Jumat, 11 Mei 2012

Judi " Nasib di Ujung Persilangan "


J U D I
Nasib di Ujung Persilangan
Hermawan Widodo

Tangisnya belum juga berhenti, meski area makam di pinggir Kali Kembangsuli itu sudah sepi. Judi tetap bersimpuh di samping pusara yang masih basah. Tangannya menggenggam tanah, meremas-remasnya, tak segera dilepas. Bahunya terguncang oleh tangisnya.
Sutini memegang bahu suaminya, “Ikhlaskan Mas. Biarkan anak kita tenang.”
Judi perlahan bangkit. Sutini membantunya berdiri tegak. Judi tertunduk memandang pusara anaknya. Air matanya kembali meleleh.
“Maafkan Bapak. Tenangkan dirimu Nak. Tunggu Bapak ya. Tak bakal lama, Bapak akan temani kamu, sayangku” ucapnya lirih.
Istrinya membimbing Judi menyusuri area makam untuk menghindari menabrak nisan. Mendung yang sedari pagi menggantung tak sanggup lagi menahan beban kandungan airnya. Begitu pasangan muda itu meninggalkan makam yang baru saja merengkuh jasad anaknya, hujan turun tak terbendung. Air membasahi bumi dan segala isinya. Air mata Judi membasahi pipi dan mengoyak hatinya.
***
Rasanya baru kemarin Judi merengkuh kebahagiaan. Sutini, kembang desa mampu disandingnya. Pemuda lain yang mencoba mendekati, begitu melihat gelagat Judi menaruh hati pada Sutini, mundur teratur. Mereka tahu diri, Judi bukan saingan sebanding. Judi dari kalangan keluarga terpandang di Kembangsuli. Bapaknya adalah  pemilik sawah terluas di desanya. Ibunya, pedagang yang tokonya paling besar di pasar desa. Namun sesungguhnya karena faktor Judi sendiri, yang menjadikannya melaju tanpa pesaing untuk mendapatkan Sutini. Mereka tahu persis kualitas Judi. Orang muda yang hampir tanpa rasa takut. Siapa saja yang menjadi penghalang, dibuatnya tunggang langgang. Yang pernah berurusan dengan Judi, tahu benar resiko membuat masalah dengannya. Para pemuda itu tahu. Orang tua Sutini tahu. Pun Sutini sendiri tahu. Menerima pinangan Judi adalah langkah kompromi. Hanya Sugeng, kakak Sutini yang keberatan dengan rencana perkawinan itu.
 “Saya tidak setuju Sutini kawin dengan adikmu,” kata Sugeng kepada Martinah istrinya.
“Pantangan, dalam satu keluarga terjadi perkawinan silang model begitu. Seorang laki-laki punya adik perempuan dikawin oleh adik kandung istrinya. Akan terjadi hal-hal yang tidak diharapkan dalam keluarga ini. Tetapi apa dayaku. Aku hanya menantu. Bapak dan ibumu yang memiliki daya penentu. Orang tuaku sama saja denganku, tak mampu.”
“Jangan terlalu percaya takhayul begitu Mas. Percaya Gusti Allah. Semua telah digariskan. Berdoa saja, semoga yang Mas khawatirkan tidak menimpa keluarga kita.”
“Ya, hanya berdoa, yang orang-orang lemah bisa lakukan,” ungkap Sugeng galau.
Maka pesta pernikahan berlangsung dengan meriah. Keberatan yang diajukan oleh Sugeng, tenggelam oleh kemeriahan pesta nikah.
***

Sejak menyanding Sutini, perangai Judi berubah. Sikap ugal-ugalan sewaktu lajang ditinggalkan secara perlahan. Judi menjelma menjadi sosok suami yang benar-benar cinta istri. Apalagi setelah mengetahui istrinya mengandung, perhatian Judi semakin tak terbendung. Puncak kebahagiaan Judi ketika buah cintanya lahir dengan selamat. Seorang bayi laki-laki yang sempurna, tanpa cacat, membuat Judi tersungkur, bersujud. Ia betul-betul bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhannya. Judi menjadi lebih religius. Sikap dan tindakan yang belum pernah ia lakukan ketika masih lajang. Sutini yang membuat Judi berubah.
“Sutini mau menerima pinangan mas Judi, dengan syarat mas Judi mau mencintai Sutini dengan sepenuhnya. Mas Judi juga mau meninggalkan kebiasaan-kebiasaan jahiliyah itu. Kalau mas Judi berjanji, Sutini juga akan mencintai mas Judi sepenuhnya,” kata Sutini ketika Judi secara jantan meminangnya.
“Ya Dik. Aku akan mencintaimu sepenuhnya. Tak ada yang lain yang mampu mengisi hatiku selain dirimu. Dengan kekuatan cintamu, aku akan buang semua perilaku jahilku selama ini. Aku berjanji Dik. Dan janji ini akan kupegang sampai aku mati.”
Sugeng selalu berusaha meyakinkan dirinya bahwa tidak akan terjadi hal-hal buruk menimpa keluarganya. Namun di dalam relung hatinya menyimpan kekhawatiran yang tidak bisa disembunyikan.
“Dik, sejak awal saya tidak setuju kamu menikah dengan Judi,” kata Sugeng ketika menengok bayi adiknya yang baru saja lahir.
“Mas Sugeng jangan berkata begitu. Mas Judi sangat mencintai saya. Begitupun saya, juga sudah bisa mencintai mas Judi sepenuhnya. Memang awalnya ada sedikit ragu, namun kini saya sudah sangat mantap, mendapatkan suami benar-benar bertanggung jawab.”
“Kamu benar-benar mencintai Judi, Dik?”
“Iya, Mas. Saya benar-benar cinta. Cinta yang menyatukan kami. Apalagi sekarang sudah ada bayi ini.”
“ Cinta pula yang mampu memisahkan segalanya,” Sugeng berkata pelan.
***
“Mas, bagaimana ini, panasnya semakin tinggi,” kata Sutini.
Judi panik. Digendongnya bayi laki-laki yang belum lama mentasbihkannya menjadi bapak. Menjadi bapak adalah tahapan menjadi laki-laki sejati, setelah mempunyai istri. Tanpa istri, lelaki belum diakui. Tanpa anak, seorang lelaki bukanlah laki-laki. Tangannya merasakan panas. Suhu tubuh yang tinggi mengalir ke pori-pori kulitnya. Ditiupnya dengan lembut kening bayinya.
“Tenang sayang, dokter sebentar lagi datang,” ujarnya lembut.
 “Panasnya sangat tinggi. Saya sangat menyarankan untuk membawanya ke rumah sakit,” kata dokter selesai memeriksa si bayi.
 Judi segera berlari ke rumah Sugeng kakak iparnya, meminjam mobil dan segera membawa putranya yang belum genap sebulan, ke rumah sakit. Selesai mendapatkan pemeriksaan dari UGD, bayi mungil itu langsung masuk ruang ICU. Terjadi infeksi akut yang menyerang saluran pernafasan atas. Disamping infeksi, ada kelainan bawaan pada organ pernafasannya. Judi tampak mondar-mandir tidak tenang di depan ruang ICU. Sutini di dalam menunggu bayinya.
Judi terduduk lemas sambil mulutnya komat-kamit. Sutini jatuh pingsan. Dokter yang tadi tampak sibuk di ruang ICU, sudah keluar dengan raut muka keruh. Sang dokter baru saja menjelma menjadi malaikat penyampai berita duka.  Kata-kata yang selalu disampaikan dokter kepada kelurga pasien, ketika pasien sudah tidak lagi bisa ditolongnya.
“Kami telah berusaha maksimal, tetapi Tuhan punya kehendak lain.”
***
Peringatan empat puluh hari baru saja usai semalam. Judi dalam empat puluh hari itu tidak pernah sekalipun melalaikan untuk ziarah ke pusara anaknya. Hatinya sudah mulai tertata. Judi sudah mampu mengikhlaskan anaknya. Sutini yang selalu memompakan spirit itu, meski ia tahu istrinya juga tidak kalah sedihnya. Suasana duka dalam keluarga, secara perlahan mulai sirna.
Tiba-tiba saja, Martinah datang membawa berita, bapaknya sakit mendadak. Martinah minta Judi menunggu bapaknya, karena pada saat yang sama, mertuanya juga jatuh sakit. Dua bersaudara menunggu orang tua dan mertua yang sakit dalam waktu bersamaan di rumah sakit yang sama.
Hari ke lima, orang tua Judi sakitnya semakin parah. Judi dan Sutini gelisah. Di ruang sebelah Martinah dan Sugeng juga gelisah, orang tuanya juga kritis. Tepat tengah malam, terdengar suara tangis Martinah dan Sugeng. Judi dan Sutini berlari ke ruang sebelah. Sutini menghambur ke tempat tidur bapaknya, memeluk tubuh tua yang sudah tak lagi bernyawa. Judi hanya termangu menatap istrinya mengguncang-guncang tubuh bapaknya.
“Huk..,Huk.,” terdengar suara batuk. Ingat bapaknya, Judi kembali ke ruang sebelah.
“Ada apa kok pada nangis?” tanya Marsono, sambil duduk di ranjangnya.
Judi kaget. Bapaknya yang ketika ditinggal lari ke ruang besan, sekarang sudah bisa bangun. Malah sudah bisa duduk.
“Besan meninggal Pak!”
Pagi harinya, dua orang tua pulang dari rumah sakit. Berangkat bersama, pulang dalam kondisi berbeda. orang tua Judi kembali sehat. Sedangkan orang tua Sutini, kembali kepada Yang Maha Kuasa.
***
“Aku sudah sejak awal tidak setuju!” kata Sugeng sengit.
“Semua sudah menjadi takdir, Mas. Manusia tidak dapat mengubahnya. Kita hanya bisa menjalani apa yang sudah digariskan,” Martinah mencoba meredakan emosi suaminya.
“Tidak. Perkawinan Sutini dengan adikmu itu tidak benar. Pasti akan terus berlanjut petaka yang akan menimpa keluarga kita. Ingat tidak Dik? Bapak dan bapakmu, sakitnya bersamaan. Ketika bapak wafat, bapakmu saat itu juga langsung sehat. Semua bukan kebetulan. Benar, ini memang sudah digariskan. Kita tinggal menjalani saja,” ungkap Sugeng dengan nada pasrah.
Kehidupan memang harus terus berjalan. Sugeng sebagai anak tertua menyelenggarakan selamatan ke seratus hari bapaknya. Semua tatangga dan kerabat jauh datang ikut mendoakan almarhum.
***
Pagi hari seperti biasa, Sugeng menyiapkan mobilnya untuk membawa barang ke pasar. Tiba-tiba saja, rasa nyeri menyerang dadanya. Sambil memegang dada kirinya, ia memanggil istrinya. Martinah panik melihat suaminya. Ia lari keluar, menuju rumah adiknya. Namun begitu mau masuk rumah, Martinah mendengar Sutini, adik iparnya menjerit.
“Mas! Kenapa Mas! Bangun!”
Begitu masuk rumah, dilihatnya Judi, adik satu-satunya telah terkapar di sofa. Matanya terbelalak, nafasnya tersengal-sengal. Martinah lupa dengan suaminya. Ia peluk adik kesayangannya. Tubuhnya perlahan membiru, matanya sayu dan nafasnya berangsur terhenti. Di pangkuan kakaknya, Judi menghembuskan nafasnya yang terakhir. Sutini menjerit histeris, kemudian pingsan.
Sugeng yang tadi terhuyung menahan sakit luar biasa di dadanya, begitu mendengar jeritan adiknya, tiba-tiba sakitnya hilang. Ia lari menuju ke rumah adiknya yang hanya dipisahkan sebuah lorong. Dilihatnya istrinya memeluk tubuh yang terbujur di sofa. Martinah tersedu-sedu menangis, mukanya basah oleh air mata. Sutini, adik kandungnya menggeletak di bawah sofa. Segera diangkat tubuh Sutini, dibawa masuk ke kamar. Semua pakaian dilonggarkan, jendela dibuka untuk mendapatkan udara segar. Minyak angin digosokkan ke punggung, leher dan dekat hidungnya.
“Mas Jud! Mas Jud!” teriaknya sambil memeluk Sugeng, begitu Sutini siuman.
Sugeng memeluk adik satu-satunya. Air matanya merembes tak kuasa membendung gundah hatinya. Tak sampai hatinya, menyampaikan keadaan yang sesungguhnya. Semakin erat dipeluk adiknya, untuk mendapatkan kekuatan dirinya.
Siang itu juga, jasad Judi dimakamkan, di dekat pusara anaknya. Judi telah memenuhi janjinya untuk segera menemani anaknya yang tercinta.
***
Pola hidup Judi sewaktu masih lajang membuat organ dalamnya rapuh. Semua jenis minuman dengan kadar alkohol tinggi, rutin membasahi paru-paru, jantung dan ginjalnya. Asap rokok yang kemudian mengeringkannya. Perpaduan hobi yang ampuh untuk membuat pertahanan tubuh di ambang runtuh. Hanya asupan makanan kadar kelosterol tinggi dari sate kambing kegemarannya yang membuat tubuhnya dari luar tampak kukuh. Meskipun sejak menikah dengan Sitini, semua perilaku itu ditinggalkan, namun semua anasir-anasir perusak itu sudah terlanjur mendekam dalam organ-organ vitalnya, dan beranak pinak. Anasir-anasir itu juga yang terbawa oleh pertalian darah sampai kepada bayinya.
Sugeng tidak bisa menerima penjelasan medis penyebab kematian adik iparnya. Semua data-data di kertas itu baginya hanya dipahami oleh paramedis, bukan olehnya. Sugeng yakin, semua prahara dalam kelurganya karena perkawinan silang yang dilanggar oleh Sutini dan Judi.
“Mudah-mudahan, ini adalah petaka terakhir keluarga kita. Keponakan kita, bapakku, adikmu, sudah menjalani apa yang telah digariskan,” kata Sugeng belum bisa melepaskan keyakinan terhadap petaka yang akan menimpa keluarganya.
***
Sudah setahun berjalan, Sutini secara perlahan berusaha melupakan semua peristiwa pedih dalam hidupnya. Sepeninggal suaminya, Sutini tinggal bersama kakaknya. Rumah yang pernah memberikan kebahagiaan sekaligus kepiluan itu, diserahkan kepada saudara jauhnya untuk menempati dan merawatnya. Sutini menenggelamkan diri bermain-main dengan keponakannya, Kamal. Sugeng baru memiliki anak satu. Anak itu menjadi cucu pertama bagi bapaknya dan sekaligus mertuanya. Kasih sayang dari dua embah begitu melimpah. Bocah  umur 5 tahun itu, mampu membuatnya secara perlahan melupakan kepiluan hatinya. Kamal juga sangat senang dengan tantenya yang begitu menyayangi dan memperhatikannya.
Hari Jum’at selepas jum’atan, Kamal bermain sendirian di pekarangan samping rumahnya. Rumah Sugeng dilingkupi pekarangan yang cukup luas dengan aneka tanaman keras yang menyejukkan.
“Adik, ayo masuk makan!” Martinah memanggil anaknya.
“Ya!”
Belum lewat tiga detik kemudian, Martinah mendengar suara gedebug dari pekarangan rumah. Martinah melongok keluar dari jendela. Sepi. Tak dilihatnya Kamal berdiri atau berlari. Matanya mengitari pekarangan itu. Hatinya berdesir kencang ketika matanya berhenti pada batang pohon durian, tak tahu kenapa. Namun ketika matanya sedikit menunduk, dilihatnya Kamal tengkurap tepat di bawahnya. Bola yang dipegangnya menggeletak di dekatnya. Jantung Martinah seketika berhenti sesaat.
“Kamal..!” Martinah menghambur keluar rumah.
Sutini kaget mendengar Martinah histeris. Perasaannya sudah tidak karu-karuan. Sutini menuju arah suara. Namun Martinah tidak ada. Dari jendela Sutini melihat Martinah membopong Kamal.
“Mbak! Kamal!” Sutini semburat keluar rumah.
Martinah berjalan pelan, matanya melotot kosong, mulutnya tertutup rapat, hanya nafas dan jantungnya yang berpacu kencang berkejaran. Tangannya masih mendekap erat anak semata wayangnya. Sutini tidak menghiraukan bola dan durian kuning tua yang menggeletak tidak jauh dari pohonnya. Melihat wajah Kamal pucat membiru, Sutini langsung pingsan. Yang tampak di matanya saat itu adalah Judi, suaminya. (*)
Blora, 3 November 2011

** Hermawan Widodo **
Lahir di Bantul Jogjakarta, 15 Februari 1972.
Sekarang sedang belajar membaca dan menulis,
di Perpustakaan PATABA (Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa) Blora.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar