Kamis, 10 Mei 2012

Pataba Press Buku 4 " Kumpulan Tulisan Terpilih Karya Anak Semua Bangsa "


SIAPA AKU INI..?
Vinca Dia Kathartika Pasaribu

Aku insan jelata-mungkin,
sebab demikian mereka senantiasa menjulukiku
Berteriak menggaungkan elegi atas himpunan hasrat
yang berakhir sebagai epitaf kematian
Betapa aku ingin memanah semesta,
tapi.., siapa aku?
Berjalan saja mesti dengan langkah-langkah telanjang
yang membekaskan jalang ke tubuh tanah

Tuhan..Tuhan.., siapa aku ini?

Pernahkah kau cantumkan namaku di kamus bumi,
Tempat tersimpan segala riwayat makhluk,
Atau adakah kau pernah memetakan runut kelahiran di atlas kehidupan?

Kumohon, jawab satu tanyaku Tuhan.., siapa aku ini?
(*)


Vinca Dia Katartika Pasaribu (SMPN I Jember)
Lahir : Jember, 17 Februari 1996
Perum Pondok Gede Blok CE No.18 Jember Jatim
****************************************************************
SIAPA AKU?
Erna Yulianti

Kenalkan aku Falentina Rosita Hutama. Namaku tak seindah hidupku. Aku lahir pada 14 Februari 1995. Aku duduk di bangku kelas 9 SMP 12 Bogor. Aku juga punya satu kakak, namanya Nanha Rosita Hutama, kelas 11 SMA 3 Bogor. Falentine Rosita, nama mamaku. Hutama nama kakekku. Sudah 14 tahun aku hidup tanpa kasih sayang mama.
Aku tidak tahu salahku apa pada mama. Mama tidak mengharapkan aku lahir. Yang memberi namaku saja kakekku. Aku ingin sekali dipeluk mama dan dicium mama seperti kak Nanha yang setiap hari disayang mama.
Huh.., hari ini jam di sekolah ada matematika. Aku paling benci dengan pelajaran itu. Setelah sarapan kak Nanha dan aku biasa berangkat bareng. Sebelum masuk mobil mama selalu memeluk kak Nanha dan mencium keningnya.
“Sayang, hati-hati di jalan,” kata mama
“Iya Ma,” kata kak Nanha.
“Kek berangkat dulu.”
“Ya, hati-hati,” sahut kakek.
“Ma, Falen berangkat dulu ya.”
Mama hanya diam dan langsung menuju ke dalam rumah.
“Sudah Falen, segera berangkat!” kata kakek.
Aku dan kak Nanha segera masuk dalam mobil.
Bel berbunyi, aku segera masuk kelas. Uh.., setiap hari selalu ketemu dengan kodok itu, alias Rahma Ardian Bayu. Setiap hari aku selalu diganggu Bayu. Tempat duduknya di belakangku.
“Aduh sakit,” kataku sambil memukul kepala Bayu dengan buku.
“Apaan sih?”
“Kamu tuh, kalau sehari saja tidak mengambil satu per satu rambutku pasti hidupku tentram,” kataku.
Bel istirahat berbunyi. Biasa aku dan Siska sahabatku langsung menuju kantin.
“Len, dipanggil tuh sama bu Marina dan teman-teman bandmu.”
“Ok, thanks ya.”
Aku seorang vokalis. Bandku namanya Gerhana Band, terdiri dari 5 orang. Rahma Ardian Bayu, Dhany Setiawan, Dhony Prasetya, Siska Putri Ayu dan aku. Semua dipanggil bu Marina ke kantor guru.
“Bu Marina memanggil kami?” tanyaku.
“Ya, ada yang mau ibu sampaikan pada kalian. Besok tanggal 1 Januari, sekolah kita diikutkan lomba band tingkat nasional. Jadi sekarang kalian harus sering latihan.”
“Ya bu, nanti kami latihan setelah jam sekolah selesai.”
“Baik, sekarang kalian kembali ke kelas.”
Kami kembali ke kelas. Kami semua satu kelas, kelas 9A. Bel pulang berbunyi. Aku segera SMS kak Nanha untuk tidak jemput aku.
“Ayo segera masuk studio.”
“Ok.”
Setelah latihan aku segera pulang karena mendung.
“Uh..pak sopir kok belum jemput ya,” kataku.
Tiin..,Tiin.., ada cowok yang mengklaksonku dari belakang.
“Eh..ada apa sih. Siapa sih kamu?”
Cowok itu membuka helmnya.
“Ha..kamu Bay, kirain siapa. Rupanya si kodok.”
“Ha..Ha..sendirian kamu? Yuk kuanter!”
“Ada angin apa kamu baik sama aku?”
“Sudahlah, mumpung aku baik.”
“Ya sudah terpaksa aku gonceng kamu.”
Bayu menurunkan aku di depan rumah.
“Dah dulu ya,” kata Bayu.
Aku segera masuk. Waktu aku mau membuka pintu, mama membuka duluan.
“Dari mana saja kamu, baru pulang?” mama marah padaku.
“Tadi aku latihan Ma.”
“Alah, alasan.”
“Sudah jangan memarahi Falen seperti itu. Kasihan dia baru pulang kamu omeli,” kata kakek.
“Alah selalu saja bela Falen. Dasar..”
Aku menangis di dalam kamar sambil memeluk baju mama, karena aku ingin sekali dipeluk mama. Setiap hari aku hanya bisa memeluk bajunya saja.
“Falen,” kata kak Nanha.
“Ya Kak, masuk.”
“Kenapa kamu nangis. Dimarahi Mama?”
“Kenapa Kak aku selalu dibedakan sama kakak? Padahal aku anak mama juga. Apa salahku?”
Aku menangis sambil memeluk kak Nanha.
“Kamu nggak salah kok Len. Mama paling lagi kesel saja.”
“Nggak Kak. Kenapa setiap hari mama begitu sama aku?”
“Sudahlah, sabar saja kamu. Sudah ya, Kakak keluar dulu.”
Aku segera tidur karena besok harus ikut lomba.
“Ma..,” kak Nanha masuk kamar mama.
“Ya Na, masuk!”
“Aku mau tanya tapi nanti jawab jujur ya?”
 “Hem.. sayang kamu mau tanya apa?”
“Kenapa sih mama benci sama Falen?”
“Oh itu, memang kenapa?”
“Nggak apa-apa. Jawab jujur Ma!”
Tidak sengaja aku mendengar pembicaraan kak Nanha dengan mama waktu aku mau ambil minum. Aku terus berdiri di depan kamar mama, sambil membawa air minum.
“Ya. Mama akan cerita.”
Sambil menangis mama menceritakan semuanya.
“Falen anak haram..”
“Gara-gara dia papa meninggal. Falen anak preman. Waktu mama dan papa sedang naik mobil menuju rumah, kami dihadang perampok. Mereka membunuh papa saat papa melawan. Mereka mengambil semua uang, dan menghamili mama. Dua bulan setelah kejadian itu mama menjadi orang stress. Mama mengandung anak perampok itu. Setelah lahir mama ingin sekali membunuh bayi itu. Tetapi kakek selalu menghalangi mama. Itulah mengapa mama benci sekali dengan Falen.”
“Ouh, tapi mama nggak harus benci dengan Falen karena dia juga anak mama.”
Aku kaget dan shock mendengar perkataan mama, sampai minuman yang kubawa jatuh.
“Suara apa itu,” kata mama mendengar gelas jatuh.
Aku langsung keluar rumah. Waktu itu hujan deras.
“Ya Allah kenapa aku hidup. Mama saja menganggapku anak haram.”
“Falen, ayo masuk!” kata kak Nanha.
“Nggak. Aku sudah dengar semuanya. Aku anak haram.”
“Nggak Len, kamu adikku. Aku sangat sayang sama kamu.” 
“Cepat masuk, besok kamu kan lomba!”
Setelah masuk rumah, aku nggak berani lagi melihat mama.
Aku masuk sekolah dengan wajah pucat.
“Kamu kenapa Len?” tanya teman-teman dan bu Marina.
“Nggak apa-apa Bu!”
“Ya sudah. Kamu nggak usah masuk dulu, kebetulan lombanya diundur.”
“Kuantar pulang ya?” kata Bayu.
“Ya Bay. Pusing banget. Makasih ya.”
Sampai rumah, aku tiduran sambil memandang foto mama dan papa.
Kring.. telpon bordering.
“Halo, siapa ini?”
“Maaf mbak, apa benar ini telpon rumah bu Rosita?”
“Ya benar, ada apa ya?”
“Bu Rosita mengalami kecelakaan dan masuk RS Wijaya.”
“Apa, mama kecelakaan? Ya sudah Pak terimakasih.”
Aku segera telpon kakek dan kak Nanha. Kami segera meluncur ke RS Wijaya.
“Mama.., kok bisa begini sih?” kata kak Nanha.
“Maaf Mbak, jangan diganggu dulu pasien ini.”
Aku memandang mama dari jendela kamar.
“Alhmadulillah, bu Rosita sudah sadar,” kata dokter yang merawat mama.
Aku, kakek dan kak Nanha segera masuk.
“Sana pergi kamu, anak haram!” kata mama kepadaku.
“Baik Ma, tapi sebelum pergi aku ingin sekali mencium kaki mama. Surga itu di telapak kaki mama. Ma, maafin Falen kalau banyak salah. Falen sayang sama mama,” kataku sambil mencium kaki mama.
Selesai mencium kaki mama, aku langsung pergi.
“Kamu keterlaluan, dia anakmu sendiri!” kata kakek.
“Ya Pa, aku baru sadar yang kulakukan salah.”
“Cepat kejar Falen!”
“Falen! Falen!” jerit mama sambil berlari keluar.
Aku sudah di seberang jalan rumah sakit. Aku mendengar mama memanggilku. Aku langsung lari dan ingin memeluk mama, tetapi ada truck yang tiba-tiba saja sudah menabrakku. Mama langsung memelukku yang sudah berdarah-darah.
“Falen, maafkan Mama!”
 “Ng..nggak..pa..pa..Ma. Fa..len..sa..yang..mama.”
“Ya Nak, jangan pergi Nak!”
Aku langsung dirawat di RS Wijaya. Aku koma dua hari. Setelah sadar seluruh tubuhku tidak bisa lagi digerakkan dan tidak bisa bicara. Mama terus memelukku dan berkali-kali minta maaf.
Aku sudah putus sekolah, tetapi teman-teman dan bu Marina sering berkunjung ke rumah. Aku setiap hari hanya bisa berbaring, makan saja disuapi mama. Aku bahagia sekarang bisa disayang mama. Kami hidup bahagia meskipun aku cacat.
Namun ada berita lain yang kemudian kudengar sangat mengejutkan. Perampok yang membunuh papa adalah om Falen sendiri, yang sebenarnya juga mencintai mama. Namun cinta itu bertepuk sebelah tangan, karena mama hanya cinta kepada papa saja.
Bagiku itu adalah duniaku yang bahagia, manis sekaligus tragis. Mengetahui ayah kandung yang berwujud adik kandung papa sendiri. Lalu siapa aku? (*)

Erna Yulianti (SMPN di Blora)
Lahir : Rembang, 20 Juli 1996
Jl. Rambutan Rt2/2 Magersari Rembang.


******************************************************

AKU MENCARI TUHAN
Rendy Erianda

Dulu, tak pernah terlintas di benakku untuk mempertanyakan Tuhan. Kala itu, ibu selalu mendudukanku di pangkuannya serta mengisahkan tentang kebesaranNya dalam berbagai peristiwa dan ciptaanNya. Dan aku pun termangu, mengangguk, walau apa yang kumengerti belumlah cukup untuk menyelami keberadaanNya.
Ketika aku menjalani hidupku, banyak hal membuatku mulai mempertanyakan Tuhan. Jika Ia benar ada, mengapa Ia tega membiarkan sahabatku tertabrak mobil hingga tewas mengenaskan? Jika Ia menyanyangiku, mengapa Ia tinggal diam melihat ayahku meninggalkanku di sebuah panti sepeninggal ibu? Jika Tuhan adil, mengapa Ia bergeming saat semua yang kumiliki lenyap bersama hilangnya setitik kebahagiaan dalam hidupku?
“Tuhan itu tak ada,” ucap sahabat-sahabatku suatu kali sambil menunjuk ke sebuah dipan reyot dalam gubuk tak jauh dari kota kami.
Aku menoleh ke arah yang mereka tunjuk. Aku melihat seorang bocah terbaring tanpa daya. Tubuhnya begitu ringkih, hanya belulang dibalut keriput. Bibirnya yang mengering menganga lebar. Mata cekungnya menatap penuh derita dan untuk menangis pun ia tak sanggup lagi.
“Tuhan memang tak ada,” ucap sahabat-sahabatku lagi, “Ia hanya direka sebagai alasan untuk bertikai dan saling menyakiti.”
Aku termangu membisu, tapi sekejap kemudian mengangguk. Sudah terlalu sering aku mendengar agama dijadikan alasan untuk saling menghujat, menyerang, menyakiti, bahkan membunuh. Aku masih ingat betapa segerombolan orang yang mengaku mengenal Tuhan dan taat menjalankan perintahNya, menebar ketakutan hingga meresahkan orang. Aku juga takkan lupa ketika dengan mata kepalaku sendiri menyaksikan pengrusakan sebuah rumah ibadah karena keyakinan dan cara mereka berbeda dari yang diyakini sebagian besar penganut agama lainnya.
“Lupakan Tuhan,” bisik sahabat-sahabatku, “Ia takkan ada untuk siapa pun, karena Ia memang tak ada.”
Aku mencoba mengacuhkan bisikan mereka. Tetapi, mataku malah tertumbuk pada sesosok perempuan yang terbaring di pinggir jalan. Pakaiannya yang serba terbuka tampak acak-acakan. Di sana-sini kulihat terkoyak dan mengangakan luka.
“Apa yang terjadi?” sapaku terbata, “Ada apa denganmu?”
“Aku pelacur,” sahutnya mengejutkanku, “Mereka memukuliku dan mencampakkanku setelah puas menyiksaku.”
“Apa salahmu?” tanyaku lagi.
“Tak mengertikah kau?” desisnya, “Aku ini pelacur. Aku tak ada artinya dibanding orang-orang yang mengaku mengenal Tuhan. Di mata mereka, aku bukanlah manusia.”
Aku menatapnya lekat-lekat. Yang kulihat hanya kemarahan dan keputusasaan. Maka aku memalingkan wajahku.
“Teruslah berpaling!” teriaknya melengking hingga memekakkan telingaku, “Bahkan Tuhan pun memalingkan wajahnya dariku. Atau memang Tuhan itu tak ada.”
“Lebih baik aku kembali ke kotaku yang megah, “pikirku, “Mungkin di sana bisa kutemukan kelegaan.”
Ternyata pikiranku keliru. Apa yang kulihat sungguh jauh dari melegakan. Di sebuah gedung di mana seharusnya masyarakat merasa terayomi, aku melihat seorang perempuan tua miskin diadili karena mengambil tiga buah mangga dari pohon milik tetangganya. Sungguh malang nasib perempuan itu. Ia harus duduk gemetar di hadapan hakim yang hanya bisa menangis melihat deritanya. Padahal tak jauh dari sana, sekelompok tikus berharta sedang tertawa riang mengatur perkara agar tak menjerat dirinya. Bersama mereka turut terbahak segelintir hakim yang rela martabatnya diinjak-injak demi uang.
“Jika Tuhan itu ada, tak mungkin Ia diam saja melihat ini semua,” batinku.
Di gedung sebelah, pemandangan yang tak kalah mengiris hati membuatku kembali mempertanyakan Tuhan. Di sana sekumpulan pemungut pajak tengah membagi-bagi hasil pungutannya yang seharusnya disetorkan ke kas negara. Dengan tamak, mereka meraup kepingan-kepingan yang dengan susah payah dibayarkan rakyat. Dan perut buncit mereka kian membesar ketika berdatangan pengusaha licik menawarkan setumpuk uang agar kewajibannya diringankan.
“Benar, Tuhan memang tak ada,” batinku, “Jika ada, takkan mungkin Ia membiarkan ketamakan merajalela.”
Aku bingung harus beranjak ke mana. Tampaknya tak ada lagi sudut yang bisa kutempuh untuk melegakanku. Sekonyong-konyong aku merasa kepalaku sangat berat dan pandanganku berubah suram. Aku tak tahu apa yang terjadi padaku. Kurasa aku kehilangan kesadaran. Kurasa aku jatuh menghantam lantai hingga mengejutkan orang-orang yang lantas menyeret tubuh lunglaiku dan mencampakkan entah ke mana.
Ketika tersadar, aku sudah berada di pesisir pantai. Senja hampir tiba. Matahari, yang sepanjang hari begitu perkasa menyiksa manusia-manusia yang tak memiliki tempat berteduh, sekejap lagi akan terlelap di peraduannya. Sementara aku masih saja sibuk mencari Tuhan hingga nyaris putus asa.
“Di mana kebesaranMu Tuhan?” teriakku parau pada senja yang mendekat, “Apakah Kau benar ada? Jika Kau memang ada, mengapa Kau biarkan ada manusia yang menderita, sementara yang lain bergelimang ketamakan dan berkubang dalam keacuhan?”
Aku menunggu beberapa saat, tapi tak ada jawaban. Aku berteriak dan bertanya lagi, namun tetap tiada sahutan.
“Mungkin memang tak ada Tuhan,“ bisikku, “Tak ada gunanya semua ini.”
Mendadak semilir angin menampar wajahku, memalingkan pada sesosok nelayan yang perlahan menghela perahunya ke sebuah dermaga. Tidak banyak yang dibawanya. Hanya beberapa ekor ikan seukuran jari telunjuk orang dewasa. Toh wajahnya tetap menyunggingkan senyum. Begitu juga wajah istri dan anak-anaknya yang berhamburan menyambut kedatangannya.
“Ayah…,” jerit bocah-bocah itu sambil menghambur ke pelukan sang ayah.
Aku tak mendengar sepatah kata pun terucap dari mulut sang istri. Tapi aku melihat jelas senyum tersungging di wajahnya walau takkan banyak yang bisa diolah untuk menemani bersantap.
Dari luar gubuk, masih terdengar canda tawa yang terpancar menghangatkan senja. Aku juga bisa mencium aroma ikan yang dibakar dengan sedikit garam. Sederhana memang, namun tampak sudah cukup menggembirakan hati bocah-bocah yang tak pernah diajari untuk banyak menuntut.
“Mungkin Tuhan itu ada,” batinku, “Setidaknya untuk orang-orang yang selalu bersyukur walau hidup serba berkekurangan.”
Aku melangkah lagi seolah belum cukup jauh jarak yang kutempuh. Tak lama aku tiba di sebuah bundaran. Di sana kulihat ratusan mahasiswa berunjuk rasa menuntut pemberantasan korupsi dan mafia peradilan. Pekikan semangat kudengar silih berganti dengan orasi yang kian membahana semangat mereka.
Sekejap kemudian, suasana berubah tegang. Para mahasiswa terlibat saling dorong dengan ratusan aparat bersenjata lengkap yang bermaksud membubarkan unjuk rasa itu. Tak kulihat seraut rasa takut terpancar di wajah belia para mahasiswa. Tak juga rasa gentar mengahadapi ancaman senjata api ataupun meriam air yang setiap saat siap mengobrak-abrik.
Hanya sepelemparan batu dari sana, kulihat beberapa tenda beratapkan terpal seadanya. Di dalamnya beberapa aktivis tampak meringis menahan lapar. Mereka lapar bukan karena tak sanggup membeli makan. Mereka lapar demi memperjuangkan orang-orang miskin yang kelaparan. Entah sampai kapan mereka kuat menahan lapar, tetapi akan selalu ada orang lain yang menggantikan mereka berjuang hingga tak ada lagi kelaparan di negeri ini.
“Mungkin Tuhan memang benar ada,” kembali aku membatin,”Jika tidak, siapa yang menggerakkan nurani mereka untuk memperjuangkan kebenaran dan hak orang tertindas?”
Aku melangkah lagi, membiarkan nuraniku menuntun langkahku yang mulai menemukan arah. Tak lama aku tiba di sebuah rumah sederhana yang dipadati banyak orang. Di depannya kulihat plang lusuh bertuliskan ‘Pengobatan Gratis untuk Warga Miskin’. Aku melangkah masuk, perlahan menyeruak kerumuman orang yang tampak meringis menahan sakit yang entah sudah berapa lama diidapnya. Di dalam sebuah ruang temaram, aku melihat seorang dokter muda sibuk memeriksa pasien dan membagikan obat-obatan.
Ia sama sekali tidak meminta bayaran atas jasanya. Ucapan terima kasih dan anggukan hangat sudah cukup kiranya untuk melerai rasa lelah yang pasti membebaninya. Sesekali kulihat ia menghapus air mata ketika berhadapan dengan pasien yang mengidap penyakit sedemikian parahnya. Ia tentu mengerti bahwa tak banyak lagi yang bisa diperbuat. Toh, ia tetap menyapa mereka dengan hangat dan mendengarkan keluhan demi keluhan. Aku terdiam melihat semuanya. Sungguh, lidahku terlalu kelu untuk berucap apapun. Hanya nuraniku yang kembali berbisik.
“Tuhan memang benar ada,” bisik nuraniku, “Ia yang telah menggerakkan manusia untuk membantu sesamanya tanpa mengharapkan balasan.”
Aku berlari keluar. Tak ingin lebih lama menghalangi orang-orang yang ingin mencari kesembuhan di sana. Tiba-tiba langkahku terhenti. Pandanganku terpaku pada dua, bahkan tiga, empat lima rumah ibadah berbeda agama yang berdiri bersisian. Dari dalam, aku bisa mendengar dua lantunan doa yang sama menyejukkan. Tampak pula umat yang usai menunaikan ibadah saling bertegur sapa dan tersenyum tulus. Tak ada kebencian. Tak juga perasaan paling benar atau menggangap yang lainnya kafir, tampak di sorot mata mereka.
“Ya Tuhan, ampunilah aku, “ pekikku dalam hati, “Ampunilah hambaMu yang pernah mempertanyakan keberadaanMu. Aku sudah mengerti sekarang. Engkau selalu ada, dari dulu, sekarang sampai kapan pun.”
Tuhan bukannya tak sanggup membuat segala sesuatu menjadi baik dan teratur sesuai kehendakNya. Ia hanya ingin memberikan pilihan kepada manusia-manusia yang telah dikaruniaNya akal pikiran. Ia ingin manusia berjuang menemukan hakikatNya dan kebenaran dengan kesadarannya sendiri. Tetapi sekejap pun Ia tak pernah membiarkan manusia sendirian. Ia selalu hadir untuk mereka yang mengingat dan berserah padaNya. (*)

Rendy Erienda (SMA Harapan Mandiri kelas XI IPS)
Lahir : Takengon, 16 September 1994
Jl. Medan-Dalitua Gg.Baktyi No.112 B Medan Sumatera Utara

*********************************************************

LUKA SAAT CINTA MENYAPA
Dartia Utari

Di tepi pantai Sakura, pantai yang selalu sepi di tengah keramaian kota Tokyo. Sosok pemuda menatap lekat gadisnya, iris mata amesthy miliknya seakan mencoba mengalirkan perasaan halus ke iris mata emerald sang gadis. Mungkin sebuah kebahagiaan, tetapi sangat mungkin untuk sebuah harapan. Jika di dunia ini ada sepasang kekasih yang merasa begitu bahagia malam ini, pastilah mereka. Hanya tinggal menghitung hari akan tiba masa di mana mereka akan mengucapkan janji suci dalam ikatan sakral di mataNya.
“Romi, dua hari lagi cinta kita akan benar-benar bersatu, apakah Romi bahagia?” tanya sang gadis dengan manja.
“Pertanyaan bodoh dari orang bodoh. Tentu aku bahagia Julia. Aa..aku..” Romi merasa seperti tak dapat berbicara.
“Kamu kenapa?” tanya Julia keheranan.
“Aku mencintaimu Julia, dan hanya dirimu,” semburat merah samar terukir di kedua pipinya.
“Julia juga cinta Romi, aisheteru,” sebuah senyum menghiasi air mukanya.
Romi menarik Julia ke dalam dekapannya, Julia membalas pelukan sang kekasih, ditenggelamkannya wajahnya ke pelukan Romi, calon suaminya. Sekejap kemudian angin pantai berhenti bertiup, seakan tak kuasa menyumbangkan kebahagiaan yang tumbuh bersemi di hati mereka.
Romi, ayo pulang, Julia sudah lelah,” suara manja Julia memecahkan keheningan.
Sampai di rumah, Julia sudah membayangkan saat-saat di mana ia akan mengenakan gaun putih elegan berhiaskan bunga hijau tua indah senada dengan warna mata emeraldnya, di mana semua mata memandang takjub akan kecantikannya. Spontan wajahnya memanas, semakin panas hingga ia tak kuasa menahan geli mengingat apa yang baru saja dipikirkan. Ditenggelamkannya air mukanya ke dalam bantal, hingga ia benar-benar tertidur pulas bermimpi tentang hari esok yang dinanti.
Di balik pintu, sepasang iris mata rubi menatap perangainya dengan rasa tak suka, Mijua. Ya..,sosok itu adalah Mijua, teman satu asrama sekaligus sahabat Julia. Sahabat yang diam-diam mencintai Romi, kekasih Julia yang dua hari lagi akan menjadi pendamping hidup Julia. Agaknya Mijua sangat terpukul dengan rencana pernikahan Romi dan Julia. Namun Romi dan Julia terlalu buta akan cinta mereka, untuk mampu membaca isi hati Mijua yang terluka.
Hari yang Romi dan Julia tunggu telah tiba bersama terbitnya fajar di ufuk timur. Jam berganti jam hingga waktu itu benar-benar tiba. Romi telah duduk di tempatnya. Namun satu jam berlalu, Julia tak kunjung menampakkan parasnya. Romi mulai gelisah, rasa cemas menyergap jantungnya seolah menghisap semua tenaga dari tubuh kekarnya. Dua jam telah berlalu, mendung duka, mungkin kecewa menutupi air muka mempelai pria, pasrah…
“Julia tidak datang,” Romi dengan senyum yang terlalu dipaksakan adanya. Berbeda dengan Romi yang mulai hilang kesadarannya, para tamu undangan saksi dan pendeta tak terkecuali Mijua tetap sabar menanti kehadiran Julia.
Dan akhirnya kedua mata emerald milik mempelai pria menangkap sosok Julia dengan wedding dressnya yang menyapu altar. Romi pun tersenyum lega. Namun Romi menangkap kejanggalan atas keterlambatan Julia. Julia bukanlah orang tak menghargai waktu, apalagi sampai terlambat bagitu lama di hari pernikahannya. Semoga itu bukan pertanda buruk bagi cinta mereka.
“Romi Saputra, apakah anda bersedia mencintai ananda Julia Utami, di saat senang maupun sedih, di waktu sakit dan sehat maupun selamanya?” pertanyaan dari sang pendeta menyadarkan Romi dari lamunannya.
“Ya saya bersedia,” jawab Romi sambil berusaha menekan pikiran anehnya.
“Dan ananda Julia Utami, apakah anda bersedia mencintai Romi sampai maut memisahkan kalian berdua?”
Julia menghela nafas panjang, senyum mengembang di kedua sudut bibir manisnya. Belum sempat Julia menjawab, sosok Mijua ambruk tak jauh dari mereka berdua. Sontak semua mata mengalihkan pandangan mereka tertuju pada tubuh yang tergeletak lemah di lantai. Jerit pekik kepanikan pecah di setiap sudut gereja. Mijua segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Firasat Romi memang nyata adanya. Kejanggalan yang tertangkap oleh matanya mengisyaratkan pertanda, setidaknya pernikahan mereka tertunda karena sakitnya Mijua. Di RS Bandai Tokyo di kamar 2995, Mijua terbaring tak berdaya, dan Romi sadar petaka ini tak akan hanya sampai di sini.
Tiga hari berlalu belum ada perkembangan yang berarti, semua masih sama, hanya ada Romi dan Julia di ruangan sempit, yang kental dengan aroma obat, menunggu Mijua membuka matanya. Mereka tidak cukup egois untuk sekedar melanjutkan pernikahan, sedangkan Mijua, orang yang berjasa mempertemukan Romi dan Julia, masih terbaring koma.
Satu minggu berlalu, gerakan tangan Mijua tertangkap oleh Julia. Romi segera memanggil dokter untuk memerika Mijua, namun Mijua belum membuka mata apalagi berbicara. Hari mulai malam, jarum jam tua di dinding kamar menunjuk angka 9.
“Ro.., Romi.., Ro..mi..,” suara Mijua bergetar lembut namun cukup jelas untuk membuat Julia dan Romi terjaga.
Ada getar halus namun perih menyusuri setiap desiran darah Julia.
“Aa..apa? Mengapa Mijua menyebutkan nama Romi? Adakah sesuatu yang disembunyikan Mijua?” segala pertanyaan menyergap batin Julia.
“Romi.., aku mencintaimu..,” suara Mijua kembali terdengar, namun kali ini lebih jelas.
“Maaf, apakah di sini ada yang bernama Romi? Saran saya, sebaiknya kalian berdua mencari orang itu! Kehadiran seseorang yang bernama Romi akan sangat membantu kesembuhan pasien,” tutur dokter yang datang bersama Romi, setelah memeriksa keadaan Mijua.
Seolah tersayat-sayat sembilu, Julia hanyut dalam diamnya, sakit, marah, kecewa, sedih menguasai hatinya. Romi berdiri mematung memandang gadisnya. Saat ini yang ia takutkan bukanlah sakit Mijua, namun perasaan Julia yang terluka. Romi bisa melihat air mata jatuh dari pipi gadisnya. Romi mendekap Julia, karena ia yakin hal inilah yang Julia butuhkan. Namun Julia bergeming, diam seribu bahasa. Kini ia melihat butiran air mata lebih deras lagi. Romi bisa mendengar suara Julia merintih, menahan tangisnya agar tidak meraung, namun agaknya tak kuasa. Julia meraung dalam pelukan Romi.
“Sudahlah Romi, jadilah pendamping Mijua. Obati luka yang telah aku torehkan di hatinya. Cintailah dia seperti saat kau mencintaiku. Aku bisa bahagia tanpa dirimu. Namun Mijua akan mati bila kau tak di sisinya.”
Julia sadar kalimat terakhirnya telah mengisyaratkan bahwa ia telah melepas Romi untuk Mijua selamanya. Kalimat yang menjelaskan berarti Romi bukan miliknya. Julia memang telah berhenti menangis, namun kini batinnya menjerit dihimpit cinta dan luka. Kini Julia tak punya apapun. Ia beranjak pergi meninggalkan Romi calon suaminya, bersama Mijua sahabatnya. Julia memberi ruang untuk mereka berdua.
Julia berjalan menuju pantai Sakura yang hanya berjarak satu kilometer dari rumah sakit. Ia berjalan setengah berlari, makin lama makin cepat ia ayunkan kakinya hingga sampai bibir pantai. Julia berhenti sejenak, mencoba menikmati rasa sakit pada telapak kakinya yang menginjak pasir tersapu air pantai. Sekiranya mampu menghapus segala rasa sakit di hatinya. Ia tersenyum pilu, berharap Tuhan akan menerimanya. Julia meneruskan langkahnya, kini ombak makin deras menekan, tubuh mungilnya serasa melayang di batas tipis kesadaran. Ia merasa seseorang menarik pinggangnya.  Apakah itu malaikat kematian? Tetapi mengapa ia seakan menjauh dari kematian? Samar-samar ia membuka mata, tampak sosok yang amat dikenalnya, Romi Saputra. Mengapa ia ada di sini? Apakah ini  mimpi? Atau memang belum mati?
“Romi..,” Julia berusaha duduk.
“Syukurlah Julia, kau baik-baik saja. Aku..aku.” belum habis perkataannya, Romi telah memeluk Julia.
“Aku mencintaimu. Mungkin aku tak bisa lagi menjadi kekasihmu, namun aku bisa mati bila kau benar-benar pergi dariku. Kumohon Julia, tetaplah di sisiku, meski hanya sebatas temanku, hanya melihatmu sudah cukup untukku.”
Julia tidak bicara, namun sorot iris mata emeraldnya sudah cukup mengungkapkan isi hartinya. Saat ini ia hanya ingin menikmati detik-detik terakhirnya bersama Romi, karena setelah Romi melepaskan dekapannya, maka ia benar-benar harus merelakan kepergian kekasihnya.
Julia dan Romi kembali ke rumah sakit. Namun aneh di ruang kamar Mijua penuh dengan para medis. Saat Mijua melihat mereka, Mijua meneteskan air mata. Julia menghapus air mata itu dan tersenyum. Namun Mijua tahu Julia sedang berdusta. Diraihnya tangan Romi, disatukannya dengan tangan Julia.
Hanya satu kata yang diucapkan Mijua, “Ma..aaaf..”
Sesaat kemudian Mijua menutup mata untuk selamanya.
Kisah cinta Romi dan Julia, bukanlah kisah cinta Romeo dan Juliet yang berakhir dengan kematian. Kisah cinta Romi dan Julia adalah kisah cinta sebenarnya, bukan sekedar cerita pelipur lara. Dalam kisah cinta Romi dan Julia semua berakhir bahagia. Romi dan Julia hidup bahagia. Mijua dikubur mengenakan wedding dress putih pemberian Julia dengan senyum di bibirnya. (*)

Dartia Utari d/a PT HIM Pen. Baru Teluk Betung Lampung
**************************************************

PELUH KELUH
Fitriyanto

Yasiin.., Walquranil khakim…
Ayat yang selalu beriringan dengan datangnya malaikat pencabut hidup itu terdengar sakral keluar dari setiap mulut orang yang memenuhi ruangan tamu rumahku. Keberadaan sekujur tubuh yang kaku berada di tengah-tengah kerumunan wanita-wanita berjilbab hitam. Tak pernah menyangka bahwa semuanya datang begitu cepat. Kebahagiaan yang baru sempat kami rasakan kembali hilang ditelan kenyataan yang begitu menyakitkan. Aku yang baru pulang dari sekolah, terpaku memandang wajah yang tak asing lagi bagiku ‘ayah’, sosok raga yang yang sudah tak berdaya terbujur kaku berbalut kain putih yang tak bermotif. Kain yang sangat aku benci. Tak menghiraukan dengan semua mata yang sedari tadi mamandangi diriku, akupun menangis sejadi-jadinya dan berlari memeluk ayahku yang kurasa ini adalah pelukan terakhir yang bisa aku berikan untuk ayahku tercinta.
“Sudahlah Nak, jangan terlalu bersedih. Doakan saja biar ayahmu damai di sisi Allah.”
Kurasakan dua tangan yang lembut meraih tubuhku dan mengusap air mata yang mengalir di pipiku. Aku hanya bisa pasrah menjatuhkan tubuhku dalam pelukannya. Kurasakan betul getaran yang hebat berdetak di dadanya. Ibu, setegar apapun dirimu menghadapi ini semua, menutupi kesedihan di depan kami, tetapi engkau tetaplah seorang wanita lembut yang tidak bisa memungkiri bahwa kehilangan seseorang yang begitu engkau sayangi memberikan sayatan pedih di relung hatimu. Salut untukmu ibu.
Tujuh hari setelah pemakanam ayahku, aku sudah mulai bisa menerima kenyataan. Ayahku telah tiada, itu adalah kenyataan yang harus kuterima. Aku sebagai anak pertama dari lima bersaudara harus bisa memberikan contoh yang terbaik untuk keempat adikku yang masih kecil. Sekarang ibuku sendirian yang membesarkan kami, tidak ada tumpuan yang mau menanggung kebutuhan hidup keluarga kami. Itu juga yang memaksa aku harus bisa tegar. Dengan datangnya semua ini, aku yang duduk di kelas 3 SMA di salah satu sekolah negeri di kotaku, mengurungkan niatku untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi demi tercapainya cita-citaku yang sedari dulu ingin menjadi dokter. Semua sudah terkubur dalam-dalam bersamaan dengan terkuburnya jasad ayahku di pemakaman. Aku tak mungkin menambah beban ibuku. Aku juga tak sanggup jika harus melihat kepayahan ibuku yang berprofesi sebagai pedagang kecil menanggung beban seberat ini, menyekolahkan aku dan keempat adikku. Pesan ayah yang menjadikan pendidikan paling utama sudah tak kuhiraukan lagi. Yang penting bagiku sekarang bagaimana caranya agar aku bisa cepat lulus dan mendapat kerja yang layak agar aku bisa membantu meringankan beban ekonomi keluarga.
Purnama, nama singkat yang disandangkan pada diriku mempunyai banyak makna. Yang pertama purnama berarti lambang kecantikan perempuan. Memang bisa dibilang aku tercipta sebagai gadis yang mempunyai rupa menarik. Tapi toh aku tak pernah sombong dengan semua ini karena bagiku semua ini tak akan pernah abadi. Sejak kecil ibu telah menanamkan pemahaman itu padaku bahwa kecantikan seorang perempuan akan terpancar secara sempurna jika kepribadian yang ada dalam dirinya mengimbangi. Yang kedua purnama yang berarti sinar terang dari bulan yang hadir setiap tanggal 15 bulan, sanggup memberikan cahaya di malam hari. Makna keduanya, besar harapanku bisa terwujud. Kelak aku harus mampu mengangkat keluargaku dari kegelapan dunia yang perputarannya tak pernah bisa ditebak dengan logika. Aku juga harus bisa jadi sinar bagi masa depan keempat adikku yang sekarang semua berpredikat yatim. Aku akan berusaha. Ya, terus berusaha. Itu tekadku.
Kicauan burung mulai terdengar riuh melompat dari satu dahan ke dahan yang lain seperti mengabarkan kepada seluruh alam bahwa hari ini suasana langit akan cerah. Beningnya butiran-butiran embun juga masih menempel di pucuk dedaunan dan rerumputan. Perlahan matahari merangkak, seakan tak mau kalah untuk turut tampil memberikan sinar kehangatannya, mengobarkan semangat di awal hari ini. Di sepanjang jalan yang kulalui tampak kuncup-kuncup bunga siap mengembangkan kelopaknya menambah warna-warni keindahan dunia.
Pagi itu langkahku berhenti di depan sebuah rumah berpagar bambu, suasananya juga masih sepi. Belum tampak seorangpun berada di sekitar rumah itu. Kuamati rumah itu. Terlihat sekali bahwa rumah ini baru selesai dibangun. Arsitekturnya sangat kental dengan etnik Jawa. Di sebelah kanan ada kolam ikan yang didesain seperti air terjun. Sedangkan di sekeliling kolam tersebut ada taman yang berisi berbagai jenis mawar. Sangat menyejukkan. Puas menikmati semua pemandangan ini, aku berpindah mencoba mengamati bagian dalam. Dari balik jendela kaca aku bisa melihat jelas isi ruangan itu. Hanya ada tujuh mesin jahit yang masih baru, tiga mesin jahit tradisional dan empat mesin jahit listrik, serta dua mesin obras yang masih terlihat baru. Maklumlah, tempat kursus menjahit baru saja dibuka dan mulai menerima siswa ajar baru kali ini.
Tak berapa lama aku menunggu, tampak di ujung jalan seorang wanita paroh baya berjalan menuju tempat ini. Setelan baju warna nila yang dihiasi pernik-pernik sederhana berpadu dengan jilbab warna senada begitu pas melekat pada tubuhnya yang langsing. Dari apa yang ia kenakan menggambarkan betapa sangat memperhatikan penampilan wanita itu, walaupun umurnya sudah jauh di atasku.
“Sudah lama Dik nunggunya?” tanyanya dengan suara sangat lembut.
“Nggak kok Bu, baru saja datang terus liat-liat dulu. Nyaman banget tempatnya,” jawabku dengan senyum ramah.
“Ya beginilah adanya. Sederhana. Tapi sykurlah kalau kamu merasa nyaman dengan tempat ini.  Jadi nanti kamu belajarnya juga bisa enjoy. Sudah ayo masuk!” ajaknya sambil meraih tanganku.
Harum bunga tercium semerbak ketika daun pintu terbuka. Aku duduk di kursi pojok yang terbuat dari rotan sembari menunggu teman yang juga ikut kursus jahit datang. Ibu Irma begitu sapaan wanita paroh baya tadi yang akan menjadi guru di kursus jahit ini menceritakan sedikit pengalaman beliau menekuni bidang tata busana itu.
Tak jauh beda dariku, dulu ibu Irma juga berasal dari keluarga yang kurang mampu. Tapi dengan tekad dan semangat yang tinggi, beliau mampu mengembangkan hobinya menjadi usaha yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Sekarang ibu Irma sudah memiliki lima cabang butik atas namanya sendiri yang tersebar di kota-kota besar. Tapi anehnya, beliau tidak mau tinggal di salah satu kota besar tersebut untuk memantau langsung perjalanan bisnis butik tersebut. Melainkan malah memilih tinggal di kota kecil dan memasrahkan semuanya kepada pegawai-pegawai yang sudah sangat beliau percaya. Hingga akhirnya beliau mencoba membuka kursus menjahit yang menurut beliau bisa membawa beliau kembali mengenang masa-masa beliau masih berjuang dulu.
Satu per satu teman kursus menjahitku datang. Ibu Irma menyudahi ceritanya dan mulai memberi materi tentang jahit menjahit. Memang sedikit rumit dan butuh ketelatenan. Tepat pukul 11 kursus menjahit selesai. Semua temanku pulang, tinggal aku dan bu Irma yang masih dalam ruangan ini.
“Bu, Purnama salut dengan perjuangan ibu,”pujiku.
“Ibu juga salut sama kamu. Baru belajar 3 jam kamu sudah pintar menjahit. Ibu melihat semangat kamu juga besar untuk segera menguasai materi menjahit ini. Apa kamu memang punya cita-cita menjadi penjahit yang handal?”
Aku menggeleng.
”Sebenarnya ini bukan cita-cita Purnama, Bu. Purnama memilih ini supaya Purnama bisa cepat bekerja. Mungkin salah niat Purnama ini, tetapi memang itu kenyataannya,” jawabku sambil menundukkan wajah.
“Lho kamu kok jadi sedih. Tak apalah, walaupun ini bukan cita-citamu, Ibu harap kamu tetap semangat dalam menjalaninya. Niat bisa kamu perbaiki sambil berjalan.”
“Ibu siap membantu jika sewaktu-waktu kamu punya masalah dan ingin bercerita kepada Ibu. Ibu siap mendengarkan, Jangan sungkan-sungkan ya. Anggap saja Ibu ini, ibu kamu sendiri.”
Rintikan hujan yang tiada hentinya membasahi bumi sejak sore tadi, menambah dinginnya sepertiga malam. Kubuka kelopak mataku yang masih agak berat. Kulangkahkan kakiku menuju kamar yang berada tepat di depan kamarku. Perlahan kubuka. Kutemukan sosok wanita yang masih terlelap dalam tidur. Ibuku. Kupandang wajahnya yang terlihat begitu lelah. Tentu saja. Beban yang ia tanggung begitu besar. Bak nakhoda sebuah kapal besar yang mengangkut beribu-ribu penumpang, ia harus hati-hati dalam memegang kemudi. Menjadi seorang ibu sekaligus pimpinan keluarga. Tanggung jawab yang tidak ringan. Tak terasa air mata mengalir di pipiku. Ingin rasanya diri ini berteriak keras memberitahukan kepada seluruh dunia bahwa dialah wanita yang terhebat yang pantang menyerah. Wanita yang selalu tersenyum menghadapi semua cobaan walupun hatinya tersayat perih. Oh ibu, tiada lagi duamu.
Kulihat jam dinding baru menunjuk angka 2. Kusapu sisa air mataku yang tak ingin kutampakkan di depan ibu. Aku malu. Ingin aku membangunkan beliau, tetapi jika kuingat bahwa baru saja beliau terlelap dalam tidurnya, kuurungkan niatku. Aku melangkah untuk mengambil air wudhu. Di sepertiga malam ini, ingin rasanya kukeluhkan semua peluh beban yang aku pendam. Setiap sujud aku berharap akan pertolongan dan kuasaNya. Butiran tasbih kugulirkan memuji kebesaranNya. Aku tak pernah mengeluh apalagi menyalahkan takdir yang telah terjadi. Semua sudah tertulis, aku hanya bisa terima, dan harus ikhlas. Baru saja selesai berdoa, suara ibu sudah terdengar di belakangku mengamini doa-doa yang telah kuucapkan.
“Anakku Purnama, janganlah kau redupkan sinarmu hanya karena adanya cobaan ini. Kita mendapatkan semua ini karena kita adalah orang-orang pilihan. Kita dipercaya Allah. Allah tahu bahwa kita mampu. Jadi tetaplah memandang semua ini sebagai nikmat dariNya. Tak boleh terucap kata keluh. Jika itu terucap artinya kita mengaku kalah dan lemah. Habis gelap pasti ada terang.  Asal kita mau berusaha dan bersabar pasti kita bisa melewati ini semua.”
“Ibu..,” linangan air mataku semakin menjadi mendengar nasehat dari ibu. Kuraih tubuh ibu dan menangis dalam pelukannya. Ibu hanya mengusap kepalaku tanpa kata.
Selesai shalat kudatangi kamar adik-adikku. Mereka masih tertidur pulas. Mungkin karena udara bagitu dingin, mereka sangat menikmati tidurnya. Kuurungkan niatku untuk membangunkan mereka. Kembali batinku menangis. Menangisi nasib mereka. Nasib yang seharusnya tidak mereka terima. Mereka teralu kecil untuk menerima semua ini.
“Oh adikku sayang, adikku malang, kakakmu ini berjanji akan selalu menjaga dan membahagiakan kalian,” tekadku dalam hati.
Fajar begitu cepat berlalu. Kini saatnya aku membangunkan adik-adikku, karena mereka harus tetap sekolah walaupun cuaca kurang mendukung. Satu per satu kugoyahkan tubuh mereka. Satu, dua, tiga adikku  sudah terbangun. Sekarang tinggal keempat, Lintang yang belum bangun. Wajarlah dia masih umur empat tahun jadi harus butuh kesabaran penuh untuk membangunkannya.
“Lintang, adikku sayang.., ayo bangun. Katanya kemarin pingin ikut sekolah, nanti telat lho,” bujukku dengan lembut.
“Apa harus bangun pagi juga Kak, jika Lintang ikut sekolah?”
“Ya, iya nuw sayang. Nanti kalau Lintang nggak bangun pagi, Lintang bisa telat dan kena marah bu guru lho.”
“Ya sudah Kak, Lintang bangun.”
Seketika tubuh mungilnya mendarat di punggungku. Kebiasaan Lintang minta digendong setelah bangun tidur semakin membuatku gemas dengannya. Karena ibu sudah repot dengan semua dagangannya, akhirnya aku sendiri yang memandikan Lintang.
Pukul 06.40 ketiga adikku sudah keluar rumah. Wulan adikku pertama duduk di kelas 2 SMP malah sudah berangkat sejak jam 06.00. Jarak sekolah lumayan jauh, dengan mengendarai sepeda mengharuskan berangkat lebih pagi. Sedangkan dua adikku si kembar Salwa dan Salma masih kelas 3 MI yang sekolahnya tidak jauh dari rumah. Sekarang waktunya mengantar adikku Lintang ke sekolah barunya. Dan dari sekarang ia harus mulai belajar mengukir cita-citanya sendiri.
Waktu bergulir begitu cepat. Tidak terasa sudah tiga bulan aku mengikuti kursus menjahit. Dan hari ini pula aku akan menerima surat panggilan kerja. Yah, aku dipilih bu Irma untuk bekerja di butiknya yang baru dibuka di kota ini minggu lalu. Tak sabar aku memberitahukan ini pada ibuku bahwa aku akan mulai bekerja. Harapanku untuk meringankan beban keluarga akan segera terwujud. Dan kuharap ini bisa menjadi kejutan buat ibuku tercinta.
Setelah semua pekerjaan rumah beres, aku bersiap berangkat kursus menjahit. Kuhampiri ibu yang masih sibuk membuat kue di dapur. Memang setelah kepergian ayah, ibu mencoba semua bidang pekerjaan. Itung-itung nambah penghasilan. Untungnya ibu adalah wanita yang memiliki berbagai keahlian, salah satunya di bidang kuliner. Berbagai jenis kue ibu buat, nantinya akan dititipkan ke warung-warung dekat rumah kami.
“Bu, nanti biar Purnama sajalah yang nganter kuenya ke warung-warung.”
“Apa nanti tidak merepotkanmu, Nduk?”
“Nggak kok Bu, malah Purnama senang bisa membantu ibu.”
“Ya sudah, ini bawa 3 toples ke warung bu Rina.”
“Ya Bu. Purnama pamit dulu. Oh ya, nanti sepulang kursus ada kejutan untuk ibu.”
Semua kue sudah kuantar. Aku berjalan riang melewati gang kecil untuk sampai tepi jalan raya, tempat menunggu bus. Sembari melepas lelah, aku duduk di halte. Tak sengaja mataku terhenti pada sebuah dompet yang tergeletak di tepi kursi halte. Kulihat kiri kanan untuk mencari siapa pemilik dompet itu. Setelah lama kucari, aku pastikan itu adalah dompet yang terjatuh. Kuputuskan mengambil dompet dan membukanya untuk mencari identitas pemiliknya. Dalam dompet terdapat 3 kartu ATM, selembar cek senilai 50 juta, dan uang tunai 20 lembar pecahan 100 ribu. Tak ada identitas. Hanya sebuah nama ‘Zaky Romadhon’ yang terpampang di luar dompet. Belum mendapatkan identitas pemilik dompet, bus yang membawaku ke tempat kursus sudah datang. Aku masukkan dompet ke tasku, dan langsung naik bus.
Di dalam bus aku masih bingung bagaimana cara mengembalikan dompet tanpa identitas itu. Hingga tak terasa kernet berteriak terminal..terminal. Aku kaget, karena berarti aku sudah melewati tempat kursusku cukup jauh, lebih dari dua kilo meter. Aku turun dan harus berjalan kaki menuju ke tempat kursus. Uangku hanya cukup untuk nanti ongkos pulang. Jauh memang, dan capek sekali rasanya. Tempat kursus sudah terlihat di seberang jalan. Ketika hendak menyeberang jalan, aku teringat dengan dompet yang kutemukan. Kuraba dalam tas untuk mencari dompet itu. Tiba-tiba saja ‘brakk’, sebuah mobil mewah menerjangku. Aku tersungkur. Kurasakan cairan kental mengalir dari keningku. Darah. Setelah itu aku tak tahu lagi apa yang terjadi.
Ruang putih kulihat ketika pertama kali kubuka mataku, sangat asing bagiku. Tak seorangpun ada di ruang putih itu kecuali diriku yang tak mengerti semua ini. Pikiranku menerawang jauh untuk mencoba mengingat kejadian yang terakhir kualami. Aku sedikitpun tak mampu mengingatnya. Yang muncul justru pikiran aneh. Apakah aku mati? Apakah ini alam akhirat? Lama aku larut dalam kebingungan. Sejauh memandang hanya warna putih. Sosok malaikat tak ada yang datang menghampiriku untuk menanyai amal perbuatan sewaktu masih hidup. Aku kalut. Apakah aku benar-benar mati? Tiba-tiba seberkas cahaya tampak dalam penglihatanku. Aku kaget. Bukan malaikat bersayap yang aku jumpai, melainkan seorang laki-laki berbadan tegap berjalan ke arahku. Wajahnya sudah tidak asing lagi bagiku. Ayah. Lekat mataku mengamati wajahnya memastikan bahwa yang di hadapanku sekarang ayahku. Ternyata benar, memang ayahku. Tetapi mengapa ayah yang sudah meninggal 3 bulan lalu berada di sini?
“Purnama anakku, tidak usah kau bingung melihat ayah di sini. Tidak usah pula kau takut. Aku memang ayahmu. Ayah yang selalu rindu padamu. Tetapi tidak seharusnya kau ada di sini, belum saatnya. Tapi tidak apalah, ayah akan menunjukkan sesuatu kepadamu. Kemari, mendekatlah,” kata ayah padaku.
Sebenarnya aku tidak mengerti maksud dari semua perkataan ayah. Aku manut saja. Ayah mengajakku berdiri di depan sebuah kaca besar. Aku bingung dengan apa yang kulihat. Semua orang menangis. Aku lihat ibuku menangis. Menangis terisak memandang sosok yang terbujur tertutup kain. Mengapa semua orang menangis? Apa yang menyebabkan semua tersedu? Lalu siapa yang ditutup kain itu?
“Purnama. Semua orang di sana termasuk ibumu menangis karena kehilangan seseorang yang sangat mereka sayang. Kamu tahu siapa yang ditutup kain itu? Itu adalah kamu, Purnama.”
Mendengar ucapan ayah, aku kaget. Benarkah aku telah mati? Oh tidak, aku belum mau mati. Aku masih ingin menemani ibuku, membahagiakan adik-adikku. Aku menangis karena itu.
“Purnama anakku. Jangan kau menangis. Ayah sudah bilang, ini belum saatnya untuk kau berada di sini. Kembalilah, ibu dan adik-adikmu menunggu. Masih banyak yang harus kau lakukan untuk masa depan mereka.”
Selesai berkata begitu, aku melihat sosok ayah pudar di balik cahaya yang menyilaukan mata yang tadinya membawanya muncul di hadapanku. Ayah telah kembali ke alamnya lagi.
Termenung aku memikirkan bagaimana caranya aku kembali. Sedangkan jalan kembalipun aku tidak tahu. Tapi anehnya, tidak ada sebabnya tiba-tiba saja aku terpeleset. Dan seiring dengan itu, mataku terbuka, telingaku juga mulai mendengar riuh orang menangis sedih. Kucoba menggerakkan tubuhku. Kupanggil ibuku, dan aku duduk bingung. Semua orang lari ketakutan. Ibu mendengar suaraku kaget bercampur senang. Kuperhatikan sekeliling ruangan ini. Apa yang telah terjadi sebenarnya. Dalam kebingunganku, tangan lembut ibu meraihku dan menjatuhkan tubuhku dalam pelukannya.
“Apa yang terjadi pada Purnama, Bu?”
“Kau telah kembali Purnamaku,” bisik ibu lembut.
Aku teringat kata-kata ayah. Aku mengerti dengan semua kejadian yang telah kualami. Tadi aku memang telah mati, tetapi sekarang aku telah kembali. Terimakasih Ya Allah, Engkau masih memberiku kesempatan untuk berbakti pada ibuku dan menepati janjiku untuk membesarkan adik-adikku. Air mata berlinang di pipiku. Di sela tangisku ibu bercerita, bahwa orang yang telah menabrakku adalah si pemilik dompet yang kutemukan. Dan yang paling mengejutkan adalah, dia kini telah resmi menjadi suamiku. Aku kaget. Lalu ibu melanjutkan ceritanya,” Ketika kamu koma 3 hari di rumah sakit, pemuda itu minta ijin kepada ibu untuk menikahimu. Ibu merestui niat baiknya untuk menikahimu karena pemuda itu merasa sangat bersalah dan ingin menebus kesalahannya. Setelah terucap ijab kabul, kamu menghembuskan nafas terakhir. Pemuda itu sedih. Tetapi dia bilang ke ibu, bahwa dia tidak menyesali langkah yang telah dipilihnya. Dia juga berjanji akan menjadi penggantimu di dalam keluarga kita. Ibu salut padanya.”
Mendengar cerita ibu, aku masih tidak percaya. Aku ingin melihat suami pilihan ibuku yang kata ibu sangat baik budi pekertinya dan juga tampan. Ibu memanggilnya. Ibu benar. Seorang pemuda tampan berbadan tinggi tegap, berkulit bersih dan berambut hitam lurus. Dia adalah suamiku. Sebuah anugerah terbesar dari semua peluh keluhku. Kucium tangannya sebagai tanda abdiku kepadanya. Kembali syukurku terucap,” Subhanallah, Alhamdulillah. Engkau memang Maha Segala-galanya. Telah mengatur apa yang tidak mungkin terlintas dalam angan.”  Air mata kembali mengalir. Bukan karena duka, melainkan karena bahagia.(*)

Fitriyanto (SMAN SBBS Sragen)
Jl. Gemolong Asri No.1 Gemolong Sragen Jateng

****************************************************

HANOMAN SI RAJA MONYET
Ida Bagus Agung Airlangga Putra

Pada jaman dahulu hiduplah seekor raja monyet bernama Hanoman. Dia bukan saja menjadi raja bagi bangsa monyet tetapi bagi semua binatang yang tinggal di hutan Alangka. Di sana terdapat berbagai jenis binatang yang sakti mandraguna atau memiliki kekuatan yang sangat ajaib.
Dekat hutan itu tinggal para manusia dengan rajanya yaitu raja Hendroyuono. Dia adalah raja yang sangat egois hanya mementingkan kesenangan sendiri dan suka berfoya-foya, tidak pernah memikirkan rakyatnya. Dia menghalalkan segala cara untuk memiliki apa yang diinginkan, termasuk menghancurkan hutan Alangka agar daerah kekuasaannya bertambah.
Setiap kali raja Hendroyuono memerintahkan pasukannya untuk menyerang hutan Alangka dengan persenjataan lengkap mereka selalu gagal. Hal itu disebabkan oleh binatang-binatang yang ada di hutan Alangka kekutannya melebihi pasukan manusia. Sejarah mencatat bahwa perang antara binatang Alangka dan manusia Alangka yang sudah berlangsung berabad-abad, selalu dimenangkan oleh binatang Alangka, tetapi binatang Alangka tidak pernah ingin menghancurkan manusia. Mereka hanya ingin melindungi hutan mereka, tempat tinggal mereka. Tetapi sayang sekali manusia tidak pernah mau mengerti, mereka tidak mau kalah dan terus menyerang binatang-binatang yang ada di hutan Alangka.
Binatang selalu menang, itu karena dikarunia kekuatan sakti oleh Sang Pencipta. Mereka bisa menghidupkan kembali tumbuhan yang rusak karena peperangan, mengobati sekaligus menghidupkan binatang yang telah gugur di medan perang. Kerajaan manusia mengganti rajanya pada saat raja meninggal dunia, sedangkan kerajaan binatang tidak pernah mengganti rajanya karena Hanoman hidup abadi.
Mungkin manusia tidak tahu mengapa kerajaan binatang dapat bertahan dari segala serangan mereka, banyak binatang yang mati terbunuh oleh manusia tetapi seolah-olah masih banyak binatang di hutan Alangka. Manusia tidak tahu jika binatang-binatang yang telah mati dapat hidup kembali, diserang seperti apapun binatang-binatang itu tidak pernah takut menghadapi manusia.
Pada suatu hari Hanoman ingin sekali pergi berkeliling hutan Alangka untuk melihat bagaimana keadaan kerajaannya. Dia pergi ditemani abdinya yang setia, Subali dan Sugriwa. Dalam perjalanan raja Hanoman melihat kelinci sedang bermain dengan gembira berlari mengejar rusa, burung-burangpun beterbangan dan berkicau dengan indahnya.
Tidak lama kemudian raja dikagetkan oleh suara harimau yang mengaum keras sekali. Hanoman berlari menuju arah suara itu dan melihat sosok harimau terbaring tak bergerak. Tubuhnya berlumuran darah. Hanoman melihat pisau belati menancap di dada harimau tersebut dan yang lebih mengagetkan lagi ternyata harimau itu adalah Bima Sakti, sahabat lama Hanoman. Mereka berteman sejak kecil. Berkali-kali Hanoman berusaha untuk menghidupkan kembali harimau tetapi selalu gagal.
“Raja Hanoman, Bima Sakti tidak bisa dihidupkan lagi karena belati yang menancap di dadanya sudah diberi racun kalamandaka. Racun itu sangat berbahaya, dan hanya dimiliki oleh manusia,” kata Subali.
Dengan perasaan hancur Hanoman memeluk Bima Sakti, kemudian berteriak,    “ Wahai kau para manusia durjana, terkutuklah kalian karena telah membunuh sahabatku. Kalian sudah membuat kesabaranku habis. Hendroyuono, perbuatanmu ini akan kuanggap sebagai tanda permusuhan kita. Jika kau ingin perang, akan kuhadapi!”
Setelah mengubur Bima Sakti, Hanoman mengarak pasukan hingga ke depan istana raja Hendroyuono.
“Hei raja monyet, apa maksudmu? Aku tidak pernah membunuh harimau sahabatmu itu. Aku memang ingin perang menguasai hutanmu, tetapi aku tidak pernah memulai perang dengan cara yang tidak aku sukai.”
“Jangan bohong! Sahabatku terbunuh oleh belati yang hanya dimiliki manusia. Kau mau mengelak lagi?”
“Baiklah Hanoman, tampaknya kamu tidak akan percaya perkataanku. Kalau kamu ingin perang aku layani, tetapi jangan menuduhku sebagai pembunuh sahabatmu itu.”
“Jika kamu tidak mau mengakui kesalahanmu, jangan salahkan aku jika menyerang kerajaanmu. Bersiaplah!”
Binatang Alangka mempersiapkan diri dengan cara bekerja sama dengan tumbuhan dan pepohonan, meminta agar para tumbuhan menghalangi pasukan manusia dan mengikat manusia dengan akarnya. Berbeda dengan Hendroyuono, dia minta bantuan binatang yang ada di hutan Uropia. Simba adalah raja binatang Uropia. Hendroyuono berjanji akan memberi hutan Alangka kepadanya kalau mau membantu mengalahkan Hanoman.
Hari yang ditentukan telah datang. Lembah Kematian yang merupakan daerah perbatasan akan menjadi kawasan pertempuran. Dari arah barat datang gerombolan binatang hutan dipimpin oleh monyet. Dari timur pasukan manusia dengan senjata lengkap dipimpin oleh Hendroyuono yang duduk di tandu dengan sangat tenang.
Perang berjalan dengan sangat ramai. Setelah tiga hari, pasukan manusia terdesak. Pasukan binatang bisa masuk ke kawasan kerajaan manusia, namun tiba-tiba muncul gerombolan binatang yang menyerang. Pasukan binatang Uropia dengan mudah mampu memukul mundur tentara Hanoman. Melihat itu Hanoman menemui raja Simba.
“Wahai kalian binatang Uropia, mengapa kalian menyerang kami?”
“Kami membantu Hendroyuono karena akan diberi hadiah hutan Alangka.”
“Apa? Kalian telah ditipunya. Dia hanya ingin menghancurkan kami dan meluaskan wilayahnya.”
Mendenagar penjelasan Hanoman, Simba merasa ditipu oleh Hendroyuono. Maka sekarang ia berbalik membantu Hanoman.
“Kita telah ditipu Hendroyuono. Mari kita serang manusia-manusia itu dengan rajanya!”
Simba yang memiliki kemampuan sihir hebat, membuat seluruh pasukan manusia tertidur. Melihat itu Hendroyuono menggigil ketakutan.
“Raja Hendroyuono, kamu berani sekali menipu saya. Apa pantas seorang raja berbuat begitu?”
“Kamu juga telah membunuh Bima Sakti temanku, dan kamu tidak mau mengakui, sekarang terima pembalasan kami!”
“Maafkan aku raja Simba, aku berbohong untuk mengalahkan Hanoman. Tetapi aku tidak pernah membunuh harimau sahabatmu. Aku menawarkan perdamaian antara manusia dan binatang.”
Pada saat itu lewatlah seorang petani yang kemudian duduk bersimpuh di hadapan Hanoman.
“Ampuni saya Raja Hanoman. Sayalah yang telah membunuh harimau itu. Ketika saya sedang istrihat tiba-tiba harimau itu muncul. Saya panik dan langsung mencabut belati tanpa sengaja menikam dada harimau itu. Saya tidak sengaja Raja Hanoman. Ambillah nyawaku sebagai penebus salahku.”
“Petani yang malang. Aku tidak akan menghukum perbuatan yang tidak kamu sengaja. Mungkin sudah menjadi garis sahabatku harus mati dengan cara begitu. Hai Raja Hendroyuono, aku juga menerima usulan perdamaian itu. Aku ingin terjadi perdamaian yang sesungguhnya antara binatang dan manusia di Alangka ini.”
Setelah mendengar itu manusia dan binatang bersorak gembira karena akhirnya mereka terbebas dari peperangan yang panjang. Mereka sadar bahwa perang bukan jalan menyelesaikan masalah. (*)

Ida Bagus Agung Airlangga Putra - (SMP Dyatmika Denpasar Bali)
Lahir : Denpasar, 15 Maret 1998
 Jl. Cemara No.35 Denpasar Bali.


****************************************************

LUKISAN JALAN TUHAN
Alif Bareizy

Hari agak mendung, ketika aku duduk di depan meja coffe shop di sudut bandara. Sambil menikmati kopi kelas atas, aku kembali ke masa lalu, mengapa aku bisa duduk di sudut bandara ini. Entah mengapa, aku tersenyum sendiri. Aku tidak tahu, jalan yang telah dipilih Tuhan untukku. Hidupku seperti sudah diatur, tanpa kuminta. Kubuang pandangan ke luar, gumpalan awan hitam merayap di langit. Hari ini memang mendung, tetapi di hatiku ada mentari yang menyinari.
Masih lekat dalam ingatanku, tiga puluh tahun lalu, diserang suatu dilema. Pilihan sulit, antara pilihan hati dan pilihan dua orang yang menghidupiku. Obsesi sewaktu masih labil itu, ingin melanjutkan sekolah ke STM, tiga tahun teori, satu tahun praktek. Aku mau yang praktis saja. Tetapi tidak dengan orang tuaku. Mereka ingin aku masuk SMA. Perdebatan panjang terus berlangsung. Namun aku tak bisa melawan kehendak orang tua.
Minggu awal kulalui di SMA terasa sangat berat. Hatiku belum bisa menerima. Tiap berangkat ke gedung sempit itu, aku tidak tahu hati atau otakku yang memerintah kedua kakiku untuk balik arah, berat untuk melangkah maju. Saat di kelas juga, ketika guru sedang mengajar, pikiranku malah melayang pada pelajaran arsitektur yang kuidamkan. Aku membayangkan memakai seragam biru muda, memegang perkakas gambar bangunan, kemudian mencoret-coret membuat desain yang membuatku bangga dengan karyaku. Tetapi itu hanya bayangan. Kenyataannya aku berseragam putih abu-abu dengan badge sekolah yang kuhindari selama ini. Telah kukorbankan egoku untuk bapak dan ibuku.
Kembali ke realita saat ini, dekat dengan jendela, kuangkat cangkirku ke dekat bibir, kurasakan betapa nikmat kopi ini. Aku masih melihat ke luar dengan senyum dan bahagia. Pilihan orang tua adalah pilihan Tuhan. Setidaknya itu yang kualami. Aku teringat malam dingin ketika aku termenung sendiri di warung kopi di kota kecilku.
Ya, malam itu hanya kopi dan susu yang menemani, menyandarkan punggungku pada dinding yang sudah diselimuti lumut, sunyi sekali. Masih di awal minggu yang berat masuk SMA. Di warung kopi itulah, sejak SMP aku sering menghabiskan malam bersama temanku. Tetapi tidak malam itu. Ia telah hijrah ke kota besar untuk melanjutkan sekolah. Keinginannnya sejalan dengan keinginan orang tuanya. Berbeda denganku. Hatiku makin meronta. Yang tampak di luar tak sama dengan yang di dalam hati. Aku selalu berusaha tersenyum, meski dalam hati menangis. Mengingat itu aku ingin menangis, tetapi juga ingin tertawa terbahak rasanya. Mau tidak mau aku harus melupakan impian menjadi arsitek, dan harus menerima kenyataan yang kelabu. Saat itu aku benar-benar tidak tahu harus jadi apa nantinya.
Tak terasa ada bulir air yang menggelintir di pelupuk mataku, disertai orkestra rintik air dari langit. Kualihkan pandangan ke luar jendela, semakin lama semakin deras. Hawa semakin dingin, kukancingkan jaketku, kusilangkan tanganku di dada. Aku bersyukur, meskipun tidak pernah ini kuanggap sebagai kenyataan. Apa yang kujalani ini, sebelumnya adalah mimpi yang hanya kusampaikan kala bercanda, atau mengisi kolom cita-cita pada biodata saja, karena aku sebenarnya bingung dengan cita-citaku sendiri. Aku merubah posisi duduk untuk mengambil undangan yang diberikan kepadaku sebulan lalu. Setengah tak percaya, aku mendapat undangan ini. Kubaca lagi isi undangan, sambil tersenyum, bangga. Puas, kumasukkan lagi dalam tas.
Segala yang ada dalam hidupku sekarang ini, semua berawal saat SMA, masa yang paling menentukan dalam hidupku. Aku benar-benar terdampar dalam kehidupan yang jauh dari bayanganku. Aku terjebak dalam OSIS, organisasi khusus pelajar. Entah mengapa aku yang sama sekali tidak tertarik dengan organisasi itu malah dinyatakan sebagai calon pengurus OSIS. Hidup yang kujalani sama sekali tak kusangka. Tiba-tiba aku merasa berbeda, merasa jauh dibutuhkan. Karirku di organisasi melejit, tanpa kumengerti. Setelah dewasa baru kusadari pengalaman di organisasi sangat berpengaruh dalam perjalanan hidupku. Dan aku yakin itu memang jalan yang telah ditulis Tuhan untukku.
Hujan di luar belum reda, namun tak sederas tadi. Kulirik jam dinding, masih satu jam lagi jadwal penerbanganku. Kudongakkan kepala, menikmati hidup ini. Betapa Tuhan memberikan jalan yang tak terduga kepada hambaNya. Jalan berliku terbayar sudah, dengan sesuatu yang dulunya hanya mimpi, malah guyonan, sekarang menjadi kenyataan. Yang kudapatkan ketika masuk sekolah pilihan bapak benar-benar mengubah jalan dan pandangan hidupku. Dulu aku hanya seorang skeptik, hanya memikirkan diri sendiri sejahtera, namun sekarang tidak. Aku harus berpikir bagaimana orang lain sejahtera. Bukankah itu pekerjaan mulia? Aku sekarang menjalani pekerjaan yang kudapatkan ini dengan senang hati, meskipun kadang ada riak-riak atau bahkan ombak yang menerjang, namun dapat kujalani dengan senang hati. Kubuka mataku, kutegakkan dudukku, dan pelan-pelan kuarahkan cangkir kopi ke bibirku.Ahh, rasanya seperti minum madu, manis sekali, semanis hidupku.
Tidak jauh dari aku duduk, seorang yang tidak asing sedang diwawancarai wartawan. Aku tidak mengenalnya. Kuperas ingatanku. Ternyata dia salah satu anak buahku. Aku teringat ketika pertama kali diwawancarai oleh wartawan. Seorang wartawan lokal yang kehabisan berita iseng menemuiku dan menanyakan apa cita-citaku. Karuan kujawab dengan bualan agar tampak gagah. Lusanya, aku melihat profilku di koran dengan judul yang melecut semangatku. Tinta tebal yang tercetak di kertas koran itu membekas dalam hatiku paling dalam, membentuk semangat untuk mewujudkan apa yang sudah tertuliskan.
Aku segera tersadar dari lamunanku, ketika ada suara mikrofon,”Panggilan terakhir bagi penumpang tujuan bandara John F.Kennedy, diharap segera menuju pesawat.” Aku harus capat-cepat. Kuhabiskan kopiku yang hampir kering. Ya, memang hujan sudah reda. Aku menuju kasir membayar kopiku. Aku langsung menuju terminal keberangkatan. Sambil berjalan, aku membuka tasku, merogohnya dan mengambil surat undangan yang melambungkan perasaanku. Aku terharu atas ini semua, jalan yang telah dipilihkan Tuhan, melalui orang tuaku. Inilah tujuanku, ke Amerika tempat yang akan menjadi saksi bahwa aku telah mencapai puncak mimpi yang ditakdirkan Tuhan. Tercetak jelas dalam surat itu, dengan cetakan yang indah bagiku, dan aku yakin tidak salah, “The Best Ecomic Ministry in the World 2039.” (*)

Alif Bareizy – SMAN 1 Blora
Lahir : Blora, 17 Mei 1994
 Jl. Raya Blora Cepu Km9 Blora

******************************************************

SEPUCUK KEMENANGAN UNTUKKU
Aini Nur Rahmah.

Inilah aku seorang bocah atheis. Aku belum memiliki agama hingga umurku genap 6 tahun. Setelah aku mahir membaca, kuhabiskan untuk membaca buku-buku agama dari seluruh dunia yang telah dibelikan oleh orang tuaku. Aku tinggal di komunitas non muslim. Dan aku dibiarkan oleh orang tuaku untuk memilih agama yang ingin kupilih. Entah mengapa setelah aku membaca buku-buku agama Islam, aku menjadi serasa dilahirkan kembali dari rahim ibu. Pikiranku terasa ringan dan mengambang di awan.
Jantungku berdegup kencang saat pertama belajar membaca Alquran. Semakin lama aku menambah bacaan mengenai Islam aku semakin mencintainya. Sejak itu aku beragama Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat yang dibimbing kakekku di Indonesia.
Ini adalah bulan Ramadhan pertama bagiku. Aku takut membayangkan apakah aku sanggup untuk melewatinya. Hari pertama puasa pun kumulai. Pukul 3 pagi aku telah siap di meja makan. Hidangan telah disiapkan oleh ibu. Meski ibuku Nasrani, namun ibu selalu mendukungku.
Setengah hari telah kulewati, perutku mulai terasa lapar dan dahaga menyerang kerongkonganku. Rasanya seperti di padang pasir. Hawa panas telah membuatku untuk membatalkan puasa. Kuputuskan siang itu untuk mengambil air wudhu. Dingin air yang mengenai tubuhku mengalir di wajahku. Percikan suci menyegarkan membuat tubuh kembali segar. Semangatku kembali bangkit untuk menuntaskan ujian hari pertama. Aku melihat teman-teman sedang asyik dengan bekal makanan yang mereka bawa.
Aku melangkahkan kakiku menuju ruangan yang terletak di ujung koridor yang sepi dan penuh sesak dengan berbagai buku di dalamnya. Perlahan namun pasti dengan irama langkah teratur. Dan tidak ada seorangpun melihatku saat itu. Aku memasuki satu tempat rahasiaku di dalam perpustakaan yang telah susah payah kubuat. Ya, benar tempat rahasiaku untuk menjalankan sholat di sekolah. Tidak seorangpun yang tahu mengenai tempat ini kecuali teman baikku Grek. Ia pernah datang ke rumahku dan bermain robot-robotan di dalam kamar bersamaku. Saat ia melihat gambar Ka’bah memenuhi dinding kamarku, ia langsung memberondongku dengan berbagai pertanyaan. Gambar apa itu? Bukankah itu di Arab? Dari mana kamu dapat? Apakah kamu muslim? Rasanya aku ingin tertawa dengan semua pertanyaan Grek yang beruntun itu. Lalu aku jelaskan tentang Ka’bah. Aku yakin dia tidak begitu paham dengan penjelasanku, namun ia mendengarkan penjelasanku tentang tempat yang menjadi impian umat Islam itu.
Sayup-sayup aku mendengar bel masuk telah berbunyi. Karena di tempat ini sepi, mungkin hanya pelajar yang gemar membaca saja yang datang ke tempatku saat ini. Kukira badanku mulai lemas untuk mengikuti pelajaran. Puasa pertama di hari pertama. Tak terasa pelajaran telah usai. Aku pulang ke rumah mungil di ujung jalan yang dipenuhi bunga mawar milik ibuku. Sampai rumah aku meletakkan tas di meja dekat ayah.
“Hai nabi kecil, kukira kau tak sanggup puasa hingga sore nanti. Wajahmu mulai pucat,” begitu ayah menyapaku dengan sebutan nabi kecil.
“Insya Allah, kuat Yah!”
Waktu terus berjalan. Tanpa terasa sudah saatnya berbuka.
“Yah, lihat sekarang saatnya untuk berbuka. Kukira tebakan ayah meleset.”
Akupun mulai mengumandangkan adzan dan berbuka puasa bersama orang tuaku di meja makan. Sendok makan mulai menari di atas piring dan dentingan antara piring dan sendok menimbulkan alunan harmoni yang menyenangkan perut lapar.
Lama-lama aku mulai biasa dengan puasa wajib ini. Memang awalnya sangat berat setelah dijalani menimbulkan kepuasan tersendiri. Hari ini adalah hari terakhir umat Islam berpuasa. Dan besok adalah hari kemenangan bagi umat Islam. Agendaku besok adalah memberikan zakat sebelum waktu subuh dan berangkat ke pusat kota untuk sholat Idul Firi, karena di sini tidak ada masjid kecuali di pusat kota.
Aku senang sekali sore ini. Dedauan mulai berjatuhan ditiup dan dimainkan semilirnya angin. Rumput dan alang-alang juga tampak bergoyang. Rambut yang menutupi dahiku juga dimainkan olehnya. Waktu maghrib telah tiba, aku beranjak dari tempat dudukku untuk mengambil air wudhu. Aku segera mengumandangkan adzan di taman depan rumah. Dari kejauhan aku mendengar ramai-ramai tembakan polisi. Dan aku tak menggubrisnya sama sekali. Lantunan adzan sedang kukumandangkan. Kini suara itu semakin dekat. Ada seseorang yang memegangiku untuk berlindung. Saat para polisi menembak orang itu, ternyata tidak kena.
Justru peluru itu mengenai dadaku, selesai aku mengumandangkan adzan. Saat itu juga ayah dan ibu berhamburan ke luar rumah memeluk tubuhku yang lemas tak berdaya. Aku langsung dibawa ke rumah sakit. Aku tak sadarkan diri, peluru menembus dada tubuh mungilku. Dengan lirih aku mengucap , “La ilaha ilallah wa asyahaduana muhammadar rasulullah.”
Detak jantungku berhenti, dan helaan nafasku lama-lama terasa berat. Sebelum berhenti sama sekali aku mendengar suara yang tak kukenal berbicara di dekat telingaku, “Walaupun kamu belum sempat merayakan hari kemenangan, namun kamu sudah merayakan kemenangan di sana.”
Aku sudah tak mendengar kata-katanya lagi kini. Sebelum aku menghadapNya, aku telah menitipkan senyuman terakhir yang menghiasi wajahku untuk kedua orang tuaku. (*)

Aini Nur Rahmah – SMAN 1 Tunjungan Blora
Jl. Gatot Subroto II Rt 01/02 Gg. Abiyoso, Tambahrejo Blora


**************************************************
AKU BUTUH PERHATIAN
Clarita Ayu Windayanti

Pagi ini aku bangun seperti biasa. Dan seperti biasa, rumahku selalu sepi saat aku bangun. Tak ada keluarga yang memberiku senyuman di pagi hari. Cuma ada kak Jojo yang tertidur di ruang tamu dengan botol miras di tangannya. Huh.., sungguh menyebalkan.
Orang tuaku sudah lama bercerai dan sekarang mereka sibuk mencari uang dan jarang sekali pulang. Tentu sebagai remaja yang aku butuhkan bukan hanya uang tetapi juga kasih sayang. Tetapi yang kumiliki saat ini hanyalah seorang kakak yang selalu mabuk-mabukan dan menghabiskan uang. Tidak hanya di rumah, di sekolah teman-teman juga menjauhiku karena sifatku yang kuper. Sungguh kalau tahu akan begini nasibku, aku memilih tidak lahir di dunia ini, sebagai ‘Joy Vanita’.
Malam tiba, jam dinding menunjuk angka 11, namun kak Jojo belum pulang. Saat aku berharap kak Jojo pulang, tiba-tiba “brakk”. Pintu rumah terbuka dengan keras. Kak Jojo pulang dalam kondisi mabuk berat. Aku sudah muak melihat itu hampir setiap malam.
“Kak, jangan mabuk-mabukan terus dong. Kakak itu sudah besar, sadar dong.”
“Anak bayi, jangan banyak ngomong!” teriak kak Jojo sambil menampar wajahku.
Aku menangis dan berlari ke luar rumah. Aku duduk di bawah lampu taman kota. Tiba-tiba gerombolan anak-anak punk menghampiriku. Penampilannya sangar-sangar. Rambut berbagai model dengan cat warna-warni. Celana jeans belel dan jaket kumal menjadi andalan. Tindik dan tato menjadi hiasan tubuhnya. Terus terang aku ngeri melihatnya.
“Pergi kalian, sebelum aku pangil satpam!” semprotku.
“Sante aja kali. Kita tidak punya niat jahat. Cuma penasaran ada cewek malam-malam nangis. Kalau ada masalah cerita saja,” kata salah seorang dari gerombolan itu.
Aku merasa baru ada yang memperhatikanku. Mau mendengar ceritaku. Aku lihat mereka juga tidak ada niatan buruk. Maka aku ceritakan kondisiku pada mereka.
“Kamu masih untung bisa melihat wajah orang tua kamu. Kami sejak dulu tidak pernah tahu siapa orang tua kami. Mereka meninggalkan kami di jalanan, sebelum sempat mengenal wajah mereka.”
Aku terdiam mendengar cerita mereka yang sangat menyedihkan. Aku mengajak berkenalan untuk mencairkan suasana. Nama genk mereka The Zeus dan mereka terdiri dari Akmal, Revan, Peter dan Sendi.
“Mending kamu gabung kami saja,” ajak Akmal.
Setelah kupikir-pikir akhirnya aku mau gabung dengan mereka. Aku ingin punya teman yang mau mendengar keluh kesahku.
Sudah seminggu aku gabung dengan The Zeus, meninggalkan rumah. Aku sangat nyaman bersama mereka. Aku seperti mendapat keluarga baru yang selalu melindungiku dan membuatku tersenyum. Jujur aku memang sedikit berandal sesudah ikut mereka. Aku jadi ikut merokok, bahkan minum minuman keras. Penampilanku berubah total. Aku pasang tindik di hidung dan lidah, serta membuat tato permanen di tubuhku. Aku sudah tidak peduli dengan penilaian orang.  Seorang perempuan dengan dandanan tidak karu-karuan. Dandanan anak punk. Aku enjoy dengan penampilanku.
 Aku dan The Zeus selalu meyusuri jalanan kota untuk mengamen, karena dari ngamenlah kami bisa makan. Setiap malam tidur di trotoar, karena itulah rumah kami, walupun sering harus kucing-kucingan dengan petugas trantib. Kami tidak pernah tertangkap sebelumnya. Namun malam itu kami tidur terlalu pulas setelah seharian ngamen. Petugas berhasil menyergap kami saat kami masih terlelap. Kami langsung diangkut ke mobil patroli.
Di dalam atas mobil patroli, Revan berkata pelan, “Nanti kalau sudah mau turun dari mobil, aku hitung sampai tiga, kalian semua lari sekencang-kencangnya ya.”
Kami semua mengangguk. Begitu mendekati kantor polisi, Revan berteriak,       ” 1..2..3!” Kami menghambur ke jalan dan lari sekencang-kencangnya. Kami tidak tahu arah, hanya mengikuti yang paling depan. Kami baru berhenti setelah nafas rasanya mau habis. Di belakang para petugas galak itu sudah tidak tampak lagi. Kami istirahat di emperan toko sambil bercengkerama seolah baru lepas dari mara bahaya.
“The Zeus dilawan, sekali libas KO!” kata Peter keras, “Gimana mau ngejar, kalau larinya saja kaya keong, malah kaya kakek-kakek habis sunat.”
Kami semua terpingkal mendengar gurauan Peter yang keterlaluan. Tetapi memang seperti itu nyatanya. Para petugas itu saat mengejar kami, hanya berteriak-teriak tanpa mampu berlari sedikitpun. Persis kakek yang membawa sapu lidi, memarahi sambil mengejar cucunya yang lari.
Belum selesai kami berkelakar, tiba-tiba datang rombongan anak-anak punk mendekati kami.
“Heh, kenapa kalian nongkrong di sini? Ini tempat kami!” kata salah satu anggota punk itu.
“Emangnya ini milik kakekmu apa! Terserah kita dong mau duduk di mana, gak ada urusan dengan kalian.” kataku sengit.
Salah satu dari mereka mendorongku sambil berkata keras,”Eh jadi cewek jangan berlagu. Biasa saja kenapa.”
“Heh, sama cewek jangan kasar begitu. Kalian pingin ribut!” gertak Akmal.
Tawuran pun tak terhindarkan. Aku hanya duduk di pojok toko sambil menyaksikan mereka baku hantam. Tetapi tanpa kusadari ada salah seorang yang mendekatiku sambil membawa pisau. Melihat dia membawa pisau aku berteriak. Akmal mendengar teriakanku kemudian berlari ke arahku dan memelukku. Aneh, tawuran terhenti. Mereka semua berlari. Namun Akmal yang memelukku tiba-tiba terjatuh ke trotoar. Punggungnya ternyata tertusuk pisau, saat melindungiku tadi. Kami langsung membawa Akmal ke rumah sakit. Aku khawatir benar melihat Akmal. Aku baru merasa kalau aku mencintai Akmal.
Sampai di rumah sakit Akmal langsung ditangani dokter. Kami hanya menunggu sambil cemas. Air mataku tak dapat aku bendung. Aku menangis sesenggukan sendirian.
“Guys, ini semua salahku. Gara-gara aku Akmal tertusuk,” ucapku dengan sendu.
“Gak ada yang salah Joy, memang harusnya begitu kami harus melindungi kamu,” kata Sendi.
Tiba-tiba dokter keluar dari ruangan. Kami segera mengerubungi untuk mengetahui kondisi Akmal.
“Pasien sudah sadar. Kondisinya tidak terlalu parah. Silakan selesaikan administrasinya.”
Kami lega mendengar Akmal baik-baik saja. Kami berjalan ke UGD menjumpai Akmal yang masih terbaring lemah. Aku mendekatinya, memegang tangannya.
“Terimaksaih ya, telah menyelamatkan nyawaku.”
“Joy, aku cinta sama kamu. Aku tidak mau kamu kenapa-napa,” jawab Akmal pelan.
Anggota The Zeuz yang lain hanya saling pandang dengan senyum penuh arti.
“I love you too, may hero,” ucapku di dekat telinganya.
Mereka spontan bersorak sorai melihat kami begitu. Aku berusaha mencairkan suasana, karena terus terang mukaku saat itu pasti merah.
“Sudah, sudah aku mau keluar nyari makan. Pasti kalian semua lapar,” kataku sambil berjalan keluar.
Di perjalanan aku ingat biaya rumah sakit yang harus dibayar. Aku sempat tanya ke bagian administrasi, jumlah yang harus dibayar sejumlah 5 juta. Jumlah yang lumayan besar. Di pinggir jalan aku melihat poster lomba balapan liar, yang akan dapat hadiah 5 juta bagi pemenangnya. Tanpa pikir panjang aku putuskan ikut lomba itu.  Setelah membawa bungkusan makanan, aku pamit lagi kepada mereka untuk mencari angin. Aku mencari-cari pinjaman motor. Anak-anak The Zeus tidak akan mengijinkan aku ikut lomba balapan yang berbahaya itu.
Malam perlombaan tiba. Aku datang hanya untuk mendapatkan uang 5 juta itu. Aku merasa ngeri melihat peserta lain, semua cowok berbadan besar dan sangar-sangar. Namun ada yang membuatku lebih terkejut. Ternyata kak Jojo ikut lomba itu. Aku menutup wajahku dengan helm sehingga kak Jojo tidak mengenaliku. Perlombaan dimulai, semua peserta sudah berjajar siap. Seorang gadis seksi membawa bendera yang akan memberi aba-aba start. Penonton sudah berteriak menghitung mundur, “ Tiga.., Dua.., Satu..Go!”
Aku mengendarai motorku secepat mungkin karena tekadku untuk menang sangat kuat. Aku berada di urutan pertama, dan sialnya kak Jojo ada sejajar denganku. Tiba-tiba dia berbuat curang, mendorong motorku dengan kaki sehingga aku terjatuh menghantam aspal dan helmku terbuka. Aku sudah setengah tidak sadar pada waktu itu. Yang aku tahu hanyalah tubuhku berlumuran darah, dan kakakku yang menghampiri berteriak-teriak menyebut namaku sambil menangis. Setelah itu itu duniaku terasa gelap.
Saat aku bangun aku bingung di mana. Ada mama, papa dan kak Jojo. Aku sempat berpikir apakah aku berada di surga bersama keluargaku. Tetapi ternyata tidak, ini kenyataan. Aku sedang berada di rumah sakit didampingi keluargaku. Aku sangat senang, seperti mimpi saja. Pada saat itu mama, papa dan kak Jojo minta maaf karena telah mengabaikanku. Aku mejadi orang yang paling berbahagia saat itu. Tiba-tiba aku teringat The Zeus. Bagaimana nasib mereka sekarang. Bagaimanapun mereka telah memberi peran penting dalam hidupku.
Setelah sembuh aku mencari The Zeus di trotoar tempat kami biasa mangkal. Tetapi mereka tidak ada. Aku terus mencari hingga suatu hari ketemu dengan seorang petugas trantib yang menghampiriku. Dia yang dulu pernah menangkapku.
“Kamu nyari teman-temanmu?” katanya.
“Iya pak. Mereka di mana ya?”
“Kemarin malam mereka terlibat tawuran. Mereka dikeroyok banyak orang. Saya terlambat untuk menyelamatkan mereka semua. Mereka semua mati dalam tawuran itu.”
Deg. Jantungku rasanya berhenti, begitu mendengar ucapan petugas itu. Air mataku langsung mengalir deras tak terbendung. Aku menangisi mereka.
Aku mendatangi makam, tempat mereka dimakamkan bersama. Aku duduk bertimpuh di hadapan makam mereka. Makam mereka berjajar.
“Guys, kalian pergi kok nggak bilang-bilang sih? Aku ke sini untuk mengucapkan terima kasih karena kalian telah mengajariku hidup yang sesungguhnya. Aku bakal kangen banget kepada kalian semua. Tenangkan kalian di surga. Di sana tidak ada petugas trantib yang akan mengejar kalian. Tunggu aku ya. Saatnya nanti aku menyusul. I’ll always love you forever.” (*)

 Clarita Ayu Windayanti – SMPN 2 Blora
Desa Banjarejo, Kec. Banjarerjo Blora

****************************************************

KABUT ITU TELAH SIRNA
Elma Nur Fitriyuni

Aku memandang ke arah jendela, hujan turun sudah satu jam lebih, tetapi aku tetap bergeming.
“Oh..,” aku mendesah, “ Seandainya aku dulu menuruti kata-kata orang tuaku, seandainya aku dulu tidak menomer satukan karier, seandainya, seandainya..”
“Tuhan, andaikan waktu bisa kembali.”
Sebut saja namaku Aura, lengkapnya Aura Nabila Firdausia. Aku dilahirkan dari keluarga terpandang. Aku juga anak yang pintar, selalu juara hingga lulus kuliah dengan IP tertinggi.
“Aura.., apa yang kamu inginkan sekarang sudah tercapai. Kamu harus memikirkan dirimu sendiri. Sudah saatnya kamu punya pendamping. Ibu ingin menimang cucu dari kamu. Tinggal kamu yang belum memberi cucu. Ketiga adikmu sudah punya momongan. Apa kamu tidak ingin seperti adikmu?” kata ibu selalu begitu jika ketemu aku.
Adik-adikku memang sudah berkeluarga. Dan semua sudah punya anak. Semua mapan secara ekonomi. Dua adik laki-laki jadi perwira polisi dan kerja di perusahaan minyak di Arab. Yang perempuan seperti aku jadi dokter, meski spesialisasinya berbeda. Aku dokter kandungan, sedangkan adikku dokter anak. Aku tidak menyalahkan ibuku. Semua cucunya jauh dari rumah ikut dengan orang tuanya masing-masing. Wajar jika ibu ingin menggendong cucu dariku yang masih serumah dengannya.
Dulu aku punya pacar, namanya Rifki. Ketika dia mengajakku menikah, kutolak dengan halus, karena aku ingin melanjutkan S2 dulu hingga selesai. Andaikan waktu itu aku mau menikah dengannya mungkin aku sudah menjadi Ny. Rifki. Dan ibu tidak perlu selalu merajuk minta cucu dariku.
“Non.., Non..,” suara mbok Nah membuyarkan lamunanku.
“Ada apa mbok?”
“Di suruh ibu Sepuh sarapan, Non.”
Setelah di meja makan, ibu dengan suara berat berkata, “Aura..”
“Sudahlah Bu, Aura tahu yang akan ibu katakan. Aura yakin di balik ini ada hikmah buat Aura,” kataku sambil memegang tangan ibu yang sudah mulai keriput.
 Hari Sabtu adalah hari yang agak longgar bagiku karena tidak ada jadwal praktek. Aku ingin mengajak ibu jalan-jalan bersama. Suasana di taman kota pagi itu begitu sejuk. Aku duduk di bangku taman bersama ibuku. Aku lihat ibu tampak senang sekali pagi itu. Ketika aku ingin buang air, kutinggalkan ibu sendiri di bangku itu. Saat kembali aku kaget karena aku mendengar tawa ibu yang keras. Aku sudah lama sekali tidak mendengar tawa ibu yang begitu lepas.
“Ha..ha..he..he.., awas nanti jatuh,” teriak ibu.
Ternyata ibu sedang bermain dengan seorang gadis kecil. Tiba-tiba datang bocah laki-laki yang umurnya tidak jauh dari gadis kecil tadi. Kemungkinan mereka kakak adik. Ibu mengelus-elus rambut dua anak itu dengan penuh kasih sayang.
“Ibu kok kelihatan bahagia sekali,” kataku tiba-tiba mengagetkan ibu.
“Halo tante, tante cantik deh. Nama tante siapa?” sapa gadis kecil itu.
“Nama tante Aura Nabila Firdausia.”
“Lho kok nama tante mirip dengan namaku. Namaku Nabila Alamsyah. Tapi sering ayah memanggilku Ocha,” kata gadis itu.
Aku kaget mendengar kata Ocha. Nama itu adalah nama panggilan sayang Rifki kepadaku dulu.
“Tante kalau namaku, Guntur,” kata anak laki-laki yang ternyata kakaknya.
Aku kaget setelah memperhatikan Guntur. Dia mirip sekali dengan Rifki. Tetapi aku buang jauh pikiran itu. Tiba-tiba ada suara yang memanggil nama Guntur dan Ocha.
“Rifki?” aku berteriak kaget melihat kemunculan orang yang mencari Guntur dan Ocha.
“Aura? Betulkah kamu Aura?” katanya tidak percaya.
“Mereka anak-anakmu?” tanyaku mengalihkan kegugupan.
“Iya, mereka anak-anakku. Apa mereka mengganggu kamu?”
“Oh tidak mereka lucu-lucu.”
Ibu tiba-tiba muncul mencari anak-anak yang tadi bermain dengannya. Rifki menghampiri ibu dan mencium tangannya.
“Ibu, ini Rifki,” katanya dengan sangat sopan.
“Ya Allah, ini kamu to. Jadi Ocha dan Guntur itu anakmu? Pantes aku merasa tidak asing dengan wajah anak-anak itu,” kata ibu.
Semenjak kejadian di taman itu, hatiku jadi gelisah, mata sulit dipejamkan, yang ada bayang-bayang Rifki. Tetapi aku segera sadar bahwa itu tidak boleh. Rifki sudah punya istri dan anak. Rifki adalah masa lalu. Cinta tidak mesti harus memiliki.
Pagi-pagi telpon berdering, yang menyuruh aku segera ke rumah sakit karena ada rapat penting pergantian direktur. Sampai di rumah sakit karena agak terlambat aku tidak memperhatikan nama yang tertulis di karangan bunga ucapan selamat. Aku langsung masuk ruang rapat. Direktur memimpin rapat. Singkat padat, direktur hanya mengenalkan nama direktur baru yang datang dari Surabaya. Nama dokter baru yang akan menjadi direktur rumah sakit tempat aku bekerja adalah Prof. Dr.dr.Rifki Alamsyah. Aku kaget mendengar nama itu. Bagaimana ini? Mengapa dia kembali lagi dalam kehidupanku yang sekarang. Malah lebih dekat lagi. Di tempat kerja yang sama. Padahal aku berusaha untuk melupakannya. Ya Allah tolonglah aku.
Setelah perkenalan selesai, seluruh dokter bergegas keluar, termasuk aku. Tetapi baru saja mau keluar, aku mendengar suara yang memanggilku, “Ocha..Ocha.”
Hatiku sudah tidak karuan begitu mendengar Rifki memanggilku dengan nama Ocha. Ternyata Rifki sudah di belakangku, kemudian di sampingku. Aku bingung dan kikuk karena banyak perawat yang memperhatikan kami.
“Kamu kenapa? Sakit ya?” tanya Rifki, “Maaf aku tidak memberitahumu sebelumnya. Memang aku ingin memberi kejutan.”
“Aku mau mengundangmu bersama ibu ke rumahku. Ya sekalian syukuran atas kepindahanku ke sini. Aku juga ingin kamu lebih dekat dengan keluargaku. Oke,” kata Rifki tanpa memberi kesempatan aku bicara.
“Pokoknya kamu harus datang,” sekarang Rifki malah mengancam. Rifki kabur tanpa menunggu jawabanku.
Pada hari yang disebutkan Rifki, aku dan ibu mempersiapkan diri berangkat ke rumah Rifki.
“Aura ayo cepat buruan, nanti Nak Rifki kelamaan menunggu kita,” kata ibu yang sekarang jadi tampak bahagia banget.
Sampai rumah Rifki, kami sudah disambut di depan rumah oleh Rifki, istrinya dan anak-anaknya. Saat itu suasana tampak sangat akrab. Rifki sesekali memandangku. Aku jadi kikuk dibuatnya.
“Maaf, aku mau ke atas dulu mengambil sesuatu untuk ibu,” kata istri Rifki.
Ketika istri Rifki turun tangga dia tampak lebih cantik, dengan perut yang membesar hamil yang ketiga. Namun tiba-tiba istrinya berteriak, “Oh.. Rifki, tolong aku!”
Kami semburat ke arah tangga. Aku melihat darah. “Panggil ambulans, istrimu pendarahan!”
Ambulans datang langsung membawa istri Rifki ke rumah sakit. Aku langsung akan mengoperasi karena posisi bayi sungsang.
“Ibu.., Rifki.., tolong doakan operasi berjalan lancar,” kataku kepada ibu dan Rifki.
Operasi berjalan dengan lancar. Bayi bisa diselamatkan. Namun istri Rifki karena pendarahan yang banyak harus mendapatkan perawatan intensif. Sudah empat hari perkembangan istrinya Rifki tidak menggembirakan. Tiba-tiba Rifki datang ke ruanganku dan meminta aku ke ruang perawatan istri Rifki.
“Dik, aku boleh minta tolong?”
“Mbak jangan banyak bicara dulu, masih lemah. Istirahat saja biar cepat sembuh,” kataku.
“Aku ingin adik mau merawat anak-anak dan suamiku kalau aku pergi. Biar aku pergi dengan tenang, tolong adik jawab sekarang,” kata istri Rifki yang membuatku bingung.
“Mbak jangan bilang begitu, sebentar lagi mbak sembuh,” kataku tidak yakin.
“Aku minta jawaban sekarang. Maukah adik merawat anak-anak dan suamiku? Aku akan tenang jika adik memenuhi permintaan terakhirku ini,” katanya dengan sangat tenang.
“Ak.., aku.., bersedia,” kataku terbata.
“Alhamdulillah,” katanya dengan senyum yang tulus.
Tanganku dan tangan Rifki dipegang dan disatukan di pangkuannya. Tak lama kemudian istri Rifki matanya terpejam untuk selamanya. Aku menjerit memeluk tubuh istri Rifki. Rifki hanya berdiri mematung kaku.
Setelah empat bulan pemakaman istri Rifki, aku makin dekat dengan Rifki dan anak-anaknya. Mereka sering ke rumahku untuk bermain-main dengan ibuku. Setahun setelah meninggalnya istrinya, Rifki melamarku. Ibu merestui dan aku setuju. Tanggal pernikahan segera ditentukan. Hanya sederhana saja, mengingat aku yang sudah agak terlambat nikah dan status Rifki yang duda beranak tiga. Rasanya aku bahagia sekali saat itu. Kabut yang selama ini menutupi telah sirna. Sayang sekali kabut yang sirna itu hanya dalam mimpiku. Mimpi seorang yang putus asa. (*)

Elma Nur Fitriyuni – SMAN 2 Blora
***************************************************

Dapatkan tulisan-tulisan yang lain pada posting berikutnya :
“ Kumpulan Tulisan Terpilih Karya Anak Semua Bangsa Jilid V “
Semua adalah persembahan Pataba Press Blora
Pataba ada di Blora untuk Indonesia dan dunia
Membangun Masyarakat Indonesia
adalah
Membangun Budaya Membaca dan Menulis







Tidak ada komentar:

Posting Komentar