PRAM TAK PERNAH SURUT MELAWAN
HINGGA AJAL MENJEMPUTNYA
“Refleksi Peringatan 6 Tahun Meninggalnya Pram”
Soesilo Toer & Hermawan Widodo
Ada buku baru tentang Pramoedya Ananta Toer, terbitan Nalar Jakarta tahun 2011, saya anggap paling lengkap dari buku sebelumnya yang pernah diterbitkan. Buku tebal (lebih dari 500 halaman), berjudul “Pram Melawan!” ditulis oleh P. Hasudungan Sirait, Rin Hidryati P, dan Rheinhardt. Mereka melakukan wawancara pada awal tahun 2000, saat Pram masih cukup sehat. Ketika Pram di Blora, saya mendampinginya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.
Perpustakaan PATABA (Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa), membahas buku tersebut pada 28 April 2012, di pelataran rumah masa kecil penulis asal kelahiran Blora tersebut. Perpustakaan PATABA menggelar acara bertajuk ‘Lesehan Bincang-bincang Buku Tentang Pram’, untuk memperingati 6 tahun meninggalnya Pram. Penulis yang beberapa kali menjadi nominator pemenang Nobel bidang sastra ini, meninggal di Jakarta tanggal 30 April 2006, pada usia 81 tahun. Selain buku “Pram Melawan!”, ada buku lain yang juga dibahas. Buku tulisan Andre Vltchek dan Rossie Indira berjudul “Saya Terbakar Amarah Sendirian”, dibahas oleh Gatot Pranoto, salah seorang tokoh Blora.
Beberapa penulis seperti Bachrum Rangkuti, Eka Budianta, Koesalah Soebagya Toer dan lainnya pernah mengupas Pram dalam buku-buku karyanya. Saya juga menulis tentang kakak tertua saya itu, yang saya terbitkan sendiri melalui Pataba Press, ‘Pram dan Seks’, dan kumpulan tulisan dalam ‘Seribu Wajah Pram’. Namun apa yang dibahas tidak selengkap buku “Pram Melawan!”.
Ulasan Prof. Koh Yung Hun dari Hankuk University Korea, tentang ‘Tetralogi Buru’ Pram juga tidak selengkap “Pram Melawan!”. Namun saya akui dia adalah penggemar berat Pram. Saking gandrungnya, tahun lalu dia napak tilas tulisan Pram tentang Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan. Ia kemudian mampir ke Perpustakaan PATABA, dan bertemu saya sebagai sahabat. Saya sudah lama kenal dengannya. Waktu itu dia sedang menyusun disertasi.
Di Blora saya ajak mampir ke makam Kartini di Rembang, dan makan sate di restoran Gajah, bersama guru besar bahasa Prancis UI dan guru bahasa Indonesia di Paris, Prof. Etien yang kebetulan berkunjung, dan bahkan menginap di Perpustakaan PATABA. Suatu kehormatan bagi Perpustakaan PATABA. Mereka dengan jujur mengatakan bahwa sate Blora memang khas, apalagi makannya gratis. Waktu itu saya yang membayar semuanya. Uangnya dari kantong bapak Pudyatmo, Kepala Dinas Pariwisata Blora, yang sekarang sudah pensiun.
Meskipun buku “Pram Melawan!” dapat dikategorikan cukup luas cakupan pembahasannya, namun saya yakin masih tak terhitung pengalaman orang yang tercecer dan tidak, atau belum diungkap. Pengalaman itu bahkan sudah sering dipakai sebagai bahan obrolan. Termasuk di antaranya bapak Soetarmin Poerwo S. Dono yang berhadapan dan bertemu langsung dengan Pram. Juga Eko Arifianto, tokoh Blora yang tidak asing lagi, yang namanya dicantumkan dalam Ensiklopedi kebanggaan Blora. Saya sangat berharap mereka menyempatkan waktu untuk menulis kenang-kenangan pribadi mereka terhadap Pram.
Ada beberapa peristiwa tentang Pram, yang sampai saat ini belum diketahui oleh publik. Dan barangkali hanya saya yang tahu dari seluruh saudara kandung Pram. Pada mulanya saya tidak tahu mengapa Pram sering bertanya tentang teman-temannya di masa kecil. Pram sebutkan nama-nama. Saya menambahkan penjelasan seberapa saya tahu tentang mereka itu. Markaban adalah nama yang paling disebut. Kebetulan tokoh dan teman masa kecil Pram itu, ketika agresi Belanda ke dua tahun 1949 ada di Blora dan berjualan gula pasir di pasar lama Blora. Saya waktu itu jualan enting-enting gula kelapa yang saya campur dengan bonggol pisang supaya ‘methuthuk’. Bolak-balik Markaban ini saya tawari, tetap tidak mau membeli. “Edan orang ini!” pikir saya. Tetapi akhirnya dia membeli juga. Saya yakin dia kasihan, atau juga karena dia ingat sahabatnya Pram.
Sesudah saya amati ternyata ibunya Markaban itu namanya Sakinem. Kalau membaca “Bumi Manusia”, pasti tahu nama kecil Nyai Ontosoroh, salah satu tokoh penting “Bumi Manusia” itu. Oleh Pram, ibunya Markaban, Sakinem dibalik menjadi Sanikem. Mengapa Pram sangat mendambakan Markaban, ternyata ada buntutnya. Di masa kegalauan usia remajanya, di rumah mbok Sakinem inilah, Pram bersama Markaban belajar merokok, yang sampai menjelang ajalnya tetap menjadi hobi bahkan seperti ketagihan. Bersama Markaban, Pram di sana belajar minum kopi, di situ pula dia belajar jualan kecil-kecilan. Yang dijual juga rokok. Mungkin di tempat ini Pram juga belajar ‘mbatheni’ kalau disuruh ibunya belanja.
Ibunya Markaban sehari-harinya jualan gula bubuk. Rumahnya sekitar seratus meter dari rumah bapaknya Pram. Hanya letaknya tersembunyi di sebuah gang dan bukan di pinggir jalan, itupun harus masuk lagi beberapa puluh langkah. Jadi sangat cocok untuk bersantai, ngobrol sambil tiduran di ‘amben’ beralas galar bambu. Apalagi kalau banyak ‘tumbilanya’. Sekarang namanya menjadi lorong tiga jalan Nusantara. Rumah itu, saat ini ditempati oleh saudara Markaban. Salah seorang keponakannya menjelaskan, bahwa Markaban masih hidup namun tinggal di Aceh bersama keluarganya. Namun sang keponakan tidak bisa menjelaskan Markaban ke Aceh, apakah sebagai transmigran, dikirim untuk berkelahi melawan rakyat Aceh atau bersimpati kepada Aceh.
Dalam “Arus Balik”, salah satu tokoh utamanya bernama Idayu. Ada kemiripan dengan nama ibunda bung Karno, Ida Ayu. Pram merupakan pengagum Soekarno, dalam politiknya melawan dominasi sistem kapitalisme.
Pram memang identik dengan perlawanan. Semua rezim, mulai dari penjajah Belanda, Jepang, Soekarno hingga Soeharto pernah memenjarakannya. Mungkin jika rezim yang menggantikan Soeharto juga turut memenjarakannya, saya yakin Pram justru akan masih hidup hingga kini. Di dalam penjara, Pram seolah menemukan hidupnya. Semua energi perlawanannya dapat disalurkan secara tuntas dalam bentuk karya-karya tulis yang bermutu tinggi. Di luar penjara, Pram merasa sendiri, kesepian. Pram mengaku sangat invidual, merasa hidup sendiri, tidak pernah mudah percaya dan bergantung pada orang lain.
Jika saat ini Pram masih hidup, dan melihat kondisi negara dan bangsanya, yang Pram turut perjuangkan berdirinya, saya tidak tahu Pram akan berbuat apa. Namun saya yakin sepenuhnya, Pram pasti akan melawan. Melawan semua yang dianggapnya tidak benar. Melawan segala yang dianggapnya tidak sesuai dengan dirinya. Melawan meskipun hanya seorang diri.
Hanya satu hal yang tidak bisa dilawan Pram, umurnya. Pram harus pasrah kepada ‘sang kala’ yang membawanya kembali ke asalnya, setelah berkesempatan menghirup udara kehidupan lebih dari delapan dekade. Namun bukan Pram jika harus menyerah begitu saja. Pram masih berteriak-teriak melawan. “Bakar saja aku!”, teriaknya pada akhir-akhir menjelang kematiannya. Tetapi mana ada orang gila yang mau membakarnya, di saat ia sekarat.
Tidak beda rasanya dengan diri saya pribadi. Jelek-jelek saya adalah sukarelawan pembebasan Irian Barat, yang merupakan kepanjangan kata ‘Ikut Republik Indonesia Anti Nederland’. Dan tercapailah secara de facto dan de jure Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1962. Seperti yang dicita-citakan oleh bapak proklamator. Penghargaan yang saya terima sebagai anak buah ‘generalsimo Soeharto’ itu, saya memperoleh sederet kenang-kenangan, digebug, dikarate, dan ditiarapkan selama hampir 6 tahun. Yang tertinggi berupa tambahan gelar ke enam, yang menyebabkan saya menjadi manusia paria seumur hidup.
Ada ungkapan yang ironis dalam salah satu tujuan didirikannya negara, yaitu untuk menindas. Saya salah satu korbannya. Namun saya tidak dendam. Kalaupun mungkin ada rasa dendam itu, adalah terhadap diri sendiri. Sama seperti Pram yang mengatakan bahwa dirinya terbakar amarah sendirian. Sebab Pram tidak mampu mendidik anak-anak dan cucunya sendiri. Istri, anak-anak dan cucu-cucunya tidak ada yang memiliki minat membaca. Bahkan membaca koran saja, katanya enggan. Berbeda 180 derajat dengan Pram yang gila membaca dan menulis.
Saya juga marah dan dendam terhadap diri saya sendiri karena tidak mampu membentuk negara impian. Napoleon Bonaparte, sang kaisar asal Korsika itu, bilang “L’etat seis moi”, negara itu saya. Satu lagi kata mutiara sang kaisar ini bahwa antara jaya dan nista itu hanya selangkah bedanya. Dan itulah hidup manusia, sangat singkat, sedang seni ciptaannya abadi.
Melalui Perpustakaan PATABA, saya ingin memelihara semangat Pram melawan. Melawan kebodohan. Melawan kemalasan membaca. Melawan ketidak mampuan menulis. Saya ingin membangun masyarakat Indonesia. Membangun masyarakat Indonesia membaca. Membangun masyarakat Indonesia menulis. Semoga saya mampu mewujudkan impian itu. Negara impian saya adalah, negara yang warganya gemar membaca dan pandai menulis.
Saya sendiri boleh dikatakan mengalami tiga babak kehidupan bersama kakak tertua ini. Masa kanak-kanak, dewasa dan tua renta. Lebih-lebih tahun-tahun terakhir kehidupan Pram. Kesimpulan saya, ada indikasi bahwa Pram meninggal, disebabkan oleh tiga sebab. Disengaja, tidak disengaja atau keteledoran pribadi. Bahan-bahan untuk tulisan itu sudah lengkap. Tinggal menuangkan dalam tulisan. Saya ingin mengungkap itu semua. Saya harus berpacu dengan sang kala yang tak pernah berhenti membuntuti umur saya menuju senja. Saya ingin melawan semua kendala, untuk mewujudkan buku tentang Pram. Harapan saya, buku itu nantinya menjadi dokumen tentang Pram yang paling lengkap. Buku tentang Pram, yang ditulis oleh adik kandungnya. Orang yang sangat dekat dengannya. Saya berharap, harapan itu masih terus ada. Semoga. (*)
Blora, akhir April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar