H
U T A N
Ulin
Nimah (Blora)
Warnamu begitu
hijau
Dengan
burung-burung terbang di atasmu
Kau begitu
memukau
Dengan desau
suara merdumu
Kau jantung
duniaku
Kau nafas
buanaku
Kau surga
singgasana
Bagi semua yang
bernyawa
Hutan…
Kau hutanku,
hutan kebanggaanku
Takkan kubiarkan
kau hancur
Takkan kubiarkan
manusia menjarahmu
Akan kujaga kau
slalu di hidup dan matiku
* * *
Nama
Penulis : Ulin Nimah
Sekolah :
MTs Miftahul Ulum Karangtengah Blora
Judul : Hutan (puisi)
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
MISTERI
UANG SAMPAH
Sakti
Mahardika (Blora)
Empat makhluk yang
masih berdetak jantungnya serta kembang kempis paru-parunya angkat kaki dari
kubus kayu bersisi 5x5 meter, beratap genting oplosan yang berornamenkan ating
hitam serta putih. Kaki-kaki telanjang mereka terkuas oleh cat air berwarna
coklat tanah yang melumer karena hujan tadi malam. Udara di awal hari yang
masih penuh dengan oksigen masuk di kedua hidung mereka. Di antara embun pagi
dingin yang mulai menguap, mereka berjalan beriringan di jalan setapak menuju
jalan di depan sana yang lebih lebar.
Meninggalkan kediaman
dengan tas-tas besar di punggung saat api raksasa baru mengintip di garis
timur. Mungkin mereka ingin pergi liburan. Atau bisa jadi mau pindah rumah,
tetapi rasanya juga tidak. Karena setiap pagi mereka melakukan itu. Biasanya
orang yang berangkat pagi secara rutin itu untuk berangkat bekerja. Tetapi apa
perkerjaan mereka?
Jika melihat
riwayatnya, Ana sudah tidak bersekolah sejak tamat SD setahun lalu. Tanto
apalagi, ia sudah ditolak lima SMA, karena sifat tangan panjangnya. Sedangkan
pak Tarno dan bu Sukinah jelas tidak bekerja sebagai pedagang, karena mereka
selalu pergi ke timur, sementara pasar ada di sebelah barat mereka tinggal.
Tanda atin itu
terjawab, ketika mereka berhenti sejenak di bawah lampu penerangan jalan.
Tas-tas besar yang ada di punggung mereka ternyata bukan ransel atau koper,
namun tas yang terbuat dari anyaman ating yang biasa dibawa oleh para pemulung
ke TPA di timur ating. Mereka ternyata pemulung yang mengais sampah untuk
mendapatkan barang-barang yang bisa diuangkan.
“Pak sudah tiga tahun
kita di sini. Tetapi bukan menjadi kaya justru semakin miskin,” kata bu Sukinah
kepada pak Tarno sambil duduk-duduk di pinggir gunungan sampah. Mereka menunggu
datangnya truk-truk sampah pembawa rezeki hari itu.
“Iya bu, saya juga
menyesal, kenapa kita pergi ke Jakarta jika di sini...” belum selesai pak Tarno
berucap sudah disambar oleh Ana.
“Jika di sini hanya
jadi pemulung. Padahal ibu dan bapak kan sudah janji, kalau kita pergi ke
Jakarta akan bisa beli rumah, mobil dan baju bagus. Iya kan mas?” sahutan itu
juga ditujukan kepada kakaknya.
“Ya! Sebetulnya saya
juga tidak sudi tinggal di gubug reyot kayak begitu. Makan hanya tiga sendok,
tidur di atas kardus, setiap hari kerjanya mengambil sampah. Kalau tahu dari
dulu, saya tidak akan ikut. Lebih baik hidup di desa, bisa ketemu Hastuti
setiap hari. Di sana juga belum ada lelaki yang bisa menandingi kegantengan
saya. Tapi, di sini saya juga masih ganteng kok. Buktinya masih banyak cewek
yang melirik saya.”
“Sayang lirikan itu
bukan karena tertarik, tetapi karena jijik. Ha..ha..ha..Kasihan jangan terlalu
GR mas.”
Pak Tarno dan
keluarganya meninggalkan desanya di Wonogiri karena terinspirasi keberhasilan
tetangganya yang bekerja di Jakarta. Ladang mereka dijual untuk biaya berangkat
ke Jakarta, meninggalkan sebuah rumah yang sederhana. Di Jakarta mereka tinggal
di rumah kontrakan dan mendirikan usaha. Pak Tarno menjadi tukang potong rambut
dan bu Sakinah sebagai penjual nasi soto. Usaha itu berhenti ketika rumah itu
digusur. Ana masih sempat menyelesaikan sekolah hingga tamat SD. Sedangkan Tanto
DO dari SMA tiga bulan menjelang ujian karena kedapatan mencuri dua HP, satu
jam tangan dan sejumlah uang dari tas teman wanitanya. Ada keinginan untuk
pulang ke desa, namun uang mereka sudah tak punya, habis untuk biaya hidup di
Jakarta.
Dua puluh menit sudah
lewat, belum ada satupun truk sampah yang masuk TPA Bantargebang. Sambil
menunggu, keluarga itu duduk berbaris memanjang. Dibantu penerangan lampu 5
watt dari pos penjaga, mereka asyik mencari kutu dan uban. Sungguh asyik ritual
itu bagi mereka. Selang beberapa lama ating tiga truk dari arah timur. Barisan
pemulung yang lain sudah siap-siap menanti truk itu berhenti. Begitu berhenti
dan menumpahkan muatan sampah, mereka dengan lincah memunguti benda-benda yang
masih memiliki harga, dimasukkan ke dalam karung-karung mereka.
Terik mentari mulai
menyengat kulit. Tidak terasa sudah lima jam pak Tarno dan keluarganya berkubang
dalam sampah. Tanto telah memenuhi lima karungnya. Itu belum sesuai dengan
kemampuannya setiap hari minimal tujuh karung. Pak Tarno baru mendapatkan empat
karung, sedang bu Sukinah baru dua karung. Yang meningkat justru hasil pungutan
Ana, sudah mampu mengumpulkan satu setengah karung. Biasanya ia tidak mampu
memenuhi satu karung, karena keseringan berteduh, khawatir kulitnya hangus
terbakar. Padahal dari sejak lahir kulitnya sudah hitam legam serta kusam,
sewarna dengan rel kereta.
“Hei Tanto, itu ada truk
yang ating lagi!” kata pak Tarno.
“Itu pak, Ana. Dia kan
baru dapat satu karung lebih sedikit. Nih lihat aku sudah dapat lima karung.
Tapi sayangnya tak satupun gadis-gadis di sana itu yang mau mendekat,” jawab
Tanto yang langsung disambut tawa keluarganya oleh lelucon garing itu.
“Ha..ha..ha..! Mas,
mas..kamu itu bagaimana to. Ya jelas mereka tidak ada yang mau. Lima karung kok
sampah. Kalau lima karung isi emas atau uang, pasti mata dan kaki mereka
langsung tertuju mas, ting…ting…ting…” sahut Ana sambil berjalan menuju truk
sampah yang baru ating.
Hari itu Ana sepertinya
mendapat hoki. Saat mengais-ngais sampah yang baru ating, ia melihat sebuah
amplop besar yang di luarnya terdapat stempel BI. Pertama melihat ia begitu
kaget, tetapi kemudian senyuman lebar merekah di wajahnya, setelah secara
perlahan meremas dan meraba isi amplop itu.
“Mas..mas Tanto, sini!”
teriak Ana sambil mengangkat tangan kirinya tinggi-tinggi.
“Ada apa sih, kerja
sendiri saja tidak becus. Baru sebentar sudah panggil-panggil, pakai tangan
kiri lagi.” Tanto malas bangun dari tidur santainya.
“Sudah To, sana datangi
adikmu. Siapa tahu dia butuh apa-apa.” Bu Sakinah member perintah.
Nasihat ibunya cukup
mujarab. Sebandel-bandelnya Tanto, ia tetap nurut di depan ibunya. Ia segera menghampiri
adiknya yang ada di tengah tumpukan sampah.
“Manggil pakai tangan
setan, tangan kananmu mana?”
“Eit, tunggu dulu mas,
sabar. Aku punya kejutan besar!” Ana menyembunyikan tangan kanannya di balik
badannya.
“Apa? Kejutan apa?
Paling Cuma boneka bekas atau sepatu butut yang kamu dapat.” Rasa ingin tahu
Tanto mulai muncul, meskipun ia tetap saja meremehkan adiknya.
“Haa! Sepatu butut.
Boneka bekas. Itu sudah biasa mas. Ini benar-benar luar biasa. Mau tahu? Ini
dia!” Tangan kanan yang menggenggam amplop itu ia angkat tinggi-tinggi.
“Apa itu? Sini, sini!”
Tanto langsung merebut amplop itu.
“Itu uang mas. Uang
dari BI. Tadi kutemukan di dalam kardus itu.” Ana menunjuk sampah kardus di
dekatnya.
“Iya Na, ini uang
beneran. Saya kan ahlinya. Diraba saja sudah terasa jumlahnya. Kira-kira ini
100 jutaan.” Tanto mengacungkan amplop itu pada adiknya.
“Wah 100 juta! Kita bisa kaya nih. Bisa beli
boneka, baju, parfum emas dan juga nyalon. Pasti nanti penampilanku berubah ating
menjadi Dian Sastrowardono, eh Wardoyo, Wardono kan pacar pertamaku saat kelas
tiga SD. Wah senangnya.” Ana mulai dengan khayalannya.
“Sebaiknya kita simpan
saja uang ini berdua. Ibu dan bapak jangan sampai tahu. Nanti kalau mereka tahu,
pasti kita disuruh mengembalikan, ating kan!” jawab Tanto sambil menyembunyikan
amplop itu di perutnya, diselipkan pada kolor celana butut yang dipakainya.
Kini punggung-punggung
mereka sudah bisa tersenyum kembali. Karung serta keranjang berisi sampah telah
mereka gadaikan. Perjalanan pulang terasa lebih ringan walau kantong celana ada
sedikit pemberat.
Lambung yang hampa,
kini sudah diisi dengan sebungkus nasi lauk tempe ating dan sambal terasi di
warteg bude Ngatiyem dekat rel kereta. Dua gelas es the agak manis ternyata tak
cukup memadamkan bara api di lidah mereka berempat. Sampai-sampai Tanto
berlari-lari dan loncat-loncat seperti kutu kepanasan. Ia lupa bahwa di celana
kolornya terselip amplop uang dari BI. Karena tingkah gila Tanto itu, amplop BI
akhirnya jatuh ke tanah dan diketahui oleh pak Tarno dan istrinya.
“Tanto, apa itu?” atin
pak Tarno.
“Nggak pak, nggak
pa..pa..kok.” Tanto dan Ana bingung disertai takut setengah mati. Kedua kaki
pun siap tancap gas untuk menghindari interograsi lebih jauh dari pak Tarno.
”Hei tunggu, kalian
jangan lari!” sembur pak Tarno mencegah Tono dan Ana kabur. Pak Tarno berusaha
mengejar mereka. Namun rangkaian panjang kereta api Argo Lawu menghentikan
langkah pak Tarno. Tanto dan Ana sudah lenyap dari pandangan.
Setelah lepas dari
kejaran pak Tarno, akhirnya Tanto dan Ana memberanikan diri untuk pulang.
Amplop dengan stempel BI itu masih tersegel rapat. Tanto dan Ana belum berani
membukanya. Sampai-sampai amplop itu basah karena keringat bau dari perut
Tanto.
Hari menjelang petang.
Merah langit barat mulai menghitam. Lampu-lampu berwarna dari dalam
tembok-tembok beton yang menjulang tinggi di belakang perkampungan mulai
menyala. Kumandang adzan magrib nyaring terdengar di telinga. Pak Tarno dan bu
Sukinah bergegas pergi ke mushola dekat rumah pak RT. Tanto dan Ana bisa masuk
rumah dengan leluasa. Kesempatan ating. Kini saatnya mereka melihat isi harta
karun dari gunungan sampah itu. Detak jantung serasa menggoyang tubuh, aliran
darah terasa lebih deras. Mata sudah tak sabar untuk melihat kilauan uang-uang
kertas itu.
“Mas, ibu dan bapak
sudah pergi. Ayo cepat kita buka!” Anasudah tidak sabar.
“Tunggu sebentar Na,
kita harus melakukan dengan pelan-pelan agar uangnya tidak sobek.” Tanto dengan
pelan membuka amplop itu.
“Naa, sekarang sudah
terbuka. Ayo cepat hitung uangnya mas.” Ana menggoyang tangan kakaknya.
“Iya sebentar. Ini
dia!” sambil menumpahkan isi amplop di atas meja. Mereka berseru histeris.
Mereka menari berjoget sambil menangis bak
kesurupan. Tangisan lebih-lebih menggila. Rauangan dan ratapan sama
bunyinya, tapi lain artinya. Dibalik kertas uang kemerahan ratusan ribu itu
tertera jelas tulisan uang mainan (*)
Nama
Penulis : Sakti Mahardika
Sekolah :
SMAN SBBS Sragen Jawa Tengah
Judul : Misteri Uang Sampah
########################################################################
ASAL
– USUL KALIMATI
Mohammad
Budi Utomo (Blora)
Di sebuah desa terdapat
sungai yang diberi nama sungai Kalimati. Sungai Kalimati berasal dari sebuah
legenda. Jaman dahulu kala ada ular yang terdampar di sungai itu. Sungai itu
sangat besar dan arusnya sangat deras. Ia menjadi sarana transportasi dan
irigasi warga setempat yang tinggal di dekat sungai. Karena aliran sungai itu warga menjadi makmur
dan sejahtera.
Suatu hari tiba-tiba
aliran sungai yang deras itu berhenti dan penduduk panik. Sampai bertahun-tahun
air belum muncul dari sungai itu. Kondisi itu diperparah dengan oleh hujan yang
tidak pernah turun sama sekali. Akibatnya tumbuhan mulai mati. Penduduk
kebingungan karena tidak mendapatkan air. Mereka minum air yang ada meskipun
sangat kotor, sekedar untuk menghilangkan haus. Mereka pergi ke rumah pak
lurah, menanyakan penyebab hilangnya air.
“Pak lurah, bagaimana
ini, sudah tidak ada air lagi” teriak mereka kepada pak lurah.
“Maaf, saya juga tidak
tahu penyebabnya” jawab pak lurah.
“Tapi bagaimana, kami
sudah tidak memiliki bahan makanan dan air lagi” teriak penduduk. Karena tidak
mendapatkan solusi, mereka meninggalkan rumah pak lurah. Mereka berusaha
mencari-cari yang bisa dimakan dan juga diminum. Lama-lama mereka menjadi
pengemis di jalan-jalan. Pak lurah sedih melihat warganya begitu menderita. Dia
hanya berharap ada orang atau siapa saja yang bisa memecahkan persoalan
warganya.
Suatu hari ada seorang pemuda,
Joko namanya berjalan melewati jalanan di mana penduduk itu sedang mengemis.
“Maaf pak, mengapa
bapak mukanya pucat sekali?” tanya Joko.
“Karena saya sudah
berhari-hari tidak makan. Desa kami dilanda kekeringan. Sungai yang biasanya
mengalirkan kehidupan bagi kami sekarang tidak ada lagi airnya. Tidak diketahui
penyebabnya” jelas pengemis.
Joko kemudian
memberikan sebagian bekalnya kepada pengemis itu yang diterimanya dengan senang
hati. Kemudian Joko meneruskan
perjalanan. Dia merasa belum begitu paham terhadap penjelasan pengemis tentang
kondisi desa itu. Dia bermaksud menemui pak lurah. Ketika sampai di rumah pak
lurah, dia langsung ditemui oleh pak lurah.
“Ada apa nak, apa yang
bisa saya bantu?” tanya pak lurah.
“Saya hanya ingin tahu
kondisi desa ini yang katanya kekeringan, ” jawab Joko.
“Iya nak. Kami juga tidak
tahu apa penyebabnya tiba-tiba saja sungai yang airnya melimpah itu kering.”
“Bolehkah saya
melihat-lihat kondisi sungai itu? Siapa tahu saya bisa membantu memecahkan
masalah ini.”
“O silahkan.”
Joko kemudian pergi ke
sungai yang kering. Di perjalanan dia berhenti di bawah pohon besar yang
dianggap angker oleh warga. Joko melihat seorang nenek yang sedang menangis.
Namun hanya Joko saja yang melihatnya, sedangkan warga lainnya tidak melihat
nenek itu.
“Mengapa nenek
menangis?”
“Saya sudah dua hari tidak
makan nak!”
Joko kemudian
memberikan bekal makanan yang dibawanya. Nenek itu menerimanya dan makan dengan
lahapnya.
“Nek, sebenarnya saya
mau menanyakan tentang sungai yang semula airnya melimpah, tiba-tiba bisa
kering itu sebabnya apa?”
“Begini nak. Dulu ada
seekor naga yang sedang bertapa di sungai itu. Karena lama bertapa maka naga
itu mengeras dan menjadi batu yang menyumbat aliran sungai.”
“Bagaimana supaya
sungai ini bisa mengalirkan air lagi nek?”
“Kelak kamu akan
bertemu dengan wanita cantik yang akan membantumu.” Setelah berkata demikian
nenek itu hilang dari pandangan, dicari ke sana ke mari tidak ada lagi.
Joko kemudian berjalan
kembali menelusuri sungai. Di tepi sungai dia bertemu dengan seorang wanita
yang bernama Wulandari. Wanita cantik itu ingin membantu Joko menemukan naga
yang bertapa. Hingga di suatu tempat Joko melihat ada sisik yang sangat besar.
Joko mengambil sisik yang besar itu dan
melanjutkan perjalanan. Joko dan Wulandari menemukan sisik lagi namun ukuran
lebih kecil.
Tiba-tiba nenek tua
yang pernah ditemui Joko kembali muncul. Nenek itu memberikan petunjuk kepada
Joko agar mencari tujuh sisik untuk bisa menghidupkan naga itu lagi. Dengan
susah payah akhirnya Joko dan Wulandari mampu menemukan tujuh sisik yang
dimaksud nenek. Kemudian mereka mencari tempat di mana naga itu bertapa. Naga
itu sudah menjadi batu. Satu-satu sisik itu ditempelkan ke tubuhnya. Saat sisik
terkecil dilekatkan di bagian ekor, tiba-tiba sisik-sisik naga itu mengeluarkan
cahaya terang. Mereka kaget dan menutup matanya dengan tangan karena silau oleh
cahaya itu. Ketika mereka membuka mata, di depannya sudah berdiri seorang
laki-laki yang gagah.
“Terima kasih nak.
Kalian telah membebaskan aku.”
“Anda siapa?”
“Saya adalah raja yang
dikutuk menjadi naga karena berbuat semena-mena kepada rakyatku. Aku kemudian
bertapa di sungai ini untuk bisa kembali menjadi raja. Bertahun-tahun aku
bertapa hingga sebagian sisik-sisikku lepas. Tanpa sisik lengkap aku tidak bisa
berubah wujud lagi menjadi manusia.”
“Sebagai ungkapan rasa
terimakasihku, kalian akan kubawa ke kerajaanku dan kuangkat sebagai anak.” Tiba-tiba
saja, Joko dan Wulandari sudah berada di istana yang indah.
Sejak itu sungai
kembali mengalirkan air yang mampu menghidupi warga. Sungai itu kemudian diberi
nama Kalimati. (*)
Nama
Penulis : Mohammad Budi Utomo
Sekolah :
SMPN 4 Blora Jawa Tengah
Judul : Asal-Usul Kalimati
************************************************************************
ANAK
PESISIR
Novita
Ambriana (Sulawesi Selatan)
Matahari sebentar lagi
terbenam. Seorang anak laki-laki dan perempuan yang tampak kumal sedang asyik
memandangi matahari terbenam dari bibir pesisir.
“Matahari kalau mau
terbenam indah sekali ya?” kata anak perempuan itu kepada anak yang laki-laki.
“Iya, tetapi kalau siang
dia panas sekali. Sudah kulitku hitam dibuat hitam lagi olehnya.”
“Tetapi kita mesti
bersyukur, karena dia aku bisa melihat kamu di dunia ini. Tanpanya semua berada
dalam kegelapan.”
“Rimba, kamu akan terus
berada di sampingku kan?”
“Maksud kamu?”
“Maksudku, kamu tidak
akan pernah meninggalkanku seperti matahari dan rembulan yang selalu terbenam.”
“Ehm, bagaimana ya?”
“Rimba..”
“Tidak akan. Kamu kan
sahabatku.” Kata Rimba sambil mencolek hidung anak perempuan itu. Tidak terima
diperlakukan seperti anak kecil dikejarnya Rimba.
“Dara, ayo kejar aku!”
teriak Rimba kepada Dara, nama perempuan itu.
Perilaku mereka saat
itu masih polos dan lugu. Yang ada di benak mereka saat itu hanyalah bermain.
Mereka tidak pernah menduga bahwa suatu saat nanti mereka akan mengalami nasib
yang berada di luar dugaan mereka sebelumnya.
Lima tahun telah
berlalu semenjak kejadian di bibir pesisir saat itu. Anak laki-laki dan
perempuan itu kini telah tumbuh menjadi remaja yang sudah duduk di bangku kelas
sebelas. Dini hari mereka telah memulai perjalanan ke sekolah dengan
mengendarai sepeda. Meski kondisi keuangan keluarga mereka kurang mampu, namun
mereka berusaha dan berdoa agar dapat bersekolah dan mempunyai harapan merubah
nasib mereka dan keluarga mereka kelak.
“Dara, ayo cepat. Aku
ada jadwal membersihkan hari ini, kalau aku terlambat bisa dimarahi guru.”
“Iya, Rimba, ini juga
mau cepat-cepat kok!”
Dara meningkatkan laju
sepedanya, berusaha untuk mengejar Rimba. Kemudian muncul niat jahil Dara.
“Rimba yang di sana itu
apa ya?” kata Dara sambil menunjuk asal.
“Yang mana?”
“Yang itu tuh!” kata Dara
sambil mengayuh sepedanya sekuat tenaga dan meninggalkan Rimba di belakang.
Menyadari dikerjai Dara, Rimba menggenjot sepedanya sekuat tenaga pula mengejar
Dara.
Hari ini ada rapat di
sekolah, sehingga murid-murid dipulangkan lebih awal. Rimba dan Dara segera
mengambil sepedanya dari parkir dan segera meluncur keluar dari area sekolah.
“Rimba, kamu mau ke
pantai sekarang?” tanya Dara
“Iya, mau ikut jadi
kuli juga?”
Meski Rimba dan Dara
dari keluarga kurang mampu, namun karena prestasi dan juga kegigihan mereka
sehingga mereka mampu melanjutkan sekolah hingga tingkat menengah atas.
“Huh, tidak usah
ya! Mendingan bantu ibu jual kue di
pasar!”
“He..he..he..kamu kan
anaknya lemah, jadi tidak kuat kerja yang berat.”
“Oh ya? Siapa bilang
aku lemah. Biarpun aku cewek, aku bisa sama kuatnya dengan cowok.”
“Memangnya kamu cewek?
Kok aku tidak tahu ya. Aku kira selama ini kamu cowok” kata Rimba sambil
melajukan sepedanya menjauh dari Dara.
“Rimba, awas kamu.
Kujitak kamu kalau dapat!”
Mereka melajukan
sepedanya masing-masing, berkejar-kejaran.
Kondisi ekonomi
keluarga Rimba yang kekurangan membuat Rimba terpaksa ikut bekerja untuk
membiayai sekolahnya. Dia menjadi kuli di pesisir sepulang sekolah. Setiap hari
dia menunggu kapal nelayan yang membawa ikan-ikan segar yang akan dilelang di
pasar ikan yang tidak jauh dari pesisir.
“He Rimba, kamu tidak
sekolah?” tanya ayahnya.
“Sekolah kok, tapi
gurunya rapat, jadi pulang lebih cepat.”
“Oh..ya sudah segera
ganti baju, pekerjaan sudah menunggu.”
Ayahnya juga menjadi
kuli di pesisir itu. Meskipun kuli kasar, namun ayahnya memberikan perhatian
dan kasih sayang yang cukup kepada
keluarganya. Hari ini Rimba berhasil menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.
Meskipun hanya mendapatkan Rp.20.000,- tiap harinya, namun itu sudah cukup
membantu keluarganya.
Saat matahari terbenam
adalah saat yang dinantikan oleh Rimba. Dia benar-banar menikmati momen itu.
Tiba-tiba matanya tertuju pada seorang gadis yang berdiri di dermaga. Gadis itu
sepertinya juga sedang menikmati saat-saat terbenamnya matahari. Mata Rimba
tidak bisa berpaling dari gadis itu. Gadis yang cantik menurut Rimba.
Esok harinya Rimba dan
Dara mengayuh sepedanya ke sekolah.
“Kemarin, aku melihat bidadari di pesisir.”
“Bidadari? Di mana?”
“Di pesisir sedang
melihat matahari terbenam.”
“Cantik?”
“Namanya bidadari pasti
cantik lah.”
Sore menjelang, Rimba
dan Dara datang ke pesisir. Saat pulang sekolah Rimba sudah janjian akan mengajak
Dara untuk datang ke pantai melihat gadis cantik yang disebut Rimba sebagai
bidadari.
“Mana bidadarinya?”
tanya Dara.
“Itu!” kata Rimba
menunjuk gadis yang sedang berdiri di tempat kemarin.
“Ayo ke sana!” kata
Dara.
“Untuk apa. Di sini
saja.”
“Kenalan.” Kata Dara
sambil menyeret tangan Rimba menuju ke tempat gadis itu berdiri.
“Hai, lagi nunggu
matahari terbenam ya?” kata Dara kepada gadis itu.
Mendengar suara Dara,
gadis itu menoleh.
“Kamu bicara dengan
saya ya?” tanya gadis itu.
“Iya. Kenalkan nama
saya Dara.” Katanya sambil mengacungkan tangan.
Beberapa detik tidak
ada reaksi dari gadis itu, hingga akhirnya gadis itupun mengulurkan tangan.
Namun anehnya uluran tangan itu tidak mengarah ke Dara melainkan ke sisi yang
lain. Dara segera tanggap dan menjabat tangan itu.
“Oh maaf, nama saya
Gadis saya… maaf ya saya tidak bisa melihat kamu.”
Dara dan Rimba kaget
mengetahu hal itu.
“He..he..kamu pasti
kaget mengetahui aku buta. Ternyata aku berbakat acting ya. Sejak keluargaku
pindah di tempat ini sudah ada 30 orang yang mengira aku bisa melihat. Lucu
ya!” kata Gadis dengan riang sambil tertawa. Dara dan Rimba jadi ikut tertawa.
Tetapi sesaat kemudian Gadis berhenti tertawa.
“Kamu ke sini tidak
sendiri ya?” tanya Gadis.
“Oh ya. Kenalkan ini
Rimba sahabatku!”
“Hai aku Rimba.” Kata Rimba
tanpa diminta.
“Gadis! Kelihatannya
kalian baik. Maukah jadi temanku?” tanya Gadis.
“Tentu saja. Kamu ke
sini kalau tidak melihat matahari terus apa?”
“Aku mau mencium udara
pasisir!” kata Gadis.
“Mencium udara
pesisir?” tanya Rimba tidak mengerti.
“Iya. Aku kan tidak
bisa melihat. Jadi hanya mencium aromanya saja.”
“Kamu bisa menciumnya? Aneh,
aku tidak bisa menciumnya,” kata Dara.
“Itulah keadilan Sang
Pencipta. Kalian punya mata jadi bisa memandang keindahannya. Sedang aku hanya
memiliki hidung dan telinga yang lebih peka dari kalian. Karena itu aku bisa
mendengar selembut-lembutnya ombak dan seharum-harumnya aroma pesisir.”
Mereka menghentikan pembicaraan sesaat untuk
menikmati kekuasaan Pencipta dengan peristiwa terbenamnya matahari yang diganti
oleh munculnya rembulan. Seorang lelaki bertubuh tegap seumuran dengan ayahnya
Rimba menghampiri mereka dengan wajah ramah.
“Gadis, kamu dengan
siapa?” tanya lelaki tegap itu yang ternyata ayah Gadis.
“Oh ayah sudah datang.
Kenalkan yah ini Dara dan Rimba. Mereka adalah teman baruku.”
Setelah berkenalan,
Gadis dan ayahnya beranjak pergi meninggalkan Dara dan Rimba. Rimba menatap
Gadis sampai punggung gadis itu tak tampak lagi.
“Seperti katamu, dia
betul-betul cantik.” Kata Dara.
Rimba hanya mengangguk
dan tersenyum. Dara yang tidak terlalu senang melihat kejadian itu, langsung
beranjak meninggalkan Rimba. Ditinggal Dara, Rimba segera menyusul Dara dan
mulai menjahilinya.
Semenjak perkenalan
tempo hari, Rimba semakin sering datang ke tempat itu. Kini ia menjadi lebih
dekat dengan Gadis. Setiap ada kesempatan selesai bekerja, Rimba segera menemui
Gadis. Menurut penilaiannya, Gadis adalah sosok yang tangguh dan tidak mudah
menyerah. Semenjak mereka dekat, tanpa disadari Dara yang selama ini bersama
Rimba tiba-tiba saja lenyap. Dara merasa Rimba semenjak dekat Gadis, menjadi
jauh dengannya. Dia tidak begitu senang melihat Rimba berduaan di pesisir
dengan Gadis. Semenjak itu Rimba sering terlambat ke sekolah, dan saat pulang
juga ingin selalu cepat-cepat. Kondisi tersebut menyebabkan Dara jatuh sakit.
Sudah tiga hari Dara dirawat di rumah sakit karena sakitnya itu. Saat Rimba
mengetahui Dara di rumah sakit, dia langsung ke rumah sakit menjenguk Dara.
“Kenapa kamu datang ke
sini? Kamu kan sudah punya teman dekat yang baru sekarang.” tanya Dara melihat
kedatangan Rimba.
“Maaf Dara, selama ini
aku memang salah karena tidak memperhatikanmu.”
“Sudahlah. Kamu pergi
saja. Aku tidak suka melihatmu di sini.” Dara sebenarnya rindu sekali dengan
Rimba. Hanya kelakuan Rimba selama ini membuatnya sangat kecewa.
“Maaf Dara, aku tidak
bermaksud menjauh darimu.”
“Sudahlah..,aku tidak
mau dengar!” kata Dara sambil menangis.
Melihat Dara begitu,
Rimba menyerah dan meninggalkan Dara sendiri.
Hari itu Rimba
menghabiskan waktunya untuk menyesali perbuatannya selama ini. Dia
berjalan-jalan di pesisir sendirian. Tiba-tiba dia menangkap sosok gadis yang
dikenalnya. Dia menghampirinya.
“Hai Gadis!”
Mereka berjalan
kemudian duduk-duduk di atas pasir.
“Gadis, aku mau
menyampaikan sesuatu. Maukah kamu mendengarnya?”
“Tentu, kita kan
berteman.”
Rimba kemudian
menceritakan kondisi Dara yang sakit, juga pertemuannya dengan Dara saat
menjenguk di rumah sakit.
Mendengar cerita itu,
Gadis merasa tidak enak dengan Dara. Maka dia merencanakan sesuatu untuk
memulihkan hubungan Rimba dengan Dara.
Sore itu Dara sedang di
atas kursi rodanya dan berkeliling sekitar rumah sakit. Tiba-tiba Rimba datang
dari belakang dan mendorong kursi roda itu kabur dari rumah sakit menuju
pesisir yang jaraknya tidak begitu jauh. Dara sebenarnya kesal dengan ulah
Rimba. Namun begitu sampai di pesisir dan menyaksikan pemandangan indah
saat-saat menjelang terbenamnya matahari, hatinya jadi senang. Lebih-lebih saat
terdengar alunan lagu dari Gadis yang disiapkan khusus untuknya, hatinya jadi
luluh, matanya melelehkan air mata. Melihat itu Rimba memeluk Dara.
“Maafkan aku ya.”
“Iya. Namun jangan
pernah tinggalkan aku lagi ya.”
Akhirnya persahabatan
mereka terjalin kembali. Namun setelah itu, Gadis tidak pernah muncul lagi di pesisir
seperti biasanya. Ayahnya pindah tugas ke Jakarta. Rimba merasa kehilangan dan
berharap bisa bertemu dengan Gadis lagi. Entah mendapat inspirasi dari mana,
Rimba kemudian menulis surat dan dimasukkan ke dalam botol. Botol berisi surat lalu
dilemparkannya ke laut, dengan harapan siapa tahu botol itu sampai ke tangan
Gadis. Namun Rimba tidak tahu kapan surat dalam botol itu akan sampai ke tangan
Gadis, yang telah menyelinap di hatinya. (*)
Nama
Penulis : Novita Ambrina
Sekolah :
SMAN 1 Bulukumba Sulawesi Selatan
Judul : Anak Pesisir
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
PENGHUNI
DANAU
Rosalina
Wahyuningih (Blora)
Di suatu daerah
terpencil, terdapat sebuah danau yang besar. Di dekat danau terdapat desa yang
bernama Kedungkerang. Desa itu luas, hutannya rindang namun jarang penduduknya.
Suatu ketika Tono dan Slamet, warga Kedungkerang ingin mencari ikan di danau
besar tersebut. Mereka masuk ke dalam danau. Saat sedang sibuk mencari ikan,
tiba-tiba Tono berteriak “Pergi, pergi jangan ganggu aku!”
Slamet yang agak jauh
begitu mendengar teriakan Tono langsung mendekatinya.
“Ada apa Ton?”
“Tadi ada seekor buaya
mau menggigitku!”
Namun tiba-tiba tanpa
diduga oleh Tono dan Slamet, muncul buaya putih besar dari danau. Buaya itu menyerang Tono dan Slamet. Mereka
terkejut oleh serangan mendadak itu. Slamet mengambil sebatang kayu dan siap
memukulnya. Namun tiba-tiba buaya itu telah berubah wujud menjadi manusia.
“Aku adalah penunggu
danau ini. Mengapa kamu berdua mengganggu tidurku? Sekarang aku lapar dan butuh
makan. Aku ingin kalian menjadi santapan dan tumbal bagiku!”
Mereka ketakutan
mendengarnya, dan berusaha melarikan diri mencari selamat. Namun Tono kurang
cepat sehingga dapat diterkam oleh manusia yang sudah berubah lagi menjadi
buaya putih yang ganas. Tono menjadi santapan buaya itu.
Slamet yang selamat,
terus berlari sambil berteriak-teriak minta tolong. Slamet berlari hingga desa
Kedungkerang, yang membuat warganya kaget.
“Ada apa Met, kamu kok
lari-lari ketakutan?” tanya warga beramai-ramai.
“Tadi di danau ada
buaya putih sangat besar. Buaya itu memangsa Tono sebagai tumbalnya!” jawab
Slamet masih dengan ketakutan.
“Sebaiknya kita ke pak
lurah!” kata salah seorang warga.
Mereka beramai-ramai ke
rumah pimpinannya itu. Sampai di rumah pak lurah, Slamet yang sudah tidak lagi
ketakutan menceritakan kejadian bersama Tono di danau tadi.
“Pak lurah, ini tidak
bisa dibiarkan. Bisa habis warga sini dimakan buaya itu!“ kata salah satu
warga.
“Kita harus mencari
sesajen. Dan saya akan bertanya kepada mbah Wiro tentang penghuni danau itu,” jawab
pak lurah.
Pak lurah pergi menemui
mbah Wiro dan mendapatkan penjelasan mengenai penghuni danau berupa buaya putih
itu. Menurut mbah Wiro, buaya putih itu dulunya adalah pendekar yang melakukan
pemujaan kepada setan. Dengan kesaktiannya dia malah membunuh gurunya sendiri.
Sebelum mati, gurunya mengutuk muridnya yang durhaka menjadi buaya putih, yang
sekarang menghuni danau besar dekat desa itu.
“Bagaimana cara
menghadapi buaya itu biar tidak mengganggu warga desa lagi?”
“Tidak ada yang bisa
mengalahkan buaya putih itu. Namun agar warga desa aman, sebaiknya memberinya
sesajen saat bulan purnama. Dan jangan memakai pakaian warna putih saat memberi
sesajen.” Jelas mbah Wiro.
Pak lurah kemudian
mengumpulkan warganya dan diberi penjelasan mengenai buaya putih penghuni
danau. Mereka diminta menyiapkan sesajen dan tidak memakai pakaian putih saat
bulan purnama.
Saat bulan purnama
warga Kedungkerang sibuk menyiapkan sesajen. Mereka patuh dengan perintah pak
lurah, semua warga menyiapkan sesajen dan tidak memakai pakaian putih. Semua
sesajen itu ditempatkan di pinggir danau. Tidak berapa lama muncullah buaya
putih penunggu danau. Buaya itu menghabiskan seluruh sesajen yang ada di
pinggir danau.
“Hai kalian semua. Aku
adalah penguasa danau ini. Siapapun yang datang ke danau ini akan menjadi
santapanku. Aku tidak akan masuk ke desamu jika kamu memberi sesajen tiap bulan
purnama.”
Sejak saat itu, warga
Kedungkerang selalu membuat sesajen untuk buaya penghuni danau setiap bulan
purnama. Mereka juga tidak berani masuk ke danau, takut menjadi santapan buaya
putih itu. Namun buaya itu juga menepati janjinya tidak masuk ke desa
Kedungkerang untuk mencari mangsa.
Waktu tarus berjalan.
Desa Kedungkerang sekarang sudah makmur. Semua yang ditanam dapat dipanen
dengan hasil yang melimpah. Bahkan mereka mampu menjadikan salah satu bukit
yang dimilikinya menjadi tempat yang indah sebagai lokasi wisata. Lokasi wisata
itu diberi nama Bukit Penkerang. Sejak saat itu Bukit Penkerang menjadi tujuan
wisata karena panoramanya yang indah dan udaranya yang bersih sejuk segar.
Suatu ketika rombongan
anak-anak SMP sedang berwisata di bukit itu. Meraka tampak senang sekali
menikmati pemandangan yang indah di bukit itu. Namun ada dua orang yaitu Rani
dan Toni yang justru menjauh dari anak-anak yang lain. Mereka lebih senang
berjalan-jalan berduaan tanpa menghiraukan teman-temannya. Mereka sedang asyik
berpacaran. Maka mereka mencari tempat yang menurutnya aman. Melihat danau yang
agak jauh dari bukit, Rani dan Toni mendekati danau itu. Mereka duduk-duduk di
pinggir danau sambil bermain-main air danau. Mereka asyik bercanda bergembira
berpacaran berduaan. Tanpa disangka oleh mereka, tiba-tiba muncul buaya putih
dari danau yang langsung menyambar mereka berdua. Tubuh mereka diseret buaya
menuju danau. Mereka sempat berteriak minta tolong, sebelum mereka tenggelam
dalam danau dan tidak pernah muncul lagi. Teriakan mereka ternyata didengar
oleh guru dan teman-temannya. Namun sudah terlambat. Rani dan Toni sudah menjadi
santapan buaya putih. Mereka telah menjadi tumbal.
Selaku orang yang
paling bertanggung jawab, pak lurah hanya mampu berkata, “Maaf, kami tidak bisa
berbuat apa-apa. Memang dilarang bermain di sekitar danau. Itu sudah menjadi
kesepakatan kami dengan penghuni danau!”
Sejak kejadian itu
danau yang besar itu diberi nama danau Berpenghuni Abadi. Di pinggir danau
telah dipasang papan besar sebagai pengumuman bertuliskan BERBAHAYA. DILARANG
BERMAIN-MAIN DI DEKAT DANAU INI.(*)
Nama
Penulis : Rosalina Wahyuningsih
Sekolah :
SMPN 2 Blora Jawa Tengah
Judul : Penghuni Danau
######################################################################
ISTRI
SEORANG DUTA
Mahardika
Prihati Yuda (Sumatera Selatan)
Sudah tiga bulan ini gerimis tidak datang, apalagi
hujan. Sungai Komering kian surut. Hanya satu dua perahu motor yang lewat.
Itupun tidak cepat. Mungkin baling-balingnya bisa tersangkut di dasar sungai.
Tetapi kini sampan justru banyak berlalu-lalang, baik untuk anak-anak sekolah
menyeberang maupun penduduk yang menjaring ikan, di pagi siang maupun malam
hari. Itu dilakukan sepertinya dengan tanpa harapan. Ikan semakin sulit
didapatkan.
Seminggu lagi batas
waktu yang dijanjikan suamiku. Justru dalam seminggu inilah waktu terasa begitu
lama, seakan-akan waktu berbalik berbulan-bulan ke belakang. Akankah dia pulang
minggu ini seperti yang dijanjikan? Malu rasanya di usia seperti ini aku harus
mengenang masa lalu, masa-masa kami masih remaja. Segalanya terasa indah, tidak
ada beban apa pun. Sampai menjelang pernikahan, mulailah tampak ada masalah di
sana sini.
Kami menyadari, kondisi
keluarga kami pas-pasan. Bukan kami saja yang kondisinya seperti itu, bahkan
ada yang jauh di bawah kami. Namun ada kebanggaan tersendiri bagi calon
pengantin, yang juga merupakan beban. Bagaimanapun kondisi ekonomi kami,
pernikahan harus selalu dilaksanakan dengan pesta. Ada organ tunggal atau
bahkan dangdutan, menyiapkan tenda-tenda dan hidangan yang pantas sehingga
tidak memalukan di mata tetangga. Bukan menjadi rahasia, untuk melaksanakan
pesta yang meriah, hutang menjadi tumpuan, bahkan tanah dan sawah bisa menjadi
jaminan pegadaian. Demikian pula yang terjadi pada keluargaku. Setelah pesta
usai, yang menanti adalah kerja, kerja dan kerja membanting tulang untuk
membayar semua yang sudah dikeluarkan. Meskipun semua tulang dibanting
sepanjang waktu, namun tidak akan mampu membayar biaya pesta itu. Bahkan untuk
sekedar mencukupi kebutuhan sehari-hari sudah pantas untuk disyukuri. Bagi
mereka yang menjadi pegawai negeri, gaji bulanan itupun akan selalu tersedot
untuk menutup hutang-hutang yang menumpuk pasca pesta. Bagi kami itu tidak
aneh, sudah biasa, meskipun masih pahit rasanya.
Karena kondisi itu,
tidak aneh jika sebagian dari kami khususnya yang laki-laki berniat menjadi
seorang duta. Niat itu bahkan
didukung oleh orang tua dan mertuanya. Sebenarnya ibu sudah lama menganjurkan
agar menjadi duta. Aku tahu suamiku dalam lubuk hatinya tidak rela menjadi
duta. Namun sifat orang tua dan mertuaku yang pemaksa, mengharuskan suamiku mengikuti
kemauan mereka.
Aku ingat kembali
bagaimana ibuku dulu membuat daftar permintaan keperluan pengantin perempuan
untukku dari kang Singadikane calon suamiku. Padahal keluargaku tahu persis
bagaimana keluarga calon besan. Amat sangat berat bagi mereka memenuhi semua
permintaan ibuku itu. Namun bagi keluarga calon besan, semua permintaan itu
adalah tantangan yang harus dipenuhi dengan segala daya upaya. Martabat dan
gengsi menjadi taruhan. Maka pada saat pernikahan, dengan bangga keluarga kang
Singadikane membacakan permintaan keluargaku menjelang akad nikah.
“
Ikan bawal di pemancingan
Ditanam orang di air bersih
Inilah
bawaan yang dapat kami haturkan
Sebagai
tanda ucapan terima kasih
Dirangkai bunga uang lima juta,
seperangkat pakaian istri mulai dari sepatu sampai tusuk sanggul, seperangkat
tempat tidur, beraneka makanan ringan, kapur sirih, dan seperangkat pakaian
untuk bapak dan ibu calon mertua”.
Demikian utusan kang
Singadikane berujar lantang penuh wibawa dan kebanggaan. Tepuk tangan pun
bergemuruh, dari keluargaku maupun keluarga kang Singadikane.
“
Ikan bawal di pemancingan
Ditanam orang dibuat pindang
Kami
terima ini bawaan dengan penuh kegembiraan
Kiranya
pihak keluarga menerima dengan hati yang tulus dan senang
Baiklah, kami terima bawaan ini
dengan segala kegembiraan hati kami sekeluarga”.
Demikian wakil dari
keluarga kami menyambut pantun sambil menerima segala bawaan yang diserahkan
rombongan keluarga kang Singadikane. Tepuk tangan kembali mengisi rumahku di
pagi itu, setelah itu baru dilangsungkan prosesi akad nikah.
Ya, dua puluh tahun
peristiwa itu telah berlalu. Kini kami sudah dikaruniai dua anak, perempuan dan
laki-laki. Sulung perempuan kini sudah duduk di bangku SMU kelas III dan
adiknya kelas II SMP. Kami berusaha menjarangkan kehamilan. Kami menyadari kondisi ekonomi yang sulit. Penghasilan hanya cukup untuk
kebutuhan sehari-hari dan memaksakan untuk membayar biaya sekolah dua anak.
“Aku hanya minta doa
dari kamu agar aku berhasil dan selamat sampai kembali pulang. Aku akan memberi
batas waktu paling lama tiga bulan saja.” Suamiku berkata pada suatu malam
sambil menghembuskan lintingan rokok. Aku hanya diam saja saat itu.
Akhirnya niat suamiku
menjadi duta disepakati seluruh keluarga dan mertuaku. Kedua keluarga
menyiapkan syukuran untuk keberangkatan suamiku. Tentu dengan pinjam sana sini.
Bukan aneh di kampungku, bila ada yang mau menjadi duta dilangsungkan syukuran
terlebih dulu. Pak RT, pak lurah, pak camat dan beberapa polisi diundang dalam
syukuran itu.
“Mohon doa dari kerabat
keluarga, handai taulan, sanak famili dan seluruh masyarakat di kampung ini,
agar saya dalam berusaha lancar dan berhasil nanti,” kata suamiku tanpa harus
menjelaskan usaha apa yang akan dilakukan nanti. Mereka pasti sudah tahu bahwa
suamiku akan menjadi seorang duta. “Insya Allah, jika berhasil nanti saya akan
membantu pembangunan masjid atau jalan di kampung kita!”
Aku sendiri tidak tahu
pasti apa sebenarnya yang akan dilakukan para duta di kampungku ketika mereka mintar ke Singapura, Malaysia, Brunei,
Hongkong, Thailand atau entah ke mana lagi. Dari isu yang kudengar, mereka ada
yang menjadi agen asuransi kemudian melarikan uang itu setelah dapat banyak.
Ada yang melakukan hipnotis dengan bujuk rayu kata-kata, ada yang menukar tas
yang sama dengan calon korban, dan entah apa lagi. Yang pasti kata orang, para
duta itu tidak ada yang terang-terangan maling terlebih merampok. Mereka juga
punya pantangan menyakiti korban. Tapi entahlah.
Dulu, di kampungku
pernah ada yang membawa pulang uang sebanyak satu milyar hanya dalam waktu dua
minggu. Pernah juga ada yang membawa uang seratus juta setelah dua bulan mintar.
Namun pernah juga ada yang tidak berhasil setelah tiga atau empat bulan
pergi. Dari yang kudengar, para duta itu kebanyakan berhasil membawa pulang
uang sekurang-kurangnya puluhan juta rupiah. Dari hasil ngeratak ada yang mampu
membangun rumah, membeli kendaraan, naik haji, membangun masjid , jalan kampung
atau menjadi bos lebak lebung.
Itu semua tentu saja
kabar baiknya. Tentang kabar yang tidak baik, aku pun pernah mendengar. Mang
Akip misalnya, sejak lima tahun yang lalu sampai sekarang belum pernah pulang.
Kabarnya dia ditangkap di Malaysia dan dihukum mati di sana. Terdengar kabar
bahwa dia masih dipenjara. Entah mana yang benar.
Ada lagi mang Udin,
kabar yang tersiar sejak tahun lalu, katanya dia ditembak polisi Interpol di
Singapura. Kawan-kawan duta-nya yang lain tidak bisa mengambil jenazahnya
karena faktor keamanan. Apakah aku pun harus kehilangan kang Singadikane
seperti raibnya mang Akip atau mang Udin? Sebagai istri tentu aku tidak mau hal
itu terjadi. Namun sebagai istri duta aku pun harus siap menghadapi hal itu
bila Tuhan menghendaki demikian.
Untuk menjadi seorang
duta jelas tidak gampang. Di samping harus memiliki pegangan khusus, baik dari
kiai maupun dari dukun, harus mampu berpenampilan intelek dan perlente. Sebab
kebanyakan para duta tidak sama dengan penyamun. Mereka pantang beroperasi di
negeri sendiri. Ada semacam hukum tak tertulis yang membuat mereka berpantang
seperti itu. Di antara mereka, ada yang memang beroperasi sendiri, namun ada
juga yang berkelompok antara dua sampai lima orang. Yang beroperasi sendiri
jelas berusaha dengan segala trik dan kemampunnya. Namun bagi yang kelompok,
mereka memiliki tugas masing-masing. Ada yang bertugas mengecoh calon korban,
ada juga yang bertugas meta, yang biasanya telah berangkat terlebih dahulu ke
daerah atau negara sasaran.
Kini tak terasa malam
kian larut. Bulan yang sabit dihalangi awan tipis. Bau amis sungai Komering
terasa khas. Maklum airnya surut. Hujan belum juga mau turun. Jika musim begini,
anak-anak pun berani berenang dan berkecipak di tengah sungai yang lebarnya kurang
lebih lima puluh meter itu. Padahal jika musim penghujan atau musim pasang, air
sungai akan meluberi tanggul dengan kedalaman sampai lima meter. Sehingga tak
heran air kadang merambah sampai ke jalan raya atau kolong-kolong rumah
penduduk yang panggung. Kalau sudah begini, maka lalu lintas sungai terasa
hidup. Biduk-biduk dan perahu bermotor kembali berseliweran. Bong-bong yang
berderet tidak lagi menghadirkan kekumuhan. Dan di malam hari lampu-lampu
memantul dari rumah penduduk menari-nari berwarna-warni di atas riak air
seperti tarian gaib. Demikian juga keramba-keramba penduduk yang berisi ikan
patin atau belida, akan semakin sering dipanen dengan hasil yang melimpah,
meskipun resiko harga akan jatuh.
Aku tak tahu, apakah
Tuhan akan merestui kerja suamiku sebagai seorang duta. Aku hanya memohon pada
Tuhan agar suamiku pulang dengan selamat. Itu saja! Dan aku berdoa kepada Tuhan
agar hujan segera turun, biar air meluberi sungai, meluberi lebak lebung, dan
rawa-rawa kembali berbunga dengan kilauan teratainya yang beraneka.(*)
Catatan
:
Bawaan (disebut juga gawan) :
segala sesuatu yang dibawa mempelai laki-laki untuk keluarga mempelai perempuan
sesuai dengan permintaan.
Bong :
istilah mandi, cuci, kakus penduduk yang dibuat seperti rakit. Bisanya terapung
di tepian sungai.
Duta :
istilah untuk orang di Kayuagung, OKI, Sumsel yang berusaha/pergi ke luar
negeri mencari uang banyak dengan trik-trik khusus. Misalnya dengan cara
menukar tas kosong dengan tas korban yang bentuk, bobot dan ukuran sama. Ada
juga yang mencegat korbannya di perjalanan. Di beberapa Negara tetangga seperti
Singapura dan Malaysia dikenal dengan istilah Duta Kayuagung, selama beroperasi
mereka pantang menyakiti korban, hanya merampas hartanya saja. Mereka pantang
beroperasi di wilayah atau negeri sendiri.
Keramba :
kotak-kotak anyaman bambu tempat memelihara ikan (sistem perikanan terapung),
biasanya berukuran panjang 2,5-3 meter, lebar 1,5-2 meter dan tinggi 0,5-1
meter.
Keratak :
istilah kasar untuk julukan duta
Lebak lebung
: sistem pengolahan daerah perairan untuk budidaya perikanan, khususnya sungai
atau lebak yang biasanya dikuasai oleh seorang bos lebak lebung/tengkulak. Sistem
lebak lebung ini biasanya dilelang untuk umum.
Meta :
seorang duta yang tugasnya khusus menyelidiki segala sesuatu tentang calon
korban dari awal hingga akhir (ibarat intel untuk duta)
Mintar/ngeratak :
proses berusaha /beroperasi sebagai duta/keratak.
Pintaan :
sejumlah uang yang biasanya diminta pihak mempelai perempuan kepada pihak
mempelai laki-laki. (**)
Nama
Penulis : Mahardika Prihati Yuda
Sekolah :
SMAN 3 Unggulan Kayuagung Sumatera Selatan
Judul : Istri Seorang Duta
*************************************************************************
H
U J A N
Nanda Yayang
Rasyid Prandira (Jogjakarta)
Hujan mengguyur bumi, sungguh
tak menyenangkan buat sebagian orang. Tetapi untukku tidak masalah, hari Minggu
ini mau hujan atau tidak, seperti biasa kuputuskan untuk bermalas-malasan di
rumah. Sekedar baca-baca komik, nonton tv atau apalah. Mungkin kegiatan di hari
Minggu seperti itu terasa membosankan, namun bagiku justru mengasyikkan. Aku
lebih suka membaca komik daripada sekedar keluar bermain dengan teman-teman.
Memang sifatku agak pendiam, cenderung tertutup untuk masalah-masalah pribadi.
Sampai-sampai salah satu temanku kesal, gara-gara aku tidak pernah curhat
padanya. Aku malas membagi kisah hidupku pada orang lain.
Bagi sebagian orang
Senin mungkin hari yang tidak disukai. Aku tidak benci namun juga tidak suka,
biasa saja. Saat masuk kelas aku langsung duduk dan diam di kursiku. Aku
melirik teman sebangkuku sedari tadi senyum-senyum terus. Tampak sedang berbahagia
hari ini.
“Sa, aku senang banget
deh.” Kata Lala mengagetkanku.
“Sa, pendengaranmu
masih normal kan, kok diam saja?” katanya kemudian ketika aku tak
menanggapinya.
“Ya!” jawabku malas.
“Kalau normal, berarti
kamu dengar aku ngomong kan?”
“Ya”
“Kamu ini, jawabnya
iya, iya terus.”
Lala terlihat kesal,
aku cuma diam dan kemudian beranjak dari
kursiku pergi keluar kelas.
“Sasa!” teriak seorang
cowok yang sudah sangat kukenal suaranya.
Dia kak Rio yang dulu
aku jatuh hati banget padanya. Rasa itu membuatku patah hati dan sakit hati.
Dia yang mengaku masih sendiri ternyata sudah punya pacar. Meski aku merasa
sakit, namun masih ada perasaan aneh saat bertemu dengannya.
“Sa, kakak punya komik
baru, mau pinjem?”
“Mmm, boleh tuh”
jawabku. Entah di depannya sikapku jadi berubah. Sungguh aku serba salah, mati
gaya jika berhadapan dengan dia.
“Ya sudah besok kakak
bawa ya”
“Oke” jawabku sambil
tersenyum.
“Senyumnya manis deh.
Ya sudah kakak ke kelas dulu ya!”
Hari Selasa yang cerah,
tetapi hatiku tidak begitu. Seperti biasa, begitu masuk kelas aku langsung
duduk.
“Sa, kamu tahu gak?”
Lala mengawali pagi ini dengan nerocos.
“Gak!” jawabku singkat.
“Aku jadian sama Adit!”
“Oh..”
“Kok hanya oh?”
“Selamat ya!” kataku
dengan senyum agak kecut.
“Iya, terima kasih ya”
“Ya”
“Ih…, kamu kok nyebelin
banget sih Sa!”
Aku melirik Lala.
Pikirku ini anak aneh. Baru saja senang jadian, sekarang ganti marah-marah.
“Sasa, ngomong dong!”
“Apa?”
“Sasa!” teriak Lala
yang malah membuatku makin sebal.
“Sasa, seharusnya kamu
senang, kalau temanmu senang. Jawab La!”
“Ya, aku senang”
“Iya, tetapi ekspresimu
itu tidak seperti orang senang”
“Aku senang tetapi
tidak tahu cara menunjukkannya”
“Memang benar ya kata
teman-teman, kamu ini aneh”
Wah anak ini bicaranya
sudah membuat kupingku agak merah.
“Kamu sakit hati, aku
bilang kamu aneh? Jawab Sa!”
“Iya!”
“Kalau kamu sakit hati,
kenapa gak ngomong. Kenapa kamu tidak mau ngomong apa yang mau kamu omongkan?”
Aku sudah marah, namun
aku tetap diam.
“Kamu hanya diam, aku
gak tahu perasaan kamu sekarang bagaimana, senang atau sebaliknya”
“Jadi mau kamu apa!”
aku sudah tidak tahan untuk bicara.
“Kamu sadar gak sih,
aku selalu berusaha menjadi sahabat kamu, tetapi kenapa kamu seakan gak mau
tahu. Kamu itu memang nyebelin banget”
“Udah deh, maksud kamu
ngomong panjang lebar itu apa?”
“Aku mau kamu berubah.
Mau menceritakan apa yang ingin kamu ceritakan”
“Cukup La, aku memang
begini dan jangan paksa aku menjadi orang lain!”
Aku segera pergi dari
hadapan Lala. Aku masuk toilet. Aku terdiam, dan air mataku perlahan mulai
mengalir. Sudah lama aku tidak menangis. Sudah lama aku tidak peduli dengan
perkataan orang. Tetapi omongan Lala terasa mengganggu. Apa aku terlalu
menyebalkan sehingga teman-teman tidak suka dengan sikapku. Kalau memang
begitu, aku mau berubah. Aku sadar aku hanya memikirkan diriku sendiri, tidak
peduli perasaan orang lain. Aku akan berubah. Aku hidup bukan untuk membuat
kesal orang lain. (*)
NamaPenulis : Nanda Yayang Rasyid Prandira
Sekolah :
SMPN 1 Wates Kulon Progo Jogjakarta
Judul : H u j a n
********************************************************************
MALAIKAT
PENYAPU BERAS
Christina
Puspaning Tyas (Banjarnegara)
Panas terik matahari
sudah menusuk kulitnya selama bertahun-tahun. Kulit yang dulu kencang, putih
dan sehat kini telah berubah menjadi kering, keriput dan hitam. Kehidupan yang
dialami sangat berat. Rasa haus dan lapar setiap hari menghantui. Setiap hari
ia menyusuri sepanjang jalan di pasar itu, bukan untuk berbelanja atau
jalan-jalan. Yang ia lakukan adalah mengumpulkan beras, butir demi butir yang
dipungutnya dari jalan.
Pagi-pagi ia keluar
dari gubug reyotnya, membawa potongan kaleng yang dibuatnya menjadi sorok, sapu
lidi yang sudah sangat pendek karena ausnya dan tas karung kecil. Tanpa bekal
makanan, hanya karena tekad mendapat beras yang cukup untuk kebutuhan hari itu
ia susuri jalan yang itu-itu juga. Tidak ia hiraukan terik yang menyengat
kulitnya. Tidak juga rasa haus dan lapar yang menderanya. Saat panas sudah
mencapai titik tertinggi ia berteduh sekalian istirahat di sela-sela kios. Saat
haus dan lapar menyerang dia hanya telan ludahnya kembali untuk membasahi
kerongkongannya. Yang ia hiraukan adalah bagaimana ibunya yang sendirian di
gubug reyot hari ini bisa makan.
Tidak tinggi harapan
Marsinah, perempuan penyapu beras itu. Hanya bagaimana bisa makan sekali setiap
harinya. Bukan makan tiga kali seperti umumnya orang-orang yang mampu. Setelah
seharian berjalan mengais beras di tempat-tempat yang selama ini menjadi area
kerjanya, ia akan pulang. Beras 3 kilo ia bawa pulang. Beras itu harus dipilah
terlebih dahulu untuk bisa dimasak. Banyak tanah, pasir bahkan kerikil yang
menyatu dengan beras itu. Harus diayak untuk memisahkan benda-benda tidak layak
makan itu dari beras yang akan dimasak. Tidak ada kompor gas atau minyak tanah,
hanya potongan ranting atau kayu-kayu bekas bangunan yang dijadikan sebagai
sumber apinya. Hanya ada panci yang sudah tak berbentuk lagi untuk tempat
menanak beras. Sambil menunggu beras itu matang, ia membeli lauk dengan uang
dua ribu perak hasil penjualan kaleng plastik yang dikumpulkannya setiap sore.
Setelah sejak pagi mencari butir-butir beras di jalan, Marsinah sorenya masih
turun ke jalan mengumpulkan kaleng-kaleng plastik bekas. Ya, ada dua profesi
yang digelutinya. Meski beda yang dipungut, namun sebutannya tetap sama
pemulung juga. Sekarung kaleng plastik bekas hanya dihargai dua ribu perak,
uang yang selalu dipakainya untuk membeli sayur dan lauk.
“Saya ikhlas melakukan
pekerjaan ini, karena halal. Saya bangga dapat menghidupi ibu saya sampai
sekarang dengan apa yang saya lakukan. Yang penting adalah bagaimana saya dan
ibu saya mampu bertahan hidup hari ini. Sedangkan untuk besok, biarlah itu
menjadi urusan Tuhan.”
Sebuah pemahaman yang
matang dari seorang Marsinah. Meskipun setiap hari harus berjuang hanya sekedar
untuk sesuap dua suap nasi, namun dengan ikhlas ia jalani. Ia syukuri apa yang
diberikan Tuhan kepadanya setiap harinya. Ia tidak terlalu hirau dengan
bagaimana makan hari esok. Marsinah yakin Tuhan pasti akan selalu membuka jalan
jika hanya sekedar untuk makan. Namun satu hal yang membuatnya kadang nelangsa
adalah tentang rumah. Marsinah ingin sekali memindah ibunya ke tempat yang
layak. Sebuah rumah sangat-sangat sederhana yang ia gambarkan. Bukan rumah
mewah seperti yang dilihatnya saat ia sedang menunaikan tugasnya sebagai
pemulung. Banyak rumah mewah berdiri di pinggir jalan besar, atau di
lahan-lahan tertentu yang disiapkan sebagai area perumahan mewah.
“Dari dulu, saya sangat
ingin memberikan tempat tinggal yang layak untuk ibu saya. Sekarang saya baru
mampu memberinya gubug reyot yang sebentar lagi juga ambruk. Entah kapan
cita-cita itu bisa terwujud. Saya ingin, di masa tuanya ibu dapat tenang,
tinggal di rumah yang tidak bocor saat hujan, tidak panas saat terik menyengat,
dan mampu menahan hawa dingin dari udara malam. Hanya itu yang saya panjatkan
doa kepada Tuhan.”
Cerita Marsinah
mengingatkan kita untuk selalu bersyukur dalam kondisi apapun. Ia adalah
malaikat bagi ibunya, meskipun hanya dengan menjadi penyapu beras di sepanjang
jalan. Mampu menjalani dengan semua masalah yang sedang dihadapinya. Tetap
yakin bahwa rencana Tuhan pastilah sudah digariskan, manusia sebatas
melakoninya. Keikhlasan adalah kunci itu semua. (*)
Nama
Penulis : Christina Puspaning Tyas
Sekolah :
SMKN 1 Bawang Banjarnegara Jawa Tengah
Judul : Penyapu Beras Berhati Malaikat
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
BERTEMPUR
MELAWAN KEGELAPAN
Ida
Ayu Amara Kanaka (Bali)
Jauh di dalam hutan
Lunae ada sebuah desa kecil bernama Mauro Ilio yang penduduknya dikenal sangat
hebat dalam menggunakan ilmu sihir.
Banyak yang mencoba mencari desa itu untuk mempelajari sihir lebih mendalam
tetapi tidak ada satu orangpun yang bisa menemukannya. Setiap orang yang
mencoba mencarinya setelah tiga hari keluar hutan akan menjadi sangat kurus
sehingga tulangnya kelihatan. Sedangkan untuk mencoba menemukan desa itu dengan
sihir jahat, maka tulang-tulangnya akan ditemukan dalam tumpukan rapi setelah
tujuh hari dan tulang lengannya terdapat tanda bintang. Selama bertahun-tahun
tidak ada lagi orang yang berani mencari desa itu atau bahkan mendekati hutan
Lunae.
Sementara itu di desa
Mauro Ilio pada tanggal tujuh di bulan ke tujuh, anak ketujuh dari tujuh
bersaudara lahir. Ia adalah bayi laki-laki lucu yang diberi nama Vis yang
berarti kekuatan. Rambutnya hitam, matanya hijau, kombinasi yang aneh. Tujuh
penyihir paling tua, bijaksana dan kuat di desa itu datang untuk menyelamati
kedatangan si bayi. Mereka semua mengatakan hal yang sama setelah mendengar namanya.
“Jaga anak ini
baik-baik, kelak dia dan seorang temannya akan menjadi penyihir yang
kekuatannya lebih besar daripada kekuatan semua penyihir di rumah ini digabung”
Seminggu kemudian
seorang bayi lahir di rumah tetangga Vis. Kali ini adalah bayi perempuan yang
cantik. Bayi itu dinamai Sol yang berarti matahari. Bayi itu rambutnya coklat
indah, mata hitam dan bibir mungil merah muda. Setelah kelahiran kedua bayi
tersebut matahari terus bersinar di desa itu selama tujuh hari walaupun saat
itu sedang musim hujan. Tidak tahu mengapa tetapi nama Vis dan Sol sepertinya
sudah ditakdirkan untuk mereka. Saat kedua bayi itu digendong dan tangan mereka
bersentuhan untuk pertama kalinya, keluar cahaya kuning hangat yang membuat
semua orang kagum.
Ketika Vis dan Sol
berumur lima tahun, mereka mulai pergi ke sekolah sihir. Mereka rajin belajar
bersama di sekolah maupun di rumah. Tanpa diragukan lagi, mereka menjadi murid
paling pintar di sekolah sihir. Pada umur sembilan tahun mereka sudah menguasai
sihir untuk murid yang berumur 14 tahun.
Sesuai namanya, Vis
sangat mahir dengan sihir yang membutuhkan kekuatan, sedangkan Sol mahir dalam
sihir api dan pengobatan. Sayangnya, karena kepandaian itu banyak anak yang iri
pada mereka dan mengatakan bahwa mereka sangat sombong dan suka memamerkan
sihir mereka, padahal mereka tidak pernah melakukan hal itu. Vis dan Sol tidak
punya teman lain selama beberapa tahun.
Kertika mereka berumur
lima belas tahun pelajaran di sekolah menjadi berbeda. Sol ingin belajar lebih
banyak tentang sihir dan pengobatan. Sedangkan Vis ingin melatih sihir
menyerangnya. Sejak itu Sol mulai akrab dengan murid-murid perempuan lainnya
tetapi semua anak laki-laki masih tidak menyukai Vis. Anak-anak perempuan teman
Sol pernah mengatakan sebenarnya mereka senang kepada Vis karena tampan dan
kuat. Namun teman-teman mereka mengatakan kalau Vis sombong dan tidak mau bergaul
dengan penyihir lemah apalagi perempuan. Sol menjelaskan bahwa Vis itu baik,
dan mengatakan bahwa omongan teman-teman tentang Vis itu bohong, tidak benar.
Salah satu anak bertanya kepada Sol.
“Kamu mencintainya ya?”
“Ya, tentu. Dia sudah
seperti saudara bagiku”
“Bukan itu, maksudku
mencintai seperti ibumu mencintai ayahmu” kata perempuan dengan senyuman kecil.
“A..apa maksudmu?” muka
Sol memerah.
Anak perempuan itu
tertawa, “Hahahaha! Aku cuma bercanda, Sol! Lihat mukamu memjadi merah. Maaf ya. Tapi benar-benar lucu lho! Hahahaha!”
Pada saat itu muka Sol
sudah merah padam karena malu. Tiba-tiba pintu kelas mereka terbuka.
“Sol, ibumu menyuruhku
membawakan makan siangmu!” kata Vis.
Anak-anak perempuan
itupun tidak tahan lagi dan tertawa dengan keras. Banyak yang menggoda Sol dan
mengatakan bahwa pangerannya sudah datang.
“Tapi bel belum
berbunyi bagiamana caranya makan?” tanya Sol bingung.
“Teeeeeet”, suara bel
terdengar. Semua lagsung tertawa termasuk guru sihir pengobatan yang tadinya mau menegur mereka karena berbicara
di kelas tetapi perhatian teralih oleh pembicaraan mereka.
“Kenapa? Ayo cepat! Aku
mau berlatih dulu sebelum bel masuk berbunyi!” kata Vis.
Sol keluar mengikuti
Vis. Murid perempuan lain juga keluar dari kelas.
Setelah memastikan
bahwa tidak ada yang mengikuti mereka, Sol dan Vis berjalan ke tempat yang
tidak diketahui oleh murid-murid lain dan sudah dilupakan oleh para guru yaitu
sebuah taman kecil di belakang gedung ilmu sihir menyerang. Taman itu ditemukan
oleh Vis saat mengambil salah satu pedangnya yang tidak sengaja dilempar
terlalu keras. Pada saat itu Vis berumur sebelas tahun. Karena tidak ada orang
yang mau duduk dengan mereka pada jam makan siang jadi sudah empat tahun mereka
duduk dan makan siang bersama di tempat rahasia itu.
“Ada apa denganmu?
Kenapa diam saja? Dan kenapa mukamu merah? Apa kamu demam?” tanya Vis khawatir.
“Aku tidak apa-apa
hanya capek dari pelajaran tadi. Hampir seperempat kekuatanku habis dalam
pelajaran itu saja.Eh bicara tentang pelajaran kenapa kamu keluar duluan dan
kenapa kamu bisa membawa makan siangku?”
Vis menjelaskan bahwa
ia lupa dengan salah satu bukunya. Kemudian ia disuruh mengambil. Saat
mengambil buku, ibunya Sol melihatnya dan menyuruh membawakan makan siang Sol yang tertinggal.
Ketika mereka belum
selesai makan siang tiba-tiba banyak suara kaki kuda. Itu adalah sesuatu yang
aneh. Satu-satunya kuda yang ada di desa itu adalah kuda paman Tul. Ia adalah
satu-satunya orang yang mau keluar masuk desa ini untuk membeli barang dagangan
di desa terdekat. Paman Tul bisa keluar dan masuk desa Mauro Ilio tetapi tidak
ada yang bisa masuk ke sana karena satu macam mantra telah dibuat oleh pendiri
desa itu ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu untuk melindungi desa. Para
murid sekolah baru saja mempelajari tentang ini di kelas sejarah tadi pagi,
tetapi belum saja setengahnya, bel sudah berbunyi. Katanya hanya orang yang
lahir di desa ini, binatang, keluarga mereka dan pemilik tahta seluruh sihir di
dunia yang bisa keluar masuk desa Mauro Ilio.
Vis dan Sol langsung
berlari ke arah suara itu. Mereka sangat terkejut dengan apa yang mereka lihat.
Ada banyak kuda putih yang berbaris dengan rapi tetapi hanya dua yang
ditunggangi. Para penunggang itu memakai jubah ungu panjang yang berisi simbol
sihir yang besar di belakangnya. Mereka berdua berbalik dengan pelan dan
melepas tudung jubah mereka lalu turun dari kuda. Salah satunya adalah seorang
perempuan cantik. Matanya abu-abu, rambutnya panjang hitam ada seuntai rambut
merah yang terjulur di sisi wajah kiri dan seuntai rambut biru di sisi
kanannya. Satunya seorang laki-laki bermata merah dengan rambut coklat panjang
sebahu.
Kepala sekolah lalu
datang diikuti oleh kerumunan orang yang datang dari mana-mana. Kepala sekolah
mereka adalah salah satu dari tujuh penyihir paling tua, bijaksana dan kuat. Ke
tujuh penyihir itu disebut Septem Sapium
“Hari ini akhirnya
datang,” kata kepala sekolah.
Setelah ia mengatakan
itu tiba-tiba mereka semua berada di sebuah ruangan temaram. Sumber cahaya di
ruangan itu hanya empat lilin besar yang diletakkan di masing-masing sudut
ruangan yang cukup besar itu. Setiap sisi ruangan ditutupi oleh rak buku tinggi
dan lebar dengan sampul kulit tebal. Sepertinya semua buku itu adalah buku
tentang sihir atau buku mantra. Banyak judul buku tidak bisa dibaca Vis dan Sol
karena ditulis dalam bahasa sihir lama.
“Oh, jadi hari ini,
ya?” suara wanita tua terdengar.
“Iya, mereka akhirnya
datang,” jawab kepala sekolah.
Enam penyihir muncul
dari sebuah pintu yang ada di belakang sebuah lemari. Mereka semua sudah tua,
tiga perempuan dan tiga laki-laki.
“Yang Mulia, senang
bertemu dengan anda berdua!” kata salah satu penyihir tua.
“Ah, tidak usah
memanggil kami yang mulia. Sebenarnya, kami yang sangat senang dan gugup
menemui kalian. Kalian adalah Sep..” perkataan laki-laki misterius dipotong
oleh Vis.
“Tunggu sebentar! Siapa
kalian dan kenapa kalian dipanggil Yang Mulia oleh Septem Sapium? Mereka adalah
penyihir paling kuat di desa ini. Dan juga kenapa aku dan Sol ikut
diteleportasi ke sini?”
“Maaf, kami belum
memperkenalkan diri kami. Namaku Elisa dan ini Drynn. Kami adalah ratu dan raja
sihir yang berikutnya dan kami memerlukan bantuan kalian,”jawab perempuan
misterius yang bernama Elisa sambil memegang pundak Drynn.
“Ya, kami belum menjadi
raja dan ratu masih pangeran dan putri,” kata Drynn.
“Tunggu, kalau kalian
raja dan ratu sihir yang berikutnya kenapa kalian memerlukan bantuan kami?”
tanya Sol.
“Begini. Jauh di luar
sana, di negeri Exolas di mana kami tinggal, sedang ada masalah besar. Ada
penyihir bernama Morte menggunakan sihir hitam. Ia sangat kuat, mempunyai
banyak pengikut yang berpikir bahwa ilmu sihir hitam adalah sihir terbaik.
Mereka ingin membunuh semua orang yang tidak menggunakan sihir hitam namun
sebelum membunuh korban mereka menyedot semua kekuatan korbannya. Seperti yang
kalian mungkin tahu, proses ini sangat menyakitkan. Awalnya mereka membunuh
satu hingga dua orang dalam satu bulan tetapi baru-baru ini mereka membunuh
sampai dua belas orang dalam seminggu,” jelas Drynn.
“Aku tahu masalahnya,
tetapi bagaimana aku dan Sol bisa membantu,”kata Vis.
“Ada sebuah buku yang
berisi ramalan tentang desa ini. ‘Kegelapan akan datang perlahan tetapi pada
saat ia mulai menyerang dengan brutal seorang perempuan yang mempunyai warna
api dan air di rambutnya serta laki-laki bermata merah akan mencari kekuatan
dan matahari. Pada saat mereka menyerang
kegelapan korban akan jatuh tetapi cahaya akan selalu menang’. Jadi kalian
harus ikut dengan mereka dan berusaha mengalahkan kegelapan,”jelas kepala
sekolah.
“Kalau ramalan negeri
kami agak berbeda,”kata Elisa.
“Saat anak perempuan
seorang raja dan anak laki-laki yang dibawa oleh istri kedua raja bersatu dan menemukan
kekuatan bermata hijau dan matahari berambut coklat di desa sihir, kegelapan
akan sirna selamanya,”dia melanjutkan.
Vis dan Sol tidak bisa
berkata apa-apa, mereka terpaksa ikut Elisa dan Drynn. Ternyata mereka sudah
lama mencari desa sihir yang disebut dalam ramalan. Mereka telah berkeliling
kemana-mana, namun tidak menemukan apa-apa. Akhirnya mereka mendengar tentang
Mauro Ilio yang tersembunyi di hutan Lunae dan berhasil menemukan ‘kekuatan’
dan ‘matahari’.
Tentu saja sebelum
mulai misi berbahaya ini Sol dan Vis harus mendapat izin orang tua mereka.
Orang tua mereka setuju namun dengan syarat, Vis harus selalu melindungi Sol. Mereka
kemudian mengepak sebelum berangkat, dan mendapat pelatihan khusus terlebih
dahulu.
Esoknya Sol, Vis, Elisa
dan Drynn berteleportasi ke istana Exolas. Istananya sangat luas dan tamannya
indah. Elisa segera menunjukkan ruangan untuk Sol dan Vis. Saat masuk ruangan
luas itu terlihat satu sofa besar, puluhan buku dan empat pintu. Dua pintu
adalah kamar tidur untuk masing-masing anak dan dua pintu lainnya menuju kamar
mandi.
Mereka berencana
menyerang Morte setelah berlatih selama seminggu. Ternyata banyak yang belum
Vis dan Sol ketahui tentang sihir sehingga mereka harus berlatih keras dan
menghapalkan ratusan mantra baru. Sol belajar membuat berbagai ramuan yang akan
dipakai saat bertempur nanti. Sol dan Vis juga harus mempelajari banyak sihir
menyerang dan sihir pertahanan. Pada hari ke tujuh mereka sudah jauh lebih kuat
daripada sebelumnya.
“Pertempuran kita dengan
Morte akan dimulai besok. Untuk sisa hari ini sebaiknya kalian istirahat dan
menghapalkan mantra saja,”kata Elisa.
“Besok jam enam pagi
kalian harus menemui kami dan kita berangkat dengan kuda ke markas Morte,”
lanjut Drynn.
Sol dan Vis mengiyakan
dan pergi ke kamar mereka. Mereka berdua mengambil masing-masing satu buku dan
duduk di sofa bersama.
“Aku masih tidak
percaya hal ini terjadi,” bisik Sol.
“Aku juga. Sebenarnya
aku sangat takut dengan pertempuran besok. Aku mempunyai firasat buruk. Tidak tahu
kenapa hatiku terasa berat,” kata Vis.
Mereka
memutuskan untuk terus membaca, hingga jam delapan kemudian mereka masuk kamar
masing-masing. Esoknya mereka bangun pagi sekali. Setelah mandi dan sarapan,
Sol mengepak beberapa botol kecil berisi ramuan ke sebuah tas. Vis dan Sol
bersama Elisa dan Drynn mulai melakukan perjalanan menuju markas Morte diikuti
puluhan pasukan istana.
Seratus meter sebelum sampai
markas Morte pasukan sihir hitam sudah menyerbu. Drynn membantu pasukan istana
menyerang pasukan sihir hitam. Sedangkan Sol, Vis dan Elis terus maju ke markas
Morte. Mereka harus membuat beberpa pasukan sihir hitam tidak sadar dengan
ramuan yang dibuat Sol. Dengan beberapa mantra dan beberapa tebasan pedang Vis,
mereka bisa masuk ke markas Morte tanpa harus berkeringat.
Markas Morte adalah
tempat gelap. Ada ratusan simbol dengan bahasa sihir lama yang diukir ke
tembok-tembok. Baunya anyir, bau mayat terbakar. Selagi mereka berjalan, lilin
yang menggantung di sisi-sisi dinding menyala satu per satu. Mereka harus
berjalan melalui lorong yang panjang. Di akhir lorong ada pintu besar.
Tiba-tiba ada tiga bentuk jubah muncul.
“Di sebarang pintu ini
ada Morte, dia hanya sendirian. Satu-satunya cara untuk membuka pintu ini dari
luar adalah jika kalian bisa mengalahkan kami,” kata salah seorang berjubah
yang berdiri di tengah.
Mereka langsung
menyerang Vis, Sol dan Elisa. Orang yang baru berbicara menyerang Elisa. Laki-laki
itu menggunakan sihir air hitam yang membuat airnya jauh lebih mematikan.
Dengan gampang ia bisa membuat pedang air yang bisa menebang kepala Elisa,
tetapi Elisa sama kuat. Ia menggunakan sihir api yang sering ia ajarkan kepada
Sol. Pertarungan sangat sengit. Tidak ada yang tahu siapa yang akan menang.
Pertarungan Sol dan Vis melawan dua orang perempuan berjubah lainnya berjalan
cepat. Dalam tiga menit dua orang berjubah itu sudah dibuat tidak sadarkan
diri. Kemudian Vis dan Sol membantu mengalahkan laki-laki berjubah itu. Sebelum
pingsan, ia mengatakan sesuatu dengan maksud menakuti mereka.
“Kalau kalian melawan
aku saja sudah kesulitan, maka kalian akan dihancurkan seperti semut oleh yang
mulia Morte. Kekuatanku baginya ibarat burung yang tidak bisa terbang!”
Setelah laki-laki
berjubah itu pingsan, pintu besar yang ada di belakangnya terbuka. Mereka masuk
dan melihat seorang laki-laki duduk di kursi besar yang terletak di tengah
ruangan. Laki-laki itu botak dengan kumis tebal. Ia sedang membaca buku.
“Wah ternyata kalian
lebih kuat dari yang kupikir. Kukira kalian sudah dibunuh oleh para semut yang
aku tempatkan di depan istana,” kata laki-laki itu yang ternyata adalah Morte.
“Istana? Tempat ini
lebih mirip rumah tikus daripada istana,” kata Elisa.
“Diam kamu!
Bisa-bisanya kecoak kecil sepertimu mengejek istanaku. Kamu harus diberi pelajaran!”
Dengan beberapa kata,
mulut Elisa hilang. Di bawah hidungnya hanya ada kulit dan tidak ada mulutnya.
“Kalau kamu bisa
berbuat baik akan kukembalikan mulutmu, sebelum kubunuh, sehingga mayatmu akan
kembali cantik,”kata Morte.
“Hei, kenapa kamu
membawa anak-anak? Apa kamu mau memberikan mereka kepadaku untuk menjadi budak?
Ataukah kau ingin aku membunuhnya?” Morte mulai mendekati Sol dan Vis.
Sol menyerang dengan
mantra sihir api. Beberapa bola api terlempar ke Morte. Morte menangkap semua
bola api itu seperti sedang menangkap bola.
“Wah ternyata kamu
melawan ya! Maaf mainan kecil ini tidak bisa melukaiku. Bagaimana kalau kuajari
sihir yang sebenarnya?”
Morte melafalkan sebuah
mantra, dan bola api sangat besar meluncur dengan cepat ke arah Sol. Melihat
bola api itu, malah membuat Sol tidak mampu bergerak. Tepat sebelum bola itu
mengenai Sol, Vis berdiri di depan Sol dan melindungi dari kobaran bola api.
Vis langsung terjatuh. Seluruh dadanya penuh dengan bekas api. Sol langsung
menangkapnya. Ia harus menyembuhkan luka bakar Vis secepatnya, atau Vis akan
mati.
“Aku sudah menepati
janjiku pada orang tauamu, Sol,” kata Vis pelan.
“Kamu bodoh! Jangan
bicara, dan jangan berani-berani mati! Aku bisa menyembuhkanmu. Jangan
khawatir.” kata Sol asal-asal karena panik.
“S..sudah..lah,
So..l! Kam..u har..rus menga..lah..kan Morte. Bi..ar..kan..ak..u” kata Vis
mulai putus-putus. “Se..la..mat ting..gal Sol! Ak..u..” Vis tak mampu
menyelesaikan kata terakhirnya.
“Hahahahaha! Anak
bodoh! Mati hanya untuk seekor semut perempuan!” tawa Morte memenuhi ruangan.
“Kamu membunuh Vis!”
teriak Sol marah.
Dalam sekejap lima bola
api yang lebih besar yang dibuat Morte terbentuk di sekeliling Sol.
“Kamu membunuh Vis!” teriaknya
lagi.
Kelima bola api itu
langsung meluncur ke arah Morte. Seluruh tubuhnya terbakar dalam kobaran api.
“Kamu cukup kuat untuk
seekor semut.” Seluruh api yang ada di tubuh Morte menghilang tanpa jejak.
Bajunya sama sekali tidak tersentuh api, masih utuh.
“Vis! Bangun Vis! Ayo
kita belum mengalahkan Morte! Ayo bangun, kami tidak bisa mengalahkan Morte
tanpamu. Kami membutuhkanmu. Aku membutuhkanmu!” Sol memeluk tubuh Vis dengan
erat. Air matanya mengalir di pipinya.
Ternyata bola-bola api
itu hanya untuk mengalihkan perhatian Morte. Sol mencoba banyak mantra tetapi
tidak ada yang berhasil. Ia memberi Vis ramuan yang seharusnya efektif tetapi
tidak berguna. Vis sudah pergi. Sol memeluk Vis lagi, menggenggam tangannya
dengan erat dan menangis dengan keras. Air matanya mulai jatuh ke muka Vis.
“Kamu tahu apa yang
teman-teman di kelasku katakan padaku? Mereka berkata bahwa aku mencintaimu. Dan
ternyata mereka benar,” Sol menyeka air matanya yang jatuh ke muka Vis dan menciumnya.
Pada saat itu hal yang
tidak mungkin terjadi, terjadi. Seperti saat tangan mereka bersentuhan untuk
pertama kalinya, cahaya berwarna kuning yang hangat keluar dari tubuh mereka.
Sol kebingungan. Dengan pelan, semua luka bakar Vis menghilang. Mata Vis mulai
membuka dan mulutnya membentuk sebuah senyuman.
“Aku tahu Sol. Aku juga
mencintaimu,” kata Vis sambil menghapus air mata Sol. Mereka berpelukan.
“Kamu masih belum
mengalahkannya? Kukira kamu lebih kuat daripada aku ini,“ kata Vis kepada Sol
dengan tawa kecil.
Dengan cepat sebuah
pedang muncul di tangannya. Ia mengucapkan beberapa kata dan sepuluh pedang
lagi muncul di sekelilingnya. Sol mengucap beberapa kata dan pedang-pedang itu
ditutupi api. Semua pedang itu terbang ke arah Morte dari berbagai penjuru.
Morte tertembus pedang-pedang itu. Vis dan Sol tidak mau mengambil resiko. Dibantu
Elisa batu-batu melayang dan membentur Morte dari atasnya. Pecahan es yang
tajam terbang menghantam dan menusuk tubuhnya. Morte jatuh dengan darah
menggenang di sekitarnya. Menurut buku yang dibaca Sol, untuk membunuh sihir
hitam harus membakar tubuhnya. Morte dibakar hingga menjadi abu.
“Hari ini kalian telah
melakukan hal baik. Menyelamatkan banyak jiwa. Terima kasih” kata Drynn kepada
Vis dan Sol.
“Kalau kalian
memerlukan sesuatu, bilang saja kepada kami. Apa kalian yakin akan pergi
sekarang? Kami akan mengadakan pesta nanti malam,” lanjut Elisa.
“Iya. Hari ini kami
sudah melalui banyak hal. Kami sekarang ingin pulang ke rumah dan tidur!” jawab
Vis.
Mereka mengucapkan
selamat tinggal kepada satu sama lain. Vis dan Sol pulang ke desanya. Banyak
hal yang sudah terjadi tetapi mereka akhirnya bisa pulang dengan selamat sambil
bergandengan tangan. Mereka mencintai satu sama lain dan itu yang terpenting.
(*)
Nama
Penulis : Ida Ayu Amara Kanaka
(Amara)
Sekolah :
SMP Dyatmika Denpasar Bali
Judul : Bertempur Melawan Kegelapan
****************************************************************************
DI
MANA MESTI DICARI
Ulfah
Midiana (Jogjakarta)
Jika bisa meminta pasti
ia akan meminta. Jika bisa memilih pasti ia akan memilih. Jika bisa berharap
pasti ia akan berharap. Tapi sayang, itu semua tidak bisa. Tidak bisa untuk
dicapai, dan tidak bisa untuk diraih. Entah kenapa, memang itu adanya. Tidak
bisa apa-apa, hanya berdoa dan pasrah diri kepada yang kuasa. Hanya itu…
Aku benar-beanr miris
ketika melihatnya. Ia tumbuh menjadi seorang anak perempuan cantik yang ceria,
penuh tawa, sama sekali tidak ada duka. Tetapi jika mengingat masa lalu hatiku
miris lagi.
Saat itu tanggal 27
April 2007, aku menjadi saksi hidup atas kemunculannya. Sangat senang dan
bahagia rasanya. Ya, dia yang muncul adalah Baiza. Seorang anak perempuan hasil
perkawinan mbak Silvia dengan mas Anton suaminya.
Benar-benar tidak
terduga kini aku sudah menjadi seorang tante. Memang belum pantas dengan usiaku
yang masih 13 tahun. Tetapi aku senang. Ini adalah kisah tentang dia, Baiza.
Hari itu hari yang bahagia melihat kelahirannya. Membawa awal baru di keluarga
kami.
Baiza menangis ketika
baru saja muncul ke dunia. Semua merasa bahagia seperti diriku. Mbak Silvia, kakakku
menangis saat menggendong dan memeluknya. Benar-benar tidak percaya. Baru kali
ini aku melihat mbak Silvia menangis. Menangis bahagia untuk anak pertamanya.
Mbak Silvia mengajarkan untuk tidak memperlihatkan air mata di depan orang
banyak. “Buatlah orang-orang di sekitarmu bahagia dengan tawa dan bukan dengan
air mata.” Itu yang dipesankan mbak Silvia. Wajar jika aku tidak pernah
melihatnya menangis.
Tetapi kebahagiaan itu
hanya sesaat. Mbak Silvia kemudian kejang-kejang dan pingsan. Kami sekeluarga
panik. Dokter dan perawat segera melakukan tindakan terhadap mbak Silvia.
Mereka dari raut wajahnya juga terlihat cemas. Kondisi itu membuat kami menjadi
semakin tegang. Akhirnya air mata kami tidak bisa terbendung lagi saat dokter
sudah angkat tangan tidak mampu menyelamatkan mbak Silvia. Kami semua menangis,
sangat sedih atas kepergian mbak Silvia yang tiba-tiba. Ibu pingsan sesaat
setelah mengetahui mbak Silvia meninggal.
Aku berlari menuju ke
kamar di mana mbak Silvia terbujur. Aku tidak percaya kalau mbak Silvia telah
tiada. Betul-betul tidak percaya. Sampai akhirnya ada seorang suster yang
menghampiriku, saat aku sedang memeluk mbak Silvia.
“Maaf dik, ini ada titpan
surat dari mbak Silvia,” kata suster itu.
Perlahan kubuka surat
itu. Aku masih belum percaya surat itu dari mbak Silvia, sampai akhirnya
terlihat tulisan rapi yang sudah kukenal. Tulisan mbak Silvia.
Untuk
adikku tersayang, Amira
Mira,
mbak senang karena sekarang kamu bisa bersikap lebih dewasa. Mbak hanya bisa
menitipkan pesan ini. Mbak ingin kamu melakukan pesan ini dengan tulus dan
jujur. Mbak ingin Baiza memanggilmu tante, jangan kamu marahi dia kalau dia
tidak bersalah. Sayangi dia seperti kamu menyayangi mbak. Ingat, jangan pernah
menunjukkan air matamu di depan orang-orang tersayangmu. Buat mereka bahagia
dengan tawa, tidak dengan air mata. Jadikan Baiza sesuai dengan arti namanya.
Dari
mbak Silvia, kakakmu tersayang
Air mataku menetes
lagi. Seminggu berlalu semenjak kematian mbak Silvia, sedih dan duka masih
tertinggal di hati keluargaku.Tetapi tidak untuk mas Anton. Justru dia pergi
meninggalkan kami dan Baiza anaknya yang belum genap seminggu itu. Kami sangat
kecewa dan marah padanya. Namun kami tidak bisa berbuat apa-apa. Waktu terus
berjalan, tahun terus berganti. Mas Anton tidak pernah memberi kabar apa-apa.
Kami tidak tahu di mana. Tanpa kabar, tanpa kasih sayang apalagi kiriman uang.
Sepertinya mas Anton sudah betul-betul menghilang dari kehidupan kami dan
anaknya Baiza. Ingin aku menangis, namun kembali aku teringat pesan mbak
Silvia. Maka tekadku akan memenuhi amanah mbak Silvia, menjadikan tante untuk
Baiza.
Nama Baiza dengan susah
dicari oleh mbak Silvia sebelum kelahirannya. Untuk apa mencarikan nama susah
jika tidak mampu mewujudkan makna di balik nama itu. Aku sedikit-sedikit memberi
contoh yang baik kepada Baiza. Kemudian
Baiza tumbuh menjadi bocah mungil yang memiliki sifat lembut seperti namanya,
putih hatinya, suci, cerdas dan cemerlang. Itu yang diinginkan oleh mbak
Silvia.
Saat Baiza sudah
beranjak umurnya, tanteku mengadopsinya. Tentu dengan terlebih dahulu dilakukan
rapat keluarga. Ibuku mengijinkan dengan syarat, ibu masih tetap dipanggil
nenek oleh Baiza. Kemudian kami sekeluarga masih diberi kesempatan menyanyangi
Baiza. Tanteku hanya menjawab iya setiap kali ibuku memberinya syarat. Dan itu
membuat kami bahagia.
Kini Baiza sudah
berumur empat tahun. Sifat mbak Silvia sepertinya turun kepadanya. Dia tampak selalu
bahagia, tidak pernah terlihat kesedihan di wajahnya. Dia bermain dengan teman
sebayanya dan selalu menjadi pusat perhatian karena wajahnya yang putih cantik.
Selama ini Baiza tidak pernah menanyakan ibu dan ayahnya. Yang ia tahu hanya
bahagia untuk dirinya dan untuk orang-orang tersayangnya. Aku tahu, kini pesan
mbak Silvia sudah dilakukan oleh Baiza. Ia tertawa bahagia di depan orang-orang
tersayangnya. Walaupun sebenarnya di dalam hati dan kehidupannya tersimpan
kegelapan yang tidak bisa dipungkiri lagi keberadaannya.
Tetapi aku lega, aku
sudah menjalankan pesan mbak Silvia dengan baik. Aku berharap ini akan bertahan
lama. Namun aku masih bingung kalau suatu saat Baiza tahu bahwa tanteku bukanlah
ibu kandungnya. Baiza mencari dan terus bertanya, aku harus menjawab apa?
Kurasa aku belum siap untuk itu semua. Aku belum siap membuat Baiza sedih dan
merasa luka ditinggal ibunya untuk selamanya, terlebih bapaknya yang pergi
tanpa alasan itu. Aku masih memikirkan, “Di mana ia harus mencari?” Tetapi setidaknya
Baiza sudah tumbuh menjadi gadis kecil yang cantik, ceria dan penuh tawa.
Sekarang tinggal bagaimana menata Baiza tumbuh menjadi gadis dewasa yang bisa
menerima suratan dirinya dan ibunya. Itu semua membuat Baiza bisa tahu dan
mengerti makna hidup yang sesungguhnya. Karena aku yakin Tuhan selalu bersamanya. (*)
Nama
Penulis : Ulfah Midiana
Sekolah :
SMPN 1 Depok Sleman Jogjakarta
Judul : Di Mana Dia Harus Mencari
#############################################################################
WAJAHKU
TIDAK ANGKER
Eka
Asokawaty Nur (Jawa Barat)
Hari cerah tak
membuatku merasa bercahaya di kelas pak Damian, guru matematika yang terkenal
sangat tegas. Beliau sedang menerangkan bab fungsi
komposisi dan fungsi invers. Mataku menatap papan tulis yang dipenuhi
rumus-rumus dan contoh soal yang ditulis pak Damian. Aku segera menyalin
tulisan di papan ke dalam buku catatanku.
“Oh ya, anak-anak,
siapa yang belum ulangan?” tanya pak Damian tiba-tiba.
Galang mengacungkan
jarinya.
“Cuma Galang saja?”
tanya pak Damian lagi. Aku mengacungkan jariku karena minggu lalu aku sakit dan
tidak ikut ulangan.
“Aku sama Dira saja
pak?” tanya Galang.
“Iya, kan hanya kalian yang
belum ulangan!” Pak Damian menegaskan.
“Gak mau pak!” ucap
Galang. Aku melirik ke arah Galang.
“Lho memangnya kenapa?”
tanya pak Damian bingung.
“Galang takut kalau
harus ulangan berdua dengan Dira, soalnya…” kata Ari teman sebangku Galang.
“Soalnya apa
teman-teman?” kata Ari lagi.
“Angkeerr!” jawab
beberapa cowok, kemudian mereka tertawa terbahak-bahak. Aku hanya bisa
tertunduk. Jujur hatiku sakit. Aku paham maksud mereka. Mereka mentertawakan
wajahku. Aku sadar bahwa kulitku hitam dan wajahku tidak menarik sama sekali.
Aku menghela nafas. Intan teman sebangkuku memegang pundakku, mungkin ia
mengerti yang kurasakan saat itu. Di antara teman-temanku hanya Intan yang
mengerti perasaanku. Dia selalu menenangkan aku ketika aku menangis karena
tidak tahan dengan ejekan-ejekan yang membuat hatiku sakit. Aku bersyukur punya
sahabat sebaik Intan.
“Sudah, sudah! Pokoknya
Galang dan Dira sepulang sekolah ikut ulangan susulan!” kata pak Damian tegas.
Galang tidak bicara
lagi. Dia langsung tertunduk kesal. Aku menghela nafas lagi. Hatiku masih
terasa perih. Suara ejekan dan tawa masih terasa menggema di gendang telingaku.
Aku lelah dengan ejekan yang kuterima setiap hari. Aku ingin berteriak kepada
dunia bahwa aku terluka. Aku sakit hati dengan semua hinaan yang tertuju
padaku.
Bel tanda pulang
berbunyi. Semua murid bersiap pulang termasuk aku. Aku memasukkan semua buku
yang tergeletak di meja ke dalam tas mungilku. Lalu Alfian sang ketua kelas
memimpin doa. Setelah pak Damian mempersilakan pulang, para murid berhamburan
keluar kelas.
“Galang, Dira ikut
bapak!” kata pak Damian.
“Aduh sial banget nasib
kamu, Lang!” kata Aris sambil geleng-geleng kepala.
“Kamu mau ikutan uji
nyali, ya?“ tanya Raka kemudian tertawa.
“Doakan aku ya, semoga
aku pulang selamat.” Kata Galang, disusul dengan tawa mereka bertiga.
“Ulangannya juga tidak
bakalan bener tuh!’ kata Ari.
“Lho memang kenapa?”
tanya Galang.
“Ya, iyalah. Bareng si
muka angker, serem begitu!” Ari menjawab, yang langsung disambut tertawa
bertiga lagi.
Aku dan Galang sudah
siap untuk ulangan. Soal ulangan telah ada di hadapan kami, menunggu untuk kami
kerjakan.
“Ayo mulai kerjakan.
Waktumu tiga puluh menit!” perintah kata pak Damian.
Aku langsung melahap
semua soal suku banyak dan teorema sisa
yang lumayan sulit. Aku sudah mempersiapkan dengan matang untuk ulangan susulan
ini. Galang terlihat kebingungan. Dia hanya melihat soal yang ada di depannya
tanpa mencoba mengerjakan. Dua puluh menit kemudian aku telah selesai
mengerjakan semua soal. Kemudian kuserahkan jawaban itu kepada pak Damian. Aku
melihat kertas jawaban Galang masih kosong. Belum satupun soal yang dikerjakan.
Galang menatapku dengan sinis. Aku hanya menunduk lalu melangkah keluar ruangan
untuk selanjutnya pulang.
Sampai rumah, aku
menuju kamarku yang sepi. Setelah mencopot sepatu aku berbaring di kasurku yang
empuk.
“Hari ini seperti
biasa, aku diejek lagi oleh mereka,” kataku kepada Rona, boneka sapiku yang
imut.
“Aku ingin mereka
merasakan yang aku rasakan.” Perlahan air mataku meleleh, hatiku terasa perih.
Aku ingin mereka berhenti mengejekku. Rasa sakit di dadaku membuatku menangis
tersedu.
Aku memperhatikan
dengan serius pelajaran bahas Jepang kali ini. Ini Sensei dengan gaya
mengajarnya yang menyenangkan, mampu membuatku terhipnotis dan menjadikan bahasa
Jepang sebagai palajaran favoritku.
“Tiara san, Himana toki nani o shimasuka?” kata Rini Sensei kepada
Tiara.
“Tomodachi to eiga o mimasu” jawab Tiara ragu.
Tok..tok..seorang
mengetuk pintu. Lalu Rini Sensei pun mempersilakan masuk.
“Maaf saya telat, Sensei,”
ucap Intan merasa bersalah.
“Kamu telat sepuluh
menit!”
“Izinkan saya masuk, Sensei,”
Intan memohon.
“Ya sudah, tetapi kamu
harus berdiri dulu di depan kelas selama sepuluh menit, setelah itu boleh
duduk!”
“Baik, Sensei,” kata
Intan dengan muka merah menahan malu, karena semua mata tertuju kepadanya.
Kami melanjutkan
pelajaran yang sedikit tertunda.
“Sensei, aku mau
tanya?” kata Ari mengacungkan jarinya.
“Silakan, mau tanya
apa?”
“Kalau bahasa Jepangnya
hitam apa, Sensei?” tanya Ari lagi.
“Kalau angker apa,
Sensei?” Galang juga ikut bertanya.
“Aku juga mau tanya
dong. Kalau bahasa Jepangnya perempuan berwajah angker apa, Sensei?” Raka ikut
bertanya pula. Lalu sebagian murid tertawa. Aku kesal, pasti mereka mencoba
mengejekku. Aku hanya bisa tertunduk, tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam hati
aku menjerit dan menangis.
Brukk..tiba-tiba Intan
jatuh pingsan. Semua panik. Alfian selaku ketua kelas mengangkat tubuh Intan,
mau dibawa ke UKS. Namun tiba-tiba Intan bangun.
“Aaarrrgghh…” Intan
menjerit. Semua kaget. “Kalian tidak punya hati!” Intan berteriak.
Aneh, yang keluar dari
mulut Intan bukan suara Intan. Suara itu terdengar seperti suara bapak-bapak.
“Kamu kenapa, Intan?”
tanya Rini Sensei.
“Di mana hati kalian?”
tiba-tiba Intan menghampiri Galang, Ari dan Raka. Tanpa diduga Intan mendorong
tubuh mereka bertiga hingga ketiganya terjengkang jatuh bergulingan. Kami tentu
kaget, melihat kekuatan Intan yang tidak semestinya.
“Mak..sud..nya?” Galang
menjawab terbata-bata. Tampak sekali Galang sangat ketakutan. Demikian juga Ari
dan Raka. Kemudian Intan membuat gerakan yang tidak terduga, menendang meja
hingga meja itu terbalik. Galang, Ari dan Raka semakin ketakutan dibuatnya.
Kami yang tidak diintimidasi oleh Intan saja takut melihatnya.
“Apa kalian tidak sadar
telah menyakiti Dira!” bentak Intan kepada mereka bertiga sambil melotot dan
menuding-nuding mereka. Jantungku berdebar, ketika Intan menyebut namaku.
“Aa..ku tidak ngerti,”
kata Raka semakin ketakutan. Tubuhnya gemetar. Namun tidak kulihat celananya
basah karena ngompol. Tidak terbayang seandainya itu terjadi.
“Mana hati kalian!”
bentak Intan semakin keras, disusul dengan dorongan lebih keras hingga mereka
terjatuh dan membentur tembok. Aku melihat mereka menahan sakit, sambil
memegang kepalanya. Mereka belum bisa bangun. Intan masih melototi mereka,
sambil berkacak pinggang.
“Apa salah kami?” suara
Galang memelas.
“Kalian selalu menghina
Dira. Apa kalian tidak sadar!” bentak Intan lagi. Aku baru sadar, bahwa aku
sepertinya mengenal suara itu. Ya, aku yakin itu adalah suara ayahku kalau
sedang marah. Aku ingat persis karena aku kadang dimarahi ayah jika aku
bermainnya kelewatan. Ayahku sudah meninggal lima tahun lalu, karena penyakit
jantung. Tiba-tiba bulu kudukku berdiri.
“Kami tidak menghina,”
jawab Ari dengan suara parau hampir menangis.
“Kalian masih tidak
sadar juga!” bentak Intan galak.
“Kami hanya bercanda,”
kata Galang yang juga hampir menangis.
“Coba kalian pikir!
Perbuatan kalian itu bukan lagi bercanda!” Intan semakin kalap. “Itu sudah
keterlaluan. Sangat menyakitkan!” kali ini Intan berteriak keras.
Galang, Ari dan Raka
semakin terpuruk. Seperti tikus clurut masuk comberan. Bajunya basah kuyup oleh
keringat. Mukanya pucat pasi saking takutnya. Badannya semakin gemetar.
Sepertinya lebih baik mereka pingsan saja. Namun teror untuk mereka bertiga
belum reda. Kembali Intan menendang meja yang hampir saja mengenai tubuh mereka
bertiga. Semakin tambahlah ketakutan mereka. Mereka bertiga meringkuk di pojok
kelas, berhimpitan seperti maling ayam ketangkap massa, minta pengampunan.
“A..ku..mo..hon
ma..aaf,” ucap Galang lirih nyaris tak terdengar.
“Aku juga mohon maaf, “
kata Ari dan Raka hampir berbarengan.
“Kalian harus ingat!
Dira juga manusia, dia punya hati dan perasaan. Saat kalian tertawa, kalian
harus tahu, Dira menangis!”
“Kami mohon maaf,” kata
Galang menghiba.
“Tidak ada gunanya
kalian minta maaf kepada saya!” bentak
Intan dengan mata semakin melotot.
“Kami menyesal,” kata
Galang tersengal, hatinya serasa diaduk-aduk.
“Kalian harus minta
maaf kepada Dira!” suara Intan
menggelegar.
Dengan sempoyongan mereka bertiga bangun. Kemudian dengan ragu
dan jalan tertatih mendekatiku. Belum sampai mereka berbicara kepadaku,
tiba-tiba Intan menendang meja lagi. Galang, Ari dan Raka terduduk lagi. Kali
ini mereka nyaris duduk simpuh di hadapanku. Tampak sekali wajah mereka pucat
dan dalam kondisi yang betul-betul tertekan. Aku bisa merasakannya.
“Bukan hanya kalian
bertiga! Semua yang pernah menghina Dira harus minta maaf kepadanya!” perintah Intan galak.
Selagi Galang, Ari dan
Raka bersimpuh, murid-murid yang lain menghampiriku, kemudian minta maaf dan
menjabat tanganku. Tiba-tiba saja Intan jatuh, pingsan lagi. Alfian membopong
Intan ke UKS. Aku mengikuti dari belakang. Setelah kuolesi dengan minyak angin,
beberapa menit kemudian Intan siuman.
“Aku kenapa?” tanya
Intan kebingungan setelah tersadar.
“Terima kasih ya,
Intan.” Aku langsung memeluk Intan.
“Terimakasih untuk
apa?” Intan masih kelihatan bingung.
“Untuk yang tadi di
kelas!” kataku menjelaskan.
“Aku tidak ngerti. Aku
kok lemes banget ya?” tanya Intan tidak mengerti dengan apa yang baru saja
terjadi.
Tiba-tiba Galang, Raka
dan Ari muncul di UKS. Mereka langsung menghampiriku.
“Aku minta maaf Dir.”
Kata Galang dengan suara yang tidak lagi gemetar.
“Aku juga Dir, minta
maaf ya,” kata Ari dan Raka bersamaan. Mereka bertiga menjabat tanganku.
“Iya. Aku maafkan kok.”
Kataku kepada mereka. Saat mengucapkan itu, hatiku terasa lega.
“Terima kasih ya!” kata
mereka bertiga bersamaan. Intan di ranjangnya menatap kami dengan bingung.
Note
:
Tiara san, Himana toki nani o
shimasuka - artinya
Tiara, apa yang kamu lakukan di waktu luang.
Tomodachi
to eiga o mimasu -
artinya menonton film bersama teman. (*)
Nama : Eka Asokawaty Nur
Sekolah : SMAN 1 Mande Cianjur Jawa Barat
Judul : Wajahku Tidak Angker
~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~
Dapatkan
tulisan-tulisan yang lain pada posting berikutnya :
“ Kumpulan
Tulisan Terpilih Karya Anak Semua Bangsa Jilid III “
Semua adalah
persembahan Pataba Press Blora
Pataba ada di
Blora untuk Indonesia dan dunia
Membangun
Masyarakat Indonesia
adalah
Membangun Budaya
Membaca dan Menulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar