SENGATAN MISTERIUS KUPU-KUPU
MALAM
Hermawan Widodo
Setiap
sore di jalan-jalan kampung saya di Kepuh Lor, biasanya muncul kupu-kupu yang
terbang liar. Habis bermain-main, sebelum kembali ke rumah, saya suka iseng
nyampluki dengan tangan saya kupu-kupu yang terbang mendekat. Kadang kupu yang
sedang tidak bernasib baik itu terkena pukulan tangan saya langsung jatuh.
Biasanya mati, atau paling tidak dia akan menggelepar-menggelepar dan kesulitan
untuk terbang lagi.
Suatu
hari, saat saya pulang dari bermain, banyak kupu-kupu yang terbang di jalanan.
Saya dengan bersemangat menampari kupu-kupu itu. Ada yang kena, banyak juga
yang lolos. Saat tangan kanan saya mengenai kupu berwarna coklat dengan ukuran
sedang, tiba-tiba tangan saya terasa sakit seperti tersengat lebah. Kupu itu
lepas dari tangan saya dengan meninggalkan rasa nyeri. Sambil memegangi jari
tengah tangan saya yang sakit, saya pulang ke rumah. Sampai di rumah, rasa
sakit itu bukan hilang, justru semakin menjadi.
Saat
melihat saya meringis menahan sakit dan memegang tangan, ibu bertanya dengan
heran, ”Kenapa Wan?”
Saya
jawab, “ Digigit kupu!”
Tentu
jawaban itu tidak bisa dipercaya ibu. Lha wong kupu kok menggigit.
Setelah
diperiksa ternyata jari tengah tangan kanan saya bengkak, dan sakitnya semakin
tidak tertahankan. Rasanya senut-senut tidak karu-karuan. Saya sampai menangis
gereng-gereng menahan sakit. Ibu kebingungan tidak tahu harus diobati apa.
Bapaklah yang kemudian berinisiatif menanyakan obat digigit serangga kepada
tetangga. Oleh Mbah Warno, tetangga depan rumah disarankan ke Kepuh Kidul ke
rumah Mbah Wongso.
Saya
digoncengkan motor oleh bapak menuju rumah mbah Wongso. Setelah memberikan
prolog musibah yang menimpa saya, kemudian oleh simbah yang berpeci itu, tangan
kanan saya dipegang. Sambil berdoa dia mengeluarkan batu akik warna hijau
kemudian ditempelkan ke jari tengah saya yang bengkak. Batu akik sebesar kelereng
jumbo itu, saat menyentuh jari tengah saya yang sakit, terasa dingin. Setelah
beberapa saat ditempel dan dioles dengan batu akik hijau itu kami pulang.
Waktu
itu memang sudah mulai reda sakitnya. Saya yakin akan segera hilang sakitnya
begitu sampai rumah. Begitu sampai rumah, sakitnya muncul lagi dengan kadar
nyeri yang sama. Kali ini saya tahan untuk tidak menangis. Saya bilang ke bapak
kalau masih terasa sakit sekali. Bapak juga heran, tadi sudah tidak sakit kok
sampai rumah kambuh.
Atas
saran Mbah Warno lagi, bapak diminta kembali ke Kepuh Kidul. Ada orang lain
yang juga memiliki akik ampuh katanya. Ternyata dia bapaknya Ponidi teman
sekolah saya di SDN Mutihan III. Oleh bapaknya Ponidi, tangan saya yang sakit
ditempelkan pada batu akik warna coklat sebesar kelereng normal. Jadi lebih
kecil dibandingkan batu akik hijau milik Mbah Wongso.
Agak
lama saya di rumah teman saya. Hingga sekitar jam sembilan jari saya masih
terus ditempel dan digosok dengan akik coklat itu. Karena sudah larut, oleh bapaknya Ponidi,
bapak saya diminta membawa pulang akik itu. Nanti akik itu supaya ditalikan ke
jari yang sakit dengan kain. Setelah pamitan kami pulang. Saya masih memegangi
akik itu agar tetap menempel di jari yang bengkak. Rasa sakit memang agak
berkurang.
Sampai
rumah, bapak kemudian mencari sapu tangan, akik itu diikatkan di jari tengah
saya. Karena sudah capai, saya pun beranjak tidur. Masih dengan menahan rasa
sakit yang belum hilang, saya tertidur.
Pagi
subuh saya terbangun, dan tanpa saya sadari sudah tidak terasa sakit lagi di
jari tengah saya. Batu akik masih menempel dalam balutan sapu tangan bapak.
Begitu melihat saya bangun dan tidak merasakan sakit lagi, akik yang masih
terikat di jari saya dilepas oleh bapak. Sebelum berangkat ke kantor, bapak membawa
akik itu dan mengembalikan ke Kepuh Kidul.
Hingga
sekarang saya kurang begitu senang jika melihat kupu yang berwarna coklat.
Kupu-kupu yang terbang menjelang malam itu pernah membuat saya kesakitan
sepanjang malam karena sengatannya.
Sengatan
beracun oleh binatang juga saya alami setelah insiden sengatan kupu-kupu malam
liar itu. Itu berawal dari kebiasaan kami yang selalu ingin mencoba dan
mengetahui sesuatu yang baru. Bagi kami
hal itu adalah sebuah tantangan yang harus dilakukan.
Waktu
itu saya mendengar cerita bahwa di Segoroyoso Pleret ada sebuah gua, yang di
dalamnya terdapat sumber air. Segoroyoso adalah salah satu desa yang dilewati
oleh Jendral Sudirman dan pasukannya semasa perang gerilya. Terdorong oleh rasa
penasaran, saya dan Agus ingin melihat dan membuktikan.
Kali
ini kami tidak mengandalkan capunk merah Honda 70 milik Agus. Kami hanya
bersepeda sejenis BMX. Mirip-mirip saja, karena memang bukan sepeda BMX. Sebuah
sepeda mini yang sudah dicopot sana-sini hingga minimalis sekali.
Berangkat
dari Kepuh pagi hari sekitar jam sembilan. Melewati Pleret terus ke selatan
masuk Kedaton, ke timur hingga melewati jembatan yang melintasi sungai Opak.
Sungai ini konon merupakan semacam jalan tol bagi para tentara penguasa laut
selatan ketika kirab menuju gunung Merapi. Bagi sebagian masyarakat Jogjakarta,
gunung Merapi, Laut Kidul dan sungai Opak adalah tiga elemen yang sangat
penting.
Dari
atas jembatan, nampak aktifitas penduduk sekitar yang sedang mencuci dan
menjemur kulit. Kulit dari binatang berkaki empat seperti kuda atau sapi yang
sudah dipotong kecil-kecil. Kami menyebutnya dengan krecek. Krecek biasanya
dimasak dicampur dengan potongan daging atau daging giling yang berbentuk
bulat-bulat kecil. Masakan yang disebut dengan sambel krecek itu merupakan
jenis masakan yang saya sukai. Tetapi biasanya hanya dimasak ketika sedang
memiliki hajad baik pernikahan, sunatan atau lain.
Setelah
melewati sungai, kami menyusuri jalan di sisi perbukitan. Hanya beberapa menit
kami berhenti, kemudian kami meletakkan sepeda di kebun pinggir jalan. Saya dan
Agus menyeberang jalan dan berjalan kaki naik mengikuti jalan setapak. Tidak
memerlukan waktu lama untuk sampai di lokasi yang dimaksud.
Gua
yang dikabarkan orang itu memang benar adanya. Di depan kami ada sebuah lobang
besar menyobek dinding bukit. Lobang gua itu berbentuk setengah lingkaran,
semacam penggaris busur yang dipakai untuk menentukan besarnya sudut. Cukup
besar. Saya mendongak ke atas tidak kurang dari sepuluh meter tingginya. Kami
berdua mendekat. Kemudian mencoba melihat ke bawah. Saya tidak mampu menerka
kedalamannya, hanya nampak samar-samar kilauan air. Dari sisi dinding tebing,
ada semacam tangga yang memang diperuntukkan untuk turun.
Agus
mengajak saya turun. Namun entah mengapa saat itu nyali saya benar-benar raib. Saat
saya melihat ke bawah itu, saya melihat asap putih yang tiba-tiba muncul dari
bawah goa. Saya sayup-sayup juga mendengar suara-suara yang tidak jelas. Entah
Agus melihat dan mendengar itu atau tidak. Yang jelas asap putih dan suara itu
yang mencegah saya untuk turun. Agus turun sendirian. Saya melihat dari atas
Agus menuruni tangga itu satu per satu.
Sekitar
sepuluh menit kemudian dia berteriak, “Wan, mudhun mrene adus!”
Saya
menjawab berteriak, “Emooh...!”
Saya
di atas sendirian menunggu Agus yang masih di bawah gua. Ada perasaan yang
tidak enak saat saya memandang gua itu dari tempat saya duduk. Mungkin karena
sendirian di bawah, Agus segera naik tidak jadi mandi. Apakah dia juga takut
saat di bawah, saya tidak mengetahuinya. Sampai di atas saya melihat Agus
ngos-ngosan.
Dari
keterangan Agus, di bawah gua memang ada sumber air semacam kolam yang kemudian
dibuat sekat-sekat untuk mandi dan keperluan lain. Di bawah katanya gelap. Saat
melihat ke atas yang nampak hanya lobang yang mengalirkan sinar matahari. Namun
sinar itu tidak sampai bawah, sehingga di dasar gua tetap gelap. Kami menuruni
bukit dan kembali ngonthel sepeda BMX mirip-mirip itu menuju sungai Opak.
Sampai
di sungai Opak, saya mengajak Agus untuk mandi. Saat itu sungai Opak sedang
tidak meluap sehingga air nampak jernih. Saya tidak tahu mengapa jika melihat
sungai, ada dorongan yang sangat kuat untuk terjun dan mandi di sungai itu.
Padahal jika dilihat dari topografinya, sungai Opak lumayan dalam.
Ada
palung sungai yang mengalirkan airnya dari Merapi ke laut selatan. Palung itu
memiliki kedalaman sekitar lima meter. Dalam kondisi normal, jika ingin mandi
kita harus turun dulu di bibir palung, kemudian baru meloncat ke air. Namun
jika air meluap, maka palung itu akan terendam semua. Kiri kanan palung selebar
lima meter juga terendam. Jadi sungai yang mengalirkan air dari gunung Merapi
itu lebarnya mencapai lima belas meter bahkan lebih. Saya pernah mandi di
sungai Opak dalam kondisi sungai yang seperti itu.
Setelah
meletakkan sepeda dan melepas kaos, dengan masih bercelana pendek saya dan Agus
langsung masuk ke sungai. Berendam di air yang mengalir cukup deras. Di pinggir
sungai saya melihat ada batang pisang yang tersangkut. Lebih dari tiga batang
yang hanya berputar-putar di pinggir sungai. Saya dan Agus kemudian
mengambilnya dan menjadikannya sebagai pelampung. Dua tangan memegang ujung
batang depan, badan di atas batang, kaki di belakang bergerak mendayung
menjadikan kami leluasa mengarungi arus sungai. Ternyata batang pohon pisang
itu selain membuat saya senang, juga menjadikan sumber malapetaka.
Sedang
asyik mendayung pelampung, tiba-tiba tangan kiri saya terasa sangat sakit. Sakit oleh suatu
sengatan yang tidak saya ketahui oleh binatang apa. Yang jelas tulunjuk kiri
saya sakitnya luar biasa. Batang pisang saya lepaskan, kemudian dengan sekuat
tenaga saya berenang menepi.
Begitu
sampai di tepi saya berteriak ke Agus, “Gus aku dientup kalajengking!”
Hanya
asal berteriak menyebut kalajengking. Soalnya saya tidak tahu binatang apa yang
kurang ajar itu. Saya pegangi tangan kiri saya yang terasa kaku. Agus setelah
sampai di dekat saya, mengambil sapu tangan dan mengikat lengan kiri saya
dengan sapu tangan itu. Diikat begitu tangan saya terasa semakin kaku. Tangan
kiri saya tidak bisa saya luruskan. Sakit itu semakin menjadi. Rasanya
senut-senut tidak karuan. Sakitnya setara dengan sengatan kupu-kupu malam gila
yang pernah saya alami sebelumnya.
Dalam
kondisi tangan dibebat, saya mengambil sepeda dan mengendarainya dengan satu
tangan kanan. Tangan kiri tidak mampu menjangkau stang karena tidak dapat
diluruskan. Sambil menahan sakit saya terus menggenjot sepeda. Ternyata setelah
sakitnya mencapai puncak, grafiknya kemudian menurun, sakitnya mulai reda.
Ketika sampai di Jambidan, dusun sebelah timur Kepuh Lor rasa sakit itu sudah
sangat berkurang. Tangan juga sudah mulai tidak begitu kaku lagi.
Sampai
rumah meski masih sedikit ada rasa nyeri, namun sudah tidak saya rasakan.
Hingga sekarang saya masih belum mengetahui jenis binatang apa yang menyengat
saya. Namun demi sebuah gengsi dan biar terlihat gagah, saya mengklaimnya
sebagai sengatan kalajengking. Padahal yang sebenarnya sengatan itu masih
misterius hingga saat ini. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar