FOTO
KELUARGA
Hermawan
Widodo
Keluarga
Murwadi, termasuk keluarga yang terpandang di dusun Kepuh Lor. Masih keturunan
trah Wongsoharjo yang tanahnya hampir sebagian besar meliputi dusun dari ujung
timur hingga ujung barat tepi sungai. Di samping itu, bapak adalah PNS kantor
pajak Jogja. Instansi yang sangat-sangat basah, sampai mampu melambungkan nama
Gayus Tambunan. Seorang biasa yang hanya pegawai golongan III dan bukan
siapa-siapa menjadi bahan pembicaraan dalam percaturan politik dan hukum
tingkat nasional dengan mafia pajaknya. Dengan posisi seperti itu, wajar jika
posisi sosial keluarga saya cukup tinggi di lingkungan Kepuh Lor.
Sebagimana
layaknya keluarga terpandang, kehidupan kami juga lumayan makmur. Artinya
secara materi tidak pernah kurang. Bahkan keluarga kami menjadi tumpuan warga
saat mereka membutuhkan berbagai hal. Uang, kendaraan bermotor, dan lainnya adalah
hal biasa dipinjamkan kepada tetangga yang datang membutuhkan. Teras, bagian
depan rumah, sering dijadikan tempat berkumpul beberapa tetangga dekat.
Biasanya ibu menyajikan mi rebus panas kepada mereka atau sekedar kacang rebus.
Keluarga kami juga menjadi pelangganan untuk membeli ikan hasil tangkapan dari
tetangga yang kerjanya mencari ikan dengan pecak. Pecak merupakan alat
penangkap ikan, berupa jaring yang diikatkan pada 4 ujung bambu.
Dengan
kondisi keluarga yang cukup makmur, semestinya juga diikuti dengan budaya hidup
yang maju. Namun keluarga kami dalam beberapa hal sangat-sangat jauh
tertinggal. Salah satu yang paling saya sayangkan adalah dokumentasi keluarga.
Bapak tidak pernah mendokumentasikan keluarga kami dalam bentuk foto. Berbeda
dengan keluarga Mbak Jazim, adik bapak yang memiliki dokumentasi berupa
foto-foto diri dan anak-anaknya sejak bayi hingga dewasa. Karena saya berada di
lingkungannya, maka saya kadang masuk dalam jepretan kamera mereka sehingga
dalam beberapa foto itu tampak diri saya.
Keluarga
saya sama sekali tidak memiliki konsep dalam mendokumentasikan keluarga. Sangat
sedikit foto yang bisa saya lihat waktu saya kecil. Hanya ada satu foto yang
menurut saya sangat bersejarah, yaitu saat saya digendong bapak bersama ibu.
Mungkin itu satu-satunya foto keluarga saya. Foto itu diambil oleh studio foto Pak
Slamet Kotagede yang bagi orang Kepuh Lor sudah sangat terkenal.
Karena
itu, saya berinisiatif membuat foto keluarga. Niat yang sudah sangat terlambat.
Tetapi lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Waktu itu adik saya
yang terkecil Koco umurnya sekitar 6 tahun. Saya sudah kuliah, dua adik saya
Igun dan Igit masih SMA. Saya melihat foto-foto keluarga yang ditempel di ruang
tamu, umumnya menggunakan setelan jas atau batik.
Keluarga
saya tidak ada yang memiliki setelan jas. Satu-satunya jas milik bapak saat
pernikahan, sudah tidak bisa dipakai lagi, sudah terlalu kekecilan untuk badan
bapak bahkan anak-anaknya. Karena tidak punya jas, maka batik menjadi pilihan.
Koleksi batik bapak lumayan banyak, sehingga kami berempat bisa mengenakan
batik. Bapak, saya, Igun dan Igit mengenakan baju batik milik bapak dengan
model dan warna yang berbeda-beda. Ibu
juga berbatik. Ada yang lengan panjang, ada yang pendek. Bapak dan Igit berlengan
panjang, saya dan Igun lengan pendek. Koco berbaju kotak-kotak biru, karena
tidak ada batik ukuran kecil.
Saya
tidak ingat kamera yang dipakai milik siapa, yang jelas kamera saku otomatis.
Sedangkan yang memotret adalah Hari saudara sepupu saya, anaknya Mbak Jazim.
Pengambilan gambar dilakukan di ruang tamu, dengan posisi bapak ibu dan Koco
duduk di kursi tamu panjang. Sedangkan saya, Igun dan Igit berdiri di belakang
kursi. Saya, Igun, Igit dan Koco hanya memakai celana pendek. Saya memakai
celana pendek bergambar nanas, oleh-oleh dari Bali saat KKL pertama Fakultas
Geografi UGM. Sandal-sandal masih tampak berserakan di bawah kursi. Perkiraan saya,
celana pendek itu tidak akan nampak karena tertutup kursi, begitu juga dengan
sandal-sandal yang berserakan.
Dengan
penuh semangat bagaikan fotografer profesional, Hari memotret mengambil foto
kami sekeluarga. Pengambilan gambar untuk foto keluarga bersama, bapak ibu dan
empat anaknya berjalan tanpa kendala. Jepret sekali, kemudian jepret sekali
lagi selesai.
Karena
merasa kurang, kami berempat minta difoto lagi. Saya, Igun , Igit dan Koco
berpose hanya memakai celana jeans dengan bertelanjang dada. Ide itu mennjiplak
foto sampul kaset Swami 1 yang berpose tanpa baju. Jepret sekali selesai. Total
pengambilan foto itu hanya tiga kali jepretan. Tentu hal itu sudah menumbuhkan
harapan di tengah kelangkaan foto di keluarga kami.
Seminggu
kemudian foto itupun jadi. Tetapi hasil cetakan foto itu sungguh mengejutkan kami
semua. Dua kali pengambilan foto keluarga tidak ada satupun yang memuaskan.
Satu
foto secara utuh menampakkan gambar kami sekeluarga. Tetapi sayang celana
pendek putih bergambar nanas yang saya pakai, yang semula dikira tertutup kursi
ternyata masih nampak dengan sangat jelasnya. Sedangkan sandal yang berserakan juga
terekam sangat jelas di bawah kursi mengganggu pandangan.
Foto
jepretan satunya malah lebih parah lagi. Kondisinya sama dengan jepretan
sebelumnya, hanya kepala kami bertiga yang hilang. Tampak dalam foto adalah
bapak, ibu dan Koco secara utuh, sedangkan saya, Igun dan Igit yang nampak
hanya badan hingga ke leher, tanpa kepala. Hasil kerja seorang fotografer
amatir kelas kampung. Sungguh-sungguh mengecewakan. Harapan mempunyai foto
keluarga pupuslah sudah.
Hasil
yang lumayan bagus justru pose kami berempat bercelana jeans tanpa baju.
Cetakan foto maupun posenya menurut sangat mewakili kami. Koco paling depan
didekap Igit, Igun dibelakangnya memegang pundak Igit dengan posisi wajah
serong ke kanan, dan saya di belakang Igun dengan wajah agak serong ke kiri.
Tidak ada pengarah gaya saat itu. Hanya ingin meniru pose Swami saja. Sampai
sekarang foto itu masih terpasang di kamar depan, meskipun hanya cetakan
perbesaran copy laser. Negative dan juga foto aslinya sudah tidak karuan
rimbanya.
Upaya
itu merupakan usaha pertama dan terakhir mewujudkan foto keluarga kami. Karena
sejak itu tidak pernah lagi kami foto bersama. Memang ada foto kami bersama
sekeluarga, tetapi bukan merupakan foto keluarga kami, karena foto itu memuat
seluruh keluarga mbah saya Martodimulyo dari anak, cucu hingga cicit yang ada.
(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar