Kearifan Lokal Blora
MBAH
BALUNG
“Nulung
Nggawa Penthung”
Hermawan Widodo
“Ngapa mrene, ora ngerti awak kesel, malah
padha teka njaluk pijet!” katanya keras dengan wajah kereng.
Itulah
ungkapan pertama yang akan diterima pesien saat datang ke rumahnya. Rumah kayu
khas Blora, di sebuah dusun yang tak kurang dari 20 km jauhnya di sebelah barat
pusat kota Blora, arah ke kota Purwodadi. Orang hanya menyebutnya sebagai mbah
Balung, karena kemampuannya dalam membenahi tulang yang bermasalah. Siapa nama
sebenarnya, pria yang umurnya lebih dari setengah abad itu, juga entah. Namun
warga di kecamatan Tunjungan dan sekitarnya, cukup dengan menyebutkan nama mbah
Balung, akan ditunjukkan orang yang dimaksud.
Mata
selalu melotot, dengan cambang cukup tebal menjadikan wajahnya tampak sangar. Wataknya keras, bicara asal lepas,
tanpa menghiraukan respon orang yang menjadi lawan bicara atau yang
mendengarnya. Itu menjadi cirinya. Orang-orang yang sudah mengenalnya akan
sangat mahfum. Namun akan sangat
berbeda bagi orang yang baru pertama datang ke rumahnya. Mereka yang bernyali
ciut akan dibuatnya rontok, pulang tanpa mendapatkan pelayanan apapun. Saya
pernah mengalami itu. Begini ceritanya.
Beberapa
waktu yang di hari Sabtu siang sebelum dzuhur, berbekal informasi sekedarnya,
saya dan seorang teman berboncengan motor dari Kunden ke Tunjungan. Memang
benar, hanya dengan menyebut nama mbah Balung, orang yang kami tanya akan
memberikan arah ke rumahnya. Butuh waktu tiga puluh menit lebih untuk mencapai
rumahnya.
Saat
menyampaikan tujuan ingin pijat, seorang perempuan yang sudah agak tua
menjelaskan,” Bapak baru saja tidur. Tadi pasien baru pada pulang. Nanti ba’da
ashar baru dilayani lagi. Atau besok pagi ke sini sebelum jam tujuh. Setelah
jam tujuh bapak pergi ke sawah.”
Karena
harus menunggu tiga jam lebih, kami putuskan pulang dan kembali besok pagi saja.
Hari berikut Minggu pagi setelah subuh, saya berangkat sendirian ke rumah mbah
Balung. Sampai rumahnya, di ruang tamu sudah ada dua orang duduk di kursi tamu
sambil menghadapi segelas kopi. Satu orang berjenggot, dan memakai peci hitam.
Saya menduga dia adalah mbah Balung. Satu orang lagi berkaos putih dan
bercelana pendek. Saya salami orang yang berpeci, kemudian orang satunya. Ketika
orang yang berpeci itu menanyakan sakit apa, saya jelaskan kalau tangan kanan sering
kesemutan dan mati rasa, perut kembung tiap pagi bangun tidur. Saya tidak
menjelaskan kondisi tulang saya.
Orang
yang berkaos putih di sampingnya berdiri, kemudian berkata (ngglendheng),”Wong weteng kembung kok digawa mrene. Gawa rumah sakit. Dikirane kene
ana obate!”
Dia
keluar entah ke mana. Orang yang berpeci diam saja.
“Sudah
biasa begitu mas. Biarkan saja. Dia sedang mengeluarkan sapinya,” katanya
setelah orang berkaos putih itu keluar.
Saya
bertanya, “Itu tadi mbah Balung?”
Orang
itu mengangguk, “Dia keponakan saya. Memang begitu wataknya.”
Setelah
lima belas menit, tiba-tiba orang berkaos putih yang ternyata mbah Balung itu
keluar dari rumah dalam, ”Kowe mrene arep
ngapa?”
Saya
jawab mau pijat kaki. Dengan suara keras mbah Balung menyuruh saya masuk ruang
prakteknya. Saya disuruh mencopot semua pakaian saya, kecuali celana dalam dan
menggunakan sarung yang sudah tersedia. Saya tidur tengkurap di ranjang. Tanpa berkata-kata
mbah Balung mulai mengerjai saya. Dia memijat semua bagian tubuh saya. Yang
paling lama bagian kaki kanan yang pernah dipasang plat karena kecelakaan hebat
lima tahun yang telah lewat. Bagian tempurung dikocak-kocak. Memang akibat
kecelakaan itu, kaki kanan saya tidak bisa untuk nekuk. Lama-lama kegarangan
mbah Balung kendur, dengan suara pelan dia memberikan aba-aba kepada saya untuk
mengubah posisi badan saya, untuk memudahkan pemijatan. Hampir tiga puluh menit
saya dipijat. Pijatannya tidak sakit seperti kalau saya pijat selama ini.
Selesai
pijat, mbah Balung tidak lagi garang. Sambil duduk di ruang tamu, dia banyak
bercerita. Salah satunya adalah bagimana dia mendapatkan ilmu itu.
“Tengkorak
yang dipajang di rumah sakit itu tidak sama dengan tengkorak yang
sesungguhnya,” katanya.
Dulu,
belasan tahun lalu, ketika dia menggali kubur untuk orang yang mati, tiba-tiba
di dekatnya telah ada tengkorak menggeletak.
Dia
kaget, kemudian dia berkata kepada sang tengkorak,” Mohon ampun mbah, sampeyan saya buat praktek. Kalau sampeyan orang sakti maafkan saya, kalau
orang biasa juga maafkan saya.”
Tengkorak
itu kemudian ditata, dan diikat bagian-bagian yang lepas dengan rumput. Setelah
utuh dia bungkus kemudian ditimbun di lubang yang dia gali sebelumnya untuk si
mati. Sejak itu, dia memiliki kemampuan menolong orang yang bermasalah dengan
tulang. Umumnya karena kecelakaan. Namun bukan masalah tulang saja yang bisa ditangani.
Ketika ada orang lumpuh datang, dia pijat pada bagian-bagian tertentu, selang
beberapa saat orang itu bisa berdiri dan berjalan lagi. Banyak orang datang ke
rumahnya untuk mendapatkan pelayanannya. Bukan saja dari Blora, banyak juga dari
luar Blora, bahkan dari luar Jawa Tengah. Dari gaya bicaranya ketika bercerita,
saya bisa menyimpulkan bahwa karakternya memang begitu. Dia akan meledak-ledak
justru kepada orang yang baru datang.
Itu
terbukti ketika kemudian ada orang yang datang mau pijat. “Opo meneh iki, ora reti wong awak kesel!” semprotnya kepada orang
itu.
Orang
itu diam saja. Melihat gelagat itu, saya kemudian pamit dan menyerahkan amplop
kepada mbah Balung.
Kamis
pagi, empat hari kemudian, saya ke rumahnya lagi untuk pijat yang kedua kali. Sampai
rumahnya masih sepi. Saya duduk dulu di dipan yang ada di teras. Sepuluh menit
saya duduk, tiba-tiba mbah Balung muncul.
Seperti
biasa dia langsung bicara dengan suara keras dan wajah sangar, “Prei. Aku pingin leren!”
Dia
kemudian meninggalkan saya. Merasa sudah paham wataknya, saya masuk ke dalam
rumah dan duduk di kursi tamu. Betul saja, tak berapa lama, mbah Balung masuk ke
ruang tamu.
Sambil
berdiri dia bilang, “Wis diomongi nek
prei kok ngeyel. Mbok tok bayar sak milyar aku emoh. Aku butuhe sepuluh milyar!”
Mbah
Balung kemudian pergi lagi. Saya diam saja, dan tetap duduk di kursi tamu. Saya
masih yakin wataknya memang begitu. Ibaratnya, dia itu nulung tetapi membawa pentung. Jadi kalau mau mendapatkan
pertolongannya, jangan takut dengan pentungnya.
Mbah
Balung muncul lagi, namun dia duduk di amben yang agak jauh dari kursi tempat
saya duduk.
Sambil
memegang rokoknya mbah Balung langsung berkata dengan sangat keras,” Kowe arep ngopo? Wes diomongi nek prei.
Takon karo wong-wong pinter kono!”
Saya
menjawab dengan pelan, “Pijat mbah.”
Yang
terjadi selanjutnya mbah Balung justru marah-marah menggunakan bahasa Jawa ngoko
kasar. Karena saya yakin wataknya begitu, saya hanya menjawab nggih..nggih..saja, sambil sesekali tersenyum.
Mbah
Balung berujar lebih keras, yang sangat mungkin terdengar hingga rumah sebelah,
“ Iki uwong, wis diomongi kok ora iso. Diomongi
temenan malah ngguya ngguyu. Muleh kono. Iso muleh ora! Nek ra muleh tak amper gelas tenan! Nek ngene iki setanku metu!”
Untung
waktu itu di dekat mbah Balung tidak ada gelas. Dia kemudian berdiri dan meninggalkan
saya lagi. Saya hanya diam, dan menunggu untuk dipanggil lagi kemudian dipijat.
Dari
ruang tamu saya masih mendengar mbah Balung berbicara, “Nek pencen uwong, diomongi yo ngerti.”
Saya
masih termangu di ruang tamu. Tiba-tiba ada seorang lelaki membawa parang masuk
ke rumah mbah Balung. Dia melihat saya dan mengangguk.
Saya
mendengar suara mbah Balung berbicara dengan orang itu, “Wong iku omongono.”
Lelaki
kemudian bertanya kepada saya yang masih duduk di ruang tamu, “Bapak mau
pijat?”
Saya
hanya mengangguk.
“Sekarang
libur pak, lain kali saja.”
Saya
terdiam oleh jawaban tak terduga itu. Sekarang saya baru tahu ternyata hari itu
libur, tidak menerima pasien. Kemudian saya berdiri dan pamit kepada lelaki
itu. Mbah Balung sudah tidak terdengar suaranya lagi. Ketika duduk di atas jok
motor sebelum meninggalkan rumah mbah Balung, saya juga baru menyadari,
ternyata mbah Balung tadi benar-benar marah. Ketika mbah Balung mencak-mencak,
saya anggap itu bagian dari watak. Saya membenarkan pepatah kreasi saya
sendiri, bahwa mbah Balung itu nulung
nggawa penthung. Untung saya belum sempat benar-benar dipenthung oleh mbah
Balung. Meski begitu, lain waktu saya akan datang lagi ke rumahnya untuk minta
dipijat. Saya masih yakin, karakter dan watak itulah yang menjadi ciri khasnya,
trade marknya. Mbah Balung merupakan salah satu potensi kearifan lokal Blora, seorang
praktisi sangkal putung, yang mampu menata kembali tulang-tulang yang
berserakan. (Wan/Blora)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar