KARYA SASTRA, SEBUAH CERMINAN PEMBENTUK PERADABAN
Muh. Qoyyum Mahfudhon
Sastra adalah bagian seni yang menampilkan keindahan yang bersifat
aktual dan imajinatif sehingga mampu memberikan hiburan dan kepuasan
pembacanya. Sastra sejatinya adalah sebuah penegasan tentang estetika karya
yang dibuat menurut suasana pembuatnya yang dapat menghadirkan sisi kebebasan
yang nyata. Intinya ada tiga buah kesimpulan pokok yang harus dipertimbangkan
dalam menilai bobot sastra, yaitu unsur estetika atau keindahan karya sastra,
isi yang memuat suasana yang menggambarkan kebebasan pembuat, dan juga diterima
atau tidaknya karya sastra tersebut oleh penikmat sastra yang ujung-ujungnya
adalah kepuasan.
Dalam mendalami sastra seseorang dituntut untuk sepenuh hati dalam
menghasilkan sebuah karya. Ibarat selongsong busur panah yang dilepaskan. Kita
sebagai subjek yang akan mencoba mengkonversikan peluang untuk benar-benar
mengenai sasaran. Kita harus fokus, cermat, sepenuh hati, yakin dan kuat.
Begitulah sastra, tak akan berdiri tanpa kesungguhan.
Chairil Anwar ‘Si Binatang Jalang’ adalah sosok yang tidak
setengah-setengah dalam mengabdikan diri dalam dunia sastra. Pelacuran, minuman
keras, pencurian buku, juga kekacauan selalu ia masuki. Semua itu baginya
adalah dunia yang selalu memberi inspirasi. Tak heran jika di kepalanya hanya
ada satu kata ‘sastra’.
Dalam dunia sastra tidak ada istilah takut untuk berkarya, tak ada
ketakutan kalau bukunya dilarang edar, tak ada ketakutan kalau karyanya tidak
laku, juga tak ada ketakutan kalau karnya akan dicaci maki oleh pihak-pihak
tertentu. Pramoedya Ananta Toer adalah sosok tangguh dibalik berdiri kokohnya
posisi sastra tanah air. Pram, begitu dia dipanggil, telah berhasil memanggil
dunia internasional untuk hormat pada kesustraan Indonesia. Beragam penghargaan
internasional diterimanya dan berkali-kali dinominasikan sebagai peraih Nobel
sastra. Tak ada ketakutan sedikitpun dalam diri Pram untuk mengeksplor habis
kemampuan menulisnya walau saat itu sebagian besar bukunya tidak diijinkan terbit
oleh penguasa. Bahkan ada juga karya-karyanya yang kemudian dibakar tentara.
Kalau menulis, berkarya adalah kebebasan, maka tak ada kata takut
untuk itu. Di tanah air, kita bisa lihat Pram, Hamka, H.B Jassin, juga Chairil
Anawar dibui dan menderita karena karyanya. Naguib Mahfouz, sastrawan Mesir
dibunuh karena karya sastra, Solzhenitsyn dipenjara dan diasingkan ke luar
negeri, Qossim Amin dikecam, dihujat dan diasingkan dari pergaulan karena
pemikirannya yang bertentangan dengan pemerintah, sastrawan Prancis Marchuis de
Sade divonis mati karena pemikiran liarnya mengenai sadisme kejahatan. Yang
paling heboh tentu Mohammed Toha yang dipancung karena ajarannya tentang pesan
kedua Islam bersinggungan dengan politik Numeri, presiden Sudan. Yang gila tentu
Galilo Galilei yang nekat menerbitkan ‘Diaologue on the Two Chief World
System’. Sebuah buku yang berisi dialog Copernicus dan Ptolemaic mencari pihak
ketiga yang netral untuk mendukung teori pusat tata surya. Buku itu menyulut
kemarahan Paus Urbanus VII. Galileo dihukum gereja penjara seumur hidup
gara-gara berpendapat bahwa matahari adalah pusat tata surya. Sebaliknya dari
beberapa contoh yang diuraikan, membuat kita tak lagi takut dan memandang remeh
sebuah karya sastra.
Sastra dan Pendidikan Umum
Menurut Joni Ariadinata, setidaknya ada dua hal klasik yang
seringkali disebutkan jika membicarakan pengajaran sastra di sekolah. Pertama
adalah siswa yang menganggap bahwa karya sastra (puisi, cerpen, novel dan
naskah drama) adalah bahan-bahan yang sulit dimengerti. Kedua adalah keengganan
guru untuk mengajarkannya (karena memang sama-sama memiliki stigma bahwa karya
sastra itu sulit) sehingga kebanyakan guru mengambil jalan pintas untuk
mengajarkan teori.
Kebanyakan siswa atau orang Indonesia pada umumnya menganggap
membaca adalah sebuah beban berat yang kalau bisa dibuang jauh. Padahal ada
empat poros yang melingkupi terciptanya sebuah karya sastra. Dalam sebuah
artikel disebutkan bahwa menulis tanpa membaca ibarat burung yang patah sayap.
Setelah membaca dengan baik kita lanjutkan pada poros yang ketiga yaitu menulis
atau menghasilkan karya. Dan yang keempat adalah mempublikasikan karya tersebut
hingga ada penilaian mengenai respon karya tadi.
Dari empat hal di atas, membaca adalah aspek terpenting yang harus
dikedepankan. Sebab hanya dengan membaca seluruh pengetahuan akan terkuak.
Membaca adalah sebuah jendela yang akan membawa seseorang menjelajah khazanah
ilmu pengetahuan apa pun secara tak terbatas.
Namun kita bisa melihat minat baca pelajar di Indonesia sangtlah
rendah. Menurut Dra. Jeni Adria Jahja M.Si., dalam tulisannya ‘perpustakaan
sebagai minat baca anak’ ada empat faktor mengapa minat baca di Indonesia
dikatakan rendah. Pertama sistem pembelajaran yang belum mampu membuat
anak-anak/siswa/mahasiswa mempunyai keharusan membaca buku. Kedua budaya
membaca belum diwariskan oleh nenek moyang. Ketiga sarana untuk memperoleh
bacaan masih merupakan barang aneh dan langka. Keempat masalah sumber daya
manusia dalam segala bidang yang bersangkutan dengan minat baca.
Sumber daya manusia Indonesia harus bisa ditingkatkan lagi
kualitasnya kalau kita ingin mendapatkan orang-orang yang berkarya dalam
tingkat internasional, terutama dalam penggodogan minat baca. Seperti kita
ketahui bahwa persoalan membaca adalah sangat klasik dan rumit di Indonesia.
Penelitian yang dilakukan oleh sastrawan Taufik Ismail, dkk membuktikan bahwa
data hasil wawancara dari sekolah tingakt SMU di seluruh dunia, sekolah-sekolah
di Indonesia memiliki predikat nol buku.
Sastra, pemikiran dan dampaknya
Setelah begitu njlimet kita mengutak atik masalah membaca, sekarang
kita akan mencoba membongkar pemikiran dan dampak sebuah karya sastra. Karya atau pemikiran baru yang diletakkan
menjadi sebuah tulisan lalu dibaca oleh banyak orang, maka akan menimbulkan
pertentangan-pertentangan yang lambat laun akan mengakibatkan gesekan-gesekan
di masyarakat antara setuju dan tidak setuju.
Sifat karya sastra yang imajinatif, kreatif dan ekspresif akan
membuat se empunya sastra menilik habis apa yang dapat ia keluarkan dan
membentuk sebuah karya. Jules Verne, novelis Inggris telah memproyeksikan
penemuan dalam kisahnya “ 20.000 Mil di Bawah Permukaan Laut”, “Mengelilingi
Dunia dalam 80 Hari”, dan “Perjalanan ke Bulan”. Dalam novel Verne itu
dijelaskan penemuan-penemuan baru seperti kapal selam, pesawat terbang dan
pesawat ruang angkasa, yang pada saat karya itu ditulis dianggap mustahil.
Pada tahun 1932, Aldus Huxiey menulis sebuah novel berjudul “Brave
New World”, sebuah novel yang
menggemparkan masyarakat Inggris karena imajinasinya yang sinting. Dalam novel
tersebut pengarang menggambarkan sebuah koloni manusia yang tidak dilahirkan
namun diproduksi secara massal sesuai kebutuhan, jenis pekerjaan, postur tubuh
dan tingkat intelegensia tertentu. Embrio-embrio dibibitkan dalam sebuah
laboratorium, dalam sebuah tabung. Sperma dan ovum untuk syarat pembuahan
dikmpulkan dan dipilih kemudian diawetkan di pusat pembibitan yang dinamakan
Central London Hactory and Conditioning Centre. Apa yang terjadi dalam imajinasi
Huxiey lima puluh enam tahun kemudian menjadi kenyataan yakni tahun 1988, bayi
tabung pertama dilahirkan.
Pemikiran sebuah karya sastra akan berdampak hebat di masa sekarang
atau kemudian hari, keberadaannya begitu diperhitungkan bagi yang melek akan
pengetahuan. Seseorang dengan sebuah karya bisa memicu berakhirnya sebuah
pemerintahan, terjadinya revolusi, lahirnya ideologi baru, munculnya
pertentangan rasial hingga meletusnya api perang yang berkecamuk.
Fatima Mernissi, pengarang perempuan Maroko dalam bukunya
“Rebellions Women and Islamic Memory” dengan sangat tajam menunjukkan betapa
agama dengan sangat mudah dapat dimanipulasi. Ia percaya bahwa penindasan
terhadap perempuan adalah semacam tradisi yang dibuat-buat. Pemikiran Mernissi
ini memantik golongan perempuan di belahan dunia untuk bergerak lebih luas
dalam kehidupan, tidak hanya menjadi pengekor saja.
Karl Marx, lewat magnum opusnya “Das Kapital” yang menjadi kitab
suci komunisme dunia telah membuat sebuah terobosan luar biasa dalam dunia
dengan menumbuhkan paham baru yang dikenal dengan komunisme. Bahkan Marx
dianggap sebagai nabinya orang-orang komunis.
“Der Judenstaat” karya Theodor Hezl, di dalamnya ada salah satu sub
judulnya Versuch einer modernen Losung der Judenfrage, yaitu proposal untuk sebuah
solusi modern mengenai masalah Yahudi.
Karya itu sangat berperan dalam merealisasikan sebuah Negara zionis di
Palestina.
Menurut Octivio Paz, penyair kondang asal Mexico, ‘awal sebuah
revolusi diawali kata-kata’.
Jauhnya karya sastra di lingkungan sekolah dan pemusatan pada
bidang ilmu umum hanya sekedar prasyarat pendidikan umum menyebabkan keringnya
imajinasi kreatif yang menghancurkan bangsa ini lewat kebohongan dan pembodohan
publik lewat jasa audio visual yang makin marak tanpa diimbangi suatu pemikiran
dalam kreatifitas. Indonesia di balik tanahnya yang subur dan potensi kekayaan
alamnya yang melimpah nyaris tidak ditemukan lagi sebuah revolusi pemikiran
seperti yang pernah dicetus beberapa puluh tahun lalu oleh pendiri Negara kita
ini. Pendiri-pendiri Negara Indonesia dididik dengan sistem pendidikan Belanda
yang mewajibkan para siswa mengenal karya sastra 25 judul dalam 4 bahasa
(Inggris, Belanda, Jerman dan Prancis)
Dampak dari itu semua dapat kita rasakan sekarang, lewat pola
penerapan gaya audio visual itulah bak senjata yang makan tuan. Terjadinya
korupsi, pembunuhan,kekerasan,penyelewengan,kisruh politik, potret kemiskinan
hingga hal-hal yang berbau pornografi diekspos habis-habisan oleh para pewarta
melalui media visual itu. Saat kita menunggu di halte, bandara atau stasiun
apakah masih ada orang yang sibuk membaca buku? Masih, tetapi sangat jarang,
ditambah ‘sekali, sangat jarang sekali. Hal yang kita lihat paling orang sedang
sibuk memencet tombol HP atau mendengarkan music dari headset. Kini ancaman
kebudayaan yang berbasiskan audio visual yang memendekkan kreatifitas dan daya
pikir telah mengikis habis bak parasit yang siap-siap merubuhkan bangsa ini.
Sebagai contoh saya selalu menggembor-gemborkan pentingnya kebudayaan, seni dan
sastra kepada teman-teman lewat majalah dinding yang saya tukangi. Namun
nyatanya mereka yang berminat tak lebih dari 10 orang dari sekitar 500 orang.
Lalu saya pindah ke dunia maya. Saya dirikan forum diskusi online tentang
sastra melalu sebuah grup. Faktanya tak banyak yang melirik. Bandingkan kalau
misalnya untuk pengagum Michael Jackson dan semacamnya, tidak usah diundang
pasti dating sendiri.
Generasi baru terus tumbuh, bisa dibilang generasi niraksara (jauh
dari bacaan apalagi kebiasaaan dan kemampuan menulis). Generasi ini biasanya
ditandai dengan melemahnya moral dan pelecehan kebudayaan bangsa sendiri.
Budaya timur yang dianut bangsa Indoensia telah dinetralisir dengan
budaya barat yang tidak sejalan dengan pesan moral bangsa ini. Namun
kebudayaannya diterima dengan baik oleh mereka yang melek dan tahu seperti apa
budaya timur itu. Budaya timur yang mengedapankan sopan santun, tata krama,
kerendahan diri dan ketaatan itu kini telah tergantikan sebuah budaya yang
beraneka ragam seperti istilah-istilah yang kerap dipakai akhir-akhir ini. Ada
istilah gaul, gaya ibu kota, metropolitan, gedongan, alay, punk narsisi dan
lainnya. Kehadiran mereka ditandai dengan dandanan aneh yang kerap mongol di
layar kaca. Dengan rambut jabrik, baju robek-robek, hidung ditindik, pakain
perlente yang tak lazim, sepatu beda warna, tarian-tarian ala penyanyi barat,
hingga gaya pembangunan budaya yang berujung meletupnya kata-kata yang
melenceng dari kaidah bahasa Indonesia yang benar.
Kembali dengan apa yang saya lakukan di atas, setelah gagal dengan
percobaan di dunia maya, saya tak patah arang untuk begitu saja berhenti.
‘Mensastralisasi’ dengan membentuk
komunitas sastra. Kurang lebih sebulan bersama rekan lulusan fakultas sastra
UNNES, saya menyebarkan selebaran membuka pendaftaran. Namun hasil yang didapat
tak sesuai harapan. Kami hanya dapat tujuh orang. Kegiatan tak berjalan mulus
karena sebagian anggota memilih keluar dan tidak aktif. Apa lacur, kami
terpaksa memvakumkan komunitas sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Kalau kita kembali merunut ke atas mengenai sebuah pemikiran dan
dampaknya, tampaknya kita tak akan lagi menemukan kepingan emas dari generasi
muda Indoensia yang berbudaya. Tetapi, bukannya tidak ada genearasi muda yang
berprestasi dan senantiasa memanggul kebudayaan bangsa, namun prosentasi sangat
kecil dibanding yang menyimpang.
Intinya pemikiran sastra sekecil apapun akan mempengaruhi kehidupan
generasi selajutnya. Konsep kematangan pemikiran budaya generasi muda sekarang
akan menentukan polah generasi selanjutnya. Peran penulis besar sebagai
pemerintah kedua yang diucapkan Solzhenitsyn tentunya berlaku di Indonesia.
Indonesia sejatinya telah dan pernah memiliki tinta-tinta emas yang pernah
meniti mercusuar kepenulisan Indonesia. Berbaur dengan ribuan kisah pilu
penulisan yang menemui banyak jalan terjal dan rintangan yang menghadang hingga
mengokohkan jalan kemerdekaan Indonesia berdaulat. Bangsa yang termasuk salah
satu yang disegani di kawasan Asia, hal itu berkat pemikiran-pemikiran tajam
putra banga di era kemerdekaan. Tetapi kini negeri ini terus menerus
terbelakang. Pemikiran-pemikiran yang pernah digemakan pendiri negeri ini jaman
kemerdekaan serasa tak lagi terdengar gaungnya.
Tentunya kita tak mau kan melahirkan generasi-generasi gagal?
Prosesi estafate moral banga ini seperti ada yang salah akhir-akhir
ini. Kita telah menyaksikan bagaimana rumitnya bangsa ini dengan berbagai
masalah yang ada.
Sudah cukupkah Indonesia dengan presatasi Negara kepulauan
terbesar?
Coba saja kita tengok selongsongan kisah tengil yang terjadi di
negeri ini. Korupsi meraja lela, kekerasan merebak di mana-mana, kasus-kasus
mafia mulai dari pajak, kepolisian hingga hukum. Ada kasus perselisihan
koalisi, penodaan agama, kekerasan antar sekte, pornogrfai, penggelapan dana nasabah
bank, hingga proyek meganalaria (proyek di luar akal sehat/nalar) senilai 1
trilyun lebih untuk membangun gedung DPR yang tentunya mengais uang Negara.
“Apakah kita
harus memaksa seniman mendiamkan hati nuraninya, membutakan matanya, menulikan
telinganya, mematikan dan melumpuhkan
perasaannya buat hal-hal yang terjadi di sekitarnya?”
(HB
Jassin, juru peta sastra Indonesia)
Kata-kata Jasin ini hendaknya dipahami betul oleh kita yang merasa
seniman, sastrawan, maupun pemikir. “Buat hal-hal yang terjadi di sekitarnya”,
terutama kata ini apakah yang telah terjadi di sekitar kita ini?
1.
Matinya
pemikiran revolusioner imajinatif di Indoensia ini
2.
Mati
surinya kesusastraan Indonesia di tengah hiruk pikuk kisruh politik
3.
Melemahnya
nilai-nilai budaya yang tercermin dari sikap pemuda kekinian
4.
Arogansi
pendidikan dalam menyentuh sastra sebagai pokok pembahasan
5.
Buruknya
minat baca masyarakat Indonesia
Metamorfosa sastra, pemikiran dan kebudayaan Indonesia menuju
recycle peradaban
“Tindakan tak selalu mendatangkan kebahagiaan, tetapi takkan ada
kebahagiaan tanpa tindakan” (Benjamin Disraeli, 1804-1881)
Metamorfosa sastra, pemikiran dan kebudayaan Indonesia yang
mengganti menjadi sebuah peradaban baru diperlukan kerja keras dari segenap
lapisan intelektual-intelektual Indonesia untuk mencapai daya imajinatif yuang
menggebrak. Kita harus mengembalikan semua dalam bentuk semula. Mereposisi
peran sesuai bidangnya. Budayawan harus bisa mengembalikan apa itu konsep
budaya yang sebenarnya. Seniman harus berani memperjuangkan afiliasi dengan
pemerintah tarkait masalah sosial yang menjadi pokok pemikiran seniman.
Memasukkan sastra ke dalam kurikulum pendidikan agar kelak tercipta
pemikir-pemikir muda yang meletakkan Indonesi kembali Berjaya di tingkat dunia,
membangun dinamisme keindahan estetika sastra hingga melahirkan akrobatik
ekspersif yang mampu merubah rancangan pondasi lapuk suatu pemerintahan. Banyak
jalan menuju metamorfosa itu, seperti ketika Indonesia berjuang mencari jati
diri.
1.
Ajip
Rosidi
Ia adalah potret pahlawan kesusastraan Sunda sejati. Ajip dengan
segala kekuatannya berusaha menghidupkan kembali khazanah kesustraan Sunda yang
nyaris mati lewat Yayasan Rancage (Kreatif) yang didirikannya. Hingga kini Ajip
telah berhasil menciptakan lebih dari 100 karya yang sebagian berbahasa Sunda.
2.
Ali
Akbar Navis
Sastrawan ini lebih dicintai karena
mulutnya. “Sang Pemcemooh” begitulah sebutan yang diberikan kepada penulis
karya besar “Robohnya Surau Kami” yang terkenal sampai ke luar negeri itu. Ia
selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih itu putih.
3.
Umar
Kayam
Si Kunang-Kunang dari Manhattan. Ia adalah guru dari hampir semua
pemikir kebudayaan sekarang. Sebagia pengarang, ia meninggalkan garis tajam,
pada pemikirannya. Hal itu tercermin jelas pada tokoh-tokoh rekaannya.
4.
H.B
Jassin
Juru peta sastra Indonesia, Paus sastra Indonesia, Pedokumentasi
sastra Indonesia. Itulah julukan yang diberikan kepada sosok bernama lengkap
Hans Bague Jassin ini. Hingga saat ini ia dianggap sebagai kritikus sastra
terbaik Indonesia yang belum ada gantinya. Bahkan penyair Toto Sudarto Bachtiar
menggambarkan di mana berakhirnya mata penyair, H.B Jassin tahu.
5.
Chairil
Anwar
Ia adalah penggerak gerbong sastrawan angkatan ’45. Isi kepalanya
hanya sastra, sastra dan sastra. Chairil Anwar , contoh terbaik untuk sikap
yang tidak setengah-setengah di dalam menggeluti kesenian.
6.
Hamka
Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Ulama, nasionalis, penulis,
penerjemah, pahlawan dari bumi Minang. Ketangguhannya tak bisa diragukan lagi.
Dua karynya “Tenggelamnya Kapal Van der Wijk” dan “ Di Bawah Lindungan Ka’bah”
adalah merupakan karya yang termasuk terbaik di Indonesia. Walau dalam tahanan,
kreatifitas Buya Hamka patut dipuji.
Nama-nama di atas adalah
benteng kokohnya pemikiran-pemikran Indonesia di masa-masa lalu. Sosok Ajip
Rosidi yang memperhatikan sastra daerah, Ali Akbar Navis yang gemar menyoroti
pemerintahan, Umar Kayam yang membidani kelancaran kebudayaan Indonesia, potret
Chairil Anwar yang total mengabdi untuk sastra, serta Buya Hamka yang merintis
pemikiran kritis nan elegan untuk perkembangan dunia sastra tanah air. Beberapa
nama ini adalah sebagian contoh untuk kita kaum muda bermetamorfosa membentuk
peradaban baru yang menohok mata dunia. Banyak-banyaklah membaca kehidupan,
lalu tuangkan dalam bentuk tulisan dan berharaplah kau akan jadi dirimu
sendiri. (*)
Muh. Qoyyum Mahfudhon (SMK 1 Blora0
Dk. Gempol Ds. Sumberagung Rt 07 Rw 03 Kec. Banjarejo Blora
***************************************************************
LIKU-LIKU HIDUP MENGGAPAI SUKSES
Yatini
Di sebuah desa hiduplah sepasang suami istri, Salim dan Salamah
yang hidup sederhana bersama dua anaknya. Anak laki-laki bernama Abdulrahman,
sedangkan anak perempuan bernama Musyarifah. Mereka tinggal di sebuah rumah
berdinding anyaman bambu dan kulit pohon jati. Desa itu terletak di dekat
gunung Mundri. Lokasi yang sering didatangi orang kota untuk wisata. Tentara
juga sering datang untuk latihan panjat tebing. Di puncak gunung dibangun tugu
dan kabaret tentara dari semen. Di area itu juga ada goa yang diberi nama Goa
Gong, karena jika dindingnya dipukul dengan batu akan berbunyi seperti gong.
Namun karena letaknya di area pertanian, goa itu ditutup dan dimanfaatkan untuk
lahan pertanian. Sebagai petani, setiap hari keluarga itu harus bekerja keras
di sawahnya yang tidak begitu luas untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidupnya.
Abdulrahman anak yang sholeh. Ia tidak pernah bertengkar dengan
teman-temannya. Malah ia sering dijaili oleh teman-temannya. Pernah kepalanya
dimasukkan ke kubangan air oleh Eko, hingga ia tidak bisa bernafas. Untung
Salim melihat kejadian itu. Eko dimarahi, namun Abdulrahman tetap menangis
ketika diajak pulang.
Abdulrahman sangat senang dengan binatang. Sapi yang dimiliki
bapaknya digembalanya dengan penuh kasih sayang dan kesabaran. Hingga sapi-sapi
itu menjadi gemuk dan beranak pinak. Meskipun tergolong belum dewasa, tetapi
Abdulrahman mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan orang tua. Selain menggembala
sapi, ia juga ikut menanam padi, memetik cabe, menggoreng rempeyek dan membuat
kue apem. Karena itulah kedua orang tuanya sangat sayang kepadanya.
Saat hampir tes semester pertama kelas 4 SD, Abdulrahman tiba-tiba
menderita sakit. Perutnya sangat perih dan nyeri seperti ditusuk-tusuk dan
disayat-sayat benda tajam. Orang tuanya membawa ke dokter untuk diperiksa.
Dengan obat yang diberikan dokter, berangsur-angsur rasa sakit di perut
Abdulrahman berkurang, bahkan tidak terasa sakit lagi. Melihat anaknya sudah
baikan, orang tuanya meninggalkan Abdulrahman di rumah ditemani adiknya. Salim
dan Salamah tidak bisa berlama-lama menganggur di rumah. Mereka harus bekerja.
Musyarifah menunggui kakaknya yang masih pucat karena beberapa hari
sakit perut. Ketika Abdulrahman minta adiknya mengambilkan makanan, Musyarifah
segera mengambil dan menyuapinya. Setelah habis, Abdulrahman tertidur. Tidak
sampai dua jam ia bangun dan merasakan sakit yang luar biasa di perutnya.
Abdulrahman sampai menjerit-jerit karena sakitnya. Musyarifah panik melihat
kakaknya sakit lagi. Musyarifah berlari ke sawah memberitahukan kondisi
kakaknya kepada orang tuanya. Salim dan Salamah kemudian berlari menuju rumah.
Begitu masuk rumah, dilihatnya Abdulrahman telah tergeletak jatuh di samping
ranjangnya. Melihat anaknya begitu, Salim, Salamah dan Musyarifah menghambur
mendekat. Abdulrahman yang telah tak berdaya itu, dibopong oleh bapaknya
kemudian diletakkan di ranjang.
“Pak, sakit..,” suara Abdulrahman lirih, kemudian terdiam untuk
selamanya.
“Man.., Man.., Rahman!” teriak Salim histeris melihat anaknya telah
tiada.
Seketika terjadi hujan tangis di rumah itu. Karena sangat terpukul,
ibunya jatuh pingsan. Siang itu juga jenazah Abdulrahman dimakamkan. Musyarifah
tidak kuat melihat kakaknya dibawa ke pemakaman. Ibunya dipapah bapaknya untuk
dapat bertahan hingga selesai prosesi pemakaman. Tanpa disangka, ketika jenazah
Abdulrahman dibawa ke pemakaman, ada salah satu sapi yang meronta dan lepas
dari tali pengikatnya. Sapi itu berjalan di belakang iring-iringan pengantar
jenazah. Sapi itu mengikuti prosesi pemakaman tuannya hingga selesai. Yang tak
diperhatikan orang adalah, sapi itu mengeluarkan air mata. Rupanya sapi itu
menangis.
Setelah meninggalnya anak sulung, Salamah sering termenung
sendirian. Musyarifah sikapnya juga mulai berubah. Anak perempuan yang ketika
ada kakaknya itu, sikapnya sangat santun, manis dan patuh kini menjadi manja,
semaunya dan mulai berani menentang orang tuanya. Yang lebih parah, Musyarifah
mulai berani berbohong kepada orang tuanya. Salim dan Salamah hatinya resah
melihat perubahan sikap anak perempuannya yang sekarang menjadi anak tunggalnya
itu. Kesedihan kehilangan anak sulung belum lagi hilang, kini ditambah dengan
ulah anak perempuannya. Namun ternyata sifat nakal Muyarifah hanya sesaat. Dia
berubah menjadi anak yang baik bahkan bisa juara ketika kelulusan sekolah SD.
Meski juara tetapi Musyarifah tidak bisa melanjutkan sekolah karena tidak ada
biaya. Musyarifah ingin belajar di pondok yang lebih murah. Tetapi ayahnya
tidak mau karena harus berpisah jauh dengan anak.
Saat itu datang Pak Aziz, salah seorang kerabat jauh orang tuanya,
yang juga pengasuh pondok. Pak Aziz ingin Musyarifah menemani anaknya sekolah
di SMP. Namun Musyarifah harus tinggal di rumah Pak Aziz. Orang tua setuju,
namun semua tergantung Musyarifah sendiri mau tidak. Sebenarnya Musyarifah tidak
mau meninggalkan orang tuanya.
“Anakku, jika kamu memiliki niat kuat untuk sekolah, kamu kami
ijinkan. Kamu tidak perlu memikirkan kami. Kami akan baik-baik saja. Kejarlah
cita-citamu menjadi orang sukses, jangan seperti orang tuamu ini. Kami yakin Pak
Aziz orang yang baik, kalau tidak, buat apa dia menolong kita.”
Setelah dipikir, Musyarifah memilih sekolah di rumah Pak Aziz. Di
sana ia bisa belajar sambil mengaji. Segera Musyarifah mempersiapkan diri untuk
berangkat. Pamitan dilakukan dengan penuh haru, karena berat meninggalkan orang
tuanya.
Sampai di rumah Pak Aziz, ternyata istrinya sedang menjemur padi di
halaman. Musyarifah membantu, mengangkat padi-padi itu. Dua minggu berjalan,
Musyarifah tiap malam masih selalu sedih karena teringat orang tuanya. Namun
orang-orang desa itu kagum kepada Musyarifah karena dia anak yang cekatan.
Suatu hari orang tuanya berkunjung ke rumah Pak Aziz. Musyarifah
senang sekali. Saat itu dia mengadu kalau tidak kerasan. Tetapi orang tuanya
kembali menasihati agar betah hingga lulus sekolah. Pada awalnya semua keluarga
Pak Aziz baik-baik, tetapi ternyata tidak yang Musyarifah kira. Dia harus makan
hati di rumah itu. Hampir semua pekerjaan rumah dia yang harus kerjakan.
Anak-anak Pak Aziz tinggal enak-enak saja. Mirip cerita bawang merah dan bawang
putih itu.
Ketika kelas 1 SMP dia juara dan mendapat hadiah Rp.900.000,-
Rencana uang itu akan diberikan kepada orang tuanya. Namun ternyata uang itu
malah dipinjam oleh istrinya Pak Aziz dan tidak pernah kembali. Kelas 2 SMP saat
keluarga itu menyewa toko, dia harus jaga toko itu hingga jam 9 malam. Sampai
rumah dia harus menyeterika pakaian keluarga Pak Aziz hingga larut malam.
Namun yang membuat Musyarifah tidak kerasan adalah dia tidak boleh
pulang. Hanya empat bulan sekali dia boleh pulang ke kampungnya. Setelah masuk
kelas 3 SMP dia sudah merasa lega karena sebentar lagi lulus sehingga bisa
kumpul dengan orang tuanya. Ternyata setelah lulus Pak Aziz memasukan Musyarifah ke SMK. Orang tuanya
telah menjual sapi untuk biaya itu semua. Perlakuan keluarga Pak Aziz kepada
dirinya tidak berubah, masih seperti layaknya pembantu.
Di SMK, Musyarifah mengambil jurusan akuntansi, dengan alasan biar
mudah mencari pekerjaan. Karena termasuk anak pintar, Musyarifah sewaktu
sekolah di SMK selalu dapat ranking. Ketika lulus dia langsung bekerja di
sebuah perusahaan milik salah satu gurunya. Gurunya baik sekali. Melihat bakat
Musyarifah maka diajak bekerja di perusahaannya. Kerja di perusahaan Musyarifah
juga menunjukkan prestasi sehingga dengan cepat dari karyawan biasa meningkat
menjadi manager. Tanpa butuh waktu lama, karena direktur yang lama sudah tua
maka Musyarifah diangkat sebagai direktur. Gaji satu bulan Rp.20 juta. Semua
itu berkat keahlian dan kejujuran serta prestasi yang diperolehnya selama
menjadi direktur.
Saat menerima gaji pertama, uang itu diberikan kepada keluarga Pak
Aziz. Gaji kedua diberikan kepada orang tuanya. Gaji selanjutnya dibagi tiga
untuk dirinya, orang tua dan keluarga Pak Aziz. Setelah cukup lama membalas
kebaikan keluarga Pak Aziz, Musyarifah kemudian pulang ke desanya. Orang-orang
desa kaget karena Musyarifah datang membawa mobil yang bagus. Musyarifah
kemudian membagikan sembako kepada tetangga-tetangga. Kini Musyarifah bisa
menikmati semua hasil usahanya. Meski begitu dia tidak pernah melupakan jasa
keluarga Pak Aziz dan selalu membagi kebahagiaan kepada sesamanya. (*)
Yatini – SMKN 2 Blora
Ds. Gedangdowo Rt02/02 Jepon Blora
****************************************************
PENGALAMAN MENGUKIR PRESTASI
Vinca Dia Kathartika Pasaribu
Meski masih baru mencoba mengukir prestasi di bidang tulis-menulis,
khususnya puisi, saya sangat bahagia karena Tuhan member saya kesempatan
memenangkan beberapa lomba cipta puisi, dan karya saya dimuat di beberapa
media. Meski demikian, di balik kebahagiaan yang saya rasakan sekarang, ada
berbagai pengalaman pahit yang menjadi asal-usul, alias pemicu lahirnya
karya-karya saya.
Sedari kecil (sejak kelas I SD), di sekolah, saya selalu mengalami
pengucilan, didiskriminasi oleh teman-teman saya, juga dibenci oleh beberapa
guru saya. Penyebabnya karena saya kuper, klemar-klemer, istilah populernya
lemot. Selain itu saya juga sakit-sakitan dan punya kelemahan di bidang olah
raga. Ya sudah, dari Tuhan dikaruniai seperti itu, mau bagaimana lagi.
Sebetulnya saya tidak pernah mempermasalahkan, karena buat saya setiap manusia
pasti memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tetapi karena
kekurangan-kekurangan itu, teman-teman di sekolah tidak mau berteman dengan
saya. Bahkan ketika ada tugas kelompok, tak jarang saya mengerjakan sendiri
karena tak ada yang mau berkelompok dengan saya.
Lebih parah lagi, sewaktu kelas 3 hingga 5 SD, saya pernah
mengalami trauma, disebabkan oleh kekerasan yang dilakukan guru olah raga saya.
Saya dibentak, dipukuli, disuruh membersihkan toilet…uh, semua itu sudah
menjadi hukuman sehari-hari yang saya terima sebagai hadiah karena tidak mampu
mengikuti pelajaran olah raga dengan benar.
Hingga detik inipun tak ada yang berubah, padahal usai lulus SD,
saya berharap dapat menemukan kehidupan baru di SMP yang saya pilih, namun
ternyata tak jauh berbeda. Beruntung saya selalu bisa mengkonsultasikan seluruh
masalah saya kepada mama, dan mama pasti mencarikan solusinya.
Ada satu lagi peristiwa yang berperan paling penting dalam proses
pencapaian prestasi saya, yaitu masalah ekonomi yang baru saja dihadapi
keluraga saya. Karena papa ditipu seseorang dalam bisnisnya, kami sekeluarga
terjerat hutang ratusan juta. Harta benda kami habis terjual, mulai dari
barang-barang sepele, hingga klimaksnya menjual dua rumah kami, yang salah
satunya adalah rumah yang kami tinggali. Usai kejadian itu, kami sekelurga
membangun rumah kecil di desa. Rumah itu kami juluki rumah bata, karena hanya
terdiri dari batu bata, dan langit-langitnya belum diberi plafon.
Segala peristiwa itulah yang akhirnya memicu saya untuk menggali
potensi diri yang bisa dikembangkan. Saya ingin menjadi anak yang berguna bagi
diri sendiri dan bagi orang-orang yang mengasihi saya. Dan akhirnya saya mampu
membuktikan bahwa setiap manusia memang punya kekurangan dan kelebihan
masing-masing.
Vinca Dia Katartika Pasaribu (SMPN I Jember)
Perum Pondok Gede Blok CE No.18 Jember Jatim
****************************************************************
AIR MATA UNTUK VERINA
Fakhrun Nisa
Minggu pagi yang cerah, sang matahari lambat laun muncul di ufuk
timur bersama cahayanya yang begitu terang. Embun segar masih tampak membasahi
daun-daun dan rerumputan.
Verina Kanaya, gadis berparas cantik itu membuka matanya, sesekali
menguap dan masih mengucek-ucek kedua mata indahnya. Verina, begitu ia kerap
dipanggil adalah gadis belia yang hidup bahagia bersama kedua orang tuanya.
Verina merupakan anak tunggal, tak heran jika ia tumbuh menjadi gadis yang
manja. Dia pintar bermain basket, sehingga menjadi anggota tim basket
sekolahnya. Meski manja, namun Verina juga lincah, periang dan supel. Banyak temannya,
namun hanya seorang yang dianggap sebagai sahabat karibnya, Andre namanya.
Verina sudah bersahabat dengan Andre sejak SD hingga beranjak remaja sekarang.
“Kring..,kring..,”terdengar telepon rumah Verina berdering.
Verina segera bangun dari tempat tidur dan mengangkat gagang
telpon.
“Halo,” terdengar suara laki-laki di seberang sana.
“Halo, dengan siapa ya?”
“Andre. Verinanya ada?”
“Oh kamu Ndre, ini aku sendiri. Ada apa pagi-pagi telpon?”
“Ini, rencana aku mau latihan basket. Aku mau ngajak kamu bareng.
Bagaimana?”
“Hmm..,” Verina tidak segera menjawab.
“Ayolah Ver, mau ya!” desak Andre.
“Oke.”
“Siip. Aku tunggu nanti di tempat biasa ya!”
Setelah meletakkan gagang telpon, Verina mengambil handuk dan
bergegas ke kamar mandi. Setelah selesai mandi, ia menuju ke lapangan basket di
dekat kompleks rumahnya. Verina keluar mengenakan topi andalannya, karena pagi
itu terik matahari sudah mulai menyengat. Ia naik sepeda gunung milik ayahnya.
Sampai di sana sudah ada Andre yang menyambutnya dengan senyum merekah.
“Hei Ver, pagi ini kamu pasti dapat aku kalahkan,” kata Andre
mantap.
“Eits..jangan asal ngomong kamu. Kita buktikan saja.”
Pertandingan dua sahabat itu sangat sengit. Ketika Verina hendak
memasukkan bola ke keranjangnya, tiba-tiba Verina merasakan sakit yang luar
biasa di kepalanya. Ia terjatuh dan dahinya membentur lantai hingga
mengeluarkan darah segar. Andre panik melihat Verina tergeletak. Ia segera
larikan Verina ke rumah sakit yang tak jauh dari tempat itu.
Orang tua Verina datang ke rumah sakit setelah dikabari Andre.
Verina ditangani di ruang UGD. Ibu Verina tidak henti-henti menangis, sementara
ayahnya memeluk untuk menenangkan istrinya.
“Kamu, mestinya menjaga Verina, Ndre,” kata ayah Verina.
“Maaf Om, saya juga tidak menyangka akan seperti ini,” kata Andre
lirih.
“Sudah Pak, ini semua bukan salah Andre,” kata ibu Verina masih
dengan terisak.
Seorang dokter keluar dari ruang UGD. Ayah Verina segera
menghampiri dokter itu.
“Bagaimana kondisi anak saya, Dok?”
“Tenang Pak, anak bapak sudah stabil. Luka di dahi juga tidak
parah. Namun ada hal lain yang perlu saya sampaikan,” kata dokter.
“Ada apa dengan anak saya Dok?”
“Maaf, putri bapak menurut hasil pemerikasaan kami, mengidap kanker
otak. Saya yakin kanker itu sudah lama bersarang di tubuh putri bapak.”
Mendengar ucapan dokter itu, tangis ibu Verina semakin menjadi.
Ayah Verina langsung terduduk lemas dengan air mata berlinang. Andre yang
selama delapan tahun lebih bersahabat dengan Verina, merasakan kesedihan yang
luar biasa. Dadanya bagai ditusuk sembilu hingga ke ulu hati, mengetahui
sahabatnya menderita kanker ganas di otaknya. Sore yang kelabu, hujan badai
turun dengan sangat derasnya.
Setelah peristiwa itu, kehidupan Verina berlangsung kembali seperti
biasa. Andre dan orang tua Verina sengaja merahasiakan penyakit Verina. Mereka
takut jika Verina tahu, menjadikan sedih yang justru akan memperburuk kondisi
kesehatannya. Meski tidak diberi tahu namun Verina merasakan adanya perubahan
pada tubuhnya. Kepalanya sering sekali pusing yang amat sangat. Fisiknya juga
turun drastis, mudah capek ketika bermain basket. Akibatnya ia dikeluarkan dari
tim basket sekolahnya.Tentu Verina sangat terpukul dengan kejadian tersebut.
Ditambah sejak pulang dari rumah sakit, ke sekolah, ayahnya selalu mengantar dan
menjemputnya. Ibunya sering memberi obat dengan alasan sebagai vitamin untuk
menambah stamina dan biar tidak mudah sakit. Semua itu membuat Verina heran,
namun ketika ditanyakan kepada ibunya tidak pernah mendapatkan jawaban.
“Bu, Verina mau nonton basket,” kata Verina setelah berpakaian
rapi.
“Iya, sayang. Biar Ibu antar ya.”
“Tidak usah Bu. Verina berangkat sendiri saja. Kan juga tidak
jauh.”
“Tapi, Nak..,” perkataan ibunya terhenti.
“Tapi apa Bu?”
“Hmm, nggak, nggak apa-apa kok. Lupakan saja. Ibu tak mengijinkan
kalau kamu berangkat sendiri.”
“Verina bukan anak kecil lagi Bu, sudah kelas 2 SMA, bisa menjaga
diri,” kata Verina dengan mata berkaca-kaca.
“Ya sudahlah, kamu boleh pergi sendiri. Tetapi harus jaga diri
sebaik-baiknya. Jangan lupa cepat pulang ya!” kata ibunya mengalah.
“Terimakasih Bu. Verina sayang ibu,” kata Verina sambil memeluk
ibunya.
“Ibu juga sayang kamu Nak,” ibunya meneteskan air mata.
“Ibu kok menangis?”
“Nggak apa-apa. Ibu bahagia bisa memelukmu sayang.”
“Ibu ini ada-ada saja. Memeluk Verina kan bisa kapan saja. Bahkan
sampai Verina jadi nenek-nenek masih bisa ibu peluk kok.”
Ibu Verina semakin deras air matanya. Hatinya teriris oleh ucapan
Verina yang polos.
“Hati-hati ya Nak,” ibu Verina mencium pipi anaknya.
Verina berangkat naik sepeda motor. Namun belum sampai GOR tempat
pertandingan basket, tiba-tiba kepala Verina terasa sakit luar biasa. Pandangan
menjadi kabur. Ia tak mampu mengendalikan motornya. Motornya oleng dan menabrak
sebuah mobil. Verina terjatuh dan langsung dilarikan ke rumah sakit oleh
pengendara mobil itu.
“Bapak dan ibu seharusnya memberitahu sejak awal kondisi putri
bapak,” kata dokter.
“Maafkan kami Dok. Kami hanya tidak ingin melihat putri kami
sedih.”
“Iya, kami bisa memahami. Namun saat ini kita hanya bisa berdoa,
semoga Verina mampu melawan kanker yang semakin mengganas dengan kondisi tubuh
yang seperti itu.”
Mendengar percakapan orang tua dan dokter, Verina terbangun lemah.
Verina membuka matanya dan mengawasi sekelilingnya.
“Ayah, Ibu…”
“Iya, sayang,” ibu Verina memeluk putrinya.
“Andre di mana?”
“Aku di sini Ver,” Andre menyahut pelan. Ia menghampiri Verina
dengan senyum manis.
“Cepat sembuh ya Ver. Kalau sembuh nanti aku belikan es krim. Enak
loh dimakan siang-siang. Mau kan?” ungkap Andre sambil menyembunyikan rasa
sedihnya.
Air mata Verina mengalir deras mendengar ucapan Andre. Ia sangat
senang dengan sahabatnya itu. Namun ia juga sedih setelah tahu kondisi yang
sesungguhnya.
“Ayah, Ibu, Andre.., aku sudah tahu kalau aku mengidap penyakit
ganas. Aku juga tahu aku tak akan bisa hidup lama lagi,” kata Verina lirih.
“Kamu jangan ngomong begitu Ver, kamu pasti sembuh. Kami semua
sayang kamu,” kata Andre sambil mengusap air mata Verina.
Ibu Verina hanya bisa menangis mendengar ucapan anak semata
wayangnya. Ayah Verina yang sedari tadi berusaha tegar sekarang tidak sanggup
lagi menyimpan kegundahan hatinya. Air matanya mengalir dari sudut matanya.
“Sebenarnya aku ingin hidup lebih lama lagi. Aku ingin menggapai
impian-impianku. Namun jika Tuhan ingin mengambilku sekarang, aku sudah rela.
Aku rela karena aku telah bersama dengan orang-orang yang aku sayangi. Ayah,
Ibu, Andre..aku sayang kalian.”
Mata Verina terpejam. Isak tangis membahana di ruang ICU. Ibu
Verina jatuh pingsan. Ayah Verina mendekap erat Andre untuk membagi kegalauan
hatinya. Dengan linangan air mata diciumnya putri tersayangnya.
“Selamat jalan sayang. Ayah, Ibumu sangat sayang padamu. Tunggu
kami di sana.”
Hujan tangis sore itu berbarengan dengan hujan deras di luar rumah
sakit. (*)
Fakhrun Nisa – SMAN 1 Gubug Demak
Desa Tlogosih Rt.05/01 Kebonagung Demak
***************************************************
KISAH ANAK PELAUT
Ankaa Rafflesia Andhini
Di sebuah desa hiduplah seorang anak perempuan, yang saat lahirnya
ayahnya tidak ada di sampingnya karena sedang mengarungi lautan. Ya, karena
seorang pelaut maka ayahnya bekerja di kapal dan berada di laut dalam waktu
yang lama. Anak itu diberi nama ‘Ankaa Rafflesia Andhini’. Sebuah nama yang
diambil dari bintang dan nama kapal yang dinaiki ayahnya sewaktu anak itu
lahir.
Ibunya adalah wanita yang sangat tegar, karena beliau mampu
berjuang sendiri untuk melahirkan anak itu meskipun tidak didampingi suami.
Ankaa juga anak yang tegar, dia juga mampu untuk hidup walau tanpa didampingi
ayahnya setiap saat. Dia tahu jika ayahnya akan sayang dan selalu ingat kepadanya
walaupun jauh darinya, dan kata ibunya yang selalu melekat di benaknya adalah
‘walau kita jauh dengan ayah, tetapi hati kita akan selalu dekat, walau
terbentang oleh jarak dan waktu’. Itulah kata-kata yang tidak bisa hilang dari
fikiran dan kalimat itulah yang membuat Ankaa sanggup untuk menghadapi semua.
Sekarang Ankaa sudah berumur 13 tahun. Dan dia bersekolah di SMPN 2
Blora kelas VII4. Ankaa adalah anak yang ceria di sekolahnya dan selalu ingin
menghibur teman-temannya, karena dia seorang yang mudah bergaul, jadi banyak
teman yang senang bermain dengannya. Dia tidak pernah memandang apakah itu
orang miskin atau kaya. Yang dipikirkan hanya rasa kekeluargaan dan rasa sayang
sesama teman. Berbeda jika Ankaa sudah berada di rumah. Dia akan menjadi anak
pendiam, dia tidak pernah mengeluh apapun kepada ibunya karena dia tahu kalau
ibunya sudah menanggung beban yang berat. Dia selalu menampakkan wajah yang
ceria kepada ibunya. Dia tidak ingin membuat sedih dan menambah beban ibunya
walau di hati Ankaa sebenarnya menangis. Ankaa tetap tersenyum jika di hadapan
ibunya. Setiap malam Ankaa selalu menangis jika ingat ibunya selalu menangis di
setiap malam dan jika mengingat ayahnya yang lama tidak pulang karena dia
pernah ditinggal selama dua tahun, dan hanya berkomunikasi lewat telpon saja.
Tetapi itupun jarang sekali dilakukan karena di tengah lautan susah untuk
mendapatkan sinyal telpon. Sekarang ini ayahnya dapat pulang tiga bulan sekali
karena beliau sekarang bekerja di Halmahera. Meski selama tiga bulan, ayahnya
paling lama hanya empat hari di rumah. Ankaa tetap bersyukur dengan kondisi
itu.
Ketika Ankaa akan tidur dia tidak sanggup lagi untuk membendung air
matanya yang selalu menetes. Dan tidak bisa memungkiri kalau sebenarnya dia
kangen sekali dengan ayahnya. Setiap malam dia menangis sambil berdoa, “Ya
Allah berikan hambamu kekuatan untuk menghadapi semua ini, dan berikan
keselamatan kepada ayah hambamu ini. Ya Allah berikanlah yang terbaik untuk
kita semua. Amin.”
Dia selalu membayangkan ayahnya ada di sampingnya, tetapi itu semua
hanya khayalan belaka. Dia harus menanti tiga bulan agar bisa bertemu dengan
ayahnya. Ankaa tidak pernah bisa membayangkan jika menjadi seperti ayahnya yang
bekerja sebagai pelaut, karena resiko seorang pelaut rawan bahaya, yang
dipertaruhkan nyawa. Karena itu kekhawatiran Ankaa selalu memuncak jika dia
mendengar berita atau siaran tivi yang berkaitan dengan kecelakaan kapal atau
ada bencana di laut.
Ankaa juga tidak pernah membayangkan jika dia akan terlahir dari
seorang ibu yang sangat tegar dan ayah yang bekerja sebagai pelaut. Ankaa
sebenarnya iri dengan teman-temanya yang ayahnya bekerja tidak jauh dari
rumahnya sehingga bisa pulang tiap waktu. Ankaa selalu sedih jika melihat anak
yang sedang bermanja-manja dengan ayahnya. Hatinya sakit seperti diiris-iris,
karena dia tidak pernah merasakan itu dalam hidupnya. Bukan itu saja sebenarnya
dia ingin merasakan bagaimana rasanya diantar sekolah ayahnya walau hanya
sekali. Tetapi semua mungkin hanya mimpi, karena sampai sekarangpun dia tidak
pernah diantar oleh ayahnya.
Lebaran Idul Fitri yang lalu, menurut orang-orang lain mungkin hari
yang bahagia. Tetapi tidak untuk Ankaa, karena tiga kali lebaran berturut-turut
ayahnya tidak pulang untuk merayakan lebaran bersama keluarga, karena terhalang
oleh pekerjaan yang tak mungkin ditinggalkan. Betapa sedihnya Ankaa waktu itu,
sampai-sampai ibu, kakakk,adiknya dan Ankaa menangis ketika pulang sholat Idul
Fitri. Mereka sedih karena di hari suci ini ayahnya tidak berada di
tengah-tengah mereka. Tetapi itu semua adalah takdir Allah yang tidak bisa
diubah. Dan itu semua yang dinamakan ‘resiko sebagai anak pelaut’. Walaupun
begitu Ankaa selalu sayang kepada ayahnya. I love you Daddy. (*)
Ankaa Rafflesia Andhini – SMPN 2 Blora
Jl. Gunandar No.72 Blora
***********************************************
AKU INGIN JADI PUTRI
Ella Septiana Adi Gunaning
Namanya Vita. Dia dari keluarga ‘Honeymall’. Kini dia sudah kelas
tanah atau kelas 2 di sekolah “Alamyscial”. Di sekolahnya tidak ada kelas 1
atau 2. Tetapi kelas Air (kelas 1), Tanah (kelas 2), Api (kelas 3), Angin
(kelas 4), yang terakhir Awan (kelas 5).
“Sebenarnya, aku tidak suka sekolah di sini. Tetapi ini kemauan
orang tuaku yang ingin diriku menjadi kasisat/ahli alam. Aku lebih suka menari
dan menyanyi daripada harus membuat penemuan di sekolahku ini. Sahabatku Tiara
juga sependapat denganku. Kami lebih suka di sekolah ‘Princess Menvoula’, yaitu
sekolah mewah di atas awan,” tutur Vita panjang lebar.
Banyak yang ingin sekolah di sana. Sekolah itu tampak seperti
istana. Vita dan Tiara merasa tidak mungkin bisa masuk ke sekolah itu dan tidak
akan mengidam-idamkan sekolah itu lagi, karena sekolah itu sekolah untuk para
bangsawan. Mereka itu adalah anak raja atau perdana menteri, dan bila beruntung
anak tabib dan ahli elemen juga bisa sekolah di sana.
Banyak anak bersekolah di sana. Tetapi jika sudah kelas Awan harus
keluar, bila bukan anak raja atau perdana menteri. Jika sudah kelas Bintang
(kelas 6) dan berhasil dalam tes Fider, bisa dipastikan menjadi Putri yang
bergelar Federlic, yang artinya terbaik dan yang istimewa.
Di kelas Vita kali ini harus membuat sebuah penemuan. Barulah bisa
naik ke kelas Api. Saat Vita kelas Air, ia juga harus membuat penemuan. Ia
membuat kincir air, tetapi tidak terlalu berguna dan sangat sederhana. Di kelas
Air, hanya perorangan membuat penemua. Vita merasa lega , membuat penemuan kali
ini berkelompok. Kelompoknya bernama ‘Tara’ (Vita dan Tiara). Meskipun hanya
berdua, tak merendahkan kecerdasan Vita.
Hari pertama adalah percobaan. Vita dan Tiara mencoba membuat alat
yang berguna untuk melubangi tanah dan mengisinya dengan benih tanaman.
Kesalahan terjadi, tiap lubang ada yang berisi 3 benih dan ada yang berisi 2
benih.
Hari kedua adalah renungan. Mereka berpikir satu hari.
Hari ketiga adalah hasil renungan. Tiara ingin membuat alat
pakaian. Vita ingin membuat lemari dan jika masuk, baju yang tadi dipakai akan
berganti. Akhirnya mereka tidak sepakat membuat apapun. Tiara tidak membuat
alat yang dimaksud Vita.
Hari keempat adalah kesepakatan. Vita dan Tiara terpaksa membuat
‘Magic Cupboard’. Suasana kerajaan tanpa penata busana istana, ‘Magic Cupboard’
sangat dibutuhkan. Semua ahli mencoba membuat alat itu, tetapi tak ada yang
berhasil. Itulah sebabnya mereka berdua berencana membuatnya.
Hari kelima adalah hasil. Vita dan Tiara menyelesaikan dua alat
sekaligus. Alat yang pertama adalah gagasan Tiara, yaitu alat pembuat pakaian.
Alat itu disambungkan ke alat gagasan Vita. Dua alat itu menjadi ‘Magic
Cupboard’. Kelemahannya adalah tidak semua orang boleh memakainya, hanya orang
yang terdeteksi saja.
Berita tentang alat itu tersebar sampai ke istana. Raja yang
mendengar langsung memanggil mereka berdua. Raja bangga ada yang bisa membuat
‘Magic Cupboard’. Vita dan Tiara mendapat hadiah dari Raja, yaitu sekolah di
‘Princess Menvoula’.
Seragam sekolah mereka sangat bagus. Seragam mereka berbentuk gaun
dan bisa menjadi pakaian ballet. Tetapi Vita dan Tiara tetap sekolah di
‘Alamyscial’. Vita dan Tiara belum bahagia, karena kelas Awan dia harus keluar.
Mereka menemui Raja. Vita dan Tiara mengutarakan maksudnya. Raja sebenarnya
sudah membicarakan itu, sebelumnya dengan Kepala Sekolah. Kini Vita dan Tiara
sudah tenang dan tak perlu lagi memikirkan hal tersebut.
Karena mereka pintar, tidak terasa sudah kelas Awan. Yang masuk
kelas Awan hanya enam anak. Karena yang lain sudah keluar. Mereka adalah Vita,
Tiara, Fiona, Laras, Nanys dan Tyrsa. Mereka bangga bisa lolos uji dan tidak
dikeluarkan.
Fiona dan Nanys adalah anak Patih Raja. Laras dan Tyrsa adalah anak
Perdana Menteri II. Vita dan Tiara bukan anak bangsawan. Tetapi Raja
mengangkatnya menjadi anak angkat. Tiap orang duduk berpasangan dengan teman
masing-masing.
Hanya beberapa bulan saja mereka sudah masuk kelas Bintang.
Patricia si anak Raja menyusul. Vita mengajaknya duduk bertiga, tetapi Fiona
mengajak paksa Patricia duduk bersama. Vita tidak marah dengan hal itu. Nanys
yang duduk sendiri, diajaknya duduk bertiga bersama Tiara. Nanys menceritakan
mengapa Fiona memaksa Patricia duduk bersama. Patricia sebenarnya Putri
Federlic, tetapi karena tak cukup umur dia hanya menjadi Putri Mutiara (calon
Putri Federlic).
Tetapi Patricia mempunyai kalung mutiara seperti kalung mutiara
Federlic. Dan Fiona ingin memilikinya. Patricia juga tidak pasti menjadi Putri
Federlic. Karena ia tidak pandai dalam bidang alam, dan juga belum sekolah di
‘alamyscial’.
Hari yang ditunggu orang-orang pun datang. Hari pengujian adalah
hari kelas Bintang berakhir. Pengujian itu di hadapan semua masyarakat. Yang
menonton banyak. Ada orang tua Vita dan Tiara. Pengujian kali ini ada 6
meliputi keahlian menari dan menyanyi, berdandan terbaik, perenang terbaik,
keahlian memainkan pedang, membuat penemuan dan kontrol alam. Persiapan Vita
adalah sepatu ballet, gaun, air sinar, baju renang, pedang kabisat, alat rias
dan masih banyak lagi.
Pengujian dimulai. Vita menari ‘Water Rainbow’ dan menyanyi ‘Little
Rabbit’. Tiara menari Awan dan menyanyi lagu Alam. Ujian berdandan, Vita
memakai busana seperti Princess Sanvera (Putri Federlic III), gaunnya merah dan
berliannya biru. Selanjutnya pengujian membuat penemuan. Vita membuat ‘Magic
Cupboard’. Tiara sibuk membuat ‘Game Maker’, yaitu alat pembuat mainan.
Sebelum pengujian terakhir, ditampilkan skor yang sudah dicapai.
Skor Tyrsa 200, Nanys 211, Laras 314, Fiona dan Tiara 409, Vita dan Patricia
501. Persaingan ketat antara Vita dan Patricia. Ujian terakhir adalah kontrol
alam, peserta harus mencari elemen mereka masing-masing tanpa bergerak
sedikitpun. Sangat sulit bagi Vita. Ia harus mengingat pelajaran di kelas Tanah
dulu. Inilah kelemahan Patricia, ia juga jarang berlatih. Mungkin inilah
saatnya Vita menjadi pemenang. Skornya melebihi skor Patricia. Tetapi Vita
tetap bersemangat. Vita terdiam dan termenung, ia ingat saat di kelas Tanah
dulu. Ia sering dimarahi Pak Slik, gurunya. Pak Slik adalah guru kontrol alam
yang membuat Vita pandai. Meski sering dimarahi, tetapi Pak Slik tetap sayang
kepada Vita, dan menjadikannya sebagai murid kesayangan. Sampai akhirnya Vita
mendapatkan juara satu dalam perlombaan ‘Sky Kontrol Alam Olimpiade’.
Tanpa disadari Vita, Pak Slik melihat pengujian itu. Lewat feeling,
Pak Slik memberi semangat Vita. Vita merasakannya, tetapi ia tidak boleh
bergerak. Vita terus berkonsentrasi. Dan pada akhirnya, byuur kreek! Ada Naga
air keluar dari gua tanah yang menabrak pepohonan. Elemen yang pertama keluar.
Naga itu memutari Vita. Ternyata itu milik Vita. Orang tua Vita dan Pak Slik
terharu melihatnya.
Ini pertanda bahwa Putri Federlic adalah Vita. Vita bangkit dan
naik ke atas naga itu. Lalu air memutarinya, Vita berubah. Vita telah
mengenakan pakaian indah. Patricia yang melihatnya pun terheran-heran.
“Inilah ‘Putri Federlic’ kita saat ini!” kata Raja ikut bahagia
melihatnya.
Vita sangat senang, impiannya kini terwujud. Tetapi, ia harus
membalas budi kepada orang-orang yang telah memberinya semangat. Vita kini
tinggal di istana Federlic. Vita menjadi Putri Federlic yang bergelar ‘Federlic
Dragon Water’. Vita tak akan lupa dengan orang-orang telah mengantarkannya
sampai menjadi Putri Federlic V. Inilah pengalaman hidup yang paling
mengesankan bagi Vita. (*)
Ella Septiana Adi Gunaning (SMPN 4 Purwokerto)
Perum Griya Satria Bantarsoka Blok O No.18 Purwokerto
***********************************************************
RONDA JUMAT KERAMAT
Sakti Mahardika
Dua kaki berselimutkan sepatu sport turun dari minibus trayek Tawangmangu-Solo.
Tubuh bak binarangkawan Aming dan rambut gondrong ala Baby Romeo pelantun Bunga
Terakhir, serta jenggot panjang yang dikepang dua belas khas promotor fenomenal
masa kini Ahmad Dhani, serta busana trendi gaya Alay adalah penampakkan fisikku
masa kini.
Lima bulan dua puluh sembilan hari lalu, setelah menerima selembar
kertas berjudul ijazah, aku mencoba kelayapan di ibukota Tanah Jawi, Semarang.
Hanya berbekal uang hasil ngamen sepanjang jalan Temanggung-Solo dan selembar
kertas yang mengesahkan kelulusan dari seorang anak dengan nama kereta yaitu
Sadiyo Raharjo Mangunkusumo Dimedjo yang lebih dikenal dalam dunia maya dengan
sebutan Dion. Bapakku adalah juragan sate kelinci di lereng Lawu. Walau dengan
nilai rata-rata yang dapat dikategorikan pas-pasan, aku waktu itu tetap punya
hasrat besar menjadi orang sukses, minimal seperti kesuksesan dari bapaknya
kakekku yang bernama Raden Dimedjo. Beliau dulu adalah juragan teh, cengkeh,
dan sate kelinci. Tetapi setelah beliau meninggal, usahanya mulai gulung tikar
satu persatu. Anak beliau yaitu kakekku, mbah Mangunkusumo menggulung hektaran
perkebunan teh dan cengkeh. Akibatnya, usaha yang masih tersisa hanyalah usaha
jualan sate kelinci yang sekarang dipegang oleh bapak.
Pengalaman di kota Atlas ternyata tak berakhir dengan kisah
senyuman. Memetik buah kesuksesan itu ternyata tak semudah memetik buah
strawberi di perkebunan milik Dhe Parman. Rasanya pun pahit semua, mungkin rasa
manis di Semarang hanya aku rasakan saat minum segela teh manis di Simpang
Lima. Itupun kudapat setelah membantu nyuci 30 piring. Maka dari itulah aku
putuskan untuk pulang kampung saja ke Lawu. Tetapi, sebelum sampai di rumah aku
sempatkan merias diri agar orang tua melihat setidaknya ada sedikit perubahan
pada anaknya. Rambut asli, tubuh kecil tak apa, bisa alasan diet, jenggot
dikepang sendiri, baju dan sepatu pinjam teman SMA yang kebetulan rumahnya di
samping terminal Tirtonadi Solo. Dengan ojek argo Rp.2.000,- aku menuju gubug
tempatku berasal. Setelah sampai di rumah ternyata wajahnya tak jauh beda.
Mungkin yang dulu halaman bak hutan anthrium, sekarang jadi hutan rumput.
“Askum, Pake!”
“Wah anak lanang pulang. Gimana kabarnya kamu? Hasil di Semarang
mana?”
“Baik, hasilnya ini Pake bisa lihat. Tapi,saya belum bisa belikan sesuatu
buat Pake. Wah Pake sekarang pinter bahasa Indonesia ya, sama seperti saya
dong. Pasti kalau tidak ada program Desa Wisata, Pake pasti masih kowe-kowe. O
ya, ibuk mana Pake?”
“O, ibukmu sekarang masih di Jakarta. Anaknya mbakmu lagi sakit. Ya
wis, kamu istirahat sana dulu. Nanati malam gantikan Pake ronda ya!”
Langit barat mulai kemerah-merahan bernoda hitam bergelombang dan
menenggelamkan bintang raksasa penyinar dunia di balik undukan tanah. Udara
bertemperatur Negara Rusia mulai menyelinap di setiap lubang kehidupan. Kain,
rambut serta jenggot panjangku mulai membeku. Suhu kutub seperti sudah tak
dirasakan oleh pori-pori kulitku selama enam bulan kurang sehari. Alunan
nada-nada yang dihasilkan oleh benturan air jernih puncak Lawu dengan bebatuan
di kali melintas di tengah kampung menghantarkanku dalam perjalanan menuju pos
ronda yang berada di belokan jalan dekat jembatan reyot dan di bawah pemakaman
yang baru saja menerima penghuni baru siang tadi.
Sambil menunggu jarum jam pendek berhenti tepat angka sembilan, aku
mampir dulu di warung mbak Narni untuk menenggak kopi Lampung plus susu sapi
asli Boyolali. Jagung bakar dan kacang rebus juga menemani nostalgiaku bersama
teman sekolah dulu.
Asyiknya forum reuni kecil itu sedikit melenakan tugas bapakku yang
diembankan kepadaku. Tidak hanya tugas duniawai, tetapi tugas akhirat yang
lebih bersanksi tegas pun aku lupakan, sehingga tiga rakaat magrib hilang
begitu saja. Tak ingin mengulangi, sebelum ronda aku sempatkan sujud di
mushola. Biasanya mushola kampung ramai di malam Jumat. Tetapi kali ini
berbeda, semua warga pergi untuk kirim doa ke rumah tetangga di kampung sebelah
yang siang tadi kehilangan salah satu anggota keluarganya. Aku jadi merinding
saat shalat sendiri di mushola kuno itu. Nyali untuk jadi satpam malam pun jadi
goyang. Tetapi tak apa, ada teman yang juga jaga malam ini.
“Hei Radjito, apa kabarmu?” sapaku pada teman ronda malam ini.
“Ee, Dion Cungkring. Kapan pulang?”
“Tadi siang. Jangan panggil saya cungkring dong. Panggil saja
Dion.”
“Oke, tapi kamu juga harus panggil saya Ramon. Istri saya yang
memberi nama itu. Katanya biar lebih keren.”
“Wah istri, kamu sudah kawin ya. Pasti istrimu pinter, dari
Muhammad Radjito bisa jadi Ramon alias rai monyet. Ha..ha..ha..!” Gelak tawa di
dalam pembicaraan kami sedikit mencairkan suasana mistis malam Jumat Kliwon
itu. Sampai di tengah serunya obrolan di pos ronda, Ramon mendapat SMS
bapaknya, yang menyuruhnya segera pulang karena istrinya mau melahirkan.
SMS itu akhirnya memaksaku untuk jaga sendirian malam ini. Yang
sebelumnya bulu kuduk tidur, kini mulai menegang. Detak jantung juga mulai deg
deg ser. Keringat dingin mulai menetes dari pori-pori kulit. Untuk
menghilangkan rasa itu, aku coba SMS-an dan update status di FB. Pulsa masih
38.450 tapi sayang, masa aktifnya habis kemarin. Untung di pos ronda ada tivi,
akhirnya aku putuskan untuk nonton tivi saja. Tetapi, dari sepuluh stasiun tivi
nasional, hanya dua yang tertangkap, itupun acaranya berbau misteri semuanya,
yaitu bioskop misteri di TV3 yang menayangkan Rumah Angker Padalarang dan
Pemburu Tuyul di PRTV.
Ketika aku sibuk memutar-mutar antena tivi dari ujung jembatan
berjalan seorang yang berambut panjang menuju ke arah pos ronda. Terdengar
lolongan anjing malam kala itu. Sayup-sayup aku berusaha melihat fisiknya.
Tetapi kabut malam terlalu tebal. Aku berusaha tenang di pos sambil menunggu
sosok itu terlihat lebih jelas. Lima meter dekat pos, sosok itu mulai jelas.
Ternyata dia adalah Rahma. Seingatku Rahma itu sudah meninggal setahun lalu.
Aku pun bersiap untuk tancap gas. Tetapi sosok wanita mirip Rahma itu berteriak,
“Tunggu!” dan langkahku terhenti.
“Aku Rahmi Mas, kembarannya
Rahma.”
“Rahmi? O.., Rahmi. Saya kira..itu. Maaf ya, tetapi malam-malam
begini kenapa keluar?” jawabku sambil menahan rasa malu.
“Cuma mau mencari udara segar Mas. Di rumah panas. Ini tivinya
acaranya bagus mas. Saya temani nonton ya.”
Walau Rahmi di sampingku, aku tetap saja merinding. Apalagi Rahmi
memakai pakaian serba putih. Aku merasa seperti duduk di sampimg makhluk halus
berkelamin perempuan. Sekarang tubuhku mendadak gerah. Akhirnya aku meminjam
gelang tali milik Rahmi untuk mengikat rambutku.
Tak lama setelah kedatangan Rahmi, dari ujung jalan arah barat datang
seorang laki-laki tua dengan bungkusan plastik di tangan kirinya. Perasaanku
mulai resah lagi. Tetapi di depan Rahmi aku berusaha tenang.
Aku begitu beruntung, ternyata laki-laki itu masih makhluk dari
dunia yang sama denganku. Beliau adalah Pak Blantik yang rumahnya di kampung
sebelah. Tetapi wajah beliau sedikit aneh karena mata sebelah kiri beliau
ditutup pakai kapas. Katanya sih matanya habis dicakar cucunya kemarin.
Kedatangan bapak itu pun juga dibarengi dengan kedatangan seekor burung hantu
yang kemudian hinggap di pohon beringin samping pos.
“Dari mana Pak?”
“Dari warung seberang jalan sana. Ini bapak beli roti coklat dan
keripik singkong kesukaan cucu,” sambil mengacungkan plastik hitam di tangan
kirinya.
“Bapak kan gak langsung pulang. Kalau mampir di sini menemani
ronda, saya boleh meminjam sarungnya Pak?”
“Ya silakan, bapak masih pakai jaket. Ini acara tivinya kok bagus
ya. Saya ikut nonton ya,” kata Pak Blantik kemudian ikut nonton bersama Rahmi.
Saat mereka berdua asyik nonton acara misteri, aku justru
membelakangi mereka, karena aku tidak berani nonton acara seperti itu apalagi
di tengah malam seperti ini.
Malam semakin larut, tetapi Rahmi dan Pak Blantik masih asyik
nonton. Tiba-tiba aku menerima SMS dari Ramon, yang mengabari bahwa anak dan
istrinya sekaligus meninggal saat melahirkan. Menerima SMS itu aku semakin
merasa bahwa ronda malam ini semakin keramat. Tetapi akhirnya aku tertidur
karena tidak kuat menahan rasa kantuk.
Tubuh bak bunga es. Titik beku telah mencapai tulang-tulang yang
hanya terbungkus oleh daging tipis nan lembek. Raga ini telungkup melingkar
karena dingin udara tadi malam. Sampai tak terasa adzan subuh dari mushola
nyaring terdengar. Aku masih pejamkan mata di lantai bambu pos ronda. Tiba-tiba
tubuh ini digoyang-goyang oleh benda seperti tangan manusia.
“Yon, Yon, bangun sudah subuh.” Perlahan aku sadarkan pikiran dan
hati dari mimpi.
“Ya, ya. Sudah subuh ya.” Jawabku sambil mengucek kedua bola mataku
dan merenggangkan tulang-tulang yang kaku.
“Habis ronda ya? Sama siapa?”
“Ee, pak Haji. Iya Pak, ronda sama Ramon sebenarnya. Tetapi Ramon
pulang duluan. Untungnya ada Rahmi dan Pak Blantik,” jawabku dengan setengah
sadar.
“Apa? Rahmi dan Pak Blantik? Kamu jangan bercanda Yon!” wajah pak
Haji sangat kaget mendengar dua nama itu.
“Memangnya ada apa dengan Rahmi dan Pak Blantik?” Aku jadi
penasaran.
“Yon, Rahmi itu sudah meninggal bunuh diri karena diputus oleh
pacarnya seminggu yang lalu. Pak Blantik baru meninggal kemarin karena tumor di
mata kirinya.”
“Mereka sudah meninggal? Tidak mungkin, saya masih meminjam
sarungnya Pak Blantik dan gelang talinya Rahmi kok. Ini buktinya.” Jawabku
sambil menunjukkan sarung milik Pak Blantik dan melepas ikatan rambutku. Tetapi
ternyata kain itu bukan sarung lagi, sudah berubah menjadi kain mori putih
dengan bercak-bercak coklat tanah dan gelang tali juga berubah menjadi seutas
tali putih pengikat pocong.
“Saya benar kan. Itu kamu lihat sendiri. Kamu tidur dengan selimut
kain orang mati dan mengikat rambut dengan tali pocong. Bungkusan plastik itu
apa Yon?”
“Katanya sih kue coklat dan keripik singkong.”
Setelah kubuka ternyata plastik itu berisi gumpalan tanah dan bunga
mawar warna merah.
“Ya sudah sekarang kita shalat saja. Mungkin pengalamanmu tadi malam itu adalah sebuah
petunjuk dari Allah untuk mengingatkanmu bahwa semua manusia pasti mati. Maka
rajinlah kamu ibadah dan melakukan amal shaleh untuk bekal kamu mati nanti.”
“Ya Pak Haji, saya harus punya bekal. Siapa tahu nanti siang saya
mati.”
Akhirnya kututup pengalaman ronda malam Jumat yang keramat itu
dengan satu pelajaran hidup yang berharga. Walaupun menghasilkan sebuah pelajaran,
tetapi aku tidak mau lagi ronda di malam hari. Nanti setelah Rahmi dan Pak
Blantik, bisa-bisa aku ketemu kakekku, mbah Raden Dimedjo. Hii…atut!
Sakti Mahardika ( SMAN SBBS / Sragen Bilingual Boarding School)
Pondok Rt 19 Desa Sambirejo, Kec Sambirejo Sragen Jawa Tengah
**************************************************
FOREVER FRIEND’S
Rahma Azkiya Utami
Bel istirahat berbunyi. Anak-anak berebut keluar kelas setelah pelajaran
fisika. Semua keluar kelas tak terkecuali gadis pemurung, dengan asesoris kacamata
berantai yang menghiasi mata kuning keemasan, dan mengelilingi rambut hitam
terurainya.
Sifatnya jauh berbeda dari anak SMP lainnya. Dia anak pindahan dari
Inggris. Termenung di taman melihat pemandangan indah, dan menulis di buku
super tebal yang berisi puisi. Itulah kegiatan Kenne selama istirahat
berlangsung. Ya.., Kenne Brughten namanya. Banyak yang bilang Kenne adalah anak
yang sombong, dan tak bisa berteman dengan teman-teman dari Indonesia. Tetapi
berbeda dengan teman-teman lainnya, Kenne adalah anak yang baik di mata Haira. Haira
adalah anak pertama yang berbincang dengan Kenne dulu waktu pertama kali dia
masuk. Sayang sampai saat ini Kenne tidak berani buka mulut dengan
teman-temannya.
“Ya.., masih diam juga itu anak. Hebat, kapan dia akan punya teman?
Dasar bodoh!” kata Aira dengan sombong saat melewati Kenne.
Dalam hati, Kenne berkata dengan sangat menyesal, “Aku memang
bodoh, jahat. Mentang-mentang dari luar negeri, aku tidak peduli dengan teman-teman,
aku egois,” matanya berkaca-kaca. Butiran-butiran air keluar dari matanya yang
indah tak tahan rasanya Kenne ingin menjerit.
“Kenne!” panggil Haira dengan yang ia letakkan di pundak Kenne.
Kenne tak peduli, ia tetap menangis tersedu dengan tangan menutupi
matanya.
Bel pulang berbunyi. Seperti biasa Kenne pulang sendiri tanpa ada
jemputan dan seorang yang menemani pulang. Namun tiba-tiba dari belakang
dikagetkan oleh seorang perempuan berambut panjang digerai yang berlari ke
arahnya dan memanggil namanya.
“Haira? Apa yang kamu lakukan di sini? Mau mengejekku lagi? Belum
puas dengan yang Aira lakukan tadi?” kata Kenne dengan ketus.
“Hah, sudah kukira pasti ulah Aira, ” katanya seperti seorang
detektif.
Kenne bingung apa maksud sebenarnya Haira datang ke arahnya
berjalan.
“Hai.. Kenne mau pulang bareng? Aku juga searah sama kamu. Eh boleh
main ke rumahmu tidak?”
“Mmm..Ya..boleh,” tak terasa juga sampai di rumah Kenne yang super
besar seperti villa itu.
“Wah..rumah bagus,” ungkap Haira dengan mulut ternganga.
Kenne tersenyum dan mengajaknya masuk.
“Ini kamarku.”
“Ya ampun hebat. Luas banget. Kamu tinggal sama siapa?”
“Bibi dan mama. Tapi mamaku sibuk pulang malam, berangkat pagi.
Sedangkan papaku sudah meninggal lima tahun lalu karena kecelakaan. Untung aku
dan mama selamat walaupun aku..ah sudahlah. Haira makasih ya kamu mau berteman
dengan orang yang tidak pantas untuk berteman dengan kamu.”
“Huss..kamu ngomong apa sih. Semua berhak punya teman. Maaf ya, duh..
malah jadi kayak begini,” jawab Haira sedikit penasaran dengan apa yang telah
terjadi pada Kenne lima tahun lalu.
Akhirnya Kenne memiliki teman yang sangat perhatian kepadanya dan
selalu ada bersamanya yaitu Haira. Pertemanan dengan teman-teman Indonesia juga
mulai terbuka berkat Haira. Kini Kenne sudah berteman baik dengan Aira.
Bermain, bercanda dengan teman-teman membuat Kenne sangat bahagia.
Tak terasa sudah mendekati hari ulang tahun Kenne.
“Eh teman-teman setuju tidak kita memberi hadiah spesial untuk
Kenne. Sebentar lagi ia ulang tahun,” kata Aira kepada teman-temannya.
“Ya.. setuju!” jawab semua teman dengan kompak.
Pada suatu kesempatan Kenne menjelaskan kejadian yang menimpanya
lima tahun lalu kepada Haira.
“Yah kejadian itu sunguh mengenaskan.”
“Sudah. Jangan dilanjutkan jika memang kamu tidak sanggup cerita.
Jangan dipaksa, kumohon Kenne.”
“Tidak. Aku ingin bebas dari trauma itu dan ingin segera bebas dari
semua yang mengekangku. Aku ingin seperti yang lain, walau..” Kenne tak
melanjutkan kalimatnya.
“Walau apa Ken?”
“Ah..tidak apa-apa. Yuk masuk kelas, sudah bel.”
Ketika pulang Haira mendapat SMS dari Aira yang mengabarkan kalau
teman-teman sudah sepakat untuk memberikan hadiah spesial kepada Kenne.
“Wah ini anak tumben baik. Biasanya kerjanya ngerjain orang
melulu,” katanya dalam hati.
Esoknya di kelas, sesuai rencana Kenne seharian penuh, dicueki oleh
teman-teman sampai pulang sekolah.
“Surprise Kenne! Happy Birthday..Selamat ulang tahun!” teriak Haira
dan Aira kompak.
Begitu teriakan Haira dan Aira berhenti, bunyi terompet langsung
terdengar memekakkan telinga. Hati Kenne sungguh ingin meledak kegirangan
karena belum pernah ulang tahunnya dirayakan sebegitu meriah oleh
teman-temannya. Kenne bukan ikut berteirak, namun malah manangis tersedu-sedu.
“Eh.. ehh.. Ken. Kenapa kok nangis?” Aira jadi tergagap-gagap.
“Sungguh aku terharu tau. Makasih semua,” kata Kenne dengan suara
cemprengnya saat menangis.
“Ini. Hanya ini yang dapat kami berikan untuk ulang tahunmu,” kata
Haira sambil menyerahkan kado yang super besar untuk Kenne.
“Tiup..lilinnya..,tiup lilinnya..” teriak Bagas.
“Ta..daa..surprise kedua,” teriak Ana sambil membawa kue
blacakforest kesukaan Kenne.
Sungguh hari yang membahagiakan bagi Kenne.
Tak terasa hari Sabtu yang bahagia ini hanya akan segera berakhir.
Di rumahnya Kenne tergeletak pucat, pingsan di depan pintu rumahnya.
“Astaga..Kenne!” teriak Hanne bibi Kenne.
Dipanggilnya dokter langganan ke rumah untuk memeriksa keadaan
Kenne.
“Bagaimana Dok. Bagaimana keadaan anak saya? Saya takut penyakitnya
yang dulu kambuh lagi.” Kata mama Kenne sambil menangis.
“Tidak, biarkan dia istirahat dulu. Dia hanya kecapekan,” kata
dokter sebelum pulang.
“Kenne bangunlah Nak,” kata mama Kenne berharap sambil memegang
tangan kanan Kenne.
“Bangunlah Nak, kasihan mamamu,” sambung bibinya.
“Mah, apa sih. Aku sudah bangun. Oh iya tadi aku dikasih itu sama
teman-teman,” kata Kenne yang sudah sadar sambil menunjuk boneka beruang biru
hadiah dari teman-teman sekolahnya.
“Wah iya ya, mama lupa. Ini, selamat ulang tahun Kenne,” kata mama
Kenne sambil menunjukkan kalung emas bertuliskan Kenne Brughten.
“Makasih Ma. Aku bahagia banget hari ini. Walau mungin aku akan
tinggalkan semua,” kata Kenne sambil menatap jendela.
“Tidak Nak. Stt jangan kau ucapkan itu,” kata bibinya ketus.
Beberapa jam mama dan bibinya menemani Kenne hingga tertidur lelap
dalam mimpi indah. Namun tak berapa lama kemudian Kenne terbangun karena ada
yang ingin ia sampaikan. Kenne munuju meja belajar dan menuliskan sesuatu di
secarik kertas.
Pagi itu Minggu, mama Kenne libur, jadi bisa menemani Kenne
seharian penuh.
“Nak..bangunlah. Katanya mau main dengan Haira dan Aira di rumah,”
kata mama Kenne sambil membelai kepala Kenne agar bangun.
Namun entah mengapa sudah sepuluh kali dibangunkan Kenne tidak
bangun juga.
Di lain tempat Haira dan Aira bersama ingin ke rumah Kenne sesuai
janjinya. Tiba-tiba saja guci di rumahnya pecah karena tak sengaja tersenggol
tangan Haira. Sebelumnya Aira di rumahnya juga menjatuhkan gelas isi susu
coklat yang akan diminumnya.
“Oh..ada apa ini?” kata Haira dan Aira hampir bersamaan.
Yang terlintas di benak mereka adalah wajah Kenne. Mereka langsung menuju
rumah Kenne.
“Nak Haira, Aira.. hiks..silakan masuk. Mari ke atas, ke kamar
Kenne,” kata mama Kenne sambil menghapus air matanya.
“Ada apa Tante?”
“Kenne! Tidak mungkin!” kata Haira dan Aira bersamaan begitu masuk
kamar Kenne.
“Iya. Tante juga baru sadar tadi saat ingin membangunkannya.
Hiks..ini ada secarik kertas dari Kenne. Sepertinya ingin disampaikan kepada
kalian,” mama Kenne menyerahkan kertas yang ditulis Kenne semalam.
Untuk sahabatku
Haira dan Aira.
Haira..Aira..Makasih
selama ini kalian sudah mau berbagi kebahagiaan bersamaku. Aku memang sudah
sembuh dari amnesiaku waktu kecelakaan. Namun Tuhan berkehendak lain. Aku mengidap
kanker otak. Aku sudah divonis dokter. Kini.. kenangan-kenangan tersebut akan
hilang ditelan zaman. Aku tau, aku bagaikan setetes air yang akan menghilang dari
bumi. Namun ingatlah sahabatku, kenangan kita takkan hilang dari ingatanku. Aku
ingin pergi dengan tenang. Aku ingin tersenyum di surga. Aku ingin saat aku
pergi jangan menangis. Aku ingin melihat kalian tersenyum, bahagia dan tegar
untukku. Kumohon, aku ingin terus bahagia bersama kalian. Aku mohon maaf belum
bisa membuat kalian bahagia. Untuk mama dan bibi : tersenyum ya Mah, Bi.
Makasih telah merawat Kenne sampai seperti ini. I Love You Mam, Aunt!
“Kenne..jangan tinggalkan aku. Kenapa kamu nggak bilang ke aku
Kenne,” keluh Haira.
Tangan Aira mengelus pundak Haira untuk mencoba tegar.
“Tante harap kalian nanti ikut hadir dalam pemakaman Kenne.”
“Pasti..pasti Tante,” kata Haira dan Aira gagap.
Di pemakaman, teman-teman, kerabat, tetangga, mama dan bibi Kenne,
sungguh merasa kehilangan.
“Kenne..kenapa cepat sekali kau pergi,” keluh Haira.
“Sudahlah Ra. Jangan sedih lagi. Kenne tidak akan tenang jika kamu
seperti itu. Kenne kami janji akan tepati semua keinginanmu. Kami akan
tersenyum untukmu,” kata Aira tegar.
“Kenne semoga kau tenang di sana Nak,” kata mama dan bibi Kenne
bersama.
“Walau kan terhapus dari muka
bumi, aku tetap akan di samping kalian selamanya untuk bahagia. Forever
friend’s. Daa..” ungkapan Kenne yang sudah tidak bisa didengar lagi oleh
teman-temannya, mama dan bibinya.(*)
Rahma Azkiya Utami (SMPN 5 Depok Sleman Jogjakarta)
Gg. Garuda 258 Pasekan Rt.07 Rw.40 Maguwoharjo Sleman Jogjakarta
*************************************************************
ANJING BERMUKA DUA
Fitriyanto
“Aduh aku kok bisa lupa ya!” selaku.
Aku sedang berjalan pulang sambil memegang kertas ulangan
matematika. Beginilah keadaanku seperti biasa, tak selalu mulus dalam mengerjakan
ulangan matematika. Pada kertas itu tertulis dua angka merah tebal. Itu adalah
angka tuju dan lima.
“Padahal tinggal sedikit lagi!” ujarku kecewa.
Aku membayangkan jika satu nomer saja benar, pasti aku lulus.
Kekesalan makin menjadi karena udara saat itu tidak bersahabat. Tangan kananku
mengusap keringat yang mengalir melewati dahiku. Aku bisa melihat hamburan debu
akibat sepatuku yang menghantam jalanan berdebu.
Di sat itulah aku teringat tentang Mia, sahabatku. Saat itu adalah
hari yang sama panasnya seperti hari ini. Aku sedang mengikuti jambore nasional
di Rembang. Saat itu matahari bersinar terik menyentuh kulitku yang lembab
karena keringat terus mengalir. Saat itu aku mengikuti upacara pembukaan
jambore di lapangan yang terletak di tengah tenda-tenda peserta.
“Dengan ini Jambore Nasional secara resmi dibuka!”
Suara gong berbunyi menandakan dimulainya jambore. Tiba-tiba
adrenalin kami naik, padahal sebelumnya sempat turun karena teriknya matahari
siang di Rembang.
Aku bergegas menuju tenda untuk mengambil segelas air. Kulangkahkan
kakiku meski sangat lelah tetapi rasa hausku mengalahkan semuanya. Setelah
mengambil segelas air, aku berjalan menuju bagian depan tenda. Ketika telah sampai
di depan tenda, aku melihat gadis seusiaku tengah memegang kedua lututnya dan
ia kelihatan sangat lelah.
“Kamu tidak apa-apa?” tanyaku saat sudah di dekatnya.
“Boleh minta segelas air?” katanya sambil menatap gelas yang
kupegang.
Aku mendengar nafasnya yang terengah-engah kerena lelahnya.
“Tentu..tentu!” kuserahkan gelas di tanganku.
Tangannya yang berkeringat langsung menyambar gelas itu dan
menghabiskan airnya tanpa sisa.
“Terima kasih,” katanya sambil tersenyum lega. “Aku Mia dari
Magelang. Kalau kamu?”
“Aku Susan dari Jakarta,” jawabku dengan senyum.
Setelah itu kami berbincang-bincang akrab. Mia tinggal di dekat gunung
Merapi. Selain itu ia mempunyai hobi sama denganku yaitu berkirim surat dan mengumpulkan
gantungan kunci. Satu bulan telah berlalu. Persahabatan kami terjalin di antara
tenda-tenda yang berdiri di perkemahan itu.
“Janji ya kita akan tetap berhubungan!” kata Mia.
“Tentu saja!” jawabku mantap.
Tanpa terasa langkahku telah sampai rumah. Terlihat rumah
bertingkat dua bercat putih dengan taman kecil di depannya. Rasa capekku
semakin bertambah ketika berjalan di antara pohon-pohon yang bergoyang diterpa
angin sepoi-sepoi. Setelah memasuki rumah aku langsung menuju kamar untuk
istirahat.
“Sudah pulang, Sayang?” sapa ayahku yang sedang santai menyaksikan
berita tivi di ruang keluarga.
“Iya Yah. Aku langsung ke
kamar ya. Soalnya hari ini jadwalku padat sekali. Ingin istirahat.”
“Ya sudah. Cepat istirahat sana.”
Kubuka pintu kamarku yang bercat kuning keemasan, warna kesukaanku.
Setelah berganti baju, aku langsung membaringkan tubuh letihku di atas kasur.
Aku masih bisa mendengar suara tivi di ruang sebelah, karena aku sudah tidak
punya tenaga lagi untuk menutup pintu kamarku. Kupejamkan mataku perlahan dan
mencoba mengistirahatkan otot-ototku setelah sepagian penuh beraktifitas.
Ketiak kesadaranku sedikit demi sedikit terbawa hembusan nafasku, aku mendengar
sayup-sayup seseorang memanggil namaku. Tatapi lelahku tak bisa kubendung lagi
dan aku terlelap dalam dunia bawah sadar tanpa sedikitpun dihampiri mimpi.
“Susan..Susan!’ suara lembut membangunkanku.
“Cepat bangun, Sayang.”
Kubuka mataku dan kuregangkan otot-otot yang kaku.
“Ayo Sayang. Cepat sholat sana,” kata mama sambil menarik tubuhku
jauh dari bantal.
“Iya Ma, ini juga sudah bangun.”
Ketika melewati ruang tamu tiba-tiba ayah berkata, “Ada kabar
buruk!”
“Ada apa Yah?”
“Ketika kamu tidur tadi Merapi meletus. Kalau Ayah tidak salah
ingat, kamu punya teman yang tinggal di sekitar Merapi kan? Kalau tidak salah
namanya..mm..”
“Oh ya..namanya Mia kan?”
“Mertapi meletus?” pikranku langsung melayang pada gadis yang
kehausan akibat teriknya matahari di Rembang.
Ketika selesai shalat aku berdoa untuk temanku Mia yang tinggal di
sekitar gunung yang meletus itu. Aku hanya berharap ia dan keluarganya selamat
dan baik. Doaku buyar ketika mendengar ayahku berteriak.
“Susan..Susan, Merapi meletus lagi!”
Aku langsung berlari ke ruang keluarga, membiarkan mukena dan
sajadah berantakan.
“Telah terjadi letusan ke dua kali. Letusan ini terjadi sekitar
pukul 14.30 WIB. Letusan ini lebih dahsyat dari letusan sebelumnya. Hal ini
mengakibatkan jarak aman dari Merapi menjadi 15 km, dari sebelumnya 10 km. Mia
Hartanti dan Yuda Winarto melaporkan dari tempat kejadian.” Kata seorang
reporter berusia sekitar 20 tahun. Rambutnya hitam panjang digerai di depan
tubuhnya. Seketika itu aku teringat Mia, yang kebetulan mempunyai nama yang
sama dengan reporter tivi itu. Tubuhku seakan tak bertenaga dan terduduk di
sofa.
“Susan, kamu tidak apa-apa?” Tanya ayah cemas.
Aku tak bisa menjawab, hanya menganggukkan kepala.
“Kamu jangan terlalu sedih. Kamu harus berusaha mencari kabar
sahabatmu itu. Oke!” ayah mengacungkan dua jempol padaku.
Aku mencari informasi tentang meletusnya Merapi dari internet. Aku
sampai tertidur karena kelelahan membaca berita dari komputerku. Pagi harinya
aku mengikuti berita di tivi.
“Ini gambar yang diambil setelah letusan ke dua terjadi. Terlihat
seorang mayat gadis sedang memegang sebuah gantungan kunci berbentuk anjing
bermuka dua..”kata seorang reporter.
Seketika itu pikiranku melayang pada gantungan kunci yang persis
sama seperti yang dijelaskan reporter tersebut. Gantungan itu aku berikan pada
Mia pada hari ulang tahunnya ke 15. Itu adalah dua minggu yang lalu. Rasa sedih
mulai memenuhi hatiku dan pikiran tentang meninggalnya sahabatku tak bisa
kuenyahkan dari pikiranku. Air mataku pun terjatuh saat berlari membuka pintu.
“Ting..tung..” suara bel berbunyi. Aku langsung berlari menuju
pintu sambil mengusap air mataku yang sempat menggenang. Berdirilah seorang
dengan seragam jingga membawa sepucuk surat di tangan kanannya dan sebuah tas
di tangan kirinya.
“Apa Susan ada?” tanyanya.
Setelah menandatangani tanda terima aku sempat terkejut karena aku
bisa melihat nama Mia tertulis di pojok kanan bawah surat tersebut. Surat itu
bertuliskan tentang rasa senang Mia mendapatkan hadiah dariku. Ia juga
berkeingingan mengunjungiku pada liburan semester yang akan datang. Tetapi pada
akhir kalimat ia minta maaf karena tidak hati-hati menjaga gantungan itu dan puncaknya
gantungan itu hilang. Surat itu ditulis sebelum letusan pertama Merapi terjadi.
Aku terhenyak karena gantungan itu telah jatuh ke tangan orang lain. Ada
perasaan dan was-was menyelimutiku setelah menerima surat Mia. Tetapi dari
surat itu ada secercah harapan bahwa aku akan menghabiskan waktu liburan
bersama Mia.
Pencarian sahabatku terus berlanjut. Semua berita tentang Merapi
merupakan santapan harian. Beberapa hari kemudian datang lagi surat dari Magelang.
Alangkah senangnya hatiku ketika mengetahui itu surat kedua dari Mia. Isi
suratnya ungkapan maaf tentang gantungan kunci, dan di dalam surat juga berisi
gantungan kunci berbentuk candi Borobudur. Mia tahu kalau aku belum pernah
pergi ke candi terbesar di Indonesia itu. Jadi aku sangat senang menerimanya.
Keesokan harinya tiba-tiba bel berdering. Sama seperti pertama kali
aku melihatnya. Ia langsung tersenyum ramah padaku.
“Apa kabar Dik Susan?” sapanya ramah.
“Baik Pak,” senyumku
mengembang di bibirku. Setelah mendapat surat dari Mia, aku selalu menunggu surat
berikutnya.
Kubuka surat itu dan ternyata surat bukan dari Mia, melainkan dari
kakaknya. Paragraf pertama berisi tentang hari di mana Mia mengirimkan hadiah
untukku. Itu adalah hari sebelum letusan pertama terjadi. Tetapi bagian
terakhir yang membuat hatiku terisis.
Aku mengirimkan
surat ini ketika aku sudah berada di rumah pamanku di Jakarta. Ini adalah
cerita tentang adikku, Mia. Setelah letusan pertama terjadi aku dan keluargaku
langsung kembali ke rumah untuk mengambil barang-barang kami yang belum sempat
dibawa. Kami pikir tidak aka ada letusan susulan secepat saat itu. Setelah
sampai di rumah aku dikagetkan dengan suara keras dari adikku. Ternyata ia
menemukan gantungan kuncinya di bawah sofa. “Mas akhirnya aku menemukannya.”
Aku masih ingat senyum manisnya itu. Tapi tiba-tiba terjadi letusan kedua dan
tanpa pikir panjang aku berlari. Setelah sampai di tempat aman, aku baru sadar
Mia tidak bersamaku. Tetapi aku yakin Mia akan selamat. Keesokan harinya,
ditemukan mayat di reruntuhan rumah kami. Mayat tersebut membawa gantungan
kunci yang sama seperti gantungan yang Mia bawa…
Seketika itu rohku bagai ditarik paksa dari tubuhku dan kesadaranku
hilang. Aku terjatuh di lantai ruang tamu. Samar-samar aku melihat wajah ayah
mendekatiku. Tetapi kesadaranku sudah lenyap sebelum ayah mendekat.
Beberapa hari setelah kejadian itu, aku terus mengenang kepergian Mia.
Aku selalu menjaga surat, hadiah, dan kenangan tentang dirinya. Aku yakin kami
akan bertemu lagi. Oleh karena itu aku percaya persahabatan kami akan kekal
untuk selamanya.(*)
Fitriyanto (SMAN SBBS/Sragen Bilingual Boarding School)
Jl. Raya Mondoka Km.1 Kedawung Mondoka Rt.14 Rw.5 Sukoharjo.
********************************************************
Dengan
terbitnya buku ke 5 ini, maka kami cukupkan publikasi karya tulis para pelajar
yang
mengikuti lomba menulis oleh Pataba tahun 201
Lomba
menulis merupakan agenda tahunan Pataba
dalam
mewujudkan cita-cita Pataba
Membangun
masyarakat Indonesia yang gemar membaca dan mampu menulis
Kami
tunggu karya-karya para pelajar di Pataba
Tulisan
dapat dikirim langsung via pos ke alamat Pataba Jl. Sumbawa 40 Jetis Blora
Atau
via email : pataba_membangun@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar