NONTON
KONSER II
“
Rock Siang Bolong Setengah Gila “
Hermawan
Widodo
Budi
Suryanto adalah salah satu punggawa Cabioma (Cah Biologi SMA5) yang keranjingan
musik rock. Rumahnya berada nun jauh di Siluk, lereng perbukitan Panggang,
masih sekitar 10 Km sebelah selatan Imogiri tempat makam raja-raja Jogja dan
Solo. Meski jauh dari kota, namun untuk urusan musik rock dia tak pernah
ketinggalan.
Di
rumahnya pinggir sungai Opak itu, banyak ditempeli poster musisi rock tenar.
Poster ukuran standar Gun&Roses, Def Leppard, Skid Row, Van Hallen dan
sebagainya memenuhi dinding kamarnya. Karena rumahnya di Siluk dan dia adalah
satu-satunya anak Siluk, maka kami memanggilnya dengan Siloek.
Kecintaan
kepada musik rock, selain menempeli dinding kamarnya dengan berbagai poster,
dia juga mengoleksi banyak kaset dari musisi tersebut. Ekspresi kecintaan pada
musik rock itu secara formal juga ditunjukkan di sekolah. Saat harus tampil ke
depan untuk menyanyi, dia pasti menyanyikan lagu rock. Yang saya ingat dia pasti
menyanyikan lagunya Nicky Astria, lady rocker nomer satu Indonesia.
Pada
hari Sabtu dia mengajak saya nonton konser musik rock di Mandala Krida. Dua
tiket sudah dia pegang dan ditunjukkan kepada saya. Di tiket itu tertulis
konser dimulai jam 2 siang. Dia bilang akan menghampiri saya ke rumah Kepuh.
Saya membayangkan, kalau harus pulang dulu ke Siluk, apa tidak kecapaian.
Ternyata Siloek pulang ke rumah salah satu saudaranya di Umbulharjo, dekat
terminal induk Jogjakarta.
Hari
sabtu seperti biasa jam 12.45 sekolah bubar. Saya tidak naik motor, namun
ngontel sepeda pulang ke rumah. Waktu masih kelas II, saya belum naik motor,
masih mengandalkan sepeda balap lungsuran dari Mbak Jazim. Baru saat kelas III
saya naik motor Honda Supercup 80, bergantian dengan bapak. Kalau saya yang
bawa, bapak saya anter ke kantor dulu, dan sorenya saya jemput.
Jam
setengah dua saya sampai rumah. Setelah bersih-bersih dan makan, jam dua tepat,
Siloek sudah sampai di rumah saya. Waktu itu udara masih terasa panas. Hanya
berpakain kaos oblong dan celana jeans, saya gonceng Siloek di atas motor
Suzuki RC100 andalannya. Mandala Krida tidak begitu jauh dari rumah. Sekitar 15
menit sudah sampai area parkir stadion bola andalan Jogjakarta itu.
Meskipun
di tiket tertulis konser dimulai jam 2 siang, ternyata sudah mendekati jam
setengah tiga pintu masuk belum dibuka. Saya dan Siloek menunggu di pelataran
stadion. Sambil menunggu saya dan Siloek jajan es dan beberapa cemilan dari
warung yang ada di sekitar stadion.
Baru
sekitar jam 4 sore pintu dibuka. Saya dan Siloek masuk stadion dan mencari
tempat duduk di tribun atas. Panggung nampak jelas dari tempat kami duduk,
meskipun agak jauh. Di panggung masih nampak aktifitas cek sound. Nampak Arthur
Kaunang sibuk melakukan cek sound bas gitarnya. Setelah dia turun, sekitar jam
setengah lima sore konser musik baru dimulai, molor hampir tiga jam dari
rencana jam 2 siang.
Banyak kelompok musik yang tampil di panggung
itu. Setiap kelompok tampil sekitar 1 jam. Ada 6 hingga 8 lagu dimainkan oleh
setiap penampil. Saya tidak ingat nama-nama grup musik sangar itu. Yang tersisa
di memori saya adalah kelompok yang bernama Sharkleer, Java Box dan SKE.
Nama-nama
yang hanya saya dengar di panggung itu, setelahnya saya tidak pernah
mendengarnya lagi. Lagu-lagu yang dinyanyikan umumnya milik Deep Purple, Led
Zeppelin, Van Hallen, Yes dan yang lain. Umumnya lagu yang sudah sangat popular
yang diusung mereka, semacam Dream milik Van Hallen, Highway Starnya Deep
Purple dan Changes andalan Yes. Ada lagu yang dimainkan lagi oleh grup berbeda
di panggung yang sama. Lagu yang dimainkan lebih dari sekali adalah Highway
Star.
Setiap
grup yang tampil, tingkah vokalisnya hampir sama. Setiap ganti lagu, selalu
nenggak vodka. Dia menyanyi sambil lari-lari, teriak-teriak, jingkrak-jingkrak,
dan nenggak vodka.
Penonton
yang berdiri di depan panggung juga nampak ikut jingkrak-jingkrak. Siloek yang
duduk di tribun mengajak saya turun ikut bergabung dengan penonton di depan
panggung. Saya tidak mau. Ngeri juga melihat mereka jondhal-jondhil tidak
karuan seperti itu. Dalam kondisi begitu saya yakin mereka tidak terkontrol.
Melihat yang menyanyi mendem, saya yakin penonton yang melihatnya juga sambil
mendem. Orang-orang mendem berkerumunan bersama, dalam suasana riuh, pasti rawan
rusuh. Saya lebih baik menghindari potensi itu.
Siloek
tidak jadi turun bergabung dengan orang-orang mendem itu. Argumentasi saya
cukup meyakinkan dia untuk tidak mengambil sikap bodoh seperti mereka yang
mendem itu. Jadi saya dan Siloek cukup menggerakkan kaki dan tangan sambil
tetap duduk di tribun.
Saat
itu sudah mendekati jam 11 malam. Hawa dingin sudah mulai terasa sejak jam
sepuluh. Celakanya kami berdua sama sekali tidak membawa bekal cemilan. Kami
sejak jam setengah lima, murni hanya menikmati sajian musik tanpa sajian yang
lain. Penyakit kedinginan mulai menyerang saya. Saya yang hanya memakai kaos
oblong saja jelas terkena dampak langsung dari hawa dingin itu. Siloek yang
memakai jaket jeans agak terbantu. Namun dia bilang masih merasakan dingin.
Sebagai
penampil terakhir SAS kelompok rock veteran seangkatan Godbless muncul di
panggung. Grup yang digawangi Sunata Tanjung pada gitar, Arthur Kaunang pada
bas dan vokal, serta Syekh Abidin yang menggebuk drum itu tampil sekitar satu
jam hingga pas jam 12 tengah malam. SAS membawakan lagu-lagunya sendiri, bukan
lagu rock manca yang sudah digelontorkan oleh musisi sebelumnya dari sejak
setengah hari tadi. Karena saya tidak begitu familiar dengan lagu-lagu SAS,
maka saat Arthur Kaunang menyanyi saya tidak begitu ngeh.
Saya
hanya merasakan penampilan SAS berbeda dengan grup sebelumnya. SAS tidak banyak
tingkah. Tidak lari ke sana ke mari. Mereka sudah nampak dewasa banget. Bermain
lebih mengutamakan skill bermusik dari pada tingkahnya. Arthur Kaunang meskipun
wajahnya sangar, namun suaranya empuk. Dia juga tidak nenggak vodka setiap
selesai menyelesaikan satu lagu. Saya
hanya ingat satu lagu yang diucapkan Arthur Kaunang sebelum dinyanyikan, kalau
tidak salah Body Rock. Tetapi lagu itu belum pernah saya dengar sebelumnya.
Penampilan
mereka meskipun meriah namun tidak mampu mengusir rasa dingin yang menyergap
tubuh saya. Jam 12 tepat konser ditutup. Lampu stadion dinyalakan. Seluruh
stadion terasa terang benderang, meskipun tersaput kabut.
Saya
dan Siloek turun dari tribun. Menunggu beberapa saat untuk menghindari
kerumunan penonton yang mau keluar. Setelah keluar, saya dan Siloek menuju
tempat parkir motor. Saya terus bersedakep untuk menahan hawa dingin. Gigi saya
sudah bergerutuk sangking dinginnya.
Siloek
mengambil mantel dari bawah jok, padahal sama sekali tidak hujan. Saya tidak
paham maksudnya. Begitu dibuka, kemudian dia pakai mantel itu.
Dia
bilang, “Untuk menghadang angin malam.”
Saya
pikir dengan memakai mantel bisa mengurangi dingin. Namun ternyata sama saja.
Meski saya sudah di dalam mantel, hawa dingin itu masih menyertai. Di belakang
Siloek, saya terus bekah-bekuh menahan dingin. Siloek terus mengarahkan
motornya ke selatan. Saya membayangkan jika Siloek harus kembali pulang ke
Siluk tengah malam seperti ini apa ya berani.
Ternyata
dia mengajak saya pulang ke rumah saudaranya di Umbulharjo. Saya dan Siloek
tidur di rumah itu. Baru sekitar jam 7 pagi setelah mendapatkan sarapan kami
berdua pulang. Siloek menurunkan saya di rumah Kepuh. Dia tidak masuk rumah
dulu namun langsung pulang ke Siluk menempuh perjalanan sekitar 30km lagi dari
rumah saya.
Pengalaman
kedinginan saat nonton konser saya ulangi saat saya Gombloh manggung di
Kaliurang. Awaludin Suhono anak Ngipik dekat sekolah SMP, selepas Isya’
tiba-tiba tanpa memberi kabar apapun datang ke rumah saya di Kepuh. Tidak perlu
basa-basi dia langsung ngajak pergi.
Saat
saya Tanya, “Mau ke mana?”
Dijawab
dengan cepat, “Kaliurang!”
Saya
heran, malam-malam ngajak ke Kaliurang. Saat saya desak ada acara apa di
Kaliurang, dia bilang lihat Gombloh. Berbekal uang ala kadarnya dan merangkapi
kaus saya dengan jaket tipis, saya pamitan ibu dan nggonceng Udin. Dia memakai
jaket kulit hitam. Tanpa helm kami berangkat mengendarai Honda Astrea 800 hitam
miliknya.
Jalanan
menuju Kaliurang setelah lewat selokan Mataram, tidak begitu ramai. Udin memacu
motornya dengan lumayan kencang. Saya yang di belakang kadang harus memejamkan
mata untuk menghindari terjangan angin. Masuk daerah Mbesi hawa dingin sudah
mulai masuk kulit. Jaket tipis saya tidak mampu menahannya. Karena jaketnya
lumayan tebal, Udin mungkin belum terasa dingin meskipun dia di depan.
Memasuki
Pakem, hawa semakin dingin. Sampai di Kaliurang tingkat kedinginan sudah
lumayan sampai menembus tulang. Kami menuju ke lokasi konser di area
perkemahan. Setelah menitipkan motor di parkiran dadakan, saya dan Udin
berjalan mendekat ke panggung. Ternyata sudah banyak orang berkerumun di situ.
Udin
mengajak untuk mencari tempat lain. Kami naik ke bukit. Lumayan tinggi kami
mendaki. Setelah mendapatkan posisi yang nyaman kami duduk di samping pohon.
Dari kami duduk, pojok panggung terlihat jelas, meski agak jauh.
Jam
8.00 malam acara dimulai. Penyanyi pertama muncul adalah Ebiet G Ade. Dia
menyanyi sambil duduk di kursi dengan gitar akustik. Beberapa lagu dia
nyanyikan. Saya tidak ingat persis lagunya apa saja. Yang jelas lagu “Untuk
Sebuah Nama” dinyanyikan bersama-sama dengan penonton. Ebiet mampu mengajak
penonton larut dengan lagu-lagunya.
Terus
terang saya kurang bisa menikmati konser. Saya terganggu oleh hawa dingin yang
menusuk. Hawa dingin itu tidak dapat diusir dengan yang hangat-hangat. Posisi
saya dan Udin lumayan tinggi di lereng bukit, sehingga tidak mungkin ada
asongan yang lewat menawarkan teh panas atau kopi. Jadi saya lebih
berkonsentrasi dengan bergerak-gerak sendiri mengusir hawa dingin.
Tak
terasa tampilan Ebiet sudah usai, yang disusul kemudian oleh munculnya Gombloh
di panggung. Dengan pakaian khas, kaos lengan panjang dibalut rompi, kepala ditutupi
topi, dan berkaca mata. Saya tidak bisa memastikan kaca mata itu hitam atau
coklat. Gombloh juga menenteng gitar akustik. Saat memulai dialog dengan
penonton Gombloh minta maaf karena tidak membawa pengiring, maka dia akan
tampil dengan iringan musik minus one. Saya juga tidak begitu banyak paham
lagu-lagu Gombloh. Yang sering saya dengar adalah lagu Kebyar-Kebyar. Kaset
itulah yang sering saya lihat di rumahnya Agus Kepuh Kidul.
Ketika
Gombloh manggung di Kaliurang itu, bukan lagi era lagu Kebyar-Kebayar. Gombloh
sudah bergeser, dari lagu-lagu yang idealis dan berbobot tinggi ke lagu-lagu pop yang pro pasar. Gombloh saat
itu sudah populer dengan Apel dan Setengah Gila. Album Apel dan Setengah Gila
itulah yang menjadikan Gombloh berkucukupan materi. Saat masih mengandalkan
patriotisme dan kecintaan kepada alam, Gombloh kurang mendapatkan penghargaan.
Justru
saat Gombloh sudah mati, muncul Setiawan Djodi yang mengangkat SWAMI tanpa
mempedulikan pasar. Dia mampu mendikte pasar untuk mendengarkan lagu-lagu SWAMI
yang tidak umum di pasaran pada masa itu. Lagu-lagu pedas dengan tema kritik
sosial yang keras dan musik yang garang dapat diterima oleh pendengar musik
Indonesia, yang cukup lama terlenakan dengan lagu pop cengeng mendayu.
Seandainya Setiawan Djodi mau turun tangan sejak awal tahun ’80 mungkin Gombloh
tidak harus menjual Apel hingga menjadi Setengah Gila untuk sekedar memenuhi
kebutuhan diri dan keluarganya sebagai seniman.
Gombloh
dengan iringan musik minus one, menyanyikan lagu-lagu Apel, Setengah Gila dan
yang lain. Dia sama sekali tidak menyanyikan lagu-lagu yang berbobot dan
fenomenal semacam Kebyar-Kebyar itu. Mungkin lagu-lagu lawasnya saat itu belum
dibuat versi minus onenya. Penonton begitu antusias menyanyikan lagu-lagu yang
dibawakan Gombloh. Dia sangat mahir membangun komunikasi dengan penonton.
Meskipun berbadan kurus, namun ternyata dia mampu tampil hampir satu jam penuh.
Dia berdiri selama menyanyi dan berdialog dengan penonton.
Sedangkan
saya seperti saat tampilnya Ebiet sebelumnya, masih disibukkan oleh urusan hawa
dingin. Hawa dingin semakin malam bukan semakin berkurang justru semangkin
menggila. Apalagi saat itu kabut sudah mulai turun. Sekuat tenaga saya berusaha
mengurangi dingin yang sudah menusuk-nusuk sumsum itu. Bergerak-gerak,
menggosok tangan dan membuang napas lewat mulut tidak mampu mengurangi bekunya
malam itu. Jam sepuluh Gombloh selesai tampil. Konser juga selesai.
Saya
senang sekali saat itu. Senang karena konser selesai. Bukan senang karena telah
melihat konser Ebiet dan Gombloh. Senang karena segera bisa terlepas dari
siksaan hawa dingin. Saya dan Udin menuruni bukit untuk pulang. Untuk sampai
rumah saya masih harus menahan hawa dingin lagi sekitar satu jam perjalanan.
Saya
dan Udin menuju parkiran untuk mengambil motor. Jok sudah basah oleh embun.
Begitu pantat nempel di jok motor, air embun menembus hingga celana dalam.
Nyess dingin rasanya. Motor digenjot, langsung tancap gas menuruni jalanan
Kaliurang. Saya masih nggonceng di belakang. Di perjalanan saya nempel terus di
punggung Udin.
Dingin
udara ditambah terpaan angin sudah betul-betul menyiksa. Sampai di kampus
Bulaksumur, kami berhenti dan mampir warung hik di pinggir jalan. Teh panas dan
gorengan mampu mengurangi dingin yang sudah terlanjur masuk sumsum itu. Setelah
badan tidak lagi kedinginan, saya ganti yang di depan mengendarai motor hingga
Kepuh. Sekitar jam 12 malam sampai rumah. Udin tidak mampir rumah, langsung
pamitan pulang.
Pengalaman
saya nonton konser Gombloh di Kaliuarang itu adalah pertama kali dan sekaligus
terakhir melihatnya secara live. Tidak lama setelah konsernya di Kaliurang itu,
Gombloh dikabarkan meninggal. Menurut berita yang saya baca karena sakit liver.
Melihat tubuhnya yang kurus kering sepertinya Gombloh menyimpan banyak penyakit
di dalamnya. Penyakit itulah yang menghantarkan ruhnya menemui Khaliqnya. Meski
Gombloh telah mati, namun hingga kini lagunya masih abadi. Setiap Agustus lagu
Kebyar-Kebyar hampir setiap hari terdengar. Sedangkan Apel dan Setengah Gila
hingga sekarang saya tetap tidak suka mendengarnya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar