NYARIS
MENANGIS DI PARANGTRITIS
Hermawan
Widodo
Kumpulan
pemuda Kepuh Lor menyelenggarakan karya wisata ke pantai Parangtritis dengan
mengendarai sepeda ontel bersama. Sekitar 60 orang ikut piknik yang harus
bemodalkan okol kuat itu. Bagaimana tidak, untuk sampai ke pantai Parangtritis
kami harus mengenjot sepeda ontel sejauh lebih dari 50 km, menempuh rute
perjalanan yang tidak mudah.
Jam
delapan pagi, kami sudah berangkat konvoi bersepeda. Butuh waktu lebih dari
tiga jam untuk sampai tempat tujuan. Karena dilakukan secara berjama’ah,
perjuangan itu terasa tidak begitu berat. Rasanya senang saja.
Saya
tidak ngontel sendiri, namun diboncengkan oleh Karno. Karno adalah anak dari Mbah
Yoso, tetangga yang biasa diandalkan oleh keluarga saya dalam menjaga
kebersihan lingkungan rumah. Umur Karno dengan saya terpaut jauh, lebih dari 10
tahun. Adiknya Karno, namanya Nurdi adalah teman saya bermain. Nurdi dengan
saya ada selisih lebih dari 5 tahun.
Sepeda
yang dipakai adalah sepeda jengki merk Phoenik milik saya. Jadi perjalanan
selama lebih tiga jam itu, saya tidak begitu capai. Rasanya cuma pantat jadi
bebal, akibat kelamaan duduk di jok belakang tanpa ganjel sedikitpun. Karno
yang ngontel jengki itu juga tidak nampak capai. Dia malah kadang ngepot ke
sana-sini menggoda peserta lain. Yang digoda tentunya cewek. Tetapi harus saya
akui cewek-cewek di Kepuh Lor menurut pandangan saya tidak ada satupun yang
bening.
Memasuki
perbukitan Siluk Panggang, para peserta nampak kesulitan mengendalikan sepeda.
Dapat dimaklumi, karena memang medan turun naik dengan kondisi jalan beraspal
yang juga tidak mulus, penuh lobang. Medan sulit tersebut bagi Karno bukanlah
sesuatu yang berat. Dia dengan gayanya masih melaju dengan stabil dan masih
juga menggoda peserta lain dengan kepotannya. Sekitar jam 11 kami sudah
memasuki area pantai Parangtritis. Semua peserta mampu finish secara aman,
tidak ada yang mengalami hambatan.
Panitia
mengatur posisi semua sepeda peserta. Kami istirahat untuk makan. Panitia
menyediakan nasi bungkus. Selesai makan, acara bebas. Semua menikmati keindahan
pantai selatan itu secara bergerombol. Ada juga yang berduaan.
Karena
saya masih kecil, baru kelas 5 SD, maka saya bermain sendirian. Saya sebenarnya
sering diajak bermain bersama oleh cewek-cewek yang lebih tua dari saya. Tetapi
karena saya anggap mereka tidak satupun yang bening sehingga saya tidak
tertarik. Saya lebih senang bermain sendiri.
Meskipun
sendiri, jika butuh sesuatu saya tinggal minta ke mbak-mbak itu, mereka dengan
senang hati pasti langsung memberi. Ada yang selalu mengawasi saya, Lek Jilah
namanya. Jika ada apa-apa dia duluan yang mendekati dan memenuhi apa yang saya
butuhkan. Lek Jilah selama ini sering membantu di rumah Mbah Kaji Wir, adiknya
mbah saya.
Melihat
ombak dan pengunjung yang mandi di laut, saya jadi ingin mandi. Memakai kaos
model monyet warna merah dan celana pendek hijau, saya mendekati pantai. Di
bibir pantai banyak yang hanya berani menyentuh air saat ombak datang, namun
tidak yang berani mandi.
Saya
masuk ke laut dengan cara berjalan perlahan ke arah yang berlawanan dengan
datangnya ombak. Saat ada ombak datang saya merunduk. Begitu ombak sudah
melewati tubuh saya, saya muncul lagi. Saya bertahan berenang di laut yang
berjarak sekitar 10-15 dari bibir pantai. Di posisi itu masih banyak orang lain
berenang. Sebenarnya bukan berenang, hanya bertahan untuk tidak tenggelam,
dengan cara kaki digerak-gerakkan untuk menahan tubuh.
Saya
tergerak untuk mencoba ke laut yang lebih jauh dan dalam, menuju ke selatan.
Menggunakan teknik yang sama, merunduk saat ombak datang, perlahan-lahan saya
mulai meninggalkan bibir pantai. Karena fokus menghadang ombak yang datang,
saya tidak memperhatikan jarak saya dengan pantai. Begitu ada ombak saya
menyelam, beberapa saat kemudian muncul kembali. Saat muncul posisi saya secara
otomatis bergeser ke arah selatan, menjauh dari pantai.
Hal
itu saya lakukan dengan sangat tenang dan senang. Ada rasa bangga saat tubuh
dilalui ombak. Namun begitu saya membalikkan badan ke arah utara, ke arah
pantai, saya sangat terkejut. Ternyata saya sudah sangat jauh meninggalkan
pantai. Di kiri kanan saya yang tadinya banyak orang berenang, sekarang sudah
tidak ada lagi. Mereka berada jauh di utara dekat pantai, hanya kelihatan seperti
orang-orangan bertubuh mungil dari posisi saya sekarang. Artinya saya sudah
benar-benar jauh sekali meninggalkan pantai.
Pada
saat itu saya merasa sangat kecil. Di sekeliling saya hanya terhampar birunya
air laut. Melihat ke timur sama air saja adanya, ke barat sama saja. Memandang
ke selatan justru yang nampak gulungan ombak yang akan menerjang. Saya panik, ingin
menangis rasanya. Saya betul-betul nyaris menangis. Muncul kekhawatiran
tenggelam.
Diperparah
dengan kaos warna merah dan celana hijau yang saya pakai. Katanya ada pantangan
memakai pakaian dengan warna tertentu. Yang saya ingat warna hijau adalah
termasuk pantangan. Dianggapnya menyaingi Ratu Kidul, sehingga bisa diambil
olehnya dijadikan sebagai pengikutnya. Kepanikan saya semakin menjadi mengingat
itu. Kaki saya juga sudah mulai terasa tidak enak, capai bergerak terus menahan
berat tubuh agar tidak tenggelam.
Saat
kepanikan mencapai puncak, tiba-tiba ombak besar datang. Reflek saya adalah
menyelam menghindari ombak. Begitu ombak lewat saya muncul. Saya lupa, jika
saya menyelam saat ombak datang berarti saya justru semakin menjauh dari
pantai.
Menyadari
itu saya tambah panik. Saya melihat orang-orang di pantai itu sudah sangat jauh
sekali rasanya. Rasa takut sudah menyergap diri saya sepenuhnya. Saat sedang
kalut-kalutnya, tiba-tiba ombak besar datang lagi. Tidak mau mengulangi
kesalahan sebelumnya, saya melompat menyambut ombak itu dengan tubuh saya.
Byaar..ombak menyapu tubuh saya.
Saat
diterjang ombak itu saya berusaha untuk tetap dalam posisi yang terkontrol. Saya
berusaha untuk tidak tenggelam. Ternyata ombak itu tidak sampai di pantai.
Namun saya sudah senang karena sudah menjauh dari tengah laut. Posisi saya
sudah di tempat awal saya berenang. Banyak orang yang lain berenang di sekitar
itu. Sambil menata nafas dan juga hati, saya tetap berenang menjaga tubuh agar
tidak tenggelam.
Begitu
muncul ombak lagi saya langsung sambut ombak itu dengan tubuh saya. Tak berapa
lama saya sudah terdampar di bibir pantai. Saya berjalan keluar dari air laut
menuju pantai. Kaki rasanya kesemutan. Mungkin wajah saya nampak pucat saat
itu. Namun karena tertutup oleh warna kulit yang beku kedinginan jadi tidak
begitu nampak.
Yang
pasti hati saya sudah kecut sekali. Lepas dari laut saya duduk di bawah gubuk
yang banyak berdiri di sepanjang pantai. Saya oleh lek Jilah diberi roti dan
teh hangat dalam plastik. Rasanya nikmat sekali saat itu. Jika saya terseret
ombak laut selatan, pasti saat itu saya sudah tidak bisa makan roti dan minum
teh lagi.
Peristiwa
itu tidak saya ceritakan kepada yang lain. Pakaian yang melekat di tubuh basah
semua oleh air asin. Rasanya lengket di badan. Saya mandi ke pancuran air payau
dari rumah penduduk. Saya samarkan kejadian tragis tadi dengan bermain-main di
pegunungan pasir, sambil mengeringkan pakaian yang basah. Tak berapa lama kaos
dan celana saya sudah kering. Sengatan matahari di pantai sangat cepat
menguapkan air.
Jam
3 sore ba’da ashar, kami meninggalkan pantai. Dalam perjalanan saya baru
menceritakan peristiwa di laut tadi kepada Karno. Mendengar saya hampir
tenggelam di laut, Karno kaget. Dia tidak tahu kalau saya mandi di laut
sebegitu jauhnya meninggalkan pantai. Saya pesan kepada dia supaya tidak
menceritakan hal itu kepada ibu atau bapak.
Sejak
saat itu saya kapok mandi di laut lagi. Apalagi sudah ada papan pengumuman yang
dipasang di pantai dengan tulisan besar-besar
warna merah : DILARANG MANDI DI LAUT. BERBAHAYA!!!.
Ternyata
mandi di Parangtritis masih saya lakukan setelah kejadian itu. Meskipun tidak
benar-benar mandi. Hal itu saya lakukan saat saya ikut latihan bela diri di
Porbika. Porbika selain memberikan ilmu beladiri gabungan antara karate, yudo
dan lainnya juga memberikan pelatihan tenaga dalam. Latihan itu dimaksudkan
untuk mampu menggali tenaga inti yang tersimpan di dalam tubuh.
Saya
pernah mendapatkan porsi latihan itu. Dengan posisi duduk pelatih memberikan
latihan pernapasan. Kami harus mengambil napas, menahan dan mengeluarkan napas
dari hidung sesuai dengan aba-aba yang diberikan pelatih. Waktu itu kami
dilatih menyalurkan tenaga dalam ke sebuah batu.
Batu
itu kami genggam, kemudian kami melakukan olah napas. Setelah selesai ritual
pernapasan itu, jika berhasil maka batu itu sudah “isi”. Batu berisi itu
memiliki kekuatan mampu menahan pemegangnya dari rasa sakit akibat pukulan dan
lainnya. Batu itu juga memiliki daya sembuh, mungkin mirip batu ajaibnya
Ponari. Pokoknya batu kali yang sebelumnya biasa saja itu, setelah disalurkan
tenaga dalam kepadanya akan menjadi tidak biasa alias luar biasa.
Kami
diwanti-wanti oleh pelatih agar memperlakukan batu itu dengan semestinya.
Menaruh di tempat yang baik, tidak di sembarang tempat dan sebagainya. Semacam
benda keramat, tetapi tidak sampai harus diberi sesaji kembang setaman,
kemenyan dan lainnya.
Saya
pernah membuktikan keampuhan batu itu. Selesai latihan dengan tangan
menggenggam batu, Limpung teman latihan yang lain, memukul saya di bahu kanan
dengan keras. Ternyata saya merasa sakit. Namun karena dilihat orang banyak,
saya bilang tidak sakit. Saya tahan rasa sakit untuk diri sendiri. Gantian saya
membalas memukul dengan sekerasnya ke bahu Limpung. Saya tidak tahu dia
merasakan sakit atau tidak. Yang jelas saking kerasnya pukulan, justru tangan
saya yang terasa sakit. Tetapi saya yakin bahu dia juga tidak kalah sakit
dibandingkan tangan saya. Mungkin dengan alasan sama dengan saya, Limpung juga
menyembunyikan rasa sakit itu.
Di
rumah batu itu saya perlakukan dengan baik. Batu itu saya simpan di salah satu
laci almari makan, dan tidak pernah saya sentuh lagi hingga tidak diketahui
kebaradaannya kini.
Suatu
ketika Porbika mengadakan latihan bersama. Pelatih yang merupakan anggota
garnizun itu mengumpulkan semua anak didiknya. Mereka datang dari Tempel
Sleman, dan dari Potorono tempat saya ikut latihan selama ini.
Dengan
menggunakan tiga truck, kami diberangkatkan ke tempat latihan. Berangkat dari
balai desa Potorono jam 8 pagi, menuju Parangtritis. Perjalanan dari Potorono
hingga pantai Parangtritis sekitar 2 jam. Jalur yang kami tempuh melawati jalur
barat. Tidak melewati Imogiri. Dari Pojok Beteng Wetan, ke selatan masuk ke
jalan Parangtritis. Jalur itu memang lebih jauh, namun kondisi jalan lebih datar.
Berbeda jika menempuh jalur Imogiri-Siluk yang harus melewati jalan-jalan di
daerah perbukitan. Jalannya turun naik, kadang curam, kadang landai.
Sampai
di pantai Parangtritis, kami kemudian mengambil posisi berjajar menghadap
pantai. Latihan yang dipimpin langsung oleh guru besar itu tidak banyak
melakukan gerakan-gerakan kombinasi. Latihan yang dilakukan hanyalah
gerakan-gerakan dasar yang lebih dimaksudkan untuk pemanasan.
Selesai
pemanasan kami diminta untuk saling memegang sabuk teman yang lain. Dengan
posisi berjajar, tangan kanan saya memegang sabuk teman di kanan saya,
sedangkan tangan kiri saya memegang sabuk teman di kiri saya. Demikian juga
sabuk saya dipegang oleh dua orang di kiri dan kanan saya. Pelatih memberikan
aba-aba untuk maju menuju bibir pantai.
Kami
maju hingga mencapai air laut. Pelatih yang memunggungi laut selatan itu
kemudian memberi aba-aba untuk maju lagi. Kami maju hingga air laut merendam
kami sebatas pusar. Pelatih terus memberi aba-aba supaya maju. Kamipun terus
maju, dan saat ada ombak datang, diperintahkan untuk merunduk. Ombak melewati
kami. Pelatih masih memberi aba-aba untuk terus maju. Kami juga terus maju,
dengan teknis merunduk jika ombak datang.
Saat
saya menengok ke belakang ke arah utara, ternyata kami sudah jauh meninggalkan
pantai. Melihat orang-orang di pantai nampak kecil seperti boneka. Kemudian
ketika datang ombak, pelatih meminta kami untuk menyambutnya. Maka blarr…kami
terbawa ombak hingga ke tepi pantai. Formasinya sudah berantakan karena tangan
kami saling terlepas dari sabuk teman yang dipegang sebelumnya.
Keluar
dari laut, kami istirahat dan makan jatah dus yang disediakan panitia. Konsumsi
berisi nasi dan lauk serta air minum. Selesai makan dan istirahat secukupnya,
latihan yang sesungguhnya baru dimulai. Latihan itu adalah uji ketahanan fisik
dengan melakukan long march dari pantai Parangtritis hingga Imogiri. Kami harus
berlari sejauh sekitar 25 kilo meter jarak Parangtritis-Imogiri. Itulah
sebenarnya porsi latihan kami saat itu.
Tanpa
alas kaki dan baju seragam karate masih basah, kami berlari meninggalkan pantai
Parangtritis. Jalur long march tidak menempuh jalur yang kami lalui saat
berangkat. Rute long march ini melalui jalur Siluk-Imogiri. Jalan turun naik
dan berbatu kami lalui dengan kaki telanjang. Sudah pasti kaki rasanya sakit.
Saya jadi ingat pesan bapak sesaat sebelum berangkat supaya memakai sepatu.
Tetapi masak bersepatu. Karateka kok bersepatu, seperti atlet lari marathon
saja. Meskipun dengan kaki sakit saya terus berlari. Saat itu tekad saya ingin
berlari hingga Imogiri.
Memang
pos pemberhentian ada di Imogiri. Namun ternyata lima kilo perjalanan rasanya
saya sudah mau habis. Kaki semakin sakit untuk menapak, sementara napas sudah
ngos-ngosan. Jalan satu-satunya adalah naik ke truck yang menjadi penjaring di
belakang kami. Saat saya naik truck sudah ada beberapa teman yang sudah berada
di situ. Artinya saya bukan orang pertama yang bertekuk lutut di hadapan medan
yang tidak bersahabat itu.
Di
atas bak truck saya bisa duduk-duduk sambil minum dan juga makan cemilan. Saya
melihat teman-teman yang masih kuat tetap berlari. Namun sedikit demi sedikit
mereka juga memilih naik ke truck. Sepenglihatan saya tidak ada yang terus
berlari hingga Imogiri. Sebelum masuk Siluk, semua sudah terangkut dalam truck.
Maka acara berlari diganti menjadi acara naik truck.
Dengan
truck itu kami meluncur hingga ke lapangan Karangsemut. Di lapangan Karangsemut
kami berhenti. Saat itu sudah mendekati ashar. Kami melakukan latihan
gerakan-gerakan kombinasi. Selesai latihan ringan itu kami istirahat. Waktu
istirahat diisi dengan makan. Selesai makan rangkaian kegiatan latihan hari itu
ditutup di lapangan Karangsemut.
Setelah
penutupan kami kembali naik truck, kemudian meluncur ke balai desa Potorono
bagi truck yang mengangkut siswa asal Potorono. Sedangkan yang berasal dari
Tempel Sleman, mereka langsung dibawa menuju Sleman, tidak mampir ke Potorono
tempat pemberangkatan latihan hari itu. Menjelang maghrib baru sampai di
Potorono. Sholat maghrib sebentar di mushola balai desa. Sampai rumah hampir
Isya’. Badan rasanya capek semua. Selesai mandi, makan kemudian shalat Isya’,
saya langsung masuk kamar dan tidur mendengkur sampai pagi.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar