RAWAN
3 KUBURAN
HINGGA
ROBOHNYA POHON KAMI
Hermawan
Widodo
Kepuh
adalah nama sebuah dusun mungil di daerah Bantul. Dusun Kepuh dikarunia lahan
yang cukup untuk bersemayam bagi para manusia yang sudah bosan tinggal di muka
bumi. Perut bumi Kepuh dengan suka rela, ikhlas, tanpa birokrasi sulit dan berbelit,
menerima semua warga barunya tanpa memandang suku, agama, ras apalagi ideologi.
Semua akan direngkuhnya dengan sungguh-sungguh. Begitu tulusnya perut bumi
Kepuh dalam memperlakukan penghuninya, sehingga semua penghuni perut bumi Kepuh
merasa kerasan. Belum pernah terdengar kabar, baik yang terang ataupun
samar-samar, yang menyebutkan para penghuni perut bumi Kepuh, yang baru maupun
lama, tidak betah dan kemudian migrasi, pindah ke tempat lain. Di dalam perut
bumi Kepuh dijamin tidak akan ada kerusuhan yang memicu penghuninya resah dan
pingin pindah. Tidak dijumpai teroris, yang kerjanya mengobral kengerian di
seantero negeri. Tak ada tukang penagih hutang yang sanggup membuat nyawa
melayang demi kembalinya pinjaman uang. Tidak ada demo amatir maupun
profesional. Lahan itu tampak terasa damai, tenang, dan lengang. Namun tempat itu bukanlah tempat tujuan yang
menyenangkan, bahkan sangat dihindari oleh orang-orang yang masih ingin hidup
seribu tahun.
Kepuh
memiliki tiga lahan pekuburan yang memang difungsikan untuk makam, tempat
mengubur mayat manusia. Satu lahan kuburan di Kepuh Lor, berada di pinggir
sungai ujung barat dusun. Dua yang lain di Kepuh Kidul yang juga berada di
pinggir sungai. Selain tiga kuburan formal itu, di seberang sungai Kepuh Lor
ada lahan yang dikenal sebagai kuburan macan. Entah dari mana asal muasal nama
seram itu. Yang jelas nama kuburan macan sudah menyatu dengan area seluas
lapangan bola itu. Apakah di situ benar-benar ditanam jasad macan, atau
binatang buas lainnya, tidak ada yang bisa dijadikan referensi. Hanya
berdasarkan katanya orang tua, katanya tetangga, katanya si Badu, katanya si
Budi, yang semua tidak jelas. Lahan cukup luas yang berada di atas bantaran
sungai itu terdapat aneka tanaman dan buah-buaham yang bisa dipetik oleh siapa
saja. Oleh siapa saja, karena tidak jelas juga siapa sesungguhnya pemilik kuburan
macan tersebut.
Kuburan
macan, meski tak ada mayat manusia ditanam, ternyata menebarkan aura seram. Aku
pernah dibuat celaka karenanya. Saat sudah berada di puncak pohon, tiba-tiba
saja batang pohon tempatku berpijak patah. Tak ayal tubuhku meluncur terbetot
oleh kekuatan gravitasi bumi. Aku tertolong batang yang dilengkapi dengan
ranting-ranting dan daun-daun. Laju tubuhku terhambat sehingga tidak langsung
terhempas ke tanah. Meski panik aku mengambil keputusan radikal. Dalam posisi
melayang, seperti naik gantole, dua tanganku memegang batang, dua kaki kutekuk
untuk menyambut tanah di bawah. Usahaku berhasil. Batang itu mampu
menyelematkanku. Dia berlaku laksana payung. Layaknya penerjun payung, tubuhku
mendarat tepat di sawah berlumpur basah. Meskipun berlumuran lumpur, tubuhku tanpa
lecet sedikitpun. Aku pulang penuh dengan lumpur, tanpa membawa sebijipun buah
salam, yang hampir membuatku celaka. Sejak itu aku berusaha hati-hati ketika menaiki
pohon di kuburan macan yang ternyata rawan itu.
Berbeda
dengan kuburan macan yang rawan, kuburan Kepuh Lor menyajikan sensasi yang
lain. Sebagai lahan yang semestinya menebarkan aura horor, kuburan Kepuh Lor
bagi warga di dusunku bukanlah tempat yang mesti dijauhi. Kuburan Kepuh Lor tampak
bersih, tertata rapi, tak ada bangunan-bangunan di dalamnya. Dulu di dalam
kuburan terdapat banyak bangunan rumah-rumah kecil yang disebut dengan cungkup. Cungkup dibangun oleh keluarga
yang cukup kaya untuk melindungi batu nisan di atas jasad kerabatnya yang
ditanam di dalamnya. Perubahan aturan tentang tata kuburan, menjadi alasan seluruh
bangunan di dalam kuburan dibongkar, menyisakan nisan-nisannya saja. Sewaktu
masih ada cungkup-cungkup itu, aku sering bersembunyi di dalamnya saat bermain
petak umpet. Tempat yang tidak akan dijangkau oleh siapapun yang tidak memiliki
stok nyali berlebih. Jangankan masuk ke cungkup, sedang baru masuk ke pintu
gerbang kuburan saja, nyali sudah dibikin rontok.
Hilangnya
cungkup-cungkup itu, memudarkan aura horor kuburan. Tingkat keseramannya sirna
bersama robohnya cungkup-cungkup yang dilibas habis. Kuburan tampak rata,
hampir seragam. Yang menonjol adalah pohon duwet raksasa yang tetap beridiri
tegak di tengah kuburan. Pohon raksasa itu bagaikan raja penguasa tunggal
kuburan. Pohon yang buahnya membuat lidah membiru jika dimakan itu, sangatlah
besarnya. Dibutuhkan empat lingkaran tangan orang dewasa untuk mampu memeluk
utuh batang pohonnya. Buah yang dihasilkan betul-betul berbeda dari kebanyakan.
Buah yang sudah matang dapat mencapai sebesar jempol kaki orang dewasa, warna
hitam legam, rasanya sungguh manis. Mungkin karena asupan gizi pohon duwet itu
berasal dari protein kelas tinggi, fosil-fosil jasad makhluq paling unggul,
yang terus menerus ditambah, dan tidak pernah dikurangi.
Ketika
pohon duwet tiba musimnya berbuah, kuburan itu akan menjelma laksana ajang
wisata. Anak-anak hingga remaja, yang muda maupun tua, laki atau perempuan
berkumpul di area persemayaman jasad para leluhur tersebut. Mereka berusaha
mendapatkan buah duwet istimewa. Mereka yang bernyali tinggi, berlomba memanjat
pohon raksasa itu. Mereka yang tidak memiliki cukup nyali, harus puas menanti
buah itu jatuh ke tanah untuk kemudian dipungutnya. Untuk naik pohon super
jumbo itu, tidak bisa dengan mendekapkan tangan pada batang atas kemudian
dengan kaki menumpu batang bawahnya. Dekapan kedua lengan tidak akan cukup
menjangkau diameter pohon. Langkah mudah dengan menggunakan tangga. Tetapi menggunakan
tangga bukanlah cara elegan untuk menggapai pohon menantang itu. Dan tangga
itupun tidak pernah bertengger di pohon duwet kebanggan warga Kepuh. Ada cara
menaklukkan pohon duwet dengan heroik. Ada benalu yang tumbuh di cabang
pertamanya. Benalu yang sudah menahun, melekat dan menghisap kehidupan pohon
pemurah itu. Tumbuhan parasit itu menjulurkan akar-akarnya yang panjang dan
kokoh, hingga mendekati permukaan tanah. Akar-akar itu yang kemudian
difungsikan layaknya tambang, untuk memanjat pohon duwet. Dua tangan memegang
akar benalu, dua kaki menginjak dan menumpu pada batang utama pohon. Layaknya
sedang melakukan rock climbing, tangan dan kaki bergerak setahap demi setahap,
setapak demi setapak, meski perlahan akan sampai atas, mencapai cabang yang pertama.
Setelah melampaui cabang itu, selanjutnya bisa leluasa untuk memanjat dan
mengambil segala yang ada di pohon itu. Cabang-cabang setelahnya tidak lagi
besar, sehingga mampu didekap dengan tangan.
Aku
pernah mencoba nyali naik pohon raksasa itu. Dengan penuh percaya diri, kupegang
akar benalu yang menjalar. Dua tangan kujulurkan ke atas mengenggam erat akar.
Dua kaki sejajar menapak batang. Dalam posisi itu, tangan kanan meraih akar
yang lebih tinggi, dengan tangan kiri memegang erat akar untuk menahan badan.
Setelah memegang erat akar dengan tangan kanan, kaki kiri bergerak menapak
batang lebih tinggi selangkah. Selanjutnya tangan kiri melepaskan genggaman,
untuk kemudian meraih akar yang lebih tinggi lagi. Setelah terpegang kuat, kaki
kanan menapak batang lebih atas. Langkah itu harus dilakukan dengan hati-hati,
yakin betul pegangan serta tumpuan kuat. Ketika hampir mencapai cabang utama,
sekitar empat meter lagi, tiba-tiba kakiku terlepas dari tumpuan. Saat kaki
kanan hendak menjangkau tumpuan lebih atas, kaki itu tidak mampu menumpu,
sehingga kaki kiri juga terlepas dari tumpuan karena tidak kuat menyangga beban
tubuh. Badanku menggelantung di atas pohon hanya berpegang akar benalu. Saat
itu nyawaku betul-betul bergantung pada kekuatan akar tanaman parasit itu. Tampak
di bawah berjajar rapi nisan-nisan para penghuni perut bumi kuburan Kepuh Lor. Hawa
ngeri langsung menyergap jantung dan hati. Alangkah tragis, hidup harus
berakhir karena terjatuh dari pohon, tubuh terhempas menimpa batu nisan. Meskipun
takutnya lebih dari setengah mati, aku tidak berteriak-teriak minta tolong.
Kalaupun berteriak, saat itu tidak ada orang yang sedang berada di kuburan.
Yang ada hanyalah penghuni tetap rumah masa depan. Jika mereka yang menolong, tamat
sudah riwayatku.
Dengan
susah payah aku mencoba menumpukan kaki pada batang utama pohon itu. Karena
grogi diliputi rasa takut, ketika kaki sudah menyentuh batang itu, malah
terpeleset lagi. Kejadian berulang-ulang, sampai tanganku kesemutan
mempertahankan pegangan pada akar benalu. Kesemutan pertanda kekuatan pegangan
sudah melemah, goyah, dan kemudian akan terlepas. Jika itu terjadi, bayangan
ngeri sebelumnya pasti akan terwujud. Tubuh meluncur ke bawah dan langsung
diterima batu nisan hitam itu dengan sempurna. Hancurlah tubuhku satu-satunya
ini. Aku tak mau bernasib begitu. Dengan sisa kekuatan tangan, kuayunkan akar
itu untuk mendekat ke batang pohon dan menumpukan dua kaki sekaligus. Swiing…teps!
Dua kakiku sepenuhnya tertumpu pada batang. Dalam posisi badan tertekuk, aku
mencoba meraih pegangan yang lebih atas untuk kemudian menumpukan kaki naik.
Nafas terengah-engah, detak jantung bergemuruh, peluh berhamburan tak mau
berhenti mengucur begitu aku mencapai cabang utama. Aku duduk dengan kaki
menjulur ke bawah, tangan mendekap cabang, mata memandang ke bawah. Masih tersisa
kengerian melihat nisan-nisan itu. Bersyukur aku tidak menjadi warga barunya. Tidak
semua benalu merugikan, aku terselamatkan olehnya saat bergelantungan.
Ketika
sudah bertengger pada cabang utama pohon raksasa, nyaliku sudah habis, rontok
berhamburan ke bawah, bersamaan saat aku bergelantungan mengundi nasib hidup dan
mati tadi. Meski sudah dekat ke tempat buah duwet itu bersemayam, namun pikiranku
tidak terarah pada duwet matang hitam legam sebesar jempol itu. Yang kupikirkan
justru bagaimana bisa turun dengan aman dan selamat, utuh sampai di bawah. Sebuah
perjuangan yang tidak kalah susahnya daripada saat naiknya.
Setelah
nafas sudah mulai teratur, aku mencoba turun dengan berpegang pada akar benalu.
Kaki kuturunkan ke bawah, untuk mencoba mencari tumpuan pada batang utama.
Celakanya belum begitu jauh menuruni batang pohon, kakiku terpeleset. Berjarak lima
meter dari permukaan tanah kuburan, tubuhku saya menggelantung. Aku nekat. Aku
pandang ke bawah, rasanya tidak terlalu jauh. Aku nekat. Dengan perhitungan
cermat saya lepaskan tangan dan meluncur ke bawah. Gedebug…kakiku tidak dalam posisi sempurna. Meskipun kaki
sudah kutekuk saat meluncur, namun tekukan itu tidak mampu menahan badan sepenuhnya.
Tubuhku terjengkang, berguling-guling, dan berakhir saat membentur nisan hitam
besar dekat pohon. Tempurung kaki kananku mendapatkan ganjaran dari sang nisan.
Darah mengucur deras. Sambil meringis menahan sakit aku berdiri. Ada rasa nyeri
di kaki yang berlumuran darah. Berjalan dengan tertatih, pohon lamtoro kudekati,
daunnya yang muda kupetik. Kukunyah, , kemudian kutempelkan di tempuruh yang terluka.
Kuambil lagi daun secukupnya untuk membersihkan darah. Upaya darurat itu cukup
meredakan rasa nyeri dan menghentikan darah yang mengucur. Meskipun masih ada
bercak-bercak darah di kaki kanan, aku berjalan keluar dari area kuburan yang masih
menyimpan kerawanan itu. Aku tak pernah ceritakan ini kepada teman-teman di
Kepuh Lor. Bisa remuk harga diriku, jadi bahan ploncoan di gardu ronda.
Sampai
rumah ibu tidak marah melihatku datang berjalan pincang. Baginya sudah biasa aku
pulang dalam berbagai keadaan.
Ibu
hanya bertanya, “Kenapa Wan?”
Jawaban
klise namun aman, “Jatuh!”
“Bersihkan,
ambil obat merah, kemudian cuci tangan dan makan!”
Yes,
ibu yang sempurna dan sungguh bijak.
Kuburan
di Kepuh Kidul beda lagi. Di dalamnya juga ada pohon yang sangat besar. Bukan
pohon duwet seperti di Kepuh Lor, tetapi pohon yang dikenal dengan pohon jangkang
atau puh. Itulah mengapa dusun itu disebut Kepuh. Kuburan di Kepuh Kidul aura
seramnya sangat kuat. Saat mbah Mangku meninggal, kuburnya di dekat tembok
pagar. Banyak karangan bunga ditempatkan di dekat pusaranya. Karangan bunga
yang tidak lazim bagi sebagian besar warga Kepuh. Karangan bunga yang masih
berjajar itu menumbuhkan aura menakutkan bagiku. Ketika melewati jalan setapak
di pinggir kuburan itu sepulang sekolah, pasti bulu kudukku langsung tegak. Aku
berusaha membuang pandangan dari karangan bunga yang didominasi warna ungu itu.
Aku selalu mempercepat langkah, bahkan berlari untuk bisa segera meninggalkan area
kuburan. Kondisi itu terus berlangsung hingga karangan bunga itu rontok dimakan
hujan dan panas, tinggal rangka bambunya saja.
Berbeda
dengan kuburan di Kepuh Lor yang sering dijadikan ajang bermain. Kuburan di
Kepuh Kidul tidak tersentuh oleh orang tua apalagi anak-anak. Kuburan itu benar-benar
terjaga aura keseramannya.
Suatu
ketika ada tiga orang dari luar Kepuh yang masuk area kuburan itu. Tidak ada
yang memperhatikan apa yang mereka lakukan. Mereka hanya hilir mudik di dekat
pohon jangkang yang besar itu. Ada yang membawa galah, ada juga yang membawa
semacam golok. Ada yang berjongkok mengamati sesuatu dalam batang pohon yang
bolong tengahnya itu.
Orang
baru memberikan perhatian ketika ada asap mengepul dari bawah pohon jangkang.
Ternyata mereka berusaha memancing musang yang masuk ke dalam lobang pohon jangkang.
Musang-musang yang bersembunyi, bahkan mungkin bersarang di situ, diasapi dengan
belerang yang dibakar di dalam lobang. Batang pohon besar yang berlobang itu,
dengan cepat menyala dan menimbulkan asap. Kulit batang yang kering di tengah
pohon, dari bawah hingga atas, mudah sekali tersulut api. Tanpa butuh waktu
lama, api sudah berkobar-kobar. Mereka tidak saja mendapatkan asap, bahkan
sumber asap yang besar diperolehnya. Diterpa angin sore yang cukup kencang, api
itu semakin membesar, menyala-nyala liar. Tiga orang asing itu panik, tetapi
tidak mampu berbuat apa-apa. Mereka sama sekali tidak menduga ulahnya mendatangkan
api yang begitu besar, seperti api unggun saat kemah pramuka.
Pohon
jangkang raksasa itu, walau tampak besar, namun tengahnya bolong dari bawah
hingga sampai cabang utama. Diameter yang sangat besar menjadikannya tetap kukuh
berdiri sekian puluh-puluh tahun. Kulit di dalam itu kondisinya kering. Ketika
api menyala, maka kulit dalam itu terbakar, dari bawah merambat ke atas. Saat
api berkobar besar, warga Kepuh berdatangan. Dengan ember mereka mengambil air
dari sungai dekat kuburan. Berember-ember air diguyurkan ke sumber api. Butuh
waktu cukup lama untuk menaklukkan si jago merah, sampai akhirnya api yang
menyala di bawah pohon itu padam. Tiga orang asing pembawa heboh itu kemudian
digelandang ke kantor kelurahan. Aku tidak tahu bagaimana nasibnya. Yang jelas
nasib pohon jangkang yang dianiaya hebat oleh tiga begundal itu belum berakhir.
Api
di bawah memang sudah padam, namun asap ternyata masih mengepul, keluar dari
lobang atas pohon. Pemandangannya mirip asap yang mengepul keluar dari cerobong
pabrik gula Madukismo. Api yang padam hanya di bagian bawah, yang terguyur air.
Sedangkan kulit-kulit pohon di atasnya tidak tersentuh air. Kulit itulah yang
masih terus menyala, dan mengeluarkan asap. Waktu sudah menjelang magrib. Warga
mulai mengundurkan diri untuk menjalankan wajibnya, yang waktunya hanya
sebentar itu.
Selepas
magrib, ternyata api tidak surut justru semakin membesar. Namun kobaran api
tidak lagi nampak, karena dia berada dalam lobang. Yang nampak adalah, warna
merah membara dinding pohon, di dalam lobang bagian bawah. Air yang tadi diguyurkan
segenap warga, sudah menguap oleh panas ratusan derajat celcius. Praktis kulit
pohon itu pun menjadi kering hingga bagian dalam, oleh panas api yang menyala-nyala.
Dalam kegelapan menjelang malam, lobang yang memerah itu, tampak sangat
menakjubkan. Meskipun dalam kengerian, ada keindahan di sana. Lobang bagian atas,
bukan lagi asap yang menyembul, namun butiran-butiran api kecil membara berhamburan.
Keluarnya butiran api itu, ditandai dengan suara wuss..., kemudian plar…, api
laksana kunang-kunang berwarna merah membara semburat beterbangan. Puncak
keindahan dibalik kengerian, yang menebarkan ancaman bahaya besar.
Fenomena
itu dikuatkan oleh aura magis dan suasana mistis. Di balik fenomena yang
menakjubkan yang mengkhawatirkan itu, dari dalam lobang pohon yang sedang
terpanggang, terdengar suara-suara aneh. Suara yang berasal dari dunia yang
lain. Masing-masing indra dengar warga yang berkumpul di sekitar kuburan,
menangkap suara yang berbeda. Ada yang mendengar suara rintihan. Yang lain
mendengar suara mengaum mirip suara harimau, suara ringkikan kuda, bahkan suara
gamelan. Ada juga yang mendengar suara tangisan atau tertawa bahkan marah-marah.
Suara itu mirip laki-laki tua, ada juga perempuan bahkan anak-anak.
Semakin malam suasana semakin mencekam, namun panoramanya
juga semakin tampak indah. Waktu hampir mendekati tengah malam, Pak Dukuh
memerintahkan salah seorang warga untuk segera mengevakuasi keluarga yang
rumahnya berada persis di sebelah barat kuburan. Rumah itu satu-satunya yang
bangunan berpenghuni manusia hidup di dekat kuburan Kepuh. Aku tidak tahu
bagaimana keluarga itu bisa memiliki tanah, persis berbatasan dengan kuburan.
Hampir
semua warga dari Kepuh berkumpul di luar pagar tembok kuburan, menyaksikan fenomena
buatan yang tidak bakal terulang lagi. Butiran-butiran api terus berhamburan,
bertebaran tersapu angin ke berbagai arah. Hawa di sekitar kuburan meski di
pertukaran malam menuju hari berikutnya itu yang mestinya dingin, terasa hangat,
bahkan mungkin sudah cenderung panas.
Persis
di tengah malam jam 00 lebih sedikit, terdengar suara kretek-kretek dari dalam
pohon. Api sudah sedemikian menggerogoti tubuh pohon raksasa tua, simbol dusun
Kepuh. Batang yang rapuh, sudah berupa setengah arang berdiri, tidak sanggup
lagi menahan beban pohon jangkang. Suara kretek-kretek semakin keras terdengar,
disusul oleh suara krak..keras sekali. Pohon jangkang yang tadi siang tampak
gagah perkasa itupun roboh, tumbang menerjang tembok pagar kuburan sisi barat.
Tertimpa pohon raksasa bermasa sangat berat itu, tembok hancur, bata
berhamburan.
Orang-orang
melonjak kaget, spontan meneriakkan takbir Allah Akbar! Allah Akbar! Pekikan
itu tidak manghentikan laju tumbangnya pohon jangkang, hingga rebah ke tanah,
persis di depan rumah yang penghuninya sudah dievakuasi sebelumnya. Namun tak
ayal, bagian depan rumah itupun hancur oleh terjangan batang dan ranting pohon
yang rebah tanpa daya di pekarangannya. Tak terbayangkan jika penghuninya masih
berada di dalam rumah itu, terlelap dalam belaian mimpi. Jika bukan karena
mu’jizat, dapat dipastikan tidak akan bangun lagi, berada dalam belaian sang
maut yang dibawa oleh pohon raksasa tumbang.
Warga
yang tadinya panik dan berteriak Allahu Akbar, semburat berlari menuju dalam
kuburan untuk melihat langsung ending drama sesiang hingga tengah malam itu.
Batang pohon yang tumbang itu ternyata masih menyisakan bara. Sebagian warga mengambil
air dengan ember, menyiramkan ke batang yang masih panas itu. Bara yang tersiram
air menimbulkan suara kress..kress..keras, lama-kelamaan melemah hingga
kemudian padam. Yang tertinggal hanyalah kepulan asap dan batang pohon yang
menghitam. Itulah akhir dari perjalanan hidup simbol warga Kepuh. Jika di tahun
‘50an ada cerita Robohnya Surau Kami, di Kepuh ada kisah Robohnya Pohon Kami. (*)
**
Hermawan Widodo **
Lahir
di Bantul Jogjakarta, 15 Februari 1972.
Sekarang
sedang belajar membaca dan menulis,
di
Perpustakaan PATABA (Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa) Blora.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar