BATU
HITAM BERDARAH
Hermawan
Widodo
Saat
berumur sekitar 6 tahun, menurut penuturan ibu, saya nakalnya minta ampun.
Harus saya akui, bahwa saya memang nakal.
Urusan
mengambil jambu tetangga sayalah biangnya. Menunggu lengahnya mandor tebu,
kemudian masuk area perkebunan tebu dan membabat tebu itu sebanyak-banyak,
hampir tiap minggu saya lakukan.
Pergi
tanpa pamit, dengan bersepeda pulang-pulang sudah tanpa sepeda karena lupa menaruhnya,
merupakan hal biasa. Hari berikutnya ada tetangga datang membawakan sepeda saya
yang tertinggal di halaman rumahnya.
Membuat
keributan saat sholat taraweh di bulan Ramadhan, saya tidak pernah absen.
Mengganggu cewek lewat dengan melempari buah jambu, hingga mereka marah-marah,
hampir tiap hari terjadi.
Jika
saya sakit dan dibawa ke dokter Rohadi untuk disuntik, pasti dokter yang masih
ada ikatan saudara jauh itu, saya cubiti tangannya untuk mencegah jarum
suntiknya menyentuh pantat saya. Bahkan saya tendang hingga jarum suntik itu
jatuh ke lantai. Kalau sudah begitu, biasanya bapak turun tangan, dengan
langkah ekstrem mengikat kaki dan tangan saya menggunakan kain.
Waktu
itu saya sudah kelas 1 SD, di SDN Mutihan III Wirokerten Banguntapan Bantul. Pagi-pagi
saatnya persiapan masuk sekolah, saya malah asyik menggambar di rumah bagian
depan. Yu Mur pernah mengajari saya menggambar.
Ada
yang tidak tepat dalam menyebutkan saudara. Beberapa saudara disebut tidak
sebagaimana mestinya. Adiknya bapak yang perempuan semestinya dipanggil Bu Lek,
namun kami memanggilnya dengan Mbak. Pak Lek dengan Mas. Budhe dengan Yu. Saya
tidak biasa memanggil Pak Dhe, karena kebetulan bapak saya adalah anak
laki-laki tertua di keluarga Marto Dimulyo. Ibu juga anak tertua dari keluarga
Darmo Suwito. Kakek disebut Pak Tuwo, dan nenek dipanggil Mbok Tuwo.
Tidak
ada mbah dalam keluarga inti. Kakek dan nenek tidak mau dipanggil mbah, tidak
mau dianggap sudah mbah-mbah, tua dan pikun. Adik atau kakak dari kakek dan
nenek baru kami memanggilnya dengan sebutan mbah. Yu Mur itu mestinya dipanggil
Bu Dhe.
Saat
itu mestinya harus persiapan masuk sekolah, mandi makan dan lainnya, tetapi
saya masih asyik sendiri menggambar bunga. Dengan kertas buram yang dibawa
bapak dari kantor, saya membuat corat-coret yang masih sangat sederhana. Gambar
bunga dengan tangkai di dalam pot. Karena baru gambar itu yang diajarkan oleh
Yu Mur. Gambar semacam itu terus saya buat. Sampai kemudian ibu muncul di
belakang saya, menyuruh saya mandi dan segera berangkat sekolah.
Namun
saya selaku anak yang dengan reputasi kenakalan cukup handal, seruan ibu itu
kuanggap angin lalu. Saya meneruskan menggambar bunga itu. Ibu kembali ke
dapur, saya masih asyik sendiri. Di dekat saya ada kacang rebus, sisa tadi
malam di panci plastik. Melihat saya tidak ada reaksi positif, ibu datang lagi
dan mengulangi perintahnya.
Saya
bergeming, dan tetap dengan keasyikan saya sendiri, menggambar. Tentu sikap
saya memancing kemarahan ibu. Dengan gaya khas seorang ibu, maka keluarlah
sabda darinya bla.bla.bla..Hingga kemudian ibu mengeluarkan sabda terakhir, “
Kalau tidak mau sekolah saya buatkan surat untuk gurumu”
Saya
masih bergeming. Reputasi saya sebagai anak nakal harus saya jaga sepenuh jiwa.
Apapun ancaman ibu, saya tidak takut. Semakin ditekan, justru saya semakin kuat
melawan.
Ibu
masuk ke rumah dalam, mengambil secarik kertas dan ballpoin. Ibu menulis surat
kepada guru saya. Saat menulis itu, ibu sambil membacakan isi suratnya. Isinya
kurang lebih begini : Bu guru, ini Mawan
sudah tidak mau sekolah lagi, maka tidak usah diberi pelajaran. Biar Mawan
bermain saja tidak usah sekolah.
Mendengar
isi surat yang sengaja dibaca dengan keras itu, saya jadi terusik. Saya
bereaksi. Saya berdiri meninggalkan kertas-kertas yang saya gambari bunga itu.
Surat tulisan tangan ibu itu saya ambil dan saya sobek-sobek.
Melihat
sikap saya, ibu marah dan bilang, “Gampang, surat bisa ditulis lagi. Kalau kamu
tidak mau sekolah ya sudah”
Ibu
pergi, namun kacang rebus yang ada di dekat saya, diambil dan dilemparkan ke
kepala saya. Waktu itu saya diam saja, namun hati saya sangat marahnya. Ibu
meninggalkan saya, mengambil sapu lidi, kemudian menyapu halaman sebagaimana
biasa dilakukan di pagi hari. Kemarahan saya belumlah reda, masih tersimpan
membara di dada hingga ke kepala.
Ibu
di halaman sedang menundukkan badan, memegang sapu lidi, menunaikan kewajiban
sebagai ibu rumah tangga membersihkan lingkungan rumah.
Saya
beranjak dari tempat saya duduk. Saya keluar dari ruang depan, menuju halaman
rumah. Entah setan mana yang hinggap di jiwa dan jasad saya saat itu. Seolah
dibimbing oleh setan gentayangan, saya mengambil batu yang tergeletak di tanah.
Batu hitam legam sekepal itu saya lemparkan ke arah ibu yang masih menunduk
menyapu. Lemparan sporadis, asal lempar dengan tenaga penuh itu ternyata sampai
ke posisi ibu. Batu keparat itu, tepat mengenai dahi ibu.
Saya
mendengar ibu berteriak, “Aduh!”
Sambil
memegang dahi, ibu mendongak. Saya melihat darah merah mengucur deras dari dahi
ibu. Begitu melihat darah yang mengalir hingga ke leher itu saya menjadi panik.
Saya lari entah ke mana saat itu, yang jelas menjauh dari ibu. Saya hanya
sempat melihat ibu berjalan menuju teras sambil memegang dahinya dengan darah
sudah membasahi tangannya. Saya masih sempat melihat ibu ditolong oleh Mbah
Kaji dan Mbak Jazim.
Ending
kejadian itu saya tidak paham. Apakah kemudian saya dimarahi habis-habisan oleh
bapak, atau saya disetrap, atau bahkan mungkin saya dikurung di kamar gelap,
saya tidak tahu. Saya lupa, seperti ada sesuatu yang hilang di memori saya.
Sudah
saya usahakan mengingat dengan keras sekeras-kerasnya, namun saya tetap tidak
mampu merangkainya. Mestinya saya bertanya ke ibu terlebih dahulu sebelum menulis
ini. Namun belum sempat saya tanyakan.
Tetapi
apapun endingnya, yang jelas itu merupakan kejadian tragis ibu atas ulah saya.
Untuk itu meskipun sudah lewat puluhan tahun silam, saya meminta maaf dengan
sesungguhnya kepada ibu. Saya belum pernah secara lisan dan jantan meminta maaf
atas kejadian itu kepada ibu.
Mungkin
ibu sudah sejak dulu memaafkan saya. Entah nanti saya cukup memiliki keberanian
atau tidak untuk melakukannya. Namun ulah yang tidak pantas ditiru oleh anak
yang baik, sholeh dan berbakti kepada orang tua, utamanya ibu itu, adalah
bagian dari masa kecil saya yang super nakal.
Ulah
itu begitu membekas di hati saya. Namun bagi ibu ulah saya itu membekas
selamanya di dahinya. Sampai sekarang masih nampak meski samar, bekas terjangan
batu hitam berdarah penuh laknat itu, di dahi ibu tercinta. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar