KEPUH THE KILLING FIELD
“Tragedi Pembunuhan Berencana”
Hermawan Widodo
Kepuh
merupakan sebuah dusun di daerah Bantul Jogjakarta. Tepatnya masuk Kelurahan
Wirokerten, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul. Ada dua nama dusun Kepuh
di Wirokerten. Dua dusun itu dipisahkan oleh sebuah sungai, anak sungai dari Gajah
Wong. Konon kata orang-orang tua, sungai itu diberi nama Gajah Wong, karena dulu
ada seorang pemuda yang menuntun gajah hanyut di sungai itu.
Ceritanya
saat pemuda dan gajahnya menyeberang sungai, dia berujar, “Sungai kok cuma dangkal begini”
Tiba-tiba
tanpa diduga oleh sang pemuda, air sungai meluap dan menenggelamkan sekaligus
menghanyutkan dia dan gajahnya.
Untuk
memberikan peringatan (jawa : tetenger)
sungai itu, kemudian diberi nama sungai Gajah Wong. Sampai sekarangpun, jika
kami sedang menyeberang sungai Gajah Wong, tidak berani bilang atau bahkan
sekedar dalam batin “sungainya dangkal”. Takutnya yang mbaurekso sungai Gajah
Wong marah, kemudian menggelontorkan air bah yang mematikan, seperti yang
dialami pemuda dan gajahnya.
Apakah
cerita yang disampaikan kepada kami turun temurun itu benar, menurut Ebiet
lebih baik tanyakan saja pada rumput yang bergoyang.
Dusun
yang terletak di barat sungai adalah dusun Kepuh Kulon, sedangkan di timur
sungai adalah Kepuh Wetan. Tiap dusun itu masih terbagi lagi menjadi sub dusun.
Saya tidak mampu menjelaskan padanannya dengan baik. Tetapi gambarannya
kira-kira begini. Kelurahan Wirokerten itu, terdiri dari dusun-dusun yang dipimpin
oleh Kepala Dukuh dipanggilnya dengan sebutan Pak Dukuh. Dukuh itu terdiri dari
beberapa RW. Di RW itu ada beberapa RT. Namun di luar struktural administratif itu,
ada wilayah yang membagi dusun tersebut. Kepuh Wetan, dusun saya terdiri dari
tiga wilayah yaitu Kepuh Lor tempat tinggal saya, Kepuh Kidul tempat tinggal
sebagian saudara-saudara saya, dan Dolahan yang jaraknya dari Kepuh Lor hampir
satu kilo meter, yang dibatasi oleh area sawah yang luas. Dalam wilayah itu
bisa terdiri dari 2 RW atau lebih tergantung luasnya. Kepuh Lor terdiri dari 2
RW. Sedangkan dusun Kepuh Kulon wilayahnya terdiri dari Kepuh Kulon dan Kepuh
Tegal. Kepuh Tegal terletak di sekitar bantaran sungai.
Meskipun
memiliki nama sama, yaitu Kepuh yang berasal dari nama sebuah pohon, namun dua
dusun Kepuh itu memiliki karakter yang berbeda. Kepuh Kulon memiliki nuansa
religi yang lebih tinggi dibandingkan Kepuh Lor.
Di
Kepuh Kulon sudah sejak lama berdiri masjid cukup besar. Seingat saya masjid
itu ada sebelum saya lahir. Kemungkinan sudah ada sejak awal tahun tujuh
puluhan. Masjid itu dikelola oleh pengurus Muhammadiyah tingkat desa yang
kebetulan sebagian besar pengurus adalah warga Kepuh Kulon. Kantornya juga
berada di dusun Kepuh Kulon, menggunakan salah satu rumah pengurus. Sedangkan
Kepuh Lor tidak memiliki bangunan masjid. Kalaupun ada hanya berupa langgar
yang menggunakan salah satu bagian rumah. Kebetulan di Kepuh Lor yang dijadikan
langgar adalah bagian rumah dari mbah Kaji Wir yang merupakan adik dari mbah
saya.
Kondisi
ekonomi warga Kepuh Kulon dan Kepuh Lor juga berbeda. Sebagian besar warga
Kepuh Kulon adalah pegawai pemerintah, sedangkan warga Kepuh Lor sebagian besar
tani atau buruh tani. Hanya satu dua orang yang menjadi pegawai pemerintah. Salah
satunya adalah bapak saya yang PNS kantor pajak, sebagai juru sita. Kondisi
perekonomian yang seperti itu, berdampak pada tingkat pendidikan pemuda dan
anak-anaknya. Anak-anak Kepuh Kulon sudah banyak yang kuliah.
Anak-anak
Kepuh Lor sudah cukup senang dengan lulus SD. Setelah lulus SD kebanyakan ikut
membantu orang tua menjadi tenaga buruh membuat bata merah. Sawah kas Desa yang
berada di Kepuh Lor diolah menjadi bata merah. Banyak tobong-tobong bambu
beratap daun tebu, dibangun untuk menampung bata yang siap dibakar. Di tobong
itu, bata-bata dibakar hingga matang berwarna merah. Meski demikian ada juga
yang melanjutkan ke SMP swasta. Umumnya mereka masuk ke SMP Eka Bakti, yang
gedungnya masih meminjam gedung SDN Jambidan. Masuk sekolah siang jam 13.00
pulang sekitar jam 16.00.
Mereka
tidak bisa masuk SMP negeri karena tidak lulus tes yang menjadi syarat masuk
SMP negeri. Seangkatan saya, hanya ada dua anak yang sekolah di SMP negeri
yaitu saya dan Sumiyar. Saya di SMPN
Baturetno, Sumiyar di SMPN Banguntapan 2 yang baru berdiri dan baru menerima murid
untuk yang pertama kali. SMPN Banguntapan 2, masuk siang, gedungnya masih
meminjam gedung SMPN Baturetno. Setahun kemudian SMPN Banguntapan 2 sudah
memiliki gedung sendiri di Jambidan.
Anak
yang sekolah di SMA negeri hanya saya saja dari Kepuh Lor. Saya sekolah di SMAN
5 Kotagede Jogja, sekolah paling favorit bagi lulusan SMP di daerah Bantul
utara. Dalam catatan sejarah hingga tahun 1987, Kepuh Lor hanya empat orang
yang pernah sekolah di SMAN 5. Empat orang itu adalah saya dan tiga anak-anak Mbah
Kaji, Lek Darmo, Pak Moh dan Mas Gandung. Apalagi untuk kuliah.
Menurut
catatan sejarah Kepuh Lor hingga tahun 1990, saya adalah satu-satunya yang
kuliah di UGM. Pak Moh lulus SH dari UII. Lek Darmo tidak melanjutkan kuliah. Mas
Gandung tidak mampu menembus ketatnya persaingan menuju kursi kuliah di PTN.
Dia kuliah di APMD, sebuah akademi swasta, yang merupakan sekolahnya calon
camat. Saya tidak paham mas Gandung lulus atau tidak. Yang jelas dia tidak
pernah menjadi camat, bahkan jadi PNS pun tidak. Profesinya hingga sekarang
sebagai MC untuk berbagai acara, dari hajadan pernikahan hingga sunatan.
Perilaku
dan kebiasaan warga Kepuh Kulon dan Kepuh Lor dalam memperlakukan pendatang,
khususnya anjing ada perbedaan. Binatang yang memiliki kesetiaan tinggi itu, jika
masuk dusun Kepuh Kulon akan mengalami nasib yang tidak mengenakkan. Anjing-anjing
itu akan diusir keluar dari dusun dengan berbagai cara, digertak, dilempar batu
atau dengan cara-cara yang lain. Bagi warga Kepuh Kulon, yang penting anjing-anjing
yang najis, tidak boleh masuk dusun yang kental nuansa religinya itu.
Berbeda
dengan anjing yang masuk Kepuh Lor. Sang anjing akan mendapatkan perlakuan yang
berbeda, meskipun tidak kalah sengsaranya. Bahkan bisa dipastikan anjing itu menemui
ajal, jika tidak sedang dikawal ketat dewi fortuna. Anjing yang masuk ke Kepuh
Lor akan mengalami nasib tragis, bukan karena terusir, namun karena memang
sengaja dibunuh, untuk kemudian dimasak secara berjama’ah.
Warga
Kepuh Lor, khususnya para pemuda cukup lihai menaklukkan anjing-anjing naas
itu. Begitu terdeteksi ada anjing dari luar memasuki wilayah Kepuh Lor, barisan
pemuda yang sudah terlatih khusus untuk misi itu, akan menggiring sang anjing
ke lahan yang sudah disiapkan jebakan. Jebakan itu berupa sumur yang sudah disamarkan
dengan daun-daun kering di atasnya, sehingga tidak nampak lubangnya. Jebakan
tidak hanya dibuat di satu titik, namun di beberapa titik.
Tugas
para pemburu adalah mengarahkan anjing pendatang ke salah satu jebakan yang
paling dekat. Tahap ini paling menentukan, sebab jika anjing bisa lolos dari
perangkap ini, dipastikan dia akan kabur sekabur-kaburnya dan kapok selama-lamanya
untuk datang lagi ke Kepuh Lor.
Saat
yang ditunggu itu ditandai dengan suara grubyuk, yang menandakan bahwa kurban
sudah masuk jebakan.
Begitu
terdengar suara itu maka spontan para pemburu akan berteriak kegirangan.
“Tongseng!”
“
Sate!”
Mereka sudah membayangkan pesta.
Babak
selanjutnya adalah penentu dari tragedi pembunuhan yang direncanakan dengan sistematis
terhadap anjing malang itu.
Konon
katanya membunuh anjing yang akan dimakan dagingnya, tidak boleh dengan
menyembelihnya. Saya tidak paham persis mengapa mesti begitu. Ada yang pernah
bilang daging anjing yang enak adalah daging yang mengandung darah.
Saya
pernah melihat tumpukan daging anjing yang belum dimasak, warnanya merah, ada
bercak-bercak darahnya. Melihat tumpukan daging itu, terus terang saya merasa
ngeri, perut menjadi mual dan ingin muntah.
Proses
membunuh anjing yang sudah terperangkap dalam sumur, dengan cara menjeratnya,
menggunakan tali. Tali yang sudah dibuat laso diturunkan dengan kayu atau
bambu. Tali itu dipasangkan pada leher anjing yang sudah meringkuk di dalam
sumur jebakan.
Proses
ini agak susah karena sang korban pasti akan panik, meronta dan bergerak tanpa
kendali. Jangankan anjing yang besar dengan tenaga kuat. Cacing saja pasti akan
meronta ketika menghadapi marabahaya yang mengancam nyawanya. Tetapi karena
ruang gerak anjing malang itu begitu sempit, jerat itu pasti akan masuk juga ke
lehernya.
Begitu
jerat masuk leher, dengan segera tali yang mematikan itu, ditarik oleh satu
atau dua orang yang paling kuat tenaganya. Dengan sekuat tenaga mereka menariknya.
Dengan sekuat tenaga pula anjing itu meronta-ronta. Gerakan liar anjing itu
lama-lama semakin melemah karena nafas yang tersumbat oleh jerat, dan akhirnya
mati sempurna setelah stok nafasnya habis. Tamatlah sudah riwayat anjing yang
berani masuk wilayah Kepuh Lor, dan sempurnalah eksekusi yang terorganisir dan
terencana dengan baik dan rapi itu.
Meskipun
mati dengan tragis, namun anjing itu mendapat tempat yang layak di hadapan
warga Kepuh Lor. Dia akan menjadi menu utama sebagian besar warga Kepuh Lor.
Ada panitia yang mendata dan mengumpulkan dana dari warga yang ingin menikmati
sajian hot dog. Hot dog dalam makna yang sesungguhnya karena memang si dog itu
akan dimasak sampai matang dengan berbagai bumbu pemanas semacam mrica dan
sebagainya, hingga benar-benar hot.
Warga
yang berminat diminta iuran untuk kebutuhan memasak sesuai pesanan. Bapak
adalah salah satu langganan yang didatangi panitia untuk diminta iuran dan
jenis masakan yang dikehendaki. Setelah matang biasanya diantar ke rumah menu
sesuai yang dipesan. Umumnya dimasak tongseng, namun ada juga yang memesan
sate.
Meski
demikian tidak semua terlibat dalam pesta daging anjing itu. Salah satu yang
pasti tidak ikut adalah mbah Kaji Wir. Apa kata dunia jika seorang haji
ikut-ikutan pesta daging panas itu.
Sebelum
dimasak, sang anjing harus dikuliti dulu. Lahan yang digunakan untuk mengolah
anjing yang sudah tak bernyawa itu, menjadi berkeping-keping daging, adalah
kebun kosong di bantaran sungai. Tubuh anjing diikat di antara dua pohon.
Posisi kepala di bawah. Ada salah satu warga yang sudah dianggap berkemampuan
baik untuk tugas rumit itu. Dia dibantu satu dua orang sebagai asisten. Yang
lain hanya nonton.
Suatu
ketika saya pernah menyaksikan saat anjing dalam proses dikuliti. Mulanya biasa
saja. Proses berjalan seperti yang sudah-sudah. Tetapi tanpa diduga, anjing
yang sudah digantung dengan posisi terbalik itu tiba-tiba mengeluarkan suara
aneh.
“Aauuu…!”
Suara
itu keras sekali. Mendengar suara seram itu kami semua semburat, lari
terbirit-birit ketakutan menjauh dari lahan horror itu. Tak ketinggalan, yang
berkewajiban terhadap keberlangsungan proses pengulitan anjing juga ikut lari.
Bagaimana
kami tidak takut? Anjing yang sudah pasti mati, dijerat dengan tali, sudah
digantung dalam posisi terbalik, ternyata masih mampu menyalak. Mungkin itu auman
terakhirnya sebagai protes perlawanan atas perlakuan terhadap dirinya yang di
luar batas perikebinatangan. Atau anjing itu merupakan anjing jadi-jadian,
tidak ada yang tahu.
Yang
jelas setelah aura horror itu reda, proses menguliti anjing malang itu
dilanjutkan. Tubuhnya dipotong-potong hingga siap untuk dimasak.
Suatu
ketika masakan tongseng jamu atau sengsu (akronim dari tonseng asu/anjing)
sampai di rumah. Tongseng itu adalah pesanan bapak. Meskipun bapak sering pesan,
namun saya belum pernah sekalipun ikut makan. Saya paham daging anjing haram.
Bapak juga melarang saya ikut makan. Bapak melakukan itu, katanya untuk
solidaritas, toleransi dan damai antara warga Kepuh Lor.
Sepandai-pandai
tupai meloncat, sekali-sekali gagal juga. Serapat-rapat daging disimpan
akhirnya termakan juga. Dan saya adalah korbannya.
Saya
tidak tahu, pada Minggu siang itu ada pembunuhan berencana yang sukses terhadap
anjing malang yang masuk wilayah Kepuh Lor. Sore hari habis bermain, begitu sampai
rumah karena perut lapar, saya langsung menyambar lauk daging di meja makan.
Daging itu meskipun rasanya aneh, agak pedas-pedas, terasa enak. Menu daging itu
habis tanpa sisa bersama nasi yang masih hangat.
Saya
baru merasa ngeh dengan menu istimewa yang baru saja saya habisi itu, ketika
bapak pulang dari rumah tetangga. Setelah ke belakang, bapak menghampiri meja
makan, sepertinya mencari sesuatu.
Saya
bertanya kepada bapak, “Mencari apa Pak?”
Bapak
tidak menjawab, malah ganti bertanya kepada saya. Pertanyaan itu laksana
sambaran geledek di siang bolong yang sedang tidak hujan, “ Kamu makan daging
di meja makan, Wan?”
Dengan
sangat tegas kujawab, “ Ya Pak!”
“
Itu tongseng asu Wan!” bapak menimpali dengan suara rendah penuh penyesalan.
Thueenk!
Saya kaget sekali mendengarnya, meskipun suara bapak tidak keras.
Tetapi
mau bagaimana lagi, nasi sudah membubur, telah masuk dalam perut secara
sempurna dan dalam proses menjadi calon tahi. Ada rasa menyesal, namun ada juga
rasa senang, karena saya menjadi tahu rasa daging anjing itu seperti apa.
Setelah
insiden yang menyangkut keyakinan aqidah itu, saya selalu menanyakan ke ibu,
daging apa yang tersaji di meja. Hikmahnya, setelah kejadian itu, jika di Kepuh
Lor terjadi ada pembunuhan berencana terhadap anjing yang masuk wilayah kami, bapak
tidak pernah ikut memesan sengsu lagi. Bapak juga sudah mulai belajar dan
mengerjakan shalat.
Pembunuhan
berencana kepada anjing yang masuk wilayah Kepuh Lor sudah menjadi tradisi,
bahkan mungkin trade mark, yang merupakan kearifan lokal Kepuh Lor. Tetapi
pembunuhan berencana terhadap manusia, yang bukan seekor anjing juga pernah
dilakukan oleh warga Kepuh Lor.
Waktu
itu sedang gencar-gencarnya dilaksanakan operasi terhadap preman, yang lebih
dikenal dengan istilah petrus, penembakan misterius. Menurut kabar yang
beredar, banyak preman-preman lokal yang tiba-tiba raib tak diketahui rimbanya.
Salah
satu preman yang cukup ditakuti waktu itu adalah Liwung. Dia tinggal di dusun
Kertopaten, masih di wilayah Kelurahan Wirokerten. Kertopaten jaraknya tidak
sampai satu kilo meter dari Kepuh Lor. Meskipun dia seorang preman yang hampir
membuat semua orang mengkeret nyalinya, namun ada orang yang berani menghadapi
dia satu lawan satu. Orang itu adalah Lek Jud paman saya.
Lek
Jud adalah adik bapak yang paling berandalan diantara adik-adik yang lain.
Meskipun juga mendapat sebutan preman namun Lek Jud tidak kriminal. Dia hanya suka berkelahi dan
di tubuhnya terdapat beberapa tato.
Saat
ada turnamen bola volley antar club yang diselenggarakan oleh pemuda Kepuh Lor,
Liwung berbuat gaduh. Karena dia preman, tidak ada yang berani dengan dia.
Namun begitu Lek Jud datang ke Kepuh Lor, Liwung yang saat itu sedang
petentang-petenteng langsung ditantang satu lawan satu.
Waktu
itu di genggaman tangan Lek Jud bukan pisau atau pentungan, tetapi botol penuh
isi bensin, yang baru saja dibelinya untuk mengisi tangki motor yang bensinnya
kosong. Ternyata tantangan Lek Jud tidak ditanggapi. Liwung kemudian pergi
meninggalkan arena turnamen.
Saya
kira Liwung cukup cerdas tidak meladeni tantangan Lek Jud. Meskipun secara
kasat mata dia sendirian, namun warga Kepuh Lor semua siap sedia di
belakangnya. Lek Jud sudah membulatkan niat, jika Liwung berani melawan akan
dikepruk dengan botol penuh bensin itu, kemudian akan dibakarnya hidup-hidup.
Namun peristiwa dramatis itu urung terjadi.
Meskipun
Liwung tidak jadi mati dibakar oleh Lek Jud, selang beberapa hari kemudian ada
kabar yang beredar yang menyebutkan dia diciduk oleh aparat dan raib tidak
jelas rimbanya. Ada bisik-bisik yang menyebutkan Liwung dimasukkan luweng.
Luweng
adalah istilah untuk gua bawah tanah di wilayah Gunungkidul. Gua itu berupa
lobang yang di dalamnya ada sungai bawah tanah yang bermuara di pantai selatan.
Kedalaman gua itu lebih dari 15 meter. Persis di bawah lobang itu terdapat batu
hitam besar.
Menurut
kabar yang beredar, mereka yang dimasukkan ke goa itu, matanya ditutup,
tangannya diikat, digiring hingga mendekati lobang kemudian didorong. Dalam
kondisi mata tertutup dan tangan terikat di belakang, mereka satu persatu jatuh
meluncur ke sungai bawah tanah itu. Bukan air yang menerima tubuh mereka, namun
batu hitam besar yang super keras. Hanya orang-orang sekelas Ontorejo yang
mungkin bisa selamat.
Begitu
tubuh terhempas ke batu hitam sekeras pualam, air sungai yang sangat deras
segera menyambut dan menghanyutkan tubuh remuk itu menuju samudera nan luas,
Samudera Hindia.
Teman
saya saat menyusuri gua itu, pernah menemukan beberapa tengkorak berupa batok
kepala yang tidak sempat hanyut terbawa arus sungai. Tengkorak batok kepala itu
tersangkut di antara bebatuan besar.
Sebenarnya
Lek Jud yang pernah akan menghabisi Liwung juga menjadi target aparat untuk
diciduk. Namun karena kakak iparnya, Pak Parjo suami Mbak Jazim adalah seorang
polisi, Lek Jud bisa lolos dari cidukan. Lek Jud meninggal secara wajar karena
serangan jantung di umur yang belum genap 40 tahun.
Akhir
bulan Agustus, seperti biasa di Kepuh Lor diadakan pementasan seni tradisonal
ketoprak untuk memeriahkan peringatan 17an Agustus. Sebelum acara utama
pementasan ketoprak, diawali terlebih dahulu dengan acara pentas seni yang lain
berupa menyanyi dan menari.
Jam
sepuluh saat pementasan ketoprak dimulai, ada sesuatu yang ganjil. Penonton
yang tadinya memenuhi pelataran Mbah Arjo, nampak sangat berkurang. Kerumunan
itu bergerak meninggalkan tempat pementasan ketoprak, secara bergelombang dan
bertahap. Gelombang masa itu ternyata menuju ke jalan yang terletak di tengah
area persawahan antara Dolahan, Wirokerten, Kepuh Lor dan Jambidan.
Ada
kabar yang beredar bahwa malam itu Garnizun akan menyerahkan preman kepada
masyarakat. Animo masyarakat khususnya warga Kepuh Lor ternyata begitu
menggelora, sehingga rela meninggalkan arena pentas ketoprak. Bapak saya yang
penghobi ketoprak saja turut dalam arus masa itu.
Kerumunan
orang yang tak terhitung dari berbagai dusun sudah berkumpul di sepanjang jalan
yang jauh dari pemukiman penduduk itu.
Tepat
tengah malam mobil truck tentara datang. Dua orang kemudian diturunkan. Dua
orang yang sudah pasti preman itupun berhadapan dengan kerumunan orang yang
sudah memiliki tekad untuk menghabisi. Saat sudah turun ternyata preman itu
sudah cukup dikenal : Bagong dan Sempu.
Ketika
ada yang menyapa, “Ee kamu Gong!”
Dia
menjawab dengan lemah dan pasrah, “Iya Pak, ampun Pak”
Tetapi
preman satunya Sempu hanya diam saja. Berbeda dengan Bagong yang sudah rontok
nyalinya melihat masa begitu banyak, Sempu terlihat cukup tegar. Sempu ini
adalah preman dari Banjardadap.
Perlu
dipahami bahwa Kepuh Lor dan Banjardadap hanya dipisahkan oleh satu petak
sawah. Orang Kepuh Lor sudah sangat mengenal Sempu, demikian juga sebaliknya.
Meskipun dia memiliki nama tenar di dunia preman, namun dia tidak pernah
berbuat kriminal mencuri atau yang lain di daerah sekitar tempat tinggalnya.
Daerah operasionalnya jauh dari kampung halamannya.
Bahkan
tiga hari sebelum malam penghabisan itu, Sempu masih sempat bermain di rumah
saya. Saya melihat dia jagongan akrab dengan bapak di teras depan rumah.
Tetapi
malam itu semua semangat pertemanan sudah tidak ada, putus sama sekali. Yang
ada ialah semangat untuk menghabisi, membunuh preman yang selama ini membuat
resah. Dan itu didukung, bahkan difasilitasi oleh aparat berseragam hijau.
Bapak
belum paham siapa preman yang diturunkan. Begitu mendekat, bapak saya melihat
Sempu, kebetulan Sempu juga melihat bapak. Seketika semangat bapak langsung
drop. Kepala bapak menjadi kelu, kaki dan tangan terasa kaku. Keringat dingin
menyergap. Bapak memiliki riwayat jantung yang kurang baik.
Bapak
berkata kepada Sempu, “Kamu to?”
Sempu
menjawab dengan sopan, “Nggih Pak. Sempu nyuwun pangapunten”
Bapak
menjawab, “Yo”
Setelah
itu bapak bergegas meninggalkan lokasi yang bakal menjadi ladang pembantaian
itu. Bapak pulang ke rumah, tidak tega membayangkan Sempu menjadi bulan-bulanan
masa hingga ajal. Dan betul saja, malam itu terjadi pembunuhan yang
direncanakan dengan matang terhadap dua orang pria yang divonis sebagai preman.
Bagong
sekali gebug langsung KO. Dia tidak bangun lagi ketika kemudian orang-orang
bergantian menghujani tubuhnya dengan tangan kosong atau isi. Berbagai benda
tumpul dari mulai kayu, besi hingga batu menimpa tubuhnya yang sudah tidak
berdaya.
Berbeda
dengan Sempu. Meskipun secara fisik lebih kecil, namun ternyata dia sangat
tangguh. Entah memiliki ilmu apa sehingga berbagai benda keras yang menimpa
tubuhnya tidak cukup merobohkannya. Dalam kondisi terkulai dan bersimbah darah
dia masih terus mendesis-desis cukup keras, meskipun mulutnya tidak
mengeluarkan kata-kata. Desisan itu menandakan masih ada hawa hidup bersemayam
di tubuhnya.
Massa
yang menyaksikan itu semakin bersemangat untuk segera menghabisi Sempu. Ternyata
Sempu cukup mampu bertahan. Namun pertahanan Sempu yang begitu tangguh itu
berakhir juga dengan pukulan maut yang menimpanya.
Ketika
kerumunan orang itu masih sibuk menghujani pukulan ke tubuh Sempu, tampillah
kemudian dua warga tertangguh dari Kepuh Lor. Dua orang itu adalah Mbah Bodin
dan Mbah Yoso yang diyakini memiliki “bekal”. Dibantu oleh dua warga yang lain,
membalikkan tubuh Sempu.
Tubuh
Sempu yang sudah tanpa daya itu, kakinya dipegangi digantung ke atas oleh dua
orang. Dalam posisi kepala menggantung ke tanah, Sempu masih terus
mendesis-desis. Mbah Bodin berdiri tegak membelakangi tubuh Sempu, yang kedua
kakinya dipegang dua orang itu. Dua tangan Mbah Bodin memegang pipa besi baja
sebesar lengan sepanjang satu meter yang biasa digunakan untuk memecah bata
merah.
Mbah
Yoso jongkok menghadapi wajah sempu. Tangan Mbah Yoso mengelus wajah Sempu yang
sudah hancur bersimbah darah. Sepertinya Mbah Yoso merapalkan sesuatu.
Ajaib,
suara desisan Sempu yang tadi keras melawan, kemudian menjadi agak pelan. Sempu
mampu tertundukkan oleh rapalan Mbah Yoso. Kemudian Mbah Yoso berdiri,
memberikan isyarat kepada Mbah Bodin yang sedari tadi sudah siap.
Mbah
Bodin mengangkat pipa besi itu dengan dua tangannya yang kekar. Sekuat tenaga
pipa besi diayunkan tepat di selangkangan Sempu. Prees!
Benda
super keras itu membentur tubuh empuk Sempu. Seketika Sempu diam. Tak ada
jeritan, tak ada lenguhan, pun desisan sebagai bentuk perlawanan terakhirnya itu
terhenti. Sempu betul-betul terdiam dan mati. Preman tangguh itu menemui ajal
di tangan dua orang tangguh Kepuh Lor yang satu klub ronda dengan saya.
Mbah
Bodin dan Mbah Yoso adalah orang yang mungkin mengetahui titik lemah Sempu. Orang
menyebutnya sebagai titik pengapesan. Jadi dipukuli sampai hancur
sehancur-hancurnyapun, jika titik pengapesannya belum tersentuh, maka dia akan
tetap hidup. Itu yang terjadi pada diri Sempu.
Meskipun
sosok Sempu cukup dekat dengan warga Kepuh Lor, namun malam itu hidupnya harus
berakhir dengan tragis di tangan orang-orang Kepuh Lor sendiri. Orang-orang
yang dikenal olehnya semasa hidup.
Setelah
dua preman itu betul-betul game, kemudian tubuhnya dinaikkan kembali ke atas
truck. Tak butuh waktu lebih dari menit, tanpa perlu kata pengantar ataupun
kata pamitan, petugas berseragam hijau itu membawa preman yang statusnya sudah
berubah menjadi mayat itu menjauh dari ladang pembantaian. Entah dibawa ke mana
tubuh-tubuh yang sudah tidak berbentuk itu. Begitu truck sudah tidak nampak,
secara bergelombang masa yang baru saja melampiaskan nafsunya itu bubar dengan
membawa cerita masing-masing.
Pagi
hari saat melewati ladang pembantaian itu, masih nampak bekas-bekas aktifitas
dramatis semalam. Rumput-rumput yang tergilas pijakan kaki, darah yang
mengering masih menyisakan bau amis.
Kejadian
yang mengukuhkan bahwa Kepuh Lor bukan saja jago membunuh anjing, namun juga
mampu membunuh preman. Ya preman, manusia yang mungkin dianggap memiliki
perilaku yang tidak jauh dengan anjing. Dan sudah menjadi tradisi bagi warga
Kepuh Lor, bahwa anjing harus dihabisi, untuk kemudian berpesta.
Itulah
Kepuh Lor, tempat saya lahir, menjalani sebagian waktu tinggal, memperoleh
pengajaran, bergaul dan bermasyarakat. Setelah menikah, sebentar saja tinggal
di Kepuh Lor yang di sana saya tumbuh dan membesar.
Tahun
1994, saya pindah rumah tidak lagi tinggal di Kepuh Lor. Bapak saya meninggal
tahun 1997, karena serangan jantung yang tiba-tiba menyergapnya sesaat setelah
selesai sholat dhuhur di mushola kantornya.
Kemudian
gempa maha dahsyat memporak porandakan Jogjakarta. Tak luput Kepuh Lor juga
diratakan dengan tanah oleh kekuatan alam super hebat itu. Sekian ratus nyawa
orang melayang, nenek saya salah satunya, meninggal hari itu. Igun. adik saya
persis, tempurung kaki kanannya pecah hancur remuk.
Tahun
2007 beberapa hari menjelang Idhul Adha, Igun menyusul bapak yang sepuluh tahun
sebelumnya meninggal. Penyakit hipertensi yang hinggap cukup lama tak mampu
lagi dibendungnya. Igun meninggal masih sangat muda belum lagi genap 32 tahun.
Ibu
sekarang tinggal di rumah pusaka Kepuh Lor. Di rumah itu tinggal juga Igit adik
saya yang lain bersama istri dan anak-anaknya. Adik saya yang bungsu Koco,
tinggal di Jakarta.
Selepas
tamat ikatan dinas di STAN dia ditempatkan kantor pajak Jakarta. Setiap bulan
dia pulang ke rumah pusaka sekaligus menjunguk ibu tercinta.
Uzan
anak saya yang sulung sekarang tinggal di rumah pusaka atas permintaan ibu
untuk menemaninya. Sepertinya sudah menjadi tradisi di keluarga saya, cucu
tinggal serumah dengan mbahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar