SIAPA AKU INI..?
Vinca Dia Kathartika Pasaribu
Aku insan
jelata-mungkin,
sebab demikian
mereka senantiasa menjulukiku
Berteriak
menggaungkan elegi atas himpunan hasrat
yang berakhir
sebagai epitaf kematian
Betapa aku
ingin memanah semesta,
tapi.., siapa
aku?
Berjalan saja
mesti dengan langkah-langkah telanjang
yang
membekaskan jalang ke tubuh tanah
Tuhan..Tuhan..,
siapa aku ini?
Pernahkah kau
cantumkan namaku di kamus bumi,
Tempat
tersimpan segala riwayat makhluk,
Atau adakah kau
pernah memetakan runut kelahiran di atlas kehidupan?
Kumohon, jawab
satu tanyaku Tuhan.., siapa aku ini?
(*)
Vinca Dia Katartika Pasaribu (SMPN I Jember)
Lahir : Jember, 17 Februari 1996
Perum Pondok Gede Blok CE No.18 Jember Jatim
****************************************************************
SIAPA AKU?
Erna Yulianti
Kenalkan aku Falentina Rosita Hutama. Namaku tak seindah hidupku.
Aku lahir pada 14 Februari 1995. Aku duduk di bangku kelas 9 SMP 12 Bogor. Aku
juga punya satu kakak, namanya Nanha Rosita Hutama, kelas 11 SMA 3 Bogor.
Falentine Rosita, nama mamaku. Hutama nama kakekku. Sudah 14 tahun aku hidup
tanpa kasih sayang mama.
Aku tidak tahu salahku apa pada mama. Mama tidak mengharapkan aku
lahir. Yang memberi namaku saja kakekku. Aku ingin sekali dipeluk mama dan
dicium mama seperti kak Nanha yang setiap hari disayang mama.
Huh.., hari ini jam di sekolah ada matematika. Aku paling benci
dengan pelajaran itu. Setelah sarapan kak Nanha dan aku biasa berangkat bareng.
Sebelum masuk mobil mama selalu memeluk kak Nanha dan mencium keningnya.
“Sayang, hati-hati di jalan,” kata mama
“Iya Ma,” kata kak Nanha.
“Kek berangkat dulu.”
“Ya, hati-hati,” sahut kakek.
“Ma, Falen berangkat dulu ya.”
Mama hanya diam dan langsung menuju ke dalam rumah.
“Sudah Falen, segera berangkat!” kata kakek.
Aku dan kak Nanha segera masuk dalam mobil.
Bel berbunyi, aku segera masuk kelas. Uh.., setiap hari selalu
ketemu dengan kodok itu, alias Rahma Ardian Bayu. Setiap hari aku selalu diganggu
Bayu. Tempat duduknya di belakangku.
“Aduh sakit,” kataku sambil memukul kepala Bayu dengan buku.
“Apaan sih?”
“Kamu tuh, kalau sehari saja tidak mengambil satu per satu rambutku
pasti hidupku tentram,” kataku.
Bel istirahat berbunyi. Biasa aku dan Siska sahabatku langsung
menuju kantin.
“Len, dipanggil tuh sama bu Marina dan teman-teman bandmu.”
“Ok, thanks ya.”
Aku seorang vokalis. Bandku namanya Gerhana Band, terdiri dari 5
orang. Rahma Ardian Bayu, Dhany Setiawan, Dhony Prasetya, Siska Putri Ayu dan
aku. Semua dipanggil bu Marina ke kantor guru.
“Bu Marina memanggil kami?” tanyaku.
“Ya, ada yang mau ibu sampaikan pada kalian. Besok tanggal 1
Januari, sekolah kita diikutkan lomba band tingkat nasional. Jadi sekarang
kalian harus sering latihan.”
“Ya bu, nanti kami latihan setelah jam sekolah selesai.”
“Baik, sekarang kalian kembali ke kelas.”
Kami kembali ke kelas. Kami semua satu kelas, kelas 9A. Bel pulang
berbunyi. Aku segera SMS kak Nanha untuk tidak jemput aku.
“Ayo segera masuk studio.”
“Ok.”
Setelah latihan aku segera pulang karena mendung.
“Uh..pak sopir kok belum jemput ya,” kataku.
Tiin..,Tiin.., ada cowok yang mengklaksonku dari belakang.
“Eh..ada apa sih. Siapa sih kamu?”
Cowok itu membuka helmnya.
“Ha..kamu Bay, kirain siapa. Rupanya si kodok.”
“Ha..Ha..sendirian kamu? Yuk kuanter!”
“Ada angin apa kamu baik sama aku?”
“Sudahlah, mumpung aku baik.”
“Ya sudah terpaksa aku gonceng kamu.”
Bayu menurunkan aku di depan rumah.
“Dah dulu ya,” kata Bayu.
Aku segera masuk. Waktu aku mau membuka pintu, mama membuka duluan.
“Dari mana saja kamu, baru pulang?” mama marah padaku.
“Tadi aku latihan Ma.”
“Alah, alasan.”
“Sudah jangan memarahi Falen seperti itu. Kasihan dia baru pulang
kamu omeli,” kata kakek.
“Alah selalu saja bela Falen. Dasar..”
Aku menangis di dalam kamar sambil memeluk baju mama, karena aku
ingin sekali dipeluk mama. Setiap hari aku hanya bisa memeluk bajunya saja.
“Falen,” kata kak Nanha.
“Ya Kak, masuk.”
“Kenapa kamu nangis. Dimarahi Mama?”
“Kenapa Kak aku selalu dibedakan sama kakak? Padahal aku anak mama
juga. Apa salahku?”
Aku menangis sambil memeluk kak Nanha.
“Kamu nggak salah kok Len. Mama paling lagi kesel saja.”
“Nggak Kak. Kenapa setiap hari mama begitu sama aku?”
“Sudahlah, sabar saja kamu. Sudah ya, Kakak keluar dulu.”
Aku segera tidur karena besok harus ikut lomba.
“Ma..,” kak Nanha masuk kamar mama.
“Ya Na, masuk!”
“Aku mau tanya tapi nanti jawab jujur ya?”
“Hem.. sayang kamu mau tanya
apa?”
“Kenapa sih mama benci sama Falen?”
“Oh itu, memang kenapa?”
“Nggak apa-apa. Jawab jujur Ma!”
Tidak sengaja aku mendengar pembicaraan kak Nanha dengan mama waktu
aku mau ambil minum. Aku terus berdiri di depan kamar mama, sambil membawa air
minum.
“Ya. Mama akan cerita.”
Sambil menangis mama menceritakan semuanya.
“Falen anak haram..”
“Gara-gara dia papa meninggal. Falen anak preman. Waktu mama dan
papa sedang naik mobil menuju rumah, kami dihadang perampok. Mereka membunuh
papa saat papa melawan. Mereka mengambil semua uang, dan menghamili mama. Dua
bulan setelah kejadian itu mama menjadi orang stress. Mama mengandung anak
perampok itu. Setelah lahir mama ingin sekali membunuh bayi itu. Tetapi kakek
selalu menghalangi mama. Itulah mengapa mama benci sekali dengan Falen.”
“Ouh, tapi mama nggak harus benci dengan Falen karena dia juga anak
mama.”
Aku kaget dan shock mendengar perkataan mama, sampai minuman yang
kubawa jatuh.
“Suara apa itu,” kata mama mendengar gelas jatuh.
Aku langsung keluar rumah. Waktu itu hujan deras.
“Ya Allah kenapa aku hidup. Mama saja menganggapku anak haram.”
“Falen, ayo masuk!” kata kak Nanha.
“Nggak. Aku sudah dengar semuanya. Aku anak haram.”
“Nggak Len, kamu adikku. Aku sangat sayang sama kamu.”
“Cepat masuk, besok kamu kan lomba!”
Setelah masuk rumah, aku nggak berani lagi melihat mama.
Aku masuk sekolah dengan wajah pucat.
“Kamu kenapa Len?” tanya teman-teman dan bu Marina.
“Nggak apa-apa Bu!”
“Ya sudah. Kamu nggak usah masuk dulu, kebetulan lombanya diundur.”
“Kuantar pulang ya?” kata Bayu.
“Ya Bay. Pusing banget. Makasih ya.”
Sampai rumah, aku tiduran sambil memandang foto mama dan papa.
Kring.. telpon bordering.
“Halo, siapa ini?”
“Maaf mbak, apa benar ini telpon rumah bu Rosita?”
“Ya benar, ada apa ya?”
“Bu Rosita mengalami kecelakaan dan masuk RS Wijaya.”
“Apa, mama kecelakaan? Ya sudah Pak terimakasih.”
Aku segera telpon kakek dan kak Nanha. Kami segera meluncur ke RS
Wijaya.
“Mama.., kok bisa begini sih?” kata kak Nanha.
“Maaf Mbak, jangan diganggu dulu pasien ini.”
Aku memandang mama dari jendela kamar.
“Alhmadulillah, bu Rosita sudah sadar,” kata dokter yang merawat
mama.
Aku, kakek dan kak Nanha segera masuk.
“Sana pergi kamu, anak haram!” kata mama kepadaku.
“Baik Ma, tapi sebelum pergi aku ingin sekali mencium kaki mama.
Surga itu di telapak kaki mama. Ma, maafin Falen kalau banyak salah. Falen
sayang sama mama,” kataku sambil mencium kaki mama.
Selesai mencium kaki mama, aku langsung pergi.
“Kamu keterlaluan, dia anakmu sendiri!” kata kakek.
“Ya Pa, aku baru sadar yang kulakukan salah.”
“Cepat kejar Falen!”
“Falen! Falen!” jerit mama sambil berlari keluar.
Aku sudah di seberang jalan rumah sakit. Aku mendengar mama
memanggilku. Aku langsung lari dan ingin memeluk mama, tetapi ada truck yang
tiba-tiba saja sudah menabrakku. Mama langsung memelukku yang sudah
berdarah-darah.
“Falen, maafkan Mama!”
“Ng..nggak..pa..pa..Ma.
Fa..len..sa..yang..mama.”
“Ya Nak, jangan pergi Nak!”
Aku langsung dirawat di RS Wijaya. Aku koma dua hari. Setelah sadar
seluruh tubuhku tidak bisa lagi digerakkan dan tidak bisa bicara. Mama terus
memelukku dan berkali-kali minta maaf.
Aku sudah putus sekolah, tetapi teman-teman dan bu Marina sering
berkunjung ke rumah. Aku setiap hari hanya bisa berbaring, makan saja disuapi
mama. Aku bahagia sekarang bisa disayang mama. Kami hidup bahagia meskipun aku
cacat.
Namun ada berita lain yang kemudian kudengar sangat mengejutkan.
Perampok yang membunuh papa adalah om Falen sendiri, yang sebenarnya juga
mencintai mama. Namun cinta itu bertepuk sebelah tangan, karena mama hanya
cinta kepada papa saja.
Bagiku itu adalah duniaku yang bahagia, manis sekaligus tragis.
Mengetahui ayah kandung yang berwujud adik kandung papa sendiri. Lalu siapa
aku? (*)
Erna Yulianti (SMPN di Blora)
Lahir : Rembang, 20 Juli 1996
Jl. Rambutan Rt2/2 Magersari Rembang.
******************************************************
AKU MENCARI TUHAN
Rendy Erianda
Dulu, tak pernah terlintas di benakku untuk mempertanyakan Tuhan.
Kala itu, ibu selalu mendudukanku di pangkuannya serta mengisahkan tentang
kebesaranNya dalam berbagai peristiwa dan ciptaanNya. Dan aku pun termangu,
mengangguk, walau apa yang kumengerti belumlah cukup untuk menyelami
keberadaanNya.
Ketika aku menjalani hidupku, banyak hal membuatku mulai
mempertanyakan Tuhan. Jika Ia benar ada, mengapa Ia tega membiarkan sahabatku
tertabrak mobil hingga tewas mengenaskan? Jika Ia menyanyangiku, mengapa Ia
tinggal diam melihat ayahku meninggalkanku di sebuah panti sepeninggal ibu?
Jika Tuhan adil, mengapa Ia bergeming saat semua yang kumiliki lenyap bersama
hilangnya setitik kebahagiaan dalam hidupku?
“Tuhan itu tak ada,” ucap sahabat-sahabatku suatu kali sambil
menunjuk ke sebuah dipan reyot dalam gubuk tak jauh dari kota kami.
Aku menoleh ke arah yang mereka tunjuk. Aku melihat seorang bocah
terbaring tanpa daya. Tubuhnya begitu ringkih, hanya belulang dibalut keriput.
Bibirnya yang mengering menganga lebar. Mata cekungnya menatap penuh derita dan
untuk menangis pun ia tak sanggup lagi.
“Tuhan memang tak ada,” ucap sahabat-sahabatku lagi, “Ia hanya
direka sebagai alasan untuk bertikai dan saling menyakiti.”
Aku termangu membisu, tapi sekejap kemudian mengangguk. Sudah
terlalu sering aku mendengar agama dijadikan alasan untuk saling menghujat,
menyerang, menyakiti, bahkan membunuh. Aku masih ingat betapa segerombolan
orang yang mengaku mengenal Tuhan dan taat menjalankan perintahNya, menebar
ketakutan hingga meresahkan orang. Aku juga takkan lupa ketika dengan mata
kepalaku sendiri menyaksikan pengrusakan sebuah rumah ibadah karena keyakinan
dan cara mereka berbeda dari yang diyakini sebagian besar penganut agama
lainnya.
“Lupakan Tuhan,” bisik sahabat-sahabatku, “Ia takkan ada untuk
siapa pun, karena Ia memang tak ada.”
Aku mencoba mengacuhkan bisikan mereka. Tetapi, mataku malah
tertumbuk pada sesosok perempuan yang terbaring di pinggir jalan. Pakaiannya
yang serba terbuka tampak acak-acakan. Di sana-sini kulihat terkoyak dan mengangakan
luka.
“Apa yang terjadi?” sapaku terbata, “Ada apa denganmu?”
“Aku pelacur,” sahutnya mengejutkanku, “Mereka memukuliku dan
mencampakkanku setelah puas menyiksaku.”
“Apa salahmu?” tanyaku lagi.
“Tak mengertikah kau?” desisnya, “Aku ini pelacur. Aku tak ada
artinya dibanding orang-orang yang mengaku mengenal Tuhan. Di mata mereka, aku
bukanlah manusia.”
Aku menatapnya lekat-lekat. Yang kulihat hanya kemarahan dan
keputusasaan. Maka aku memalingkan wajahku.
“Teruslah berpaling!” teriaknya melengking hingga memekakkan
telingaku, “Bahkan Tuhan pun memalingkan wajahnya dariku. Atau memang Tuhan itu
tak ada.”
“Lebih baik aku kembali ke kotaku yang megah, “pikirku, “Mungkin di
sana bisa kutemukan kelegaan.”
Ternyata pikiranku keliru. Apa yang kulihat sungguh jauh dari
melegakan. Di sebuah gedung di mana seharusnya masyarakat merasa terayomi, aku
melihat seorang perempuan tua miskin diadili karena mengambil tiga buah mangga
dari pohon milik tetangganya. Sungguh malang nasib perempuan itu. Ia harus
duduk gemetar di hadapan hakim yang hanya bisa menangis melihat deritanya.
Padahal tak jauh dari sana, sekelompok tikus berharta sedang tertawa riang
mengatur perkara agar tak menjerat dirinya. Bersama mereka turut terbahak
segelintir hakim yang rela martabatnya diinjak-injak demi uang.
“Jika Tuhan itu ada, tak mungkin Ia diam saja melihat ini semua,”
batinku.
Di gedung sebelah, pemandangan yang tak kalah mengiris hati
membuatku kembali mempertanyakan Tuhan. Di sana sekumpulan pemungut pajak
tengah membagi-bagi hasil pungutannya yang seharusnya disetorkan ke kas negara.
Dengan tamak, mereka meraup kepingan-kepingan yang dengan susah payah
dibayarkan rakyat. Dan perut buncit mereka kian membesar ketika berdatangan
pengusaha licik menawarkan setumpuk uang agar kewajibannya diringankan.
“Benar, Tuhan memang tak ada,” batinku, “Jika ada, takkan mungkin
Ia membiarkan ketamakan merajalela.”
Aku bingung harus beranjak ke mana. Tampaknya tak ada lagi sudut
yang bisa kutempuh untuk melegakanku. Sekonyong-konyong aku merasa kepalaku
sangat berat dan pandanganku berubah suram. Aku tak tahu apa yang terjadi
padaku. Kurasa aku kehilangan kesadaran. Kurasa aku jatuh menghantam lantai
hingga mengejutkan orang-orang yang lantas menyeret tubuh lunglaiku dan
mencampakkan entah ke mana.
Ketika tersadar, aku sudah berada di pesisir pantai. Senja hampir
tiba. Matahari, yang sepanjang hari begitu perkasa menyiksa manusia-manusia
yang tak memiliki tempat berteduh, sekejap lagi akan terlelap di peraduannya. Sementara
aku masih saja sibuk mencari Tuhan hingga nyaris putus asa.
“Di mana kebesaranMu Tuhan?” teriakku parau pada senja yang
mendekat, “Apakah Kau benar ada? Jika Kau memang ada, mengapa Kau biarkan ada
manusia yang menderita, sementara yang lain bergelimang ketamakan dan berkubang
dalam keacuhan?”
Aku menunggu beberapa saat, tapi tak ada jawaban. Aku berteriak dan
bertanya lagi, namun tetap tiada sahutan.
“Mungkin memang tak ada Tuhan,“ bisikku, “Tak ada gunanya semua
ini.”
Mendadak semilir angin menampar wajahku, memalingkan pada sesosok
nelayan yang perlahan menghela perahunya ke sebuah dermaga. Tidak banyak yang
dibawanya. Hanya beberapa ekor ikan seukuran jari telunjuk orang dewasa. Toh
wajahnya tetap menyunggingkan senyum. Begitu juga wajah istri dan anak-anaknya
yang berhamburan menyambut kedatangannya.
“Ayah…,” jerit bocah-bocah itu sambil menghambur ke pelukan sang
ayah.
Aku tak mendengar sepatah kata pun terucap dari mulut sang istri. Tapi
aku melihat jelas senyum tersungging di wajahnya walau takkan banyak yang bisa
diolah untuk menemani bersantap.
Dari luar gubuk, masih terdengar canda tawa yang terpancar
menghangatkan senja. Aku juga bisa mencium aroma ikan yang dibakar dengan
sedikit garam. Sederhana memang, namun tampak sudah cukup menggembirakan hati
bocah-bocah yang tak pernah diajari untuk banyak menuntut.
“Mungkin Tuhan itu ada,” batinku, “Setidaknya untuk orang-orang
yang selalu bersyukur walau hidup serba berkekurangan.”
Aku melangkah lagi seolah belum cukup jauh jarak yang kutempuh. Tak
lama aku tiba di sebuah bundaran. Di sana kulihat ratusan mahasiswa berunjuk
rasa menuntut pemberantasan korupsi dan mafia peradilan. Pekikan semangat
kudengar silih berganti dengan orasi yang kian membahana semangat mereka.
Sekejap kemudian, suasana berubah tegang. Para mahasiswa terlibat saling
dorong dengan ratusan aparat bersenjata lengkap yang bermaksud membubarkan
unjuk rasa itu. Tak kulihat seraut rasa takut terpancar di wajah belia para
mahasiswa. Tak juga rasa gentar mengahadapi ancaman senjata api ataupun meriam
air yang setiap saat siap mengobrak-abrik.
Hanya sepelemparan batu dari sana, kulihat beberapa tenda beratapkan
terpal seadanya. Di dalamnya beberapa aktivis tampak meringis menahan lapar.
Mereka lapar bukan karena tak sanggup membeli makan. Mereka lapar demi
memperjuangkan orang-orang miskin yang kelaparan. Entah sampai kapan mereka
kuat menahan lapar, tetapi akan selalu ada orang lain yang menggantikan mereka
berjuang hingga tak ada lagi kelaparan di negeri ini.
“Mungkin Tuhan memang benar ada,” kembali aku membatin,”Jika tidak,
siapa yang menggerakkan nurani mereka untuk memperjuangkan kebenaran dan hak
orang tertindas?”
Aku melangkah lagi, membiarkan nuraniku menuntun langkahku yang
mulai menemukan arah. Tak lama aku tiba di sebuah rumah sederhana yang dipadati
banyak orang. Di depannya kulihat plang lusuh bertuliskan ‘Pengobatan Gratis
untuk Warga Miskin’. Aku melangkah masuk, perlahan menyeruak kerumuman orang yang
tampak meringis menahan sakit yang entah sudah berapa lama diidapnya. Di dalam
sebuah ruang temaram, aku melihat seorang dokter muda sibuk memeriksa pasien
dan membagikan obat-obatan.
Ia sama sekali tidak meminta bayaran atas jasanya. Ucapan terima kasih
dan anggukan hangat sudah cukup kiranya untuk melerai rasa lelah yang pasti
membebaninya. Sesekali kulihat ia menghapus air mata ketika berhadapan dengan pasien
yang mengidap penyakit sedemikian parahnya. Ia tentu mengerti bahwa tak banyak
lagi yang bisa diperbuat. Toh, ia tetap menyapa mereka dengan hangat dan
mendengarkan keluhan demi keluhan. Aku terdiam melihat semuanya. Sungguh,
lidahku terlalu kelu untuk berucap apapun. Hanya nuraniku yang kembali
berbisik.
“Tuhan memang benar ada,” bisik nuraniku, “Ia yang telah
menggerakkan manusia untuk membantu sesamanya tanpa mengharapkan balasan.”
Aku berlari keluar. Tak ingin lebih lama menghalangi orang-orang
yang ingin mencari kesembuhan di sana. Tiba-tiba langkahku terhenti.
Pandanganku terpaku pada dua, bahkan tiga, empat lima rumah ibadah berbeda
agama yang berdiri bersisian. Dari dalam, aku bisa mendengar dua lantunan doa
yang sama menyejukkan. Tampak pula umat yang usai menunaikan ibadah saling
bertegur sapa dan tersenyum tulus. Tak ada kebencian. Tak juga perasaan paling
benar atau menggangap yang lainnya kafir, tampak di sorot mata mereka.
“Ya Tuhan, ampunilah aku, “ pekikku dalam hati, “Ampunilah hambaMu
yang pernah mempertanyakan keberadaanMu. Aku sudah mengerti sekarang. Engkau
selalu ada, dari dulu, sekarang sampai kapan pun.”
Tuhan bukannya tak sanggup membuat segala sesuatu menjadi baik dan
teratur sesuai kehendakNya. Ia hanya ingin memberikan pilihan kepada
manusia-manusia yang telah dikaruniaNya akal pikiran. Ia ingin manusia berjuang
menemukan hakikatNya dan kebenaran dengan kesadarannya sendiri. Tetapi sekejap
pun Ia tak pernah membiarkan manusia sendirian. Ia selalu hadir untuk mereka
yang mengingat dan berserah padaNya. (*)
Rendy Erienda (SMA Harapan Mandiri kelas XI IPS)
Lahir : Takengon, 16 September 1994
Jl. Medan-Dalitua Gg.Baktyi No.112 B Medan Sumatera Utara
*********************************************************
LUKA SAAT CINTA MENYAPA
Dartia Utari
Di tepi pantai Sakura, pantai yang selalu sepi di tengah keramaian
kota Tokyo. Sosok pemuda menatap lekat gadisnya, iris mata amesthy miliknya
seakan mencoba mengalirkan perasaan halus ke iris mata emerald sang gadis.
Mungkin sebuah kebahagiaan, tetapi sangat mungkin untuk sebuah harapan. Jika di
dunia ini ada sepasang kekasih yang merasa begitu bahagia malam ini, pastilah
mereka. Hanya tinggal menghitung hari akan tiba masa di mana mereka akan
mengucapkan janji suci dalam ikatan sakral di mataNya.
“Romi, dua hari lagi cinta kita akan benar-benar bersatu, apakah
Romi bahagia?” tanya sang gadis dengan manja.
“Pertanyaan bodoh dari orang bodoh. Tentu aku bahagia Julia.
Aa..aku..” Romi merasa seperti tak dapat berbicara.
“Kamu kenapa?” tanya Julia keheranan.
“Aku mencintaimu Julia, dan hanya dirimu,” semburat merah samar
terukir di kedua pipinya.
“Julia juga cinta Romi, aisheteru,”
sebuah senyum menghiasi air mukanya.
Romi menarik Julia ke dalam dekapannya, Julia membalas pelukan sang
kekasih, ditenggelamkannya wajahnya ke pelukan Romi, calon suaminya. Sekejap
kemudian angin pantai berhenti bertiup, seakan tak kuasa menyumbangkan kebahagiaan
yang tumbuh bersemi di hati mereka.
Romi, ayo pulang, Julia sudah lelah,” suara manja Julia memecahkan keheningan.
Sampai di rumah, Julia sudah membayangkan saat-saat di mana ia akan
mengenakan gaun putih elegan berhiaskan bunga hijau tua indah senada dengan
warna mata emeraldnya, di mana semua mata memandang takjub akan kecantikannya.
Spontan wajahnya memanas, semakin panas hingga ia tak kuasa menahan geli
mengingat apa yang baru saja dipikirkan. Ditenggelamkannya air mukanya ke dalam
bantal, hingga ia benar-benar tertidur pulas bermimpi tentang hari esok yang
dinanti.
Di balik pintu, sepasang iris mata rubi menatap perangainya dengan
rasa tak suka, Mijua. Ya..,sosok itu adalah Mijua, teman satu asrama sekaligus
sahabat Julia. Sahabat yang diam-diam mencintai Romi, kekasih Julia yang dua
hari lagi akan menjadi pendamping hidup Julia. Agaknya Mijua sangat terpukul
dengan rencana pernikahan Romi dan Julia. Namun Romi dan Julia terlalu buta
akan cinta mereka, untuk mampu membaca isi hati Mijua yang terluka.
Hari yang Romi dan Julia tunggu telah tiba bersama terbitnya fajar
di ufuk timur. Jam berganti jam hingga waktu itu benar-benar tiba. Romi telah
duduk di tempatnya. Namun satu jam berlalu, Julia tak kunjung menampakkan
parasnya. Romi mulai gelisah, rasa cemas menyergap jantungnya seolah menghisap
semua tenaga dari tubuh kekarnya. Dua jam telah berlalu, mendung duka, mungkin
kecewa menutupi air muka mempelai pria, pasrah…
“Julia tidak datang,” Romi dengan senyum yang terlalu dipaksakan
adanya. Berbeda dengan Romi yang mulai hilang kesadarannya, para tamu undangan
saksi dan pendeta tak terkecuali Mijua tetap sabar menanti kehadiran Julia.
Dan akhirnya kedua mata emerald milik mempelai pria menangkap sosok
Julia dengan wedding dressnya yang menyapu altar. Romi pun tersenyum lega.
Namun Romi menangkap kejanggalan atas keterlambatan Julia. Julia bukanlah orang
tak menghargai waktu, apalagi sampai terlambat bagitu lama di hari
pernikahannya. Semoga itu bukan pertanda buruk bagi cinta mereka.
“Romi Saputra, apakah anda bersedia mencintai ananda Julia Utami,
di saat senang maupun sedih, di waktu sakit dan sehat maupun selamanya?”
pertanyaan dari sang pendeta menyadarkan Romi dari lamunannya.
“Ya saya bersedia,” jawab Romi sambil berusaha menekan pikiran
anehnya.
“Dan ananda Julia Utami, apakah anda bersedia mencintai Romi sampai
maut memisahkan kalian berdua?”
Julia menghela nafas panjang, senyum mengembang di kedua sudut
bibir manisnya. Belum sempat Julia menjawab, sosok Mijua ambruk tak jauh dari
mereka berdua. Sontak semua mata mengalihkan pandangan mereka tertuju pada
tubuh yang tergeletak lemah di lantai. Jerit pekik kepanikan pecah di setiap
sudut gereja. Mijua segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Firasat Romi
memang nyata adanya. Kejanggalan yang tertangkap oleh matanya mengisyaratkan
pertanda, setidaknya pernikahan mereka tertunda karena sakitnya Mijua. Di RS
Bandai Tokyo di kamar 2995, Mijua terbaring tak berdaya, dan Romi sadar petaka
ini tak akan hanya sampai di sini.
Tiga hari berlalu belum ada perkembangan yang berarti, semua masih
sama, hanya ada Romi dan Julia di ruangan sempit, yang kental dengan aroma
obat, menunggu Mijua membuka matanya. Mereka tidak cukup egois untuk sekedar
melanjutkan pernikahan, sedangkan Mijua, orang yang berjasa mempertemukan Romi
dan Julia, masih terbaring koma.
Satu minggu berlalu, gerakan tangan Mijua tertangkap oleh Julia.
Romi segera memanggil dokter untuk memerika Mijua, namun Mijua belum membuka
mata apalagi berbicara. Hari mulai malam, jarum jam tua di dinding kamar menunjuk
angka 9.
“Ro.., Romi.., Ro..mi..,” suara Mijua bergetar lembut namun cukup
jelas untuk membuat Julia dan Romi terjaga.
Ada getar halus namun perih menyusuri setiap desiran darah Julia.
“Aa..apa? Mengapa Mijua menyebutkan nama Romi? Adakah sesuatu yang
disembunyikan Mijua?” segala pertanyaan menyergap batin Julia.
“Romi.., aku mencintaimu..,” suara Mijua kembali terdengar, namun
kali ini lebih jelas.
“Maaf, apakah di sini ada yang bernama Romi? Saran saya, sebaiknya
kalian berdua mencari orang itu! Kehadiran seseorang yang bernama Romi akan
sangat membantu kesembuhan pasien,” tutur dokter yang datang bersama Romi, setelah
memeriksa keadaan Mijua.
Seolah tersayat-sayat sembilu, Julia hanyut dalam diamnya, sakit, marah,
kecewa, sedih menguasai hatinya. Romi berdiri mematung memandang gadisnya. Saat
ini yang ia takutkan bukanlah sakit Mijua, namun perasaan Julia yang terluka.
Romi bisa melihat air mata jatuh dari pipi gadisnya. Romi mendekap Julia,
karena ia yakin hal inilah yang Julia butuhkan. Namun Julia bergeming, diam
seribu bahasa. Kini ia melihat butiran air mata lebih deras lagi. Romi bisa
mendengar suara Julia merintih, menahan tangisnya agar tidak meraung, namun
agaknya tak kuasa. Julia meraung dalam pelukan Romi.
“Sudahlah Romi, jadilah pendamping Mijua. Obati luka yang telah aku
torehkan di hatinya. Cintailah dia seperti saat kau mencintaiku. Aku bisa
bahagia tanpa dirimu. Namun Mijua akan mati bila kau tak di sisinya.”
Julia sadar kalimat terakhirnya telah mengisyaratkan bahwa ia telah
melepas Romi untuk Mijua selamanya. Kalimat yang menjelaskan berarti Romi bukan
miliknya. Julia memang telah berhenti menangis, namun kini batinnya menjerit
dihimpit cinta dan luka. Kini Julia tak punya apapun. Ia beranjak pergi meninggalkan
Romi calon suaminya, bersama Mijua sahabatnya. Julia memberi ruang untuk mereka
berdua.
Julia berjalan menuju pantai Sakura yang hanya berjarak satu
kilometer dari rumah sakit. Ia berjalan setengah berlari, makin lama makin
cepat ia ayunkan kakinya hingga sampai bibir pantai. Julia berhenti sejenak,
mencoba menikmati rasa sakit pada telapak kakinya yang menginjak pasir tersapu
air pantai. Sekiranya mampu menghapus segala rasa sakit di hatinya. Ia
tersenyum pilu, berharap Tuhan akan menerimanya. Julia meneruskan langkahnya,
kini ombak makin deras menekan, tubuh mungilnya serasa melayang di batas tipis
kesadaran. Ia merasa seseorang menarik pinggangnya. Apakah itu malaikat kematian? Tetapi mengapa
ia seakan menjauh dari kematian? Samar-samar ia membuka mata, tampak sosok yang
amat dikenalnya, Romi Saputra. Mengapa ia ada di sini? Apakah ini mimpi? Atau memang belum mati?
“Romi..,” Julia berusaha duduk.
“Syukurlah Julia, kau baik-baik saja. Aku..aku.” belum habis
perkataannya, Romi telah memeluk Julia.
“Aku mencintaimu. Mungkin aku tak bisa lagi menjadi kekasihmu,
namun aku bisa mati bila kau benar-benar pergi dariku. Kumohon Julia, tetaplah
di sisiku, meski hanya sebatas temanku, hanya melihatmu sudah cukup untukku.”
Julia tidak bicara, namun sorot iris mata emeraldnya sudah cukup
mengungkapkan isi hartinya. Saat ini ia hanya ingin menikmati detik-detik
terakhirnya bersama Romi, karena setelah Romi melepaskan dekapannya, maka ia
benar-benar harus merelakan kepergian kekasihnya.
Julia dan Romi kembali ke rumah sakit. Namun aneh di ruang kamar
Mijua penuh dengan para medis. Saat Mijua melihat mereka, Mijua meneteskan air
mata. Julia menghapus air mata itu dan tersenyum. Namun Mijua tahu Julia sedang
berdusta. Diraihnya tangan Romi, disatukannya dengan tangan Julia.
Hanya satu kata yang diucapkan Mijua, “Ma..aaaf..”
Sesaat kemudian Mijua menutup mata untuk selamanya.
Kisah cinta Romi dan Julia, bukanlah kisah cinta Romeo dan Juliet
yang berakhir dengan kematian. Kisah cinta Romi dan Julia adalah kisah cinta
sebenarnya, bukan sekedar cerita pelipur lara. Dalam kisah cinta Romi dan Julia
semua berakhir bahagia. Romi dan Julia hidup bahagia. Mijua dikubur mengenakan
wedding dress putih pemberian Julia dengan senyum di bibirnya. (*)
Dartia Utari d/a PT HIM Pen. Baru Teluk Betung Lampung
**************************************************
PELUH KELUH
Fitriyanto
Yasiin.., Walquranil
khakim…
Ayat yang selalu beriringan dengan datangnya malaikat pencabut
hidup itu terdengar sakral keluar dari setiap mulut orang yang memenuhi ruangan
tamu rumahku. Keberadaan sekujur tubuh yang kaku berada di tengah-tengah
kerumunan wanita-wanita berjilbab hitam. Tak pernah menyangka bahwa semuanya
datang begitu cepat. Kebahagiaan yang baru sempat kami rasakan kembali hilang
ditelan kenyataan yang begitu menyakitkan. Aku yang baru pulang dari sekolah, terpaku
memandang wajah yang tak asing lagi bagiku ‘ayah’, sosok raga yang yang sudah
tak berdaya terbujur kaku berbalut kain putih yang tak bermotif. Kain yang
sangat aku benci. Tak menghiraukan dengan semua mata yang sedari tadi
mamandangi diriku, akupun menangis sejadi-jadinya dan berlari memeluk ayahku
yang kurasa ini adalah pelukan terakhir yang bisa aku berikan untuk ayahku
tercinta.
“Sudahlah Nak, jangan terlalu bersedih. Doakan saja biar ayahmu
damai di sisi Allah.”
Kurasakan dua tangan yang lembut meraih tubuhku dan mengusap air
mata yang mengalir di pipiku. Aku hanya bisa pasrah menjatuhkan tubuhku dalam
pelukannya. Kurasakan betul getaran yang hebat berdetak di dadanya. Ibu,
setegar apapun dirimu menghadapi ini semua, menutupi kesedihan di depan kami,
tetapi engkau tetaplah seorang wanita lembut yang tidak bisa memungkiri bahwa
kehilangan seseorang yang begitu engkau sayangi memberikan sayatan pedih di relung
hatimu. Salut untukmu ibu.
Tujuh hari setelah pemakanam ayahku, aku sudah mulai bisa menerima
kenyataan. Ayahku telah tiada, itu adalah kenyataan yang harus kuterima. Aku
sebagai anak pertama dari lima bersaudara harus bisa memberikan contoh yang
terbaik untuk keempat adikku yang masih kecil. Sekarang ibuku sendirian yang
membesarkan kami, tidak ada tumpuan yang mau menanggung kebutuhan hidup keluarga
kami. Itu juga yang memaksa aku harus bisa tegar. Dengan datangnya semua ini,
aku yang duduk di kelas 3 SMA di salah satu sekolah negeri di kotaku, mengurungkan
niatku untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi demi tercapainya
cita-citaku yang sedari dulu ingin menjadi dokter. Semua sudah terkubur dalam-dalam
bersamaan dengan terkuburnya jasad ayahku di pemakaman. Aku tak mungkin
menambah beban ibuku. Aku juga tak sanggup jika harus melihat kepayahan ibuku
yang berprofesi sebagai pedagang kecil menanggung beban seberat ini, menyekolahkan
aku dan keempat adikku. Pesan ayah yang menjadikan pendidikan paling utama
sudah tak kuhiraukan lagi. Yang penting bagiku sekarang bagaimana caranya agar
aku bisa cepat lulus dan mendapat kerja yang layak agar aku bisa membantu
meringankan beban ekonomi keluarga.
Purnama, nama singkat yang disandangkan pada diriku mempunyai
banyak makna. Yang pertama purnama berarti lambang kecantikan perempuan. Memang
bisa dibilang aku tercipta sebagai gadis yang mempunyai rupa menarik. Tapi toh
aku tak pernah sombong dengan semua ini karena bagiku semua ini tak akan pernah
abadi. Sejak kecil ibu telah menanamkan pemahaman itu padaku bahwa kecantikan
seorang perempuan akan terpancar secara sempurna jika kepribadian yang ada
dalam dirinya mengimbangi. Yang kedua purnama yang berarti sinar terang dari
bulan yang hadir setiap tanggal 15 bulan, sanggup memberikan cahaya di malam
hari. Makna keduanya, besar harapanku bisa terwujud. Kelak aku harus mampu
mengangkat keluargaku dari kegelapan dunia yang perputarannya tak pernah bisa
ditebak dengan logika. Aku juga harus bisa jadi sinar bagi masa depan keempat
adikku yang sekarang semua berpredikat yatim. Aku akan berusaha. Ya, terus
berusaha. Itu tekadku.
Kicauan burung mulai terdengar riuh melompat dari satu dahan ke
dahan yang lain seperti mengabarkan kepada seluruh alam bahwa hari ini suasana
langit akan cerah. Beningnya butiran-butiran embun juga masih menempel di pucuk
dedaunan dan rerumputan. Perlahan matahari merangkak, seakan tak mau kalah
untuk turut tampil memberikan sinar kehangatannya, mengobarkan semangat di awal
hari ini. Di sepanjang jalan yang kulalui tampak kuncup-kuncup bunga siap mengembangkan
kelopaknya menambah warna-warni keindahan dunia.
Pagi itu langkahku berhenti di depan sebuah rumah berpagar bambu,
suasananya juga masih sepi. Belum tampak seorangpun berada di sekitar rumah
itu. Kuamati rumah itu. Terlihat sekali bahwa rumah ini baru selesai dibangun.
Arsitekturnya sangat kental dengan etnik Jawa. Di sebelah kanan ada kolam ikan
yang didesain seperti air terjun. Sedangkan di sekeliling kolam tersebut ada
taman yang berisi berbagai jenis mawar. Sangat menyejukkan. Puas menikmati
semua pemandangan ini, aku berpindah mencoba mengamati bagian dalam. Dari balik
jendela kaca aku bisa melihat jelas isi ruangan itu. Hanya ada tujuh mesin
jahit yang masih baru, tiga mesin jahit tradisional dan empat mesin jahit
listrik, serta dua mesin obras yang masih terlihat baru. Maklumlah, tempat kursus
menjahit baru saja dibuka dan mulai menerima siswa ajar baru kali ini.
Tak berapa lama aku menunggu, tampak di ujung jalan seorang wanita
paroh baya berjalan menuju tempat ini. Setelan baju warna nila yang dihiasi
pernik-pernik sederhana berpadu dengan jilbab warna senada begitu pas melekat
pada tubuhnya yang langsing. Dari apa yang ia kenakan menggambarkan betapa sangat
memperhatikan penampilan wanita itu, walaupun umurnya sudah jauh di atasku.
“Sudah lama Dik nunggunya?” tanyanya dengan suara sangat lembut.
“Nggak kok Bu, baru saja datang terus liat-liat dulu. Nyaman banget
tempatnya,” jawabku dengan senyum ramah.
“Ya beginilah adanya. Sederhana. Tapi sykurlah kalau kamu merasa
nyaman dengan tempat ini. Jadi nanti
kamu belajarnya juga bisa enjoy. Sudah ayo masuk!” ajaknya sambil meraih
tanganku.
Harum bunga tercium semerbak ketika daun pintu terbuka. Aku duduk
di kursi pojok yang terbuat dari rotan sembari menunggu teman yang juga ikut
kursus jahit datang. Ibu Irma begitu sapaan wanita paroh baya tadi yang akan
menjadi guru di kursus jahit ini menceritakan sedikit pengalaman beliau
menekuni bidang tata busana itu.
Tak jauh beda dariku, dulu ibu Irma juga berasal dari keluarga yang
kurang mampu. Tapi dengan tekad dan semangat yang tinggi, beliau mampu mengembangkan
hobinya menjadi usaha yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Sekarang ibu Irma
sudah memiliki lima cabang butik atas namanya sendiri yang tersebar di
kota-kota besar. Tapi anehnya, beliau tidak mau tinggal di salah satu kota
besar tersebut untuk memantau langsung perjalanan bisnis butik tersebut.
Melainkan malah memilih tinggal di kota kecil dan memasrahkan semuanya kepada
pegawai-pegawai yang sudah sangat beliau percaya. Hingga akhirnya beliau
mencoba membuka kursus menjahit yang menurut beliau bisa membawa beliau kembali
mengenang masa-masa beliau masih berjuang dulu.
Satu per satu teman kursus menjahitku datang. Ibu Irma menyudahi
ceritanya dan mulai memberi materi tentang jahit menjahit. Memang sedikit rumit
dan butuh ketelatenan. Tepat pukul 11 kursus menjahit selesai. Semua temanku
pulang, tinggal aku dan bu Irma yang masih dalam ruangan ini.
“Bu, Purnama salut dengan perjuangan ibu,”pujiku.
“Ibu juga salut sama kamu. Baru belajar 3 jam kamu sudah pintar menjahit.
Ibu melihat semangat kamu juga besar untuk segera menguasai materi menjahit
ini. Apa kamu memang punya cita-cita menjadi penjahit yang handal?”
Aku menggeleng.
”Sebenarnya ini bukan cita-cita Purnama, Bu. Purnama memilih ini
supaya Purnama bisa cepat bekerja. Mungkin salah niat Purnama ini, tetapi memang
itu kenyataannya,” jawabku sambil menundukkan wajah.
“Lho kamu kok jadi sedih. Tak apalah, walaupun ini bukan
cita-citamu, Ibu harap kamu tetap semangat dalam menjalaninya. Niat bisa kamu
perbaiki sambil berjalan.”
“Ibu siap membantu jika sewaktu-waktu kamu punya masalah dan ingin
bercerita kepada Ibu. Ibu siap mendengarkan, Jangan sungkan-sungkan ya. Anggap
saja Ibu ini, ibu kamu sendiri.”
Rintikan hujan yang tiada hentinya membasahi bumi sejak sore tadi,
menambah dinginnya sepertiga malam. Kubuka kelopak mataku yang masih agak berat.
Kulangkahkan kakiku menuju kamar yang berada tepat di depan kamarku. Perlahan
kubuka. Kutemukan sosok wanita yang masih terlelap dalam tidur. Ibuku.
Kupandang wajahnya yang terlihat begitu lelah. Tentu saja. Beban yang ia
tanggung begitu besar. Bak nakhoda sebuah kapal besar yang mengangkut beribu-ribu
penumpang, ia harus hati-hati dalam memegang kemudi. Menjadi seorang ibu
sekaligus pimpinan keluarga. Tanggung jawab yang tidak ringan. Tak terasa air
mata mengalir di pipiku. Ingin rasanya diri ini berteriak keras memberitahukan
kepada seluruh dunia bahwa dialah wanita yang terhebat yang pantang menyerah.
Wanita yang selalu tersenyum menghadapi semua cobaan walupun hatinya tersayat
perih. Oh ibu, tiada lagi duamu.
Kulihat jam dinding baru menunjuk angka 2. Kusapu sisa air mataku
yang tak ingin kutampakkan di depan ibu. Aku malu. Ingin aku membangunkan
beliau, tetapi jika kuingat bahwa baru saja beliau terlelap dalam tidurnya,
kuurungkan niatku. Aku melangkah untuk mengambil air wudhu. Di sepertiga malam
ini, ingin rasanya kukeluhkan semua peluh beban yang aku pendam. Setiap sujud
aku berharap akan pertolongan dan kuasaNya. Butiran tasbih kugulirkan memuji
kebesaranNya. Aku tak pernah mengeluh apalagi menyalahkan takdir yang telah
terjadi. Semua sudah tertulis, aku hanya bisa terima, dan harus ikhlas. Baru
saja selesai berdoa, suara ibu sudah terdengar di belakangku mengamini doa-doa
yang telah kuucapkan.
“Anakku Purnama, janganlah kau redupkan sinarmu hanya karena adanya
cobaan ini. Kita mendapatkan semua ini karena kita adalah orang-orang pilihan.
Kita dipercaya Allah. Allah tahu bahwa kita mampu. Jadi tetaplah memandang
semua ini sebagai nikmat dariNya. Tak boleh terucap kata keluh. Jika itu
terucap artinya kita mengaku kalah dan lemah. Habis gelap pasti ada terang. Asal kita mau berusaha dan bersabar pasti
kita bisa melewati ini semua.”
“Ibu..,” linangan air mataku semakin menjadi mendengar nasehat dari
ibu. Kuraih tubuh ibu dan menangis dalam pelukannya. Ibu hanya mengusap
kepalaku tanpa kata.
Selesai shalat kudatangi kamar adik-adikku. Mereka masih tertidur
pulas. Mungkin karena udara bagitu dingin, mereka sangat menikmati tidurnya.
Kuurungkan niatku untuk membangunkan mereka. Kembali batinku menangis. Menangisi
nasib mereka. Nasib yang seharusnya tidak mereka terima. Mereka teralu kecil
untuk menerima semua ini.
“Oh adikku sayang, adikku malang, kakakmu ini berjanji akan selalu
menjaga dan membahagiakan kalian,” tekadku dalam hati.
Fajar begitu cepat berlalu. Kini saatnya aku membangunkan
adik-adikku, karena mereka harus tetap sekolah walaupun cuaca kurang mendukung.
Satu per satu kugoyahkan tubuh mereka. Satu, dua, tiga adikku sudah terbangun. Sekarang tinggal keempat,
Lintang yang belum bangun. Wajarlah dia masih umur empat tahun jadi harus butuh
kesabaran penuh untuk membangunkannya.
“Lintang, adikku sayang.., ayo bangun. Katanya kemarin pingin ikut
sekolah, nanti telat lho,” bujukku dengan lembut.
“Apa harus bangun pagi juga Kak, jika Lintang ikut sekolah?”
“Ya, iya nuw sayang. Nanti kalau Lintang nggak bangun pagi, Lintang
bisa telat dan kena marah bu guru lho.”
“Ya sudah Kak, Lintang bangun.”
Seketika tubuh mungilnya mendarat di punggungku. Kebiasaan Lintang
minta digendong setelah bangun tidur semakin membuatku gemas dengannya. Karena
ibu sudah repot dengan semua dagangannya, akhirnya aku sendiri yang memandikan
Lintang.
Pukul 06.40 ketiga adikku sudah keluar rumah. Wulan adikku pertama
duduk di kelas 2 SMP malah sudah berangkat sejak jam 06.00. Jarak sekolah
lumayan jauh, dengan mengendarai sepeda mengharuskan berangkat lebih pagi.
Sedangkan dua adikku si kembar Salwa dan Salma masih kelas 3 MI yang sekolahnya
tidak jauh dari rumah. Sekarang waktunya mengantar adikku Lintang ke sekolah barunya.
Dan dari sekarang ia harus mulai belajar mengukir cita-citanya sendiri.
Waktu bergulir begitu cepat. Tidak terasa sudah tiga bulan aku
mengikuti kursus menjahit. Dan hari ini pula aku akan menerima surat panggilan
kerja. Yah, aku dipilih bu Irma untuk bekerja di butiknya yang baru dibuka di
kota ini minggu lalu. Tak sabar aku memberitahukan ini pada ibuku bahwa aku
akan mulai bekerja. Harapanku untuk meringankan beban keluarga akan segera
terwujud. Dan kuharap ini bisa menjadi kejutan buat ibuku tercinta.
Setelah semua pekerjaan rumah beres, aku bersiap berangkat kursus
menjahit. Kuhampiri ibu yang masih sibuk membuat kue di dapur. Memang setelah
kepergian ayah, ibu mencoba semua bidang pekerjaan. Itung-itung nambah
penghasilan. Untungnya ibu adalah wanita yang memiliki berbagai keahlian, salah
satunya di bidang kuliner. Berbagai jenis kue ibu buat, nantinya akan
dititipkan ke warung-warung dekat rumah kami.
“Bu, nanti biar Purnama sajalah yang nganter kuenya ke
warung-warung.”
“Apa nanti tidak merepotkanmu, Nduk?”
“Nggak kok Bu, malah Purnama senang bisa membantu ibu.”
“Ya sudah, ini bawa 3 toples ke warung bu Rina.”
“Ya Bu. Purnama pamit dulu. Oh ya, nanti sepulang kursus ada
kejutan untuk ibu.”
Semua kue sudah kuantar. Aku berjalan riang melewati gang kecil
untuk sampai tepi jalan raya, tempat menunggu bus. Sembari melepas lelah, aku
duduk di halte. Tak sengaja mataku terhenti pada sebuah dompet yang tergeletak
di tepi kursi halte. Kulihat kiri kanan untuk mencari siapa pemilik dompet itu.
Setelah lama kucari, aku pastikan itu adalah dompet yang terjatuh. Kuputuskan
mengambil dompet dan membukanya untuk mencari identitas pemiliknya. Dalam
dompet terdapat 3 kartu ATM, selembar cek senilai 50 juta, dan uang tunai 20
lembar pecahan 100 ribu. Tak ada identitas. Hanya sebuah nama ‘Zaky Romadhon’
yang terpampang di luar dompet. Belum mendapatkan identitas pemilik dompet, bus
yang membawaku ke tempat kursus sudah datang. Aku masukkan dompet ke tasku, dan
langsung naik bus.
Di dalam bus aku masih bingung bagaimana cara mengembalikan dompet
tanpa identitas itu. Hingga tak terasa kernet berteriak terminal..terminal. Aku
kaget, karena berarti aku sudah melewati tempat kursusku cukup jauh, lebih dari
dua kilo meter. Aku turun dan harus berjalan kaki menuju ke tempat kursus.
Uangku hanya cukup untuk nanti ongkos pulang. Jauh memang, dan capek sekali
rasanya. Tempat kursus sudah terlihat di seberang jalan. Ketika hendak menyeberang
jalan, aku teringat dengan dompet yang kutemukan. Kuraba dalam tas untuk
mencari dompet itu. Tiba-tiba saja ‘brakk’, sebuah mobil mewah menerjangku. Aku
tersungkur. Kurasakan cairan kental mengalir dari keningku. Darah. Setelah itu
aku tak tahu lagi apa yang terjadi.
Ruang putih kulihat ketika pertama kali kubuka mataku, sangat asing
bagiku. Tak seorangpun ada di ruang putih itu kecuali diriku yang tak mengerti
semua ini. Pikiranku menerawang jauh untuk mencoba mengingat kejadian yang
terakhir kualami. Aku sedikitpun tak mampu mengingatnya. Yang muncul justru
pikiran aneh. Apakah aku mati? Apakah ini alam akhirat? Lama aku larut dalam
kebingungan. Sejauh memandang hanya warna putih. Sosok malaikat tak ada yang
datang menghampiriku untuk menanyai amal perbuatan sewaktu masih hidup. Aku
kalut. Apakah aku benar-benar mati? Tiba-tiba seberkas cahaya tampak dalam
penglihatanku. Aku kaget. Bukan malaikat bersayap yang aku jumpai, melainkan
seorang laki-laki berbadan tegap berjalan ke arahku. Wajahnya sudah tidak asing
lagi bagiku. Ayah. Lekat mataku mengamati wajahnya memastikan bahwa yang di
hadapanku sekarang ayahku. Ternyata benar, memang ayahku. Tetapi mengapa ayah
yang sudah meninggal 3 bulan lalu berada di sini?
“Purnama anakku, tidak usah kau bingung melihat ayah di sini. Tidak
usah pula kau takut. Aku memang ayahmu. Ayah yang selalu rindu padamu. Tetapi
tidak seharusnya kau ada di sini, belum saatnya. Tapi tidak apalah, ayah akan menunjukkan
sesuatu kepadamu. Kemari, mendekatlah,” kata ayah padaku.
Sebenarnya aku tidak mengerti maksud dari semua perkataan ayah. Aku
manut saja. Ayah mengajakku berdiri di depan sebuah kaca besar. Aku bingung
dengan apa yang kulihat. Semua orang menangis. Aku lihat ibuku menangis.
Menangis terisak memandang sosok yang terbujur tertutup kain. Mengapa semua
orang menangis? Apa yang menyebabkan semua tersedu? Lalu siapa yang ditutup
kain itu?
“Purnama. Semua orang di sana termasuk ibumu menangis karena
kehilangan seseorang yang sangat mereka sayang. Kamu tahu siapa yang ditutup
kain itu? Itu adalah kamu, Purnama.”
Mendengar ucapan ayah, aku kaget. Benarkah aku telah mati? Oh
tidak, aku belum mau mati. Aku masih ingin menemani ibuku, membahagiakan
adik-adikku. Aku menangis karena itu.
“Purnama anakku. Jangan kau menangis. Ayah sudah bilang, ini belum
saatnya untuk kau berada di sini. Kembalilah, ibu dan adik-adikmu menunggu.
Masih banyak yang harus kau lakukan untuk masa depan mereka.”
Selesai berkata begitu, aku melihat sosok ayah pudar di balik
cahaya yang menyilaukan mata yang tadinya membawanya muncul di hadapanku. Ayah
telah kembali ke alamnya lagi.
Termenung aku memikirkan bagaimana caranya aku kembali. Sedangkan
jalan kembalipun aku tidak tahu. Tapi anehnya, tidak ada sebabnya tiba-tiba
saja aku terpeleset. Dan seiring dengan itu, mataku terbuka, telingaku juga
mulai mendengar riuh orang menangis sedih. Kucoba menggerakkan tubuhku.
Kupanggil ibuku, dan aku duduk bingung. Semua orang lari ketakutan. Ibu
mendengar suaraku kaget bercampur senang. Kuperhatikan sekeliling ruangan ini.
Apa yang telah terjadi sebenarnya. Dalam kebingunganku, tangan lembut ibu
meraihku dan menjatuhkan tubuhku dalam pelukannya.
“Apa yang terjadi pada Purnama, Bu?”
“Kau telah kembali Purnamaku,” bisik ibu lembut.
Aku teringat kata-kata ayah. Aku mengerti dengan semua kejadian
yang telah kualami. Tadi aku memang telah mati, tetapi sekarang aku telah
kembali. Terimakasih Ya Allah, Engkau masih memberiku kesempatan untuk berbakti
pada ibuku dan menepati janjiku untuk membesarkan adik-adikku. Air mata
berlinang di pipiku. Di sela tangisku ibu bercerita, bahwa orang yang telah
menabrakku adalah si pemilik dompet yang kutemukan. Dan yang paling mengejutkan
adalah, dia kini telah resmi menjadi suamiku. Aku kaget. Lalu ibu melanjutkan
ceritanya,” Ketika kamu koma 3 hari di rumah sakit, pemuda itu minta ijin
kepada ibu untuk menikahimu. Ibu merestui niat baiknya untuk menikahimu karena
pemuda itu merasa sangat bersalah dan ingin menebus kesalahannya. Setelah
terucap ijab kabul, kamu menghembuskan nafas terakhir. Pemuda itu sedih. Tetapi
dia bilang ke ibu, bahwa dia tidak menyesali langkah yang telah dipilihnya. Dia
juga berjanji akan menjadi penggantimu di dalam keluarga kita. Ibu salut
padanya.”
Mendengar cerita ibu, aku masih tidak percaya. Aku ingin melihat
suami pilihan ibuku yang kata ibu sangat baik budi pekertinya dan juga tampan.
Ibu memanggilnya. Ibu benar. Seorang pemuda tampan berbadan tinggi tegap,
berkulit bersih dan berambut hitam lurus. Dia adalah suamiku. Sebuah anugerah
terbesar dari semua peluh keluhku. Kucium tangannya sebagai tanda abdiku
kepadanya. Kembali syukurku terucap,” Subhanallah, Alhamdulillah. Engkau memang
Maha Segala-galanya. Telah mengatur apa yang tidak mungkin terlintas dalam
angan.” Air mata kembali mengalir. Bukan
karena duka, melainkan karena bahagia.(*)
Fitriyanto (SMAN SBBS Sragen)
Jl. Gemolong Asri No.1 Gemolong Sragen Jateng
****************************************************
HANOMAN SI RAJA MONYET
Ida Bagus Agung Airlangga Putra
Pada jaman dahulu hiduplah seekor raja monyet bernama Hanoman. Dia
bukan saja menjadi raja bagi bangsa monyet tetapi bagi semua binatang yang
tinggal di hutan Alangka. Di sana terdapat berbagai jenis binatang yang sakti
mandraguna atau memiliki kekuatan yang sangat ajaib.
Dekat hutan itu tinggal para manusia dengan rajanya yaitu raja
Hendroyuono. Dia adalah raja yang sangat egois hanya mementingkan kesenangan
sendiri dan suka berfoya-foya, tidak pernah memikirkan rakyatnya. Dia
menghalalkan segala cara untuk memiliki apa yang diinginkan, termasuk
menghancurkan hutan Alangka agar daerah kekuasaannya bertambah.
Setiap kali raja Hendroyuono memerintahkan pasukannya untuk
menyerang hutan Alangka dengan persenjataan lengkap mereka selalu gagal. Hal
itu disebabkan oleh binatang-binatang yang ada di hutan Alangka kekutannya
melebihi pasukan manusia. Sejarah mencatat bahwa perang antara binatang Alangka
dan manusia Alangka yang sudah berlangsung berabad-abad, selalu dimenangkan
oleh binatang Alangka, tetapi binatang Alangka tidak pernah ingin menghancurkan
manusia. Mereka hanya ingin melindungi hutan mereka, tempat tinggal mereka.
Tetapi sayang sekali manusia tidak pernah mau mengerti, mereka tidak mau kalah
dan terus menyerang binatang-binatang yang ada di hutan Alangka.
Binatang selalu menang, itu karena dikarunia kekuatan sakti oleh
Sang Pencipta. Mereka bisa menghidupkan kembali tumbuhan yang rusak karena peperangan,
mengobati sekaligus menghidupkan binatang yang telah gugur di medan perang. Kerajaan
manusia mengganti rajanya pada saat raja meninggal dunia, sedangkan kerajaan
binatang tidak pernah mengganti rajanya karena Hanoman hidup abadi.
Mungkin manusia tidak tahu mengapa kerajaan binatang dapat bertahan
dari segala serangan mereka, banyak binatang yang mati terbunuh oleh manusia
tetapi seolah-olah masih banyak binatang di hutan Alangka. Manusia tidak tahu
jika binatang-binatang yang telah mati dapat hidup kembali, diserang seperti
apapun binatang-binatang itu tidak pernah takut menghadapi manusia.
Pada suatu hari Hanoman ingin sekali pergi berkeliling hutan Alangka
untuk melihat bagaimana keadaan kerajaannya. Dia pergi ditemani abdinya yang
setia, Subali dan Sugriwa. Dalam perjalanan raja Hanoman melihat kelinci sedang
bermain dengan gembira berlari mengejar rusa, burung-burangpun beterbangan dan
berkicau dengan indahnya.
Tidak lama kemudian raja dikagetkan oleh suara harimau yang mengaum
keras sekali. Hanoman berlari menuju arah suara itu dan melihat sosok harimau
terbaring tak bergerak. Tubuhnya berlumuran darah. Hanoman melihat pisau belati
menancap di dada harimau tersebut dan yang lebih mengagetkan lagi ternyata
harimau itu adalah Bima Sakti, sahabat lama Hanoman. Mereka berteman sejak
kecil. Berkali-kali Hanoman berusaha untuk menghidupkan kembali harimau tetapi
selalu gagal.
“Raja Hanoman, Bima Sakti tidak bisa dihidupkan lagi karena belati
yang menancap di dadanya sudah diberi racun kalamandaka. Racun itu sangat
berbahaya, dan hanya dimiliki oleh manusia,” kata Subali.
Dengan perasaan hancur Hanoman memeluk Bima Sakti, kemudian
berteriak, “ Wahai kau para manusia
durjana, terkutuklah kalian karena telah membunuh sahabatku. Kalian sudah
membuat kesabaranku habis. Hendroyuono, perbuatanmu ini akan kuanggap sebagai
tanda permusuhan kita. Jika kau ingin perang, akan kuhadapi!”
Setelah mengubur Bima Sakti, Hanoman mengarak pasukan hingga ke
depan istana raja Hendroyuono.
“Hei raja monyet, apa maksudmu? Aku tidak pernah membunuh harimau
sahabatmu itu. Aku memang ingin perang menguasai hutanmu, tetapi aku tidak
pernah memulai perang dengan cara yang tidak aku sukai.”
“Jangan bohong! Sahabatku terbunuh oleh belati yang hanya dimiliki
manusia. Kau mau mengelak lagi?”
“Baiklah Hanoman, tampaknya kamu tidak akan percaya perkataanku.
Kalau kamu ingin perang aku layani, tetapi jangan menuduhku sebagai pembunuh
sahabatmu itu.”
“Jika kamu tidak mau mengakui kesalahanmu, jangan salahkan aku jika
menyerang kerajaanmu. Bersiaplah!”
Binatang Alangka mempersiapkan diri dengan cara bekerja sama dengan
tumbuhan dan pepohonan, meminta agar para tumbuhan menghalangi pasukan manusia
dan mengikat manusia dengan akarnya. Berbeda dengan Hendroyuono, dia minta
bantuan binatang yang ada di hutan Uropia. Simba adalah raja binatang Uropia.
Hendroyuono berjanji akan memberi hutan Alangka kepadanya kalau mau membantu
mengalahkan Hanoman.
Hari yang ditentukan telah datang. Lembah Kematian yang merupakan
daerah perbatasan akan menjadi kawasan pertempuran. Dari arah barat datang
gerombolan binatang hutan dipimpin oleh monyet. Dari timur pasukan manusia
dengan senjata lengkap dipimpin oleh Hendroyuono yang duduk di tandu dengan
sangat tenang.
Perang berjalan dengan sangat ramai. Setelah tiga hari, pasukan
manusia terdesak. Pasukan binatang bisa masuk ke kawasan kerajaan manusia,
namun tiba-tiba muncul gerombolan binatang yang menyerang. Pasukan binatang
Uropia dengan mudah mampu memukul mundur tentara Hanoman. Melihat itu Hanoman
menemui raja Simba.
“Wahai kalian binatang Uropia, mengapa kalian menyerang kami?”
“Kami membantu Hendroyuono karena akan diberi hadiah hutan
Alangka.”
“Apa? Kalian telah ditipunya. Dia hanya ingin menghancurkan kami
dan meluaskan wilayahnya.”
Mendenagar penjelasan Hanoman, Simba merasa ditipu oleh
Hendroyuono. Maka sekarang ia berbalik membantu Hanoman.
“Kita telah ditipu Hendroyuono. Mari kita serang manusia-manusia
itu dengan rajanya!”
Simba yang memiliki kemampuan sihir hebat, membuat seluruh pasukan
manusia tertidur. Melihat itu Hendroyuono menggigil ketakutan.
“Raja Hendroyuono, kamu berani sekali menipu saya. Apa pantas
seorang raja berbuat begitu?”
“Kamu juga telah membunuh Bima Sakti temanku, dan kamu tidak mau
mengakui, sekarang terima pembalasan kami!”
“Maafkan aku raja Simba, aku berbohong untuk mengalahkan Hanoman.
Tetapi aku tidak pernah membunuh harimau sahabatmu. Aku menawarkan perdamaian
antara manusia dan binatang.”
Pada saat itu lewatlah seorang petani yang kemudian duduk bersimpuh
di hadapan Hanoman.
“Ampuni saya Raja Hanoman. Sayalah yang telah membunuh harimau itu.
Ketika saya sedang istrihat tiba-tiba harimau itu muncul. Saya panik dan
langsung mencabut belati tanpa sengaja menikam dada harimau itu. Saya tidak
sengaja Raja Hanoman. Ambillah nyawaku sebagai penebus salahku.”
“Petani yang malang. Aku tidak akan menghukum perbuatan yang tidak
kamu sengaja. Mungkin sudah menjadi garis sahabatku harus mati dengan cara
begitu. Hai Raja Hendroyuono, aku juga menerima usulan perdamaian itu. Aku
ingin terjadi perdamaian yang sesungguhnya antara binatang dan manusia di
Alangka ini.”
Setelah mendengar itu manusia dan binatang bersorak gembira karena
akhirnya mereka terbebas dari peperangan yang panjang. Mereka sadar bahwa
perang bukan jalan menyelesaikan masalah. (*)
Ida Bagus Agung Airlangga Putra - (SMP Dyatmika Denpasar Bali)
Lahir : Denpasar, 15 Maret 1998
Jl. Cemara No.35 Denpasar
Bali.
****************************************************
LUKISAN JALAN TUHAN
Alif Bareizy
Hari agak mendung, ketika aku duduk di depan meja coffe shop di
sudut bandara. Sambil menikmati kopi kelas atas, aku kembali ke masa lalu,
mengapa aku bisa duduk di sudut bandara ini. Entah mengapa, aku tersenyum
sendiri. Aku tidak tahu, jalan yang telah dipilih Tuhan untukku. Hidupku
seperti sudah diatur, tanpa kuminta. Kubuang pandangan ke luar, gumpalan awan
hitam merayap di langit. Hari ini memang mendung, tetapi di hatiku ada mentari
yang menyinari.
Masih lekat dalam ingatanku, tiga puluh tahun lalu, diserang suatu
dilema. Pilihan sulit, antara pilihan hati dan pilihan dua orang yang
menghidupiku. Obsesi sewaktu masih labil itu, ingin melanjutkan sekolah ke STM,
tiga tahun teori, satu tahun praktek. Aku mau yang praktis saja. Tetapi tidak
dengan orang tuaku. Mereka ingin aku masuk SMA. Perdebatan panjang terus berlangsung.
Namun aku tak bisa melawan kehendak orang tua.
Minggu awal kulalui di SMA terasa sangat berat. Hatiku belum bisa
menerima. Tiap berangkat ke gedung sempit itu, aku tidak tahu hati atau otakku
yang memerintah kedua kakiku untuk balik arah, berat untuk melangkah maju. Saat
di kelas juga, ketika guru sedang mengajar, pikiranku malah melayang pada
pelajaran arsitektur yang kuidamkan. Aku membayangkan memakai seragam biru
muda, memegang perkakas gambar bangunan, kemudian mencoret-coret membuat desain
yang membuatku bangga dengan karyaku. Tetapi itu hanya bayangan. Kenyataannya
aku berseragam putih abu-abu dengan badge sekolah yang kuhindari selama ini.
Telah kukorbankan egoku untuk bapak dan ibuku.
Kembali ke realita saat ini, dekat dengan jendela, kuangkat
cangkirku ke dekat bibir, kurasakan betapa nikmat kopi ini. Aku masih melihat
ke luar dengan senyum dan bahagia. Pilihan orang tua adalah pilihan Tuhan.
Setidaknya itu yang kualami. Aku teringat malam dingin ketika aku termenung
sendiri di warung kopi di kota kecilku.
Ya, malam itu hanya kopi dan susu yang menemani, menyandarkan
punggungku pada dinding yang sudah diselimuti lumut, sunyi sekali. Masih di
awal minggu yang berat masuk SMA. Di warung kopi itulah, sejak SMP aku sering
menghabiskan malam bersama temanku. Tetapi tidak malam itu. Ia telah hijrah ke
kota besar untuk melanjutkan sekolah. Keinginannnya sejalan dengan keinginan
orang tuanya. Berbeda denganku. Hatiku makin meronta. Yang tampak di luar tak
sama dengan yang di dalam hati. Aku selalu berusaha tersenyum, meski dalam hati
menangis. Mengingat itu aku ingin menangis, tetapi juga ingin tertawa terbahak
rasanya. Mau tidak mau aku harus melupakan impian menjadi arsitek, dan harus
menerima kenyataan yang kelabu. Saat itu aku benar-benar tidak tahu harus jadi
apa nantinya.
Tak terasa ada bulir air yang menggelintir di pelupuk mataku,
disertai orkestra rintik air dari langit. Kualihkan pandangan ke luar jendela,
semakin lama semakin deras. Hawa semakin dingin, kukancingkan jaketku, kusilangkan
tanganku di dada. Aku bersyukur, meskipun tidak pernah ini kuanggap sebagai
kenyataan. Apa yang kujalani ini, sebelumnya adalah mimpi yang hanya
kusampaikan kala bercanda, atau mengisi kolom cita-cita pada biodata saja,
karena aku sebenarnya bingung dengan cita-citaku sendiri. Aku merubah posisi
duduk untuk mengambil undangan yang diberikan kepadaku sebulan lalu. Setengah
tak percaya, aku mendapat undangan ini. Kubaca lagi isi undangan, sambil
tersenyum, bangga. Puas, kumasukkan lagi dalam tas.
Segala yang ada dalam hidupku sekarang ini, semua berawal saat SMA,
masa yang paling menentukan dalam hidupku. Aku benar-benar terdampar dalam
kehidupan yang jauh dari bayanganku. Aku terjebak dalam OSIS, organisasi khusus
pelajar. Entah mengapa aku yang sama sekali tidak tertarik dengan organisasi
itu malah dinyatakan sebagai calon pengurus OSIS. Hidup yang kujalani sama
sekali tak kusangka. Tiba-tiba aku merasa berbeda, merasa jauh dibutuhkan.
Karirku di organisasi melejit, tanpa kumengerti. Setelah dewasa baru kusadari
pengalaman di organisasi sangat berpengaruh dalam perjalanan hidupku. Dan aku
yakin itu memang jalan yang telah ditulis Tuhan untukku.
Hujan di luar belum reda, namun tak sederas tadi. Kulirik jam
dinding, masih satu jam lagi jadwal penerbanganku. Kudongakkan kepala,
menikmati hidup ini. Betapa Tuhan memberikan jalan yang tak terduga kepada
hambaNya. Jalan berliku terbayar sudah, dengan sesuatu yang dulunya hanya
mimpi, malah guyonan, sekarang menjadi kenyataan. Yang kudapatkan ketika masuk
sekolah pilihan bapak benar-benar mengubah jalan dan pandangan hidupku. Dulu
aku hanya seorang skeptik, hanya memikirkan diri sendiri sejahtera, namun sekarang
tidak. Aku harus berpikir bagaimana orang lain sejahtera. Bukankah itu
pekerjaan mulia? Aku sekarang menjalani pekerjaan yang kudapatkan ini dengan
senang hati, meskipun kadang ada riak-riak atau bahkan ombak yang menerjang,
namun dapat kujalani dengan senang hati. Kubuka mataku, kutegakkan dudukku, dan
pelan-pelan kuarahkan cangkir kopi ke bibirku.Ahh, rasanya seperti minum madu,
manis sekali, semanis hidupku.
Tidak jauh dari aku duduk, seorang yang tidak asing sedang
diwawancarai wartawan. Aku tidak mengenalnya. Kuperas ingatanku. Ternyata dia
salah satu anak buahku. Aku teringat ketika pertama kali diwawancarai oleh
wartawan. Seorang wartawan lokal yang kehabisan berita iseng menemuiku dan
menanyakan apa cita-citaku. Karuan kujawab dengan bualan agar tampak gagah.
Lusanya, aku melihat profilku di koran dengan judul yang melecut semangatku.
Tinta tebal yang tercetak di kertas koran itu membekas dalam hatiku paling
dalam, membentuk semangat untuk mewujudkan apa yang sudah tertuliskan.
Aku segera tersadar dari lamunanku, ketika ada suara
mikrofon,”Panggilan terakhir bagi penumpang tujuan bandara John F.Kennedy,
diharap segera menuju pesawat.” Aku harus capat-cepat. Kuhabiskan kopiku yang
hampir kering. Ya, memang hujan sudah reda. Aku menuju kasir membayar kopiku.
Aku langsung menuju terminal keberangkatan. Sambil berjalan, aku membuka tasku,
merogohnya dan mengambil surat undangan yang melambungkan perasaanku. Aku
terharu atas ini semua, jalan yang telah dipilihkan Tuhan, melalui orang tuaku.
Inilah tujuanku, ke Amerika tempat yang akan menjadi saksi bahwa aku telah
mencapai puncak mimpi yang ditakdirkan Tuhan. Tercetak jelas dalam surat itu,
dengan cetakan yang indah bagiku, dan aku yakin tidak salah, “The Best Ecomic Ministry in the World 2039.”
(*)
Alif Bareizy – SMAN 1 Blora
Lahir : Blora, 17 Mei 1994
Jl. Raya Blora Cepu Km9
Blora
******************************************************
SEPUCUK KEMENANGAN UNTUKKU
Aini Nur Rahmah.
Inilah aku seorang bocah atheis. Aku belum memiliki agama hingga
umurku genap 6 tahun. Setelah aku mahir membaca, kuhabiskan untuk membaca
buku-buku agama dari seluruh dunia yang telah dibelikan oleh orang tuaku. Aku
tinggal di komunitas non muslim. Dan aku dibiarkan oleh orang tuaku untuk
memilih agama yang ingin kupilih. Entah mengapa setelah aku membaca buku-buku
agama Islam, aku menjadi serasa dilahirkan kembali dari rahim ibu. Pikiranku
terasa ringan dan mengambang di awan.
Jantungku berdegup kencang saat pertama belajar membaca Alquran. Semakin
lama aku menambah bacaan mengenai Islam aku semakin mencintainya. Sejak itu aku
beragama Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat yang dibimbing kakekku
di Indonesia.
Ini adalah bulan Ramadhan pertama bagiku. Aku takut membayangkan
apakah aku sanggup untuk melewatinya. Hari pertama puasa pun kumulai. Pukul 3
pagi aku telah siap di meja makan. Hidangan telah disiapkan oleh ibu. Meski
ibuku Nasrani, namun ibu selalu mendukungku.
Setengah hari telah kulewati, perutku mulai terasa lapar dan dahaga
menyerang kerongkonganku. Rasanya seperti di padang pasir. Hawa panas telah membuatku
untuk membatalkan puasa. Kuputuskan siang itu untuk mengambil air wudhu. Dingin
air yang mengenai tubuhku mengalir di wajahku. Percikan suci menyegarkan
membuat tubuh kembali segar. Semangatku kembali bangkit untuk menuntaskan ujian
hari pertama. Aku melihat teman-teman sedang asyik dengan bekal makanan yang mereka
bawa.
Aku melangkahkan kakiku menuju ruangan yang terletak di ujung
koridor yang sepi dan penuh sesak dengan berbagai buku di dalamnya. Perlahan
namun pasti dengan irama langkah teratur. Dan tidak ada seorangpun melihatku
saat itu. Aku memasuki satu tempat rahasiaku di dalam perpustakaan yang telah
susah payah kubuat. Ya, benar tempat rahasiaku untuk menjalankan sholat di
sekolah. Tidak seorangpun yang tahu mengenai tempat ini kecuali teman baikku
Grek. Ia pernah datang ke rumahku dan bermain robot-robotan di dalam kamar
bersamaku. Saat ia melihat gambar Ka’bah memenuhi dinding kamarku, ia langsung
memberondongku dengan berbagai pertanyaan. Gambar apa itu? Bukankah itu di
Arab? Dari mana kamu dapat? Apakah kamu muslim? Rasanya aku ingin tertawa
dengan semua pertanyaan Grek yang beruntun itu. Lalu aku jelaskan tentang
Ka’bah. Aku yakin dia tidak begitu paham dengan penjelasanku, namun ia
mendengarkan penjelasanku tentang tempat yang menjadi impian umat Islam itu.
Sayup-sayup aku mendengar bel masuk telah berbunyi. Karena di
tempat ini sepi, mungkin hanya pelajar yang gemar membaca saja yang datang ke
tempatku saat ini. Kukira badanku mulai lemas untuk mengikuti pelajaran. Puasa
pertama di hari pertama. Tak terasa pelajaran telah usai. Aku pulang ke rumah
mungil di ujung jalan yang dipenuhi bunga mawar milik ibuku. Sampai rumah aku meletakkan
tas di meja dekat ayah.
“Hai nabi kecil, kukira kau tak sanggup puasa hingga sore nanti.
Wajahmu mulai pucat,” begitu ayah menyapaku dengan sebutan nabi kecil.
“Insya Allah, kuat Yah!”
Waktu terus berjalan. Tanpa terasa sudah saatnya berbuka.
“Yah, lihat sekarang saatnya untuk berbuka. Kukira tebakan ayah
meleset.”
Akupun mulai mengumandangkan adzan dan berbuka puasa bersama orang
tuaku di meja makan. Sendok makan mulai menari di atas piring dan dentingan
antara piring dan sendok menimbulkan alunan harmoni yang menyenangkan perut
lapar.
Lama-lama aku mulai biasa dengan puasa wajib ini. Memang awalnya
sangat berat setelah dijalani menimbulkan kepuasan tersendiri. Hari ini adalah
hari terakhir umat Islam berpuasa. Dan besok adalah hari kemenangan bagi umat
Islam. Agendaku besok adalah memberikan zakat sebelum waktu subuh dan berangkat
ke pusat kota untuk sholat Idul Firi, karena di sini tidak ada masjid kecuali
di pusat kota.
Aku senang sekali sore ini. Dedauan mulai berjatuhan ditiup dan
dimainkan semilirnya angin. Rumput dan alang-alang juga tampak bergoyang.
Rambut yang menutupi dahiku juga dimainkan olehnya. Waktu maghrib telah tiba,
aku beranjak dari tempat dudukku untuk mengambil air wudhu. Aku segera
mengumandangkan adzan di taman depan rumah. Dari kejauhan aku mendengar
ramai-ramai tembakan polisi. Dan aku tak menggubrisnya sama sekali. Lantunan
adzan sedang kukumandangkan. Kini suara itu semakin dekat. Ada seseorang yang
memegangiku untuk berlindung. Saat para polisi menembak orang itu, ternyata
tidak kena.
Justru peluru itu mengenai dadaku, selesai aku mengumandangkan
adzan. Saat itu juga ayah dan ibu berhamburan ke luar rumah memeluk tubuhku
yang lemas tak berdaya. Aku langsung dibawa ke rumah sakit. Aku tak sadarkan
diri, peluru menembus dada tubuh mungilku. Dengan lirih aku mengucap , “La
ilaha ilallah wa asyahaduana muhammadar rasulullah.”
Detak jantungku berhenti, dan helaan nafasku lama-lama terasa
berat. Sebelum berhenti sama sekali aku mendengar suara yang tak kukenal
berbicara di dekat telingaku, “Walaupun kamu belum sempat merayakan hari kemenangan,
namun kamu sudah merayakan kemenangan di sana.”
Aku sudah tak mendengar kata-katanya lagi kini. Sebelum aku
menghadapNya, aku telah menitipkan senyuman terakhir yang menghiasi wajahku
untuk kedua orang tuaku. (*)
Aini Nur Rahmah – SMAN 1 Tunjungan Blora
Jl. Gatot Subroto II Rt 01/02 Gg. Abiyoso, Tambahrejo Blora
**************************************************
AKU BUTUH PERHATIAN
Clarita Ayu Windayanti
Pagi ini aku bangun seperti biasa. Dan seperti biasa, rumahku
selalu sepi saat aku bangun. Tak ada keluarga yang memberiku senyuman di pagi
hari. Cuma ada kak Jojo yang tertidur di ruang tamu dengan botol miras di
tangannya. Huh.., sungguh menyebalkan.
Orang tuaku sudah lama bercerai dan sekarang mereka sibuk mencari
uang dan jarang sekali pulang. Tentu sebagai remaja yang aku butuhkan bukan
hanya uang tetapi juga kasih sayang. Tetapi yang kumiliki saat ini hanyalah seorang
kakak yang selalu mabuk-mabukan dan menghabiskan uang. Tidak hanya di rumah, di
sekolah teman-teman juga menjauhiku karena sifatku yang kuper. Sungguh kalau
tahu akan begini nasibku, aku memilih tidak lahir di dunia ini, sebagai ‘Joy
Vanita’.
Malam tiba, jam dinding menunjuk angka 11, namun kak Jojo belum
pulang. Saat aku berharap kak Jojo pulang, tiba-tiba “brakk”. Pintu rumah
terbuka dengan keras. Kak Jojo pulang dalam kondisi mabuk berat. Aku sudah muak
melihat itu hampir setiap malam.
“Kak, jangan mabuk-mabukan terus dong. Kakak itu sudah besar, sadar
dong.”
“Anak bayi, jangan banyak ngomong!” teriak kak Jojo sambil menampar
wajahku.
Aku menangis dan berlari ke luar rumah. Aku duduk di bawah lampu
taman kota. Tiba-tiba gerombolan anak-anak punk menghampiriku. Penampilannya
sangar-sangar. Rambut berbagai model dengan cat warna-warni. Celana jeans belel
dan jaket kumal menjadi andalan. Tindik dan tato menjadi hiasan tubuhnya. Terus
terang aku ngeri melihatnya.
“Pergi kalian, sebelum aku pangil satpam!” semprotku.
“Sante aja kali. Kita tidak punya niat jahat. Cuma penasaran ada
cewek malam-malam nangis. Kalau ada masalah cerita saja,” kata salah seorang
dari gerombolan itu.
Aku merasa baru ada yang memperhatikanku. Mau mendengar ceritaku.
Aku lihat mereka juga tidak ada niatan buruk. Maka aku ceritakan kondisiku pada
mereka.
“Kamu masih untung bisa melihat wajah orang tua kamu. Kami sejak
dulu tidak pernah tahu siapa orang tua kami. Mereka meninggalkan kami di
jalanan, sebelum sempat mengenal wajah mereka.”
Aku terdiam mendengar cerita mereka yang sangat menyedihkan. Aku
mengajak berkenalan untuk mencairkan suasana. Nama genk mereka The Zeus dan
mereka terdiri dari Akmal, Revan, Peter dan Sendi.
“Mending kamu gabung kami saja,” ajak Akmal.
Setelah kupikir-pikir akhirnya aku mau gabung dengan mereka. Aku
ingin punya teman yang mau mendengar keluh kesahku.
Sudah seminggu aku gabung dengan The Zeus, meninggalkan rumah. Aku
sangat nyaman bersama mereka. Aku seperti mendapat keluarga baru yang selalu
melindungiku dan membuatku tersenyum. Jujur aku memang sedikit berandal sesudah
ikut mereka. Aku jadi ikut merokok, bahkan minum minuman keras. Penampilanku
berubah total. Aku pasang tindik di hidung dan lidah, serta membuat tato
permanen di tubuhku. Aku sudah tidak peduli dengan penilaian orang. Seorang perempuan dengan dandanan tidak
karu-karuan. Dandanan anak punk. Aku enjoy dengan penampilanku.
Aku dan The Zeus selalu
meyusuri jalanan kota untuk mengamen, karena dari ngamenlah kami bisa makan.
Setiap malam tidur di trotoar, karena itulah rumah kami, walupun sering harus
kucing-kucingan dengan petugas trantib. Kami tidak pernah tertangkap
sebelumnya. Namun malam itu kami tidur terlalu pulas setelah seharian ngamen.
Petugas berhasil menyergap kami saat kami masih terlelap. Kami langsung
diangkut ke mobil patroli.
Di dalam atas mobil patroli, Revan berkata pelan, “Nanti kalau
sudah mau turun dari mobil, aku hitung sampai tiga, kalian semua lari
sekencang-kencangnya ya.”
Kami semua mengangguk. Begitu mendekati kantor polisi, Revan
berteriak, ” 1..2..3!” Kami
menghambur ke jalan dan lari sekencang-kencangnya. Kami tidak tahu arah, hanya
mengikuti yang paling depan. Kami baru berhenti setelah nafas rasanya mau
habis. Di belakang para petugas galak itu sudah tidak tampak lagi. Kami
istirahat di emperan toko sambil bercengkerama seolah baru lepas dari mara
bahaya.
“The Zeus dilawan, sekali libas KO!” kata Peter keras, “Gimana mau
ngejar, kalau larinya saja kaya keong, malah kaya kakek-kakek habis sunat.”
Kami semua terpingkal mendengar gurauan Peter yang keterlaluan.
Tetapi memang seperti itu nyatanya. Para petugas itu saat mengejar kami, hanya
berteriak-teriak tanpa mampu berlari sedikitpun. Persis kakek yang membawa sapu
lidi, memarahi sambil mengejar cucunya yang lari.
Belum selesai kami berkelakar, tiba-tiba datang rombongan anak-anak
punk mendekati kami.
“Heh, kenapa kalian nongkrong di sini? Ini tempat kami!” kata salah
satu anggota punk itu.
“Emangnya ini milik kakekmu apa! Terserah kita dong mau duduk di
mana, gak ada urusan dengan kalian.” kataku sengit.
Salah satu dari mereka mendorongku sambil berkata keras,”Eh jadi
cewek jangan berlagu. Biasa saja kenapa.”
“Heh, sama cewek jangan kasar begitu. Kalian pingin ribut!” gertak
Akmal.
Tawuran pun tak terhindarkan. Aku hanya duduk di pojok toko sambil
menyaksikan mereka baku hantam. Tetapi tanpa kusadari ada salah seorang yang
mendekatiku sambil membawa pisau. Melihat dia membawa pisau aku berteriak.
Akmal mendengar teriakanku kemudian berlari ke arahku dan memelukku. Aneh,
tawuran terhenti. Mereka semua berlari. Namun Akmal yang memelukku tiba-tiba
terjatuh ke trotoar. Punggungnya ternyata tertusuk pisau, saat melindungiku
tadi. Kami langsung membawa Akmal ke rumah sakit. Aku khawatir benar melihat
Akmal. Aku baru merasa kalau aku mencintai Akmal.
Sampai di rumah sakit Akmal langsung ditangani dokter. Kami hanya
menunggu sambil cemas. Air mataku tak dapat aku bendung. Aku menangis
sesenggukan sendirian.
“Guys, ini semua salahku. Gara-gara aku Akmal tertusuk,” ucapku
dengan sendu.
“Gak ada yang salah Joy, memang harusnya begitu kami harus
melindungi kamu,” kata Sendi.
Tiba-tiba dokter keluar dari ruangan. Kami segera mengerubungi
untuk mengetahui kondisi Akmal.
“Pasien sudah sadar. Kondisinya tidak terlalu parah. Silakan
selesaikan administrasinya.”
Kami lega mendengar Akmal baik-baik saja. Kami berjalan ke UGD
menjumpai Akmal yang masih terbaring lemah. Aku mendekatinya, memegang tangannya.
“Terimaksaih ya, telah menyelamatkan nyawaku.”
“Joy, aku cinta sama kamu. Aku tidak mau kamu kenapa-napa,” jawab
Akmal pelan.
Anggota The Zeuz yang lain hanya saling pandang dengan senyum penuh
arti.
“I love you too, may hero,” ucapku di dekat telinganya.
Mereka spontan bersorak sorai melihat kami begitu. Aku berusaha
mencairkan suasana, karena terus terang mukaku saat itu pasti merah.
“Sudah, sudah aku mau keluar nyari makan. Pasti kalian semua
lapar,” kataku sambil berjalan keluar.
Di perjalanan aku ingat biaya rumah sakit yang harus dibayar. Aku sempat
tanya ke bagian administrasi, jumlah yang harus dibayar sejumlah 5 juta. Jumlah
yang lumayan besar. Di pinggir jalan aku melihat poster lomba balapan liar,
yang akan dapat hadiah 5 juta bagi pemenangnya. Tanpa pikir panjang aku
putuskan ikut lomba itu. Setelah membawa
bungkusan makanan, aku pamit lagi kepada mereka untuk mencari angin. Aku mencari-cari
pinjaman motor. Anak-anak The Zeus tidak akan mengijinkan aku ikut lomba
balapan yang berbahaya itu.
Malam perlombaan tiba. Aku datang hanya untuk mendapatkan uang 5
juta itu. Aku merasa ngeri melihat peserta lain, semua cowok berbadan besar dan
sangar-sangar. Namun ada yang membuatku lebih terkejut. Ternyata kak Jojo ikut
lomba itu. Aku menutup wajahku dengan helm sehingga kak Jojo tidak mengenaliku.
Perlombaan dimulai, semua peserta sudah berjajar siap. Seorang gadis seksi
membawa bendera yang akan memberi aba-aba start. Penonton sudah berteriak menghitung
mundur, “ Tiga.., Dua.., Satu..Go!”
Aku mengendarai motorku secepat mungkin karena tekadku untuk menang
sangat kuat. Aku berada di urutan pertama, dan sialnya kak Jojo ada sejajar
denganku. Tiba-tiba dia berbuat curang, mendorong motorku dengan kaki sehingga
aku terjatuh menghantam aspal dan helmku terbuka. Aku sudah setengah tidak
sadar pada waktu itu. Yang aku tahu hanyalah tubuhku berlumuran darah, dan kakakku
yang menghampiri berteriak-teriak menyebut namaku sambil menangis. Setelah itu
itu duniaku terasa gelap.
Saat aku bangun aku bingung di mana. Ada mama, papa dan kak Jojo.
Aku sempat berpikir apakah aku berada di surga bersama keluargaku. Tetapi
ternyata tidak, ini kenyataan. Aku sedang berada di rumah sakit didampingi
keluargaku. Aku sangat senang, seperti mimpi saja. Pada saat itu mama, papa dan
kak Jojo minta maaf karena telah mengabaikanku. Aku mejadi orang yang paling
berbahagia saat itu. Tiba-tiba aku teringat The Zeus. Bagaimana nasib mereka
sekarang. Bagaimanapun mereka telah memberi peran penting dalam hidupku.
Setelah sembuh aku mencari The Zeus di trotoar tempat kami biasa
mangkal. Tetapi mereka tidak ada. Aku terus mencari hingga suatu hari ketemu dengan
seorang petugas trantib yang menghampiriku. Dia yang dulu pernah menangkapku.
“Kamu nyari teman-temanmu?” katanya.
“Iya pak. Mereka di mana ya?”
“Kemarin malam mereka terlibat tawuran. Mereka dikeroyok banyak orang.
Saya terlambat untuk menyelamatkan mereka semua. Mereka semua mati dalam
tawuran itu.”
Deg. Jantungku rasanya berhenti, begitu mendengar ucapan petugas
itu. Air mataku langsung mengalir deras tak terbendung. Aku menangisi mereka.
Aku mendatangi makam, tempat mereka dimakamkan bersama. Aku duduk
bertimpuh di hadapan makam mereka. Makam mereka berjajar.
“Guys, kalian pergi kok nggak bilang-bilang sih? Aku ke sini untuk
mengucapkan terima kasih karena kalian telah mengajariku hidup yang sesungguhnya.
Aku bakal kangen banget kepada kalian semua. Tenangkan kalian di surga. Di sana
tidak ada petugas trantib yang akan mengejar kalian. Tunggu aku ya. Saatnya
nanti aku menyusul. I’ll always love you forever.” (*)
Clarita
Ayu Windayanti – SMPN 2 Blora
Desa Banjarejo, Kec. Banjarerjo Blora
****************************************************
KABUT ITU TELAH SIRNA
Elma Nur Fitriyuni
Aku memandang ke arah jendela, hujan turun sudah satu jam lebih,
tetapi aku tetap bergeming.
“Oh..,” aku mendesah, “ Seandainya aku dulu menuruti kata-kata
orang tuaku, seandainya aku dulu tidak menomer satukan karier, seandainya, seandainya..”
“Tuhan, andaikan waktu bisa kembali.”
Sebut saja namaku Aura, lengkapnya Aura Nabila Firdausia. Aku
dilahirkan dari keluarga terpandang. Aku juga anak yang pintar, selalu juara
hingga lulus kuliah dengan IP tertinggi.
“Aura.., apa yang kamu inginkan sekarang sudah tercapai. Kamu harus
memikirkan dirimu sendiri. Sudah saatnya kamu punya pendamping. Ibu ingin
menimang cucu dari kamu. Tinggal kamu yang belum memberi cucu. Ketiga adikmu
sudah punya momongan. Apa kamu tidak ingin seperti adikmu?” kata ibu selalu
begitu jika ketemu aku.
Adik-adikku memang sudah berkeluarga. Dan semua sudah punya anak.
Semua mapan secara ekonomi. Dua adik laki-laki jadi perwira polisi dan kerja di
perusahaan minyak di Arab. Yang perempuan seperti aku jadi dokter, meski spesialisasinya
berbeda. Aku dokter kandungan, sedangkan adikku dokter anak. Aku tidak
menyalahkan ibuku. Semua cucunya jauh dari rumah ikut dengan orang tuanya masing-masing.
Wajar jika ibu ingin menggendong cucu dariku yang masih serumah dengannya.
Dulu aku punya pacar, namanya Rifki. Ketika dia mengajakku menikah,
kutolak dengan halus, karena aku ingin melanjutkan S2 dulu hingga selesai.
Andaikan waktu itu aku mau menikah dengannya mungkin aku sudah menjadi Ny.
Rifki. Dan ibu tidak perlu selalu merajuk minta cucu dariku.
“Non.., Non..,” suara mbok Nah membuyarkan lamunanku.
“Ada apa mbok?”
“Di suruh ibu Sepuh sarapan, Non.”
Setelah di meja makan, ibu dengan suara berat berkata, “Aura..”
“Sudahlah Bu, Aura tahu yang akan ibu katakan. Aura yakin di balik
ini ada hikmah buat Aura,” kataku sambil memegang tangan ibu yang sudah mulai
keriput.
Hari Sabtu adalah hari yang
agak longgar bagiku karena tidak ada jadwal praktek. Aku ingin mengajak ibu
jalan-jalan bersama. Suasana di taman kota pagi itu begitu sejuk. Aku duduk di
bangku taman bersama ibuku. Aku lihat ibu tampak senang sekali pagi itu. Ketika
aku ingin buang air, kutinggalkan ibu sendiri di bangku itu. Saat kembali aku
kaget karena aku mendengar tawa ibu yang keras. Aku sudah lama sekali tidak
mendengar tawa ibu yang begitu lepas.
“Ha..ha..he..he.., awas nanti jatuh,” teriak ibu.
Ternyata ibu sedang bermain dengan seorang gadis kecil. Tiba-tiba
datang bocah laki-laki yang umurnya tidak jauh dari gadis kecil tadi.
Kemungkinan mereka kakak adik. Ibu mengelus-elus rambut dua anak itu dengan
penuh kasih sayang.
“Ibu kok kelihatan bahagia sekali,” kataku tiba-tiba mengagetkan
ibu.
“Halo tante, tante cantik deh. Nama tante siapa?” sapa gadis kecil
itu.
“Nama tante Aura Nabila Firdausia.”
“Lho kok nama tante mirip dengan namaku. Namaku Nabila Alamsyah.
Tapi sering ayah memanggilku Ocha,” kata gadis itu.
Aku kaget mendengar kata Ocha. Nama itu adalah nama panggilan sayang
Rifki kepadaku dulu.
“Tante kalau namaku, Guntur,” kata anak laki-laki yang ternyata kakaknya.
Aku kaget setelah memperhatikan Guntur. Dia mirip sekali dengan
Rifki. Tetapi aku buang jauh pikiran itu. Tiba-tiba ada suara yang memanggil
nama Guntur dan Ocha.
“Rifki?” aku berteriak kaget melihat kemunculan orang yang mencari
Guntur dan Ocha.
“Aura? Betulkah kamu Aura?” katanya tidak percaya.
“Mereka anak-anakmu?” tanyaku mengalihkan kegugupan.
“Iya, mereka anak-anakku. Apa mereka mengganggu kamu?”
“Oh tidak mereka lucu-lucu.”
Ibu tiba-tiba muncul mencari anak-anak yang tadi bermain dengannya.
Rifki menghampiri ibu dan mencium tangannya.
“Ibu, ini Rifki,” katanya dengan sangat sopan.
“Ya Allah, ini kamu to. Jadi Ocha dan Guntur itu anakmu? Pantes aku
merasa tidak asing dengan wajah anak-anak itu,” kata ibu.
Semenjak kejadian di taman itu, hatiku jadi gelisah, mata sulit
dipejamkan, yang ada bayang-bayang Rifki. Tetapi aku segera sadar bahwa itu
tidak boleh. Rifki sudah punya istri dan anak. Rifki adalah masa lalu. Cinta
tidak mesti harus memiliki.
Pagi-pagi telpon berdering, yang menyuruh aku segera ke rumah sakit
karena ada rapat penting pergantian direktur. Sampai di rumah sakit karena agak
terlambat aku tidak memperhatikan nama yang tertulis di karangan bunga ucapan selamat.
Aku langsung masuk ruang rapat. Direktur memimpin rapat. Singkat padat,
direktur hanya mengenalkan nama direktur baru yang datang dari Surabaya. Nama
dokter baru yang akan menjadi direktur rumah sakit tempat aku bekerja adalah
Prof. Dr.dr.Rifki Alamsyah. Aku kaget mendengar nama itu. Bagaimana ini?
Mengapa dia kembali lagi dalam kehidupanku yang sekarang. Malah lebih dekat
lagi. Di tempat kerja yang sama. Padahal aku berusaha untuk melupakannya. Ya
Allah tolonglah aku.
Setelah perkenalan selesai, seluruh dokter bergegas keluar, termasuk
aku. Tetapi baru saja mau keluar, aku mendengar suara yang memanggilku,
“Ocha..Ocha.”
Hatiku sudah tidak karuan begitu mendengar Rifki memanggilku dengan
nama Ocha. Ternyata Rifki sudah di belakangku, kemudian di sampingku. Aku
bingung dan kikuk karena banyak perawat yang memperhatikan kami.
“Kamu kenapa? Sakit ya?” tanya Rifki, “Maaf aku tidak memberitahumu
sebelumnya. Memang aku ingin memberi kejutan.”
“Aku mau mengundangmu bersama ibu ke rumahku. Ya sekalian syukuran
atas kepindahanku ke sini. Aku juga ingin kamu lebih dekat dengan keluargaku.
Oke,” kata Rifki tanpa memberi kesempatan aku bicara.
“Pokoknya kamu harus datang,” sekarang Rifki malah mengancam. Rifki
kabur tanpa menunggu jawabanku.
Pada hari yang disebutkan Rifki, aku dan ibu mempersiapkan diri
berangkat ke rumah Rifki.
“Aura ayo cepat buruan, nanti Nak Rifki kelamaan menunggu kita,”
kata ibu yang sekarang jadi tampak bahagia banget.
Sampai rumah Rifki, kami sudah disambut di depan rumah oleh Rifki,
istrinya dan anak-anaknya. Saat itu suasana tampak sangat akrab. Rifki sesekali
memandangku. Aku jadi kikuk dibuatnya.
“Maaf, aku mau ke atas dulu mengambil sesuatu untuk ibu,” kata
istri Rifki.
Ketika istri Rifki turun tangga dia tampak lebih cantik, dengan perut
yang membesar hamil yang ketiga. Namun tiba-tiba istrinya berteriak, “Oh..
Rifki, tolong aku!”
Kami semburat ke arah tangga. Aku melihat darah. “Panggil ambulans,
istrimu pendarahan!”
Ambulans datang langsung membawa istri Rifki ke rumah sakit. Aku
langsung akan mengoperasi karena posisi bayi sungsang.
“Ibu.., Rifki.., tolong doakan operasi berjalan lancar,” kataku
kepada ibu dan Rifki.
Operasi berjalan dengan lancar. Bayi bisa diselamatkan. Namun istri
Rifki karena pendarahan yang banyak harus mendapatkan perawatan intensif. Sudah
empat hari perkembangan istrinya Rifki tidak menggembirakan. Tiba-tiba Rifki
datang ke ruanganku dan meminta aku ke ruang perawatan istri Rifki.
“Dik, aku boleh minta tolong?”
“Mbak jangan banyak bicara dulu, masih lemah. Istirahat saja biar
cepat sembuh,” kataku.
“Aku ingin adik mau merawat anak-anak dan suamiku kalau aku pergi.
Biar aku pergi dengan tenang, tolong adik jawab sekarang,” kata istri Rifki
yang membuatku bingung.
“Mbak jangan bilang begitu, sebentar lagi mbak sembuh,” kataku
tidak yakin.
“Aku minta jawaban sekarang. Maukah adik merawat anak-anak dan
suamiku? Aku akan tenang jika adik memenuhi permintaan terakhirku ini,” katanya
dengan sangat tenang.
“Ak.., aku.., bersedia,” kataku terbata.
“Alhamdulillah,” katanya dengan senyum yang tulus.
Tanganku dan tangan Rifki dipegang dan disatukan di pangkuannya.
Tak lama kemudian istri Rifki matanya terpejam untuk selamanya. Aku menjerit
memeluk tubuh istri Rifki. Rifki hanya berdiri mematung kaku.
Setelah empat bulan pemakaman istri Rifki, aku makin dekat dengan
Rifki dan anak-anaknya. Mereka sering ke rumahku untuk bermain-main dengan
ibuku. Setahun setelah meninggalnya istrinya, Rifki melamarku. Ibu merestui dan
aku setuju. Tanggal pernikahan segera ditentukan. Hanya sederhana saja, mengingat
aku yang sudah agak terlambat nikah dan status Rifki yang duda beranak tiga.
Rasanya aku bahagia sekali saat itu. Kabut yang selama ini menutupi telah
sirna. Sayang sekali kabut yang sirna itu hanya dalam mimpiku. Mimpi seorang
yang putus asa. (*)
Elma Nur Fitriyuni – SMAN 2 Blora
***************************************************
Dapatkan
tulisan-tulisan yang lain pada posting berikutnya :
“
Kumpulan Tulisan Terpilih Karya Anak Semua Bangsa Jilid V “
Semua
adalah persembahan Pataba Press Blora
Pataba
ada di Blora untuk Indonesia dan dunia
Membangun
Masyarakat Indonesia
adalah
Membangun
Budaya Membaca dan Menulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar