PRA EBTA NASIONAL
“ Tragedi Gerombolan Nasi Bungkus/PKI
“
Hermawan Widodo
SMPN
Baturetno Banguntapan Bantul, menjelang akhir ujian nasional yang dulu dikenal
dengan EBTANAS, mengadakan les tambahan bagi seluruh siswa kelas tiga. Les
dilakukan siang hari setelah selesai jam sekolah. Siswa tidak pulang, namun
menunggu jadwal les di sekolah yang dimulai jam dua siang.
Pelaksanaan
les untuk siswa ini benar-benar dipersiapkan secara matang. Selain guru yang
memberikan tambahan bimbingan belajar sesuai dengan bidang studinya, logistik
berupa konsumsi pun disiapkan. Jadi siswa tidak perlu membawa bekal makan,
karena pihak sekolah sudah menyiapkan makan untuk siswa.
Betul-betul
pengorbanan yang patut mendapat apresiasi. Betapa ribetnya para guru yang tanpa
pamrih itu harus menjadi relawan masak bagi sekitar 103 siswa. Suatu pekerjaan
yang tidak ringan untuk menopang pelaksanaan les, yang rencananya berlangsung
satu bulan.
Upaya
keras dan ikhlas para guru demi siswanya, ternyata tidak mendapatkan respon
yang semestinya dari siswa.
Hari
pertama pelaksanaan les itu, konsumsi yang diberikan berupa nasi bungkus. Tiap
kelas mendapatkan jatah nasi bungkus sesuai jumlah siswa. Dalam hal distribusi
nasi bungkus ini, sama sekali tidak timbul masalah. Para ketua kelas mampu
mengatur distribusi dengan baik kepada semua siswa di kelasnya.
Persoalan
timbul ketika siswa yang lapar itu mulai membuka jatah makanan dalam bungkus.
Setelah beberapa suap menelan nasi bungkus, sebagian siswa kemudian meletakkan
nasi bungkus itu. Mereka tidak melanjutkan makan. Satu siswa mengeluh nasinya
keras. Siswa lain menyahut dan mengamini. Satu siswa lagi berteriak lauknya
tidak enak. Siswa yang lainnya juga menyahut mengiyakan. Akhirnya terbentuk
jama’ah yang memiliki kesamaan pemahaman, bahwa nasi bungkusnya keras dan
lauknya tidak enak.
Reaksi
yang kemudian muncul terhadap nasi bungkus, sungguh tidak terduga. Jika sebatas
tidak memakannya dan kemudian membuangnya secara diam-diam ke tempat sampah,
itu masih sangat wajar.
Sisa
nasi bungkus atau bahkan yang masih utuh, tetapi sudah dibuka itu, tidak
dibuang di tempat sampah. Mereka digantung di sembarang tempat yang
memungkinkan untuk menggantungkan bungkusan nasi yang tak berdosa, tetapi naas
itu. Jadilah aksi parade nasi bungkus yang menggantung di tiap sudut sekolah.
Bungkusan nasi itu menggantung di ranting pohon akasia, di atas tumbuhan
tetehan, di sela-sela tulisan SMPN Baturetno, di tiang bendera, di pintu kelas,
di tower air, bahkan bungkusan nasi yang malang itu terdampar juga di kamar
mandi dan WC.
Suatu
pemandangan yang benar-benar tak terduga. Itu hasil dari aksi demo yang juga
tidak terencana, sporadis dan anarkhis meskipun tidak sampai menimbulkan efek
merusak. Yang ditimbulkan hanya rusaknya pemandangan di area kampus SMPN
Baturetno.
Ulah
siswa berseragam putih biru yang nekat itu, tentu membuat shock para guru. Saya
sempat melihat Bu Ani, mantan wali kelas saya dulu di kelas IA menangis di
salah satu ruang kelas. Beliau adalah guru pelajaran PKK, yang juga sekaligus
sebagai kepala biro logistik yang bertanggung jawab terhadap pemenuhan konsumsi
siswa peserta les. Pantas jika beliau yang paling shock atas ulah
siswa-siswanya tak tahu berterima kasih itu.
Beberapa
guru umumnya ibu-ibu menampakkan wajah dengan ekspresi yang susah
diinterpretasikan. Kecewa, marah, nelongso dan lainnya mengumpul dalam satu
wajah.
Melihat
demo siswa yang begitu anarkhis, tentu para guru harus mengambil langkah
radikal. Namanya guru, para beliau tetap menempatkan siswa bagai anaknya
sendiri. Bertingkah apapun tetap diberikan kasih sayang yang tidak pernah
berkurang.
Langkah
kepala sekolah yang waktu itu dijabat sementara oleh Pak Santosa, mengubah
pelayanan konsumsi siswa dengan cara prasmanan. Suatu langkah pelayanan yang
tak pernah pudar dari para pejuang tanpa tanda jasa. Bukti bahwa para guru
memiliki komitmen yang sangat tinggi demi keberlangsungan pendidikan anak
didiknya.
Maka
pada hari berikutnya, acara makan, setelah selesai jam sekolah dipusatkan di
laboratorium. Nasi, sayur, lauk dan piring serta sendoknya diletakkan di meja
praktikum. Kursi-kursi ditata di meja-meja permanen yang terletak di semua sisi
laboratorium.
Suatu
strategi yang sangat jitu. Demo anarkhis para siswa sehari sebelumnya langsung
bisa dipadamkan. Mereka dengan tertib dapat digiring menuju laborat untuk
mendapatkan jatah makan.
Entah
kebetulan atau memang disengaja, menu makan siang saat itu menurut saya cukup
enak. Kami mengambil sendiri nasi, sayur dan lauknya. Nasinya tidak lagi keras,
sayurnya berkuah segar, ditambah lauk sepotong ayam goreng. Sangat signifikan
untuk mengisi perut yang memang sudah waktunya minta diisi.
Ternyata
menyelesaikan persoalan tidak bisa lepas dari urusan hal ihwal kebutuhan perut.
Strategi memenuhi kebutuhan perut inilah yang kemudian mampu menopang kegiatan
les tambahan belajar bagi semua siswa, dapat berjalan normal.
Pelaksanaan
les berjalan dengan baik. Semua mengambil peran masing-masing. Guru memberikan
les sesuai bidangnya. Siswa menerima tambahan pelajaran meski sambil mengantuk.
Persoalan
baru muncul kembali, saat kelas saya IIIA sedang mendapatkan pelajaran PSPB.
Waktu itu Bu Niken guru PSPB memberikan lembar latihan soal pra ebta. Kami
menerima soal-soal itu dan kemudian mengerjakannya.
Selesai
mengerjakan, lembaran soal dikembalikan lagi kepada guru. Ternyata ada satu
lembaran soal yang tidak kembali. Saat itu kami sama sekali tidak paham jika
ada lembaran soal yang hilang. Baru saat Bu Niken mengatakan ada satu soal yang
belum kembali, kami jadi saling berpandangan dengan rasa heran. Sebab kami
semua merasa sudah mengembalikan.
Gophel
selaku ketua kelas memerintahkan mencari dan menggeledah tas masing-masing.
Tetapi meskipun seluruh ruang kelas sudah disisir dan tas juga sudah dikeluarkan
isinya, lembaran soal yang dimaksud tidak ditemukan.
Sebenarnya
kami tidak mengerti mengapa selembar kertas soal itu menjadi begitu penting.
Bagi kami selembar soal itu tidaklah begitu berarti. Sebagian besar dari kami
sudah memiliki buku kumpulan soal ebta/ebtanas yang banyak beredar di shooping
center Gondomanan.
Tetapi
ternyata bagi Bu Niken hal itu menjadi masalah serius. Sangat serius malah.
Kasus
hilangnya latihan soal pra ebta itu sampai ke guru BP. Guru BP adalah guru yang
identik dengan urusan murid-murid bermasalah. Pak Darno guru BP yang berbadan
kurus dan bertampang tirus itu langsung
turun ke kelas dan melakukan investigasi. Pak Darno menanyai kami satu per satu
dan diminta menjawab dengan jujur.
Selama
sekitar satu jam melakukan litsus di kelas kami, hasilnya nihil. Tidak ada
satupun dari kami yang mengaku membawa dan atau menyembunyikan lembar soal itu.
Karena tidak ada yang mengaku, oleh Pak Darno selaku guru BP, kasus itu akan
disampaikan kepada kepala sekolah.
Ketika
Pak Darno sudah selesai dengan upaya investigasinya, Bu Niken masuk ke ruang
kelas kami lagi.
Dengan
marah guru yang menurut ukuran kami lumayan cantik dan bertubuh montok itu,
memberikan ultimatum dengan perkataan yang cukup keras, “ Kalian ini sama
dengan PKI !! “
Suatu
cap yang biasa distempelkan kepada para pembangkang pemerintah Orde Baru.
Mungkin kami, anak-anak kelas IIIA saat itu dianggapnya sebagai gerombolan
pembangkang oleh ibu guru pengajar pelajaran sejarah itu. Meskipun Bu Niken
terlihat begitu marahnya, namun bagi kami tidak begitu berpengaruh, karena
memang setelah itu kami pulang.
Keesokan
hari ketika masuk kelas, tema pembicaraan kami masih seputar hilangnya lembar
soal itu. Obrolan kami cukup panjang dan lama, yang tanpa kami sadari ternyata
tidak ada guru yang masuk untuk mengajar di kelas IIIA.
Namanya
juga gerombolan setan merah, PKI versi Bu Niken, kami tidak begitu mempermasalahkan
ketidak hadiran guru di kelas IIIA, justru kami malah senang karena jam kosong.
Kondisi itu berlalu hingga bel berbunyi tanda jam istirahat pertama.
Saya
dan Gophel, yang nama lengkapnya Rafael Agus Prabowo ketua kelas IIIA, saat
akan membaca KR yang ditempel di samping ruang guru, tanpa sengaja membaca
tulisan pengumuman di ruang guru.
Tulisan
itulah yang menjawab mengapa tidak ada guru yang masuk ke kelas kami pagi itu.
Isi tulisan yang diparaf oleh Pjs kepala sekolah itu begini : KELAS IIIA UNTUK
SEMENTARA WAKTU TIDAK DIBERIKAN PELAJARAN HINGGA PERMASALAHANNYA SELESAI.
SUPAYA MENJADIKAN PERHATIAN SEMUA GURU.
Ternyata
kelas kami mendapatkan skorsing hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Saya
dan Gophel tidak jadi membaca KR, langsung kembali ke kelas. Tidak berapa lama kemudian
bel berbunyi tanda jam istirahat pertama berakhir. Semua siswa masuk kelas.
Begitu juga kelas IIIA semua siswanya masuk kelas.
Saya
tidak tahu ada skenario apa antara Gophel dan Diana yang kami panggil Kuning
itu. Sebenarnya mungkin maunya orang tuanya diberi nama Diono sebagaimana umumnya
nama orang Jawa. Namun karena dalam akte tanda lahirnya ditulis dengan huruf
“a” sehingga jadilah Diana.
Diana
adalah seorang cowok berperawakan sedang, anak dusun Wotgaleh Berbah Sleman. Jawa
tulen, tetapi bermata sipit dan berkulit agak kuning mirip-mirip Cina. Itulah
asbabnya dia mendapatkan panggilan Kuning.
Diana
tampil ke depan kelas. Kemudian dia pidato macam-macam tentang latihan soal
yang hilang itu. Dia singgung juga tentang ultimatum bu Niken bahwa kelas IIIA
gerombolan PKI dan sebagainya. Terus terang saya ta’jub melihat Diana mampu
berorasi di depan kelas. Suatu kemampuan yang tidak saya duga sebelumnya. Sebab
jika saya maju ke depan kelas bisa dipastikan selalu keringatan karena nervous
yang luar biasa.
Lha
ini, Diana ngoceh panjang lebar, dengan mimik, gesture, dan intonasi suara
bermacam-macam. Kadang marah dengan mata mendelik, kadang sedih dengan wajah
menunduk. Intinya dia ingin memastikan apakah ada teman-teman di kelas IIIA
yang mengambil soal itu.
Dari
nada suaranya saya tahu dia mencurigai seseorang. Dan orang itu adalah Sulimawan
anak Mbawuran Pleret, teman saya sejak kelas IA. Saya dan dia pisah di kelas
II, dia IIA saya di IIC.
Diana
betul-betul menekan Sulimawan dengan pertanyaan yang langsung ke sasaran,
apakah mengambil, berani sumpah dan sebagainya. Agus, suadaraku dari Kepuh juga
mendapatkan pertanyaan dan tekanan yang sama dengan Sulimawan.
Akhirnya
semua mendapatkan pertanyaan, apakah mengambil dan menyembunyikan soal itu.
Sudah bisa diduga, hasilnya nihil, tidak ada satupun yang mengaku.
Meskipun
Diana garang di depan kelas, namun saya dengan Zuni yang duduk berdampingan semeja,
malah ngomong sendiri. Zuni, teman sekelas saya ini, cewek Kotagede berkulit
putih namun bertubuh lumayan subur.
Saya
dan dia memang tidak begitu mempedulikan akting Diana. Saya dan dia asyik
sendiri, ngomong dengan bisik-bisik dekat telinga, sambil sesekali menahan
tawa. Ketika saya sesekali meperhatikan Diana, dia berusaha tidak memandang ke
arah kami.
Ketika
acting itu berakhir Diana keluar kelas. Tak lama kemudian dia masuk lagi,
dengan muka basah habis dibasuh air. Mungkin dia keringatan juga berbicara lama
di depan kelas.
Tanpa
terasa, bel berbunyi lagi tanda jam istirahat kedua. Karena sudah tahu bakal
tidak mendapatkan pelajaran, maka kami tenang-tenang saja. Saya, Qusman, Udin
jajan ke warung Pak Bon. Diana menyusul.
Dia
langsung misuh-misuh ke saya. Katanya ketika dia di depan kelas ceramah, dia
berusaha tidak melihat ke meja saya dan Zuni itu, alasannya dia tidak tahan,
pasti akan tertawa melihat ulah saya dan Zuni. Padahal tugasnya dia harus
marah-marah di depan kelas. Maka wajar jika dia berusaha untuk tidak melihat
saya dan Zuni, dengan cara membuang muka jika pandangan matanya hampir sampai
ke meja kami berdua.
Saya
yang dikomplain hanya cengar-cengir. Saya bilang ke Kuning, mestinya bilang
dulu kalau mau marah-marah, jadinya kami serius mendengarkannya.
Kuning
malah tambah ngedumel, “ Ora ngrasakke gorokanku sampai kering, ngadeg sikil
nganti pegel, malah wong loro kui mung cekikak cekikik, kurang ajaaar….!!”
Melihat
dia uring-uringan kami malah jadi ngakak berjamaah. Tetapi dengan lapang dada
saya beri dia pujian atas acting dadakannya itu. Jika nanti ada lowongan pemain
figuran saya sarankan supaya mendaftar dan ikut seleksi, pasti lolos.
Dua
jam pelajaran terakhir, karena pasti kosong, saya main ke rumah Udin yang tidak
jauh dari sekolah. Waktu itu ada Elvi dan Zuni yang juga bersama-sama ke rumah
Udin.
Di
tempat Udin, kami diambilkan kelapa muda juga ada cemilan. Sambil menikmati
segarnya air kelapa muda dan cemilan, Udin memutar tapenya. Terdengar alunan
Beatles dari kaset saya yang dipinjam Udin beberapa hari sebelumnya. Kaset
bajakan itu dulu saya beli dari shooping.
Mendekati
jam sekolah usai, saya , Udin, Zuni dan Elvi kembali ke sekolah untuk mengikuti
les. Kemungkinan untuk les apakah akan ada guru yang mengajar, kami juga belum
paham.
Saatnya
makan siang menjelang les, tanpa dikordinir semua siswa kelas IIIA tidak ada
satupun yang ke laborat untuk mengambil jatah makan. Saya yakin haqul yakin
bahwa tak ada provokatornya. Kami bergerombol di beberapa titik. Namun tidak
ada yang beranjak. Ada beberapa guru yang menghimbau kami untuk makan, namun
semua bergeming.
Sampai
saatnya les, kami juga masuk kelas. Pak Yanto, guru bahasa Indonesia kemudian
masuk kelas dan mempertanyakan mengapa
siswa kelas IIIA tidak ada yang mau makan. Waktu itu Fajar nDut yang dipanggil
ke depan. Saat ditanyakan mengapa tidak mau makan. Dengan jawaban spontan yang
tidak disetel, Fajar menjawab sudah menjadi kesepakatan, karena IIIA diskorsing
maka semua siswa tidak makan. Jika melanggar kesepakatan akan dicubiti tubuhnya oleh anak-anak seluruh kelas. Suatu
jawaban yang cerdas. Padahal sebenarnya tidak ada kesepakatan itu. Semua hanya
improvisasi Fajar sendiri.
Kemudian
Pak Yanto mendata dan menanyakan satu per satu dari kami, apakah mau makan. Entah
siapa yang mulai mencairkan suasana, namun akhirnya kami mampu dibujuk dan kemudian
digiring ke laborat untuk makan.
Pada
saat kami sekelas bergerak ke laborat dan melewati kelas lain, kami mendengar
suara teriakan cemohan dari mereka, “Huu...”
Tentu
mereka memiliki persepsi tentang kelas IIIA yang sok gaya, tidak mau makan, dan
lainnya. Tetapi saat itu kami cuek saja. Memang kelas IIIA berbeda dengan kelas
yang lain. Siang itu kelas kami mampu ditundukkan. Meski begitu kami juga belum
mendapatkan les tambahan hingga saatnya pulang.
Pagi
hari berikutnya seperti biasa kami hanya duduk-duduk saja. Hari itu hari Sabtu,
jam pertama semestinya olah raga. Waktu terjadinya kasus hilangnya soal pra
ebta, guru olah raga Pak Sujadi tidak masuk, maka beliau tidak memahami
skorsing yang diterima kelas IIIA.
Dengan
sudah berpakain olah raga Pak Jadi masuk kelas dan memerintahkan kumpul ke
lapangan. Padahal kami tidak ada yang membawa seragam olah raga. Ghopel selaku
ketua kelas merasa wajib untuk menyampaikan ke Pak Jadi, kalau kelas IIIA
diskorsing. Pak Jadi kaget.
Ternyata
Pak Jadi belum sempat membaca pengumuman di board ruang guru. Begitu membaca
pengumuman yang terpampang jelas itu, maka serta merta beliau tidak jadi
mengajar olah raga. Mundur teratur. Itu korban pertama dari guru atas skorsing
yang kami terima.
Korban
yang lain menimpa wali kelas IIIA Pak Manto, yang juga guru seni rupa dan
elektronik. Begitu mendengar kasus yang menimpa kelas IIIA dan juga sanksi yang
diberikan kepala sekolah, Pak Manto kemudian jatuh sakit dan tidak masuk
sekolah.
Siang
kami menggelar rapat kilat memutuskan untuk menengok wali kelas kami. Yang
menjadi utusan waktu itu saya, Gophel, Usman, Udin. Ada juga siswa perempuan
yang ikut namanya Rini Astuti, anak Kemasan Wiroketen. Salah satu cewek
tercantik ke kelas IIIA versi saya, dan sekaligus sudah lama saya taksir
meskipun dengan diam-diam.
Minggu
pagi kami berangkat ke rumah Pak Manto di daerah Gedongkuning. Kami belum ada
yang pernah ke rumahnya. Setelah bertanya ke bebarapa orang, kami temukan
rumahnya.
Beliau
menemui kami masih dengan sarung. Memang dari raut wajah nampak jika sedang
sakit. Kemudian kami serahkan oleh-oleh buah yang kami bawa.
Ghopel
mewakili kami menyampaikan permintaan maaf atas ulah anak-anak kelas IIIA yang
membuat Pak Manto tidak nyaman. Ghopel juga mengharapkan Pak Manto segera
sembuh dan kembali mengajar. Dalam obrolan setelah tujuan inti kami sampaikan,
kami juga menjelaskan dan meyakinkan bahwa di antara kami betul-betul tidak ada
yang mengambil lembar latihan soal pra ebta, sumber malapetaka itu. Setelah
semua dapat kami jelaskan secara gamblang, kami pamitan untuk pulang.
Hari
Senin, seperti biasa upacara bendera pada jam pertama. Kepala sekolah selaku
pembina upacara tidak menyinggung masalah kelas IIIA dalam amanatnya.
Namun
selesai upacara, pelajaran matematika sudah ada guru yang masuk dan mengajar di
kelas IIIA. Tidak ada pembicaraan apapun tentang kejadian sebelumnya. Bu Ana
menjelaskan pelajaran matematika seperti biasanya, dengan kata-kata yang khas
dan monoton yang sudah menjadi ciri
khasnya : “Ya Tidak”.
Usut
punya usut ternyata tulisan yang beberapa hari sebelumnya terpampang di board
ruang guru sudah tidak ada, sudah bersih dihapus. Jadi secara otomatis skorsing
untuk kelas IIIA sudah berakhir.
Tanpa
penjelasan, tanpa pembelaan. Persis seperti nasib para tapol PKI yang juga
tanpa prosedur apapun. Ditangkap, dipersalahkan, dihukum, dibebaskan. Sudah hanya
begitu saja. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar