PERTEMUAN
PENGHABISAN
“Sepenggal
Kisah Bersama Pramoedya Ananta Toer”
Benee
Santosa *
Hampir
saja aku lupa dengan penggalan perjalanan hidupku yang sangat berkesan. Itu
semua karena aku tenggelam oleh kesibukan sebagai konsekuensi menjadi “kuli”.
Namun tiba-tiba ingatanku muncul, sehingga membuatku ingin menuliskannya. Ya,
akhir bulan April yang tidak akan pernah aku lupa untuk selamanya.
Aku
dan keluargaku (bapak dan ibu) pindah ke Blora, menempati rumah peninggalan
eyangku, Mastoer. Rumah di Jl. Sumbawa 40 Jetis Blora itu merupakan rumah masa
kecil Pramoedya Ananta Toer, pakdheku.
Sejak rumah itu ‘didandani’, Pram sering datang ke Blora. Mungkin ia ingin
bernostalgia dengan masa kecilnya di rumah itu.
Saat
pindah ke Blora, usiaku 13 tahun. Aku pindah dari SMPN 13 Bekasi ke SMPN 5
Blora. Sebenarnya aku bisa masuk sekolah favorit. Namun, ternyata SMPN 5
memiliki hubungan historis dengan keluargaku yang tidak bisa dipisahkan. Tanah
yang ditempati SMPN 5 Blora, adalah tanah milik Mastoer, eyangku. Sampai sekarang
prasasti untuk menghormati jasa Mastoer, masih berdiri tegak di depan gedung
sekolah.
Siapa
Pramoedya Ananta Toer, sudah banyak yang menuliskan. Seperti apa karya-karyanya
juga sudah banyak yang memahaminya. Khalayak juga mengerti, sudah berapa kali
ia menjadi nominator peraih Nobel. Meski Nobel itu tak pernah ia terima hingga
akhir hayatnya 30 April 2006, enam tahun lalu. Aku tidak mau menuliskan tentang
hal itu. Yang ingin kutuliskan adalah pertemuanku yang terakhir dengan pakdheku itu.
Awal
tahun 2006, Pram dan keluarganya berziarah ke Blora. Ia menginap ‘di rumahku’,
rumah masa kecilnya. Pram tidak pernah mau tinggal di hotel, setelah rumah masa
kecilnya ‘disulap’ oleh bapak menjadi seperti sekarang. Ada bangunan semacam paviliun
kecil di samping rumah utama, menjadi peristirahatan Pram untuk menikmati
hari-harinya di Blora.
Setelah
beberapa hari tinggal di Blora, Pram ingin kembali ke alamnya, Bojong Gede.
Seperti biasa, sebelum berangkat istri Pram, ‘ninggali sangu’ untukku.
Anak-anaknya yang juga keponakanku turut melakukan hal yang sama. Cukup banyak
‘tinggalan’ yang kukantongi saat itu. Ritual itu sudah menjadi tradisi di
keluarga Pram kepadaku.
Kejadian
yang tidak biasa adalah, ketika Pram hendak menaiki mobilnya. Ia membuka tas
pinggang yang dikenakan, kemudian mengambil selembar uang bergambar I Gusti
Ngurah Rai. Uang pecahan itu mau diserahkan kepadaku, namun jarak Pram denganku
berdiri agak jauh. Dengan sigap bapak yang kemudian ‘menyerobot’ uang itu, dan
menyerahkan kepadaku. Kejadian itu tentu membuat kaget, namun membahagiakanku.
Pram selama ini tidak pernah memberi ‘tinggalan’ uang kepadaku. Pertanda atau
firasat apakah ini?
Beberapa
bulan setelah itu, kami mendapat kabar Pram sakit dan dirawat di rumah sakit.
Bapak langsung berangkat ke Jakarta. Aku dan ibu tidak ikut, karena aku harus
menyiapkan diri untuk ujian nasional. Beberapa hari kemudian, kami mendengar
berita yang sangat mengejutkan. Pramoedya Ananta Toer meninggal dunia. Kami
mendengar berita itu dari wartawan yang datang ke rumah. Setelah memberi kabar
duka itu, sang wartawan malah mewawancarai ibuku tentang saat-saat terakhir
Pram di rumah Blora.
Aku
dan ibuku kemudian menyampaikan kabar duka itu kepada adik Pram yang nomer
tiga, yang tinggal tidak jauh dari rumahku. Sepulang dari rumah budhe, siaran
tivi sudah banyak yang mengabarkan meninggalnya Pram. Ternyata sang wartawan
yang datang ke rumah Jl. Sumbawa 40, membawa kabar yang benar. Rupanya lembaran
uang bergambar I Gusti Ngurah Rai itu ucapan selamat tinggal dari Pram
kepadaku, dengan maksud supaya aku juga gemar menulis.
Esok
paginya aku mengikuti ujian nasional, dalam kondisi masih diselimuti duka atas
meninggalnya Pram. Seorang guru yang sedang bertugas menjaga ujian, bertanya
kepadaku, “Ben, sudah dengar kabar atau belum?” Aku menjawab singkat,
“Sudah.”
Kini
Pram telah pergi, namun ia akan tetap hidup di hatiku, juga di hati para
pengagumnya. Karya tulisnya sebagai anak-anak rohaninya akan abadi, karena
menulis adalah jalan menuju keabadian. Akupun ingin abadi. Untuk itu aku ingin
menulis. Namun saat ini aku hanya ingin membayar hutangku pada diriku sendiri,
dan juga kepada Pram. Maka sepenggal kisah pertemuan penghabisanku dengan Pram,
‘tinggalan’ terakhirnya yang ingin kuabadikan. Meski aku tidak begitu lama hidup
bersama Pram, namun ia akan selalu hidup abadi yang tak dapat terhapus dari
sejarah hidupku.
*Benee Santosa, adalah anak
dari Soesilo Toer, yang berarti keponakan penulis kelahiran Blora, Pramoedya
Ananta Toer
Tidak ada komentar:
Posting Komentar