keluarganya. Namun di dalam relung hatinya menyimpan kekhawatiran yang
tidak bisa disembunyikan.
“Dik,
sejak awal saya tidak setuju kamu menikah dengan Judi,” kata Sugeng ketika
menengok bayi adiknya yang baru saja lahir.
“Mas
Sugeng jangan berkata begitu. Mas Judi sangat mencintai saya. Begitupun saya,
juga sudah bisa mencintai mas Judi sepenuhnya. Memang awalnya ada sedikit ragu,
namun kini saya sudah sangat mantap, mendapatkan suami benar-benar bertanggung
jawab.”
“Kamu
benar-benar mencintai Judi, Dik?”
“Iya,
Mas. Saya benar-benar cinta. Cinta yang menyatukan kami. Apalagi sekarang sudah
ada bayi ini.”
“
Cinta pula yang mampu memisahkan segalanya,” Sugeng berkata pelan.
***
“Mas,
bagaimana ini, panasnya semakin tinggi,” kata Sutini.
Judi
panik. Digendongnya bayi laki-laki yang belum lama mentasbihkannya menjadi
bapak. Menjadi bapak adalah tahapan menjadi laki-laki sejati, setelah mempunyai
istri. Tanpa istri, lelaki belum diakui. Tanpa anak, seorang lelaki bukanlah
laki-laki. Tangannya merasakan panas. Suhu tubuh yang tinggi mengalir ke
pori-pori kulitnya. Ditiupnya dengan lembut kening bayinya.
“Tenang
sayang, dokter sebentar lagi datang,” ujarnya lembut.
“Panasnya sangat tinggi. Saya sangat
menyarankan untuk membawanya ke rumah sakit,” kata dokter selesai memeriksa si
bayi.
Judi segera berlari ke rumah Sugeng kakak
iparnya, meminjam mobil dan segera membawa putranya yang belum genap sebulan,
ke rumah sakit. Selesai mendapatkan pemeriksaan dari UGD, bayi mungil itu
langsung masuk ruang ICU. Terjadi infeksi akut yang menyerang saluran
pernafasan atas. Disamping infeksi, ada kelainan bawaan pada organ pernafasannya.
Judi tampak mondar-mandir tidak tenang di depan ruang ICU. Sutini di dalam
menunggu bayinya.
Judi
terduduk lemas sambil mulutnya komat-kamit. Sutini jatuh pingsan. Dokter yang
tadi tampak sibuk di ruang ICU, sudah keluar dengan raut muka keruh. Sang dokter
baru saja menjelma menjadi malaikat penyampai berita duka. Kata-kata yang selalu disampaikan dokter
kepada kelurga pasien, ketika pasien sudah tidak lagi bisa ditolongnya.
“Kami
telah berusaha maksimal, tetapi Tuhan punya kehendak lain.”
***
Peringatan
empat puluh hari baru saja usai semalam. Judi dalam empat puluh hari itu tidak
pernah sekalipun melalaikan untuk ziarah ke pusara anaknya. Hatinya sudah mulai
tertata. Judi sudah mampu mengikhlaskan anaknya. Sutini yang selalu memompakan
spirit itu, meski ia tahu istrinya juga tidak kalah sedihnya. Suasana duka
dalam keluarga, secara perlahan mulai sirna.
Tiba-tiba
saja, Martinah datang membawa berita, bapaknya sakit mendadak. Martinah minta Judi
menunggu bapaknya, karena pada saat yang sama, mertuanya juga jatuh sakit. Dua
bersaudara menunggu orang tua dan mertua yang sakit dalam waktu bersamaan di
rumah sakit yang sama.
Hari
ke lima, orang tua Judi sakitnya semakin parah. Judi dan Sutini gelisah. Di
ruang sebelah Martinah dan Sugeng juga gelisah, orang tuanya juga kritis. Tepat
tengah malam, terdengar suara tangis Martinah dan Sugeng. Judi dan Sutini
berlari ke ruang sebelah. Sutini menghambur ke tempat tidur bapaknya, memeluk
tubuh tua yang sudah tak lagi bernyawa. Judi hanya termangu menatap istrinya
mengguncang-guncang tubuh bapaknya.
“Huk..,Huk.,”
terdengar suara batuk. Ingat bapaknya, Judi kembali ke ruang sebelah.
“Ada
apa kok pada nangis?” tanya Marsono, sambil duduk di ranjangnya.
Judi
kaget. Bapaknya yang ketika ditinggal lari ke ruang besan, sekarang sudah bisa bangun.
Malah sudah bisa duduk.
“Besan
meninggal Pak!”
Pagi
harinya, dua orang tua pulang dari rumah sakit. Berangkat bersama, pulang dalam
kondisi berbeda. orang tua Judi kembali sehat. Sedangkan orang tua Sutini,
kembali kepada Yang Maha Kuasa.
***
“Aku
sudah sejak awal tidak setuju!” kata Sugeng sengit.
“Semua
sudah menjadi takdir, Mas. Manusia tidak dapat mengubahnya. Kita hanya bisa
menjalani apa yang sudah digariskan,” Martinah mencoba meredakan emosi
suaminya.
“Tidak.
Perkawinan Sutini dengan adikmu itu tidak benar. Pasti akan terus berlanjut
petaka yang akan menimpa keluarga kita. Ingat tidak Dik? Bapak dan bapakmu,
sakitnya bersamaan. Ketika bapak wafat, bapakmu saat itu juga langsung sehat.
Semua bukan kebetulan. Benar, ini memang sudah digariskan. Kita tinggal menjalani
saja,” ungkap Sugeng dengan nada pasrah.
Kehidupan
memang harus terus berjalan. Sugeng sebagai anak tertua menyelenggarakan
selamatan ke seratus hari bapaknya. Semua tatangga dan kerabat jauh datang ikut
mendoakan almarhum.
***
Pagi
hari seperti biasa, Sugeng menyiapkan mobilnya untuk membawa barang ke pasar.
Tiba-tiba saja, rasa nyeri menyerang dadanya. Sambil memegang dada kirinya, ia
memanggil istrinya. Martinah panik melihat suaminya. Ia lari keluar, menuju
rumah adiknya. Namun begitu mau masuk rumah, Martinah mendengar Sutini, adik
iparnya menjerit.
“Mas!
Kenapa Mas! Bangun!”
Begitu
masuk rumah, dilihatnya Judi, adik satu-satunya telah terkapar di sofa. Matanya
terbelalak, nafasnya tersengal-sengal. Martinah lupa dengan suaminya. Ia peluk
adik kesayangannya. Tubuhnya perlahan membiru, matanya sayu dan nafasnya
berangsur terhenti. Di pangkuan kakaknya, Judi menghembuskan nafasnya yang
terakhir. Sutini menjerit histeris, kemudian pingsan.
Sugeng
yang tadi terhuyung menahan sakit luar biasa di dadanya, begitu mendengar
jeritan adiknya, tiba-tiba sakitnya hilang. Ia lari menuju ke rumah adiknya
yang hanya dipisahkan sebuah lorong. Dilihatnya istrinya memeluk tubuh yang
terbujur di sofa. Martinah tersedu-sedu menangis, mukanya basah oleh air mata.
Sutini, adik kandungnya menggeletak di bawah sofa. Segera diangkat tubuh
Sutini, dibawa masuk ke kamar. Semua pakaian dilonggarkan, jendela dibuka untuk
mendapatkan udara segar. Minyak angin digosokkan ke punggung, leher dan dekat
hidungnya.
“Mas
Jud! Mas Jud!” teriaknya sambil memeluk Sugeng, begitu Sutini siuman.
Sugeng
memeluk adik satu-satunya. Air matanya merembes tak kuasa membendung gundah
hatinya. Tak sampai hatinya, menyampaikan keadaan yang sesungguhnya. Semakin
erat dipeluk adiknya, untuk mendapatkan kekuatan dirinya.
Siang
itu juga, jasad Judi dimakamkan, di dekat pusara anaknya. Judi telah memenuhi
janjinya untuk segera menemani anaknya yang tercinta.
***
Pola
hidup Judi sewaktu masih lajang membuat organ dalamnya rapuh. Semua jenis
minuman dengan kadar alkohol tinggi, rutin membasahi paru-paru, jantung dan
ginjalnya. Asap rokok yang kemudian mengeringkannya. Perpaduan hobi yang ampuh
untuk membuat pertahanan tubuh di ambang runtuh. Hanya asupan makanan kadar
kelosterol tinggi dari sate kambing kegemarannya yang membuat tubuhnya dari
luar tampak kukuh. Meskipun sejak menikah dengan Sitini, semua perilaku itu
ditinggalkan, namun semua anasir-anasir perusak itu sudah terlanjur mendekam
dalam organ-organ vitalnya, dan beranak pinak. Anasir-anasir itu juga yang
terbawa oleh pertalian darah sampai kepada bayinya.
Sugeng
tidak bisa menerima penjelasan medis penyebab kematian adik iparnya. Semua
data-data di kertas itu baginya hanya dipahami oleh paramedis, bukan olehnya.
Sugeng yakin, semua prahara dalam kelurganya karena perkawinan silang yang
dilanggar oleh Sutini dan Judi.
“Mudah-mudahan,
ini adalah petaka terakhir keluarga kita. Keponakan kita, bapakku, adikmu,
sudah menjalani apa yang telah digariskan,” kata Sugeng belum bisa melepaskan
keyakinan terhadap petaka yang akan menimpa keluarganya.
***
Sudah
setahun berjalan, Sutini secara perlahan berusaha melupakan semua peristiwa
pedih dalam hidupnya. Sepeninggal suaminya, Sutini tinggal bersama kakaknya.
Rumah yang pernah memberikan kebahagiaan sekaligus kepiluan itu, diserahkan kepada
saudara jauhnya untuk menempati dan merawatnya. Sutini menenggelamkan diri
bermain-main dengan keponakannya, Kamal. Sugeng baru memiliki anak satu. Anak
itu menjadi cucu pertama bagi bapaknya dan sekaligus mertuanya. Kasih sayang
dari dua embah begitu melimpah. Bocah umur 5 tahun itu, mampu membuatnya secara
perlahan melupakan kepiluan hatinya. Kamal juga sangat senang dengan tantenya
yang begitu menyayangi dan memperhatikannya.
Hari
Jum’at selepas jum’atan, Kamal bermain sendirian di pekarangan samping
rumahnya. Rumah Sugeng dilingkupi pekarangan yang cukup luas dengan aneka
tanaman keras yang menyejukkan.
“Adik,
ayo masuk makan!” Martinah memanggil anaknya.
“Ya!”
Belum
lewat tiga detik kemudian, Martinah mendengar suara gedebug dari pekarangan rumah.
Martinah melongok keluar dari jendela. Sepi. Tak dilihatnya Kamal berdiri atau berlari.
Matanya mengitari pekarangan itu. Hatinya berdesir kencang ketika matanya
berhenti pada batang pohon durian, tak tahu kenapa. Namun ketika matanya
sedikit menunduk, dilihatnya Kamal tengkurap tepat di bawahnya. Bola yang
dipegangnya menggeletak di dekatnya. Jantung Martinah seketika berhenti sesaat.
“Kamal..!”
Martinah menghambur keluar rumah.
Sutini
kaget mendengar Martinah histeris. Perasaannya sudah tidak karu-karuan. Sutini
menuju arah suara. Namun Martinah tidak ada. Dari jendela Sutini melihat
Martinah membopong Kamal.
“Mbak!
Kamal!” Sutini semburat keluar rumah.
Martinah
berjalan pelan, matanya melotot kosong, mulutnya tertutup rapat, hanya nafas
dan jantungnya yang berpacu kencang berkejaran. Tangannya masih mendekap erat
anak semata wayangnya. Sutini tidak menghiraukan bola dan durian kuning tua
yang menggeletak tidak jauh dari pohonnya. Melihat wajah Kamal pucat membiru,
Sutini langsung pingsan. Yang tampak di matanya saat itu adalah Judi, suaminya.
(*)
Blora,
3 November 2011
** Hermawan
Widodo **
Lahir di Bantul
Jogjakarta, 15 Februari 1972.
Sekarang sedang
belajar membaca dan menulis,
di Perpustakaan
PATABA (Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa) Blora.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar