MENYONGSONG
USIA
Vinca
Dia Kathartika Pasaribu
Mentari yang melamur ke permukaan tanah
Telah menyungkupi tetubuh bimantara
dengan tabir kencananya
Menandakan sebuah hari baru saja terbit
Dan jenjang baru kan diawali sebelum
disakralkan
Menjadi kalimat yang terbukukan dalam
memoar
Terimakasih atas kenduri yang kau
haturkan padaku
Entah harus bahagia atau berpilu aku
Menyongsong usia menua
Biru pagi yang perlahan-lahan lamur
dibawa petang
Ah, apa beda kematian dan kehidupan?
Di kematian tak pernah bisa kupagut
angan
Sedang di kehidupan tak pernah bisa
kuwujudkan impian
Nama
Penulis : Vinca Dia Kathartika
Pasaribu
Asal
Sekolah :
SMPN 1 Jember Jawa Timur
Judul : Menyongsong Usia
***************************************************************************
MELUKIS
HIDUP
Amelina
Lailasari
Hidup ini terlalu sulit
untuk dilukiskan. Mulai saat ini, itu prinsipku. Aku tak ingin lagi memikirkan
rumitnya hidup ini. Aku sudah lelah melihat kegilaan-kegilaan yang akhir-akhir
ini sering terjadi. Aku mual mendengar komitmen dan janji palsu. Apalagi
menyaksikan orang yang bermimpi menggapai bulan tapi tak mau belajar terbang
terlebih dahulu. Apa mereka pikir hidup ini mudah? Tinggal bermimpi dan apa
yang mereka mau jadi kenyataan.
Hidup ini terlalu rumit
untuk dilukiskan. Jadi orang baik mendapat cibiran dari mana-mana, jadi orang
jahat pun dikucilkan berbagai pihak. Lalu harus jadi apa? Aku jadi malas
bercita-cita ataupun bermimpi. Bermimpi hanya membuatku berkhayal tentang mimpi
itu, dan setelah aku tergiur, mimpi itu akan lenyap, menguap bagai asap.
Meski begitu, ada satu
hal yang aku inginkan. Mudah saja, aku ingin melukis hidup, walaupun aku tak
tahu hidup seperti apa yang bisa kulukis. Aku tak tahu bagaimana melukiskan
indahnya cinta yang kemudian meninggalkan luka dalam. Aku bingung bagaimana
melukiskan keluarga yang seharusnya menjadi tempat berlindung justru menjadi
neraka. Hidup ini terlalu kompleks. Tapi tetap saja aku ingin melukis hidup,
walau aku tak bisa melukis.
Sebagai seorang lelaki,
jujur saja aku malu. Malu pada diriku sendiri karena aku tak punya cita-cita.
Karenanya ayah sering menegur dan memarahiku.
“Kamu itu lelaki. Kalau
nggak punya cita-cita, kerjaan cuma melamun terus tiap hari. Anak istrimu besok
mau kamu kasih makan apa? Mimpi?” kata ayah sore itu.
“Hidup itu mengalir aja
lah, yah. Air saja bisa mengalir terus kok. Pusing dipikir terus,” jawabku
“Terserahlah nak. Capek
nasehatin kamu,” kata ayah lalu meninggalkanku.
Begitulah ayahku. Tak
pernah memaksaku harus begini atau begitu. Sayangnya justru hal itu yang
membuat ayah ibuku sering debat. Bahkan akhir-akhir ini mereka lebih sering
bertengkar.
“Ayah seharusnya lebih
tegas sama anak. Jangan dibiarkan begitu, nanti jadi kebiasaan,” kata ibu tiap
kali memarahi ayah. Tetapi ayah selalu diam saja, tak pernah menjawab omongan
ibu. Ayah tak pernah suka menyiram api dengan bensin.
“Ayah bisanya diam
terus. Ayah pikir kalau diam masalah bisa selesai?”
“Ayah harus bagaimana
sih bu? Anaknya saja pinginnya begitu kok. Kenapa harus dipaksa?” jawab ayah santai.
Aku pernah mencintai
seorang gadis. Dia hanya gadis sederhana, bahkan biasa saja. Tapi justru itulah
yang membuatku mencintainya. Tutur katanya halus. Apalagi tingkah lakunya.
Membunuh semutpun dia tak tega. Kupikir hatinya pasti selembut kapas. Tapi,
dalamnya hati seseorang siapa yang tahu?
Siang itu aku ingin
mengajaknya jalan-jalan. Karena aku hanya anak dari keluarga sederhana, jadi
aku tak mungkin mengajaknya ke bioskop atau ke mall dan membelikannya beraneka
ragam busana. Aku berniat mengajaknya ke taman dekat sekolah. Taman itu
sebenarnya hanya sepetak tanah kosong di tepi sungai. Di taman itu terdapat
bangku panjang. Ya, di tempat itulah aku menyatakan cinta kepadanya.
Yah, manusia hanya
berencana bukan? Tetap saja Tuhan yang menentukan. Apa dayaku ketika melihatnya
sedang asyik berbincang-bincang mesra di depan rumahnya bersama pemuda lain?
Apa aku bisa memutar waktu? Memasuki lorong waktu dan membuat hal ini tak
pernah terjadi?
“Maafin aku, Yuda. Aku
nggak bisa terusin hubungan kita lagi,” katanya padaku bahkan sebelum aku
mengatakan sepatah katapun. Semudah itu dia mengatakannya. Menghancurkan hatiku
berkeping-keping.
“Nggak apa-apa. Kalau
kamu lebih bahagia sama dia, aku yang mundur,” kataku tertunduk dan tersenyum pahit. Sekuat tenaga kutahan air
mata ini agar tak keluar. Harga diriku bisa hancur jika aku menangis di sini.
Aku pun pamit. Aku
berlari. Berlari kencang. Aku tak tahu harus pergi kemana. Aku tak mungkin
pulang dalam keadaan seperti ini. Rasanya rumah bukan tempat yang tepat untuk
melampiaskan sakit hatiku.
Jadi, tempat inilah
yang menjadi tujuanku. Ya, taman di tepi sungai. Rasanya tempat ini adalah
surgaku. Aku duduk di tepian sungai, memasukkan kakiku yang terbakar amarah
saat berlari tadi ke dalam sungai. Kakiku mulai dingin. Kini saatnya
menenangkan pikiranku.
Kuamati air sungai yang
mengalir, lalu kupejamkan mata. Kucoba menghapus ingatanku tentangnya, gadis
pujaanku. Sulit sekali menghilangkannya dari otakku. Semakin kucoba lupakan,
semakin jelas kenangan itu menari-nari di kepalaku. Melompat dengan gemulai
mencetak satu luka baru di hatiku. Sungguh tak kusangka dia tega melakukan hal
ini padaku.
Aku tak tahu berapa
lama aku berada di tepi sungai itu. Mungkinkah aku tertidur? Tiba-tiba aku mendapati
air mata telah mengering di pipiku. Kubersihkan mukaku, kemudian beranjak
pulang.
Sepanjang jalan masih
saja kuteringat kata-kata polosnya, yang dengan santai mengakhiri hubungan
kami. Ah, sulit melupakannya. Apalagi jika teringat saat kunyatakan cintaku
padanya, luka ini seperti ditetesi air jeruk.
“Tia..,” kataku kala
itu.
“Emmm, ya? “ jawabnya
pelan.
“Aku sayang kamu, Tia,”
kataku. Aku memang bukan orang yang romantis, apalagi merayu seorang gadis. Aku
sudah menyerah sebelum bertempur. Tapi kali itu lain. Dorongan hati yang menggebu-gebu
membuatku berani menyampaikannya.
Pipi Tia merona,
memerah seperti tomat. Aduh, jantungku berdetak tak karuan, berpacu melawan
waktu. Sekuat tenaga kutenangkan jantungku, tapi tak berhasil.
“Emm, aku..aku juga
sayang kamu, Yuda,” jawab Tia lirih. Saat itu bisa kurasakan jiwaku melayang ke
angkasa meski kakiku masih berpijak di bumi.
Dahulu, peristiwa itu
adalah memori yang terindah bagiku. Pelipur lara dan penghapus kesepianku. Aku
bisa tersenyum lebar hanya dengan membayangkan kejadian itu. Tapi kini tidak
lagi. Setelah dengan mudah dia mengakhiri semua ini, peristiwa itu laksana
belati paling tajam yang melukai hatiku.
“Ayah pikir diam saja menyelesaikan
masalah? Lihat anakmu, kerjanya luntang-lantung nggak jelas kayak gitu! Tegas
dikit yah! Ayah itu laki-laki, laki-laki kok nggak bisa tegas sama anaknya,
bisanya diam terus!”.
“Terus ayah harus
gimana to bu? Si Yuda sudah berkali-kali ayah nasehati, tapi dia maunya begitu.
Yuda belum ingin kuliah. Yuda juga sudah kasih tahu alasannya, Yuda masih bingung
mau kuliah jurusan apa.”
“Ya ayah juga tentukan.
Yuda memang sudah besar, Yah. Tapi kalau nggak bisa menentukan masa depannya,
kita juga punya hak memilih jalan buat Yuda. Kalau Yuda nggak mau ya dipaksa
dong, yah!”
“Kalau dipaksa, apa dia
bisa kuliah betul-betul? Kita keluar uang banyak buat kuliah Yuda juga sia-sia bu,
kalau Yuda nggak serius.”
Aku memang sudah lulus
SMA dan sampai sekarang menganggur. Aku tak punya cita-cita, jadi aku
memutuskan untuk tidak kuliah sampai aku menemukan “aku di masa depan”. Tak
kusangka hal ini menjadi masalah besar bagi keluargaku.
Tuhan memang memutuskan
segalanya. Keputusanku untuk pulang ternyata bukan hal yang tepat. Pulang
dengan tujuan ingin menenangkan pikiran yang tegang, tapi di rumah justru
kudapati sedang terjadi pertengkaran. Lebih menyebalkan ketika aku tahu bahwa,
justru akulah penyebab pertengkaran orang tuaku.
Kucoba mengabaikan
pertengkaran orang tuaku. Aku bergegas menuju kamarku, dan mengunci pintunya.
Kubanting tubuhku ke tempat tidur. Menutup kepala dengan bantal. Tapi tak dapat
meredam suara pertengkaran orang tuaku. Pertengkaran pun meluas.
Masalah-masalah baru bermunculan dalam pertengkaran itu. Ayah kehilangan sifat
diamnya.
Aku berpikir, mencari
sesuatu hal yang bisa mengalihkan pikiranku, lalu teringat pada satu-satunya
keinginanku, melukis hidup. Aku masih saja awam akan keinginanku ini. Aku
mencoba fokuskan pikiranku pada hal ini.
Samar-samar kudengar
teriakan-teriakan dari luar kamarku. Suara ini membuyarkan pikiranku. “Aku
nggak bisa berpikir di sini,” kataku pada diri sendiri. Lalu kuputuskan untuk
pergi ke taman lagi. Kuambil secarik kertas dan sebatang pensil dari meja di
samping tempat tidur, dan segera meninggalkan rumah.
“Mau kemana lagi kamu,
Yud? Keluyuran nggak jelas kaya gitu!” bentak ibu ketika aku menuju pintu
depan.
“Mau cari angin. Sumpek
di rumah terus. Bosen dengerin orang bertengkar!” jawabku asal.
“Jangan kurang ajar
kamu, Yud! Kamu ini bicara sama..” aku bergegas meninggalkan rumah. Aku tak
perlu mendengar kelanjutan kata-kata ibu. Aku bosan dengan semua kata-kata
monoton yang diucapkan ibu saat marah.
Aku berjalan sambil
melamun. Memikirkan bagaimana caranya melukis hidupku? Bagaimana caranya
melukiskan kisah cintaku yang berakhir mengenaskan? Keluargaku yang sering
bertengkar akhir-akhir ini? Semakin kupikirkan semakin jauh aku dari jawaban
yang kuinginkan.
Kisah cinta terlalu
kompleks untuk dilukiskan. Jangankan dilukiskan, bahkan aku tak mengerti
bagaimana jalannya cinta itu. Perasaan yang awalnya begitu indah, membawaku
terbang ke angkasa, lalu karena tiupan badai menghempaskan kembali ke bumi.
Meninggalkan luka di sekujur tubuhku. Bagaimana melukiskannya?
Melukiskan cinta dalam
hidupku pun aku tak tahu bagaimana caranya. Apalagi ditambah dengan kemelut
permasalahan keluargaku? Bagaimana menggambarkanya? Ah pusing aku memikirkannya.
Tiba-tiba kakiku
berhenti berjalan. Ingatanku menangkap bayang air sungai yang sering kuamati,
mengalir. Aku tahu! Aku tahu jawaban yang selama ini kucari. Aku mendapatkan
jawaban dari pertanyaanku selama ini, apa yang aku inginkan selama ini.
“Aku tahu!” Pekikku
kegirangan. Tiba-tiba…
“Tiiiiiinnnn….!!!
Brraaakk!!”
Sebuah mobil angkot
menghantamku. Karena melamun, aku tak menyadari berhenti di tengah jalan. Aku
terbang ke udara, namun dengan cepat terjerembab ke tanah. Aku kehilangan
sebagian kesadaranku. Kucium aroma darah di sekitarku. Bau amis yang membuatku
mual. Tulangku pasti remuk, karena aku tak dapat menggerakkan tubuhku sama
sekali. Tubuhku terasa lemah, hanya pikiranku yang masih segar, kegirangan
karena menemukan bagaimana caranya melukis hidup.
“Aku tahu! Aku tahu
bagaimana caranya melukiskan hidup,” kataku masih kegirangan. Kurasakan sakit
yang sangat di tenggorakanku saat mengucapkannya.
“Melukis hidup itu
mudah. Cukup melukis sebuah garis lurus, karena hidup ini adalah sebuah garis
lurus seperti air,” lirih aku berkata.”Ya, kawan. Hidup ini adalah sebuah garis
lurus, kau tak akan kembali ke waktu yang telah berlalu. Seperti air, terus
mengalir dan kau tak dapat mengulang semua yang telah terlewati.” Terimakasih,
Tuhan. Terimakasih karena telah memberitahuku bagaimana melukiskan hidup meski
di detik terakhir napasku (*)
Nama
Penulis : Amelia Lailasari
Asal
Sekolah :
SMAN 1 Boja Kendal Jawa Tengah
Judul : Melukis Hidup
**********************************************************************
AYAT
TERAKHIR
Rizky
Damayanti
Mentari menyapa hangat
dengan sinarnya yang selalu menjadi energi kehidupan. Burung-burung kecil
berkicau menambah indahnya suasana pagi hari. Namun hati ini tak mengindahkan
hal itu setelah semua peristiwa yang terjadi hari kemarin. Mata ini sembab
karena air mata yang tak berhenti berderai semalaman. Kucoba perlahan-lahan
membuka mata, terasa pening kepalaku ketika duduk bersandar di pojok tempat
tidur. Peristiwa kemarin membuat hidupku akan berubah 180 derajat dari yang
semula. Aku yang biasa dipanggil dengan “Bee” dan memiliki nama lengkap “Bee
Hani Ramos” adalah gadis periang, memiliki keluarga utuh yang harmonis. Anak
tunggal yang selalu dimanja, yang kini harus merasakan pahitnya kehidupan.
“Kenapa kamu tega
mengkhianati aku dan Bee. Kamu selingkuh dengan lelaki yang jauh lebih muda
dengan kamu itu. Apa kamu enggak punya pikiran, kalau perselingkuhanmu itu akan
membuatku dan Bee semakin terluka. Lebih baik sekarang juga kamu pergi dari
rumah dan aku menalak tiga kamu hari ini juga.” Masih teringat kata-kata cerai
yang dilontarkan ayah pada bunda di hadapanku. Kata-kata itu bagaikan sambaran
petir yang menghancurkan hatiku. Terlebih lagi ketika ayah mengusir bunda dari
rumah tanpa membawa apapun kecuali busana yang sedang dikenakannya saat itu.
Deritaku tak cukup itu saja. Selang dua jam usai pertengkaran terjadi, sebuah
kabar yang sangat buruk terdengar di telingaku. Ayah mengalami kecelakaan saat
mengendarai motor vespa kuno kesayangannya di jalan Halmahera. Ayah menabrak
truck yang sedang melaju berlawanan arah dengannya. Karena kecelakaan itu, kini
ayah terbaring dan tak sadarkan diri di sebuah ruangan UGD di Rumah Sakit
Harapan Hidup Jakarta.
Aku segera melangkahkan
kaki dengan sempoyongan ke arah luar kamar dan berharap peristiwa yang sedang
menggangggu pikiranku ini tidak pernah terjadi. Aku berharap itu hanya sebuah
mimpi saja.
Glekk..,suara pintu
terbuka, terlihat ruangan cukup luas yang sepi tanpa penghuni. Tanpa berganti
baju dan tanpa mandi aku memutuskan untuk segera ke rumah sakit menemani ayah
yang sedang terbaring tak sadarkan diri. Aku berlari ke sebuah garasi tempat
motor scoppy kesayanganku diparkirkan.
Aku tancap gas dan segera melaju kencang melewati jalanan yang ramai dan
padat oleh lalu lalang kendaraan di kota metropolitan ini.
Sebuah gedung
bertingkat yang berdekorasi tidak jauh berbeda dengan rumah sakit pada umumnya
sudah ada di depanku. Aku segera berlari menuju ruang UGD tempat ayah sedang
terbaring. Namun aku terkejut ketika di ruangan UGD ini tak kutemukan ayah, dan
hanya ada seorang perawat yang sedang membersihkan ruang UGD.
“Permisi Sus, pasien
yang semalam dirawat di sini kemana ya? Namanya bapak Hendrawan Julio Ramos,” tanyaku
sambil mendekati perawat itu.
“Bapak Ramos baru saja
dipindahkan ke ruang VIP Yasmin nomor tujuh,” jawab perawat itu sambil
tersenyum ramah.
“Terimakasih ya Sus,” ucapku
sambil berlalu meninggalkan perawat itu sendiri.
VIP Yasmin nomor tujuh
terlihat terpampang pada pintu kamar ruangan. Tanpa mengetuk pintu aku segera
melangkah dan memasuki ruangan itu. Betapa senangnya aku melihat ayah sudah
sadarkan diri.
“Pagi ayah,” sapaku
pada ayah dengan senyuman yang kubuat seceria mungkin, meski dalam hati rasanya
ingin menangis.
“Pagi Bee,” jawab ayah
dengan tersenyum. Melihat senyum ayah aku berujar dalam hati, ” Ayah aku sangat
bangga padamu, meskipun kenyataan yang menyakitkan tengah dialami namun ayah
tetap tersenyum tegar.”
Aku duduk di kursi
samping ranjang ayah yang sedang terbaring. Tak lama kemudian seorang dokter
paruh baya datang dari balik pintu.
“Selamat pagi pak
Ramos. Bagaimana keadaan bapak? Apa sudah ada perkembangan yang bapak rasakan?”
tanya dokter yang bernama Yusuf itu dengan ramah.
“Alhamdulillah dok,
saya merasa sangat baik hari ini,” jawab ayah.
“Permisi ya pak, saya
periksa keadaan kakinya dulu,” ucap dokter Yusuf sambil perlahan-lahan menarik
selimut yang menutupi kaki ayah. Aku sangat terkejut melihatnya. Hatiku tak
kuat menerima kenyataan yang tampak di hadapanku. Aku melihat kedua kaki ayah
diamputasi. Aku segera melangkah keluar ruangan dan duduk di koridor depan.
Tanpa kusadari air mataku telah membasahi kedua pipiku. Aku mengacak-acak
rambutku yang terurai panjang tanpa tujuan. Selang beberapa menit dokter Yusuf
keluar dari ruangan ayah.
“Permisi, apakah hanya
anda keluarga dari bapak Ramos?” tanya dokter Yusuf dengan sopan.
“Iya betul dok.”
“Ada yang perlu
dibicarakan. Bisakah kita bicarakan di ruangan saya?”
Aku hanya mengangguk
sekenaku
“Mari!” ucap dokter
Yusuf sambil melangkah pelan dan aku berjalan mengikutinya dari belakang.
Sungguh sulit aku
menerima dan percaya dengan semua kenyataan ini. Mengapa harus ayah yang
mengalami kenyataan sepahit itu. Ayah divonis dua minggu lagi akibat kanker
darah stadium akhir. Aku sangat sedih dan kecewa, mengapa aku mengetahui semua
ini ketika keadaan sangat buruk. Aku berjalan gontai keluar dari ruangan dokter
Yusuf dan segera menuju ruangan ayah. Kulihat ayah sedang memegangi Alquran dan
menatap penuh makna Alquran itu. Aku melangkah menghampirinya.
“Ayah,” ucapku ambil
mengelus pundaknya.
“Bee, kamu kan pintar
membaca Alquran. Mau tidak kamu menemani ayah membaca Alquran sekarang juga?” kata
ayah sambil menatapku.
Banyak sekali
pertanyaan yang ingin aku lontarkan pada ayah, namun melihat ayah sangat ingin
membaca Alquran itu, akhirnya kuputuskan untuk membaca Alquran bersama ayah.
“Bismillahirrahmanirrahim,” ucap ayah mengawali bacaan Alquran. “Hudaw wa busyra lil mu’minin, al ladzina
yaqumunas shalata wa yu’tunazzakata hum bil akhirati humyukinu.” Dua ayat
telah dibaca ayah, dan aku sangat terkejut melihat ayah terdiam dengan mata
terpejam. Aku panik dan segera berlari keluar ruangan dan berteriak-teriak
memanggil dokter. Aku melihat dokter Yusuf berlari menghampiri ruangan ayah.
“Maaf kami sudah
berusaha semaksimal mungkin, namun takdir sudah menentukan dan saya turut
berduka cita,” ucap dokter Yusuf dengan lemas. Aku segera memasuki ruangan
ayah. Air mata berderai membasahai pipiku. Aku peluk raga ayahku yang sudah tak
bernyawa lagi. Ayat terakhir yang ayah baca tidak akan pernah aku lupakan. Dua
ayat dari surat An Naml yang memiliki arti untuk menjadi petunjuk dan berita
gembira bagi orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang mendirikan shalat
dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat, itu akan
selalu tersimpan dalam memori hidupku.
Kini aku tinggal
bersama nenek, orang tua dari ayah. Aku berharap dapat menjalani hidupku jauh
lebih baik dari sebelumnya. (*)
Nama
Penulis : Rizky Damayanti
Asal
Sekolah :
SMAN 1 Tunjungan Blora Jawa Tengah
Judul : Ayat
Terakhir
*******************************************************************************
MISTER
BEJO & MISTER UNTUNG
Yuli
Agustya Rahmawati
Langkah kaki keren dan
kekar seorang cowok, mahasiswa fakultas tehnik mesin UGM, menyita perhatian
kaum hawa. Bejo Surijo, nama cowok itu yang ditafsirkan selalu bejo di
kehidupannya. Senyum manis nan menggemaskan selalu ditebarkan di sepanjang
jalan. Terdengar teriakan memanggil namanya. Bejo menghentikan langkah kakinya.
“Bejooo..!” teriak seorang
perempuan dari belakang Bejo.
“Low, Siska apa kabar?”
jawab Bejo dengan memaparkan tangannya seraya cupika cupiki.
“Baik kok Jo” jawab
Siska, cewek yang terkenal kecantikannya di kampus itu. Sudah banyak cowok dari
tingkat miskin sampai kaya, tak dapat memikat hatinya.
“Sis, ayo jalan ntar
tak tinggal low!” ajak Bejo sambil menaik-turunkan alis matanya.
“Ya Jo, ayo,” jawab
Siska dengan halus.
Merekapun berjalan
sambil bercanda gurau. Tak disangka tiba-tiba ember berisi air bekas mengepel lantai
terjatuh dari arah atas, tumpah di belakang Bejo dan Siska.
“Brakk!” Air itu tumpah
mengenai seorang mahasiswa yang berjalan di belakang Bejo dan Siska.
“Ya ampun..,ups..” saut
Siksa sambil tersenyum malu.
“Tenang aja Sis dekat
mas Bejo pasti bejo, ya to..” jawab Bejo dengan pede.
“Ya..ya. .Jo. Aku dekat
kamu ikutan bejo low,” kata Siska sambil berjalan.
Selain Bejo, ada
seorang cowok yang juga tak kalah anehnya, Untung Surosembodo namanya. Bertampang
macho, berperawakan tinggi dan juga terkenal di kampus. Dia, seperti namanya
juga selalu dipayungi keberuntungan. Seperti halnya Bejo, Untung ternyata juga
naksir Siska.
Suatu ketika saat jeda
dari kesibukan kuliah yang padat, Untung pergi ke restoran karena perut sudah
sangat lapar. Sampai di restoran ia dikagetkan oleh suara sorak pemilik
restoran itu.
“Dyar..dyar..dyar..!” suara
petasan mengagetkannya.
“Hai selamat ma anda
adalah pengunjung kami ke 500, anda boleh makan sepuasnya ma di sini gratis..tis!”
kata pemilik restoran.
“Terimakasih,terimakasih,
he..he..,” saut Untung dengan lagak sok kaya sambil melambaikan tangan ke
seluruh penjuru ruangan.
Semua menu termahal di
sana dipesannya. Habislah sudah makanannya, hanya sebuah roti ungu terdiam
belum terjamah oleh Untung. Kemudian dia segera mengambil roti itu. Saat ia
mengunyah roti itu ada terasa sesuatu yang berada di lidahnya. Untungpun
menjulurkan lidahnya sambil mengambil sebuah kertas kecil. Ia membuka kertas
itu.
“Hai selamat ma owe
mendapatkan uang 500 ribu ma,” saut pemilik restoran.
“He.he.he, emang gak salah
bapak kasih nama aku Untung, ” kata Untung dengan lagak tertawanya yang aneh.
Perut kosong sudah
terisi, Untung pergi kembali ke kampus. Dari arah depan terlihat Siska berjalan
dengan rambut panjang terurai mempesona.
“Siska..!” teriak Bejo
dan Untung bersamaan sambil menghampiri Siska.
“Woy ngopo kowe?” tanya
Untung sambil berdesak-desakan dengan Bejo.
“Ya nemoni Siska eh,
mosok nemoni sampeyan najwis, uek..huek..,” jawab Bejo sambil berlagak
muntah-muntah, sedangkan Siska terpelongoh keheranan.
“Yo wis ngene wae, kita
buat jadwal jalan sama Siska. Sehari sama aku terus selanjute sama kamu, lan
seteruse begitu gelem gak?” kata Untung.
“Yo wis aku mau, ayang
Siska mau gak?” kata Bejo menyetujui dan bertanya kepada Siska dengan rayuan
cap lombok.
“Woo ngawur
ngaku-ngaku?” sahut Untung mengibas muka Bejo.
“Aku terserah saja kok,
“ jawab Siska sambil masuk ke mobilnya.
Pagi pun datang, Bejo
berdandan rapi. Kala itu ia mengganti gaya rambutnya. Dengan cepatnya kicauan burung
menghantarkan langkah pejantan-pejantan tangguh menyongsong pagi yang indah.
Bejo dengan langkah pasti menghampiri Siska.
“Hai Sis..!” panggil
Bejo dengan lambaian tangan.
“Bejo, bisa gak anterin
aku ke bank?” tanya Siska sambil memegang pundak Bejo.
Dari ujung dekat pohon,
Untung hanya mampu melihat dengan melotot Bejo dan Siska. Bejo melihat Untung
di sana menambah kemesraannya dengan Siska.
“Bisa..bisa, apa sih
yang gak bisa buat kamu,” jawab Bejo sambil mencium tangan Siska seraya ingin
membuat Untung cemburu.
“Mampus low Tung!” kata
Bejo mengejek Untung sambil tersenyum menengok ke arah Untung.
“Hai..!” sapa Bejo coba
mengejek Untung sambil melambaikan tangan menggandeng Siska. Untung hanya
terdiam, sekonyong-konyong darah telah naik ke kepala.
Sesampainya di bank, di
dalam sudah penuh sesak oleh nasabah. Cukup lama menunggu antrian. Akhirnya
giliran Siska tiba. Selesai bertransaksi, Bejo dan Siska beranjak pergi
meninggalkan bank.
“Selamat anda mendapat
Yamaha Mio!” terdengar suara tepukan keras dari belakang. Ternyata seorang
nasabah yang mendapat hadiah tahunan di bank.
“Bejo, tu kan,
gara-gara kebejoanmu aku gak dapat hadiah itu deh,” kata Siska meringik
memarahi Bejo dan pergi meninggalkan Bejo di depan bank.
“Siska..!” teriak Bejo
mencoba memanggil Siska yang mengendarai mobilnya dengan kencang.
“Waduh, mateng iki gak
duwe duwik, piye mulihe iki?” kata Bejo bicara sendiri.
Akhirnya Bejo sampai di
kampus lagi dengan naik bus yang berisi beberapa ayam. Beberapa kali Bejo
menciumi bajunya yang penuh bau ayam melekat di kepalanya.
“Woy, piye enak?” tanya
salah satu teman Bejo.
“Penak piye aku malah
ditinggal Siska gara-gara kebejoanku iki,” jawab Bejo dengan raut muka kesal.
Semua aktifitas di
kampus membuat Untung merasa mengantuk yang sangat berat. Selalu terbayang di
pikirannya besok bersama Siska. Lamunan kecil tertuju ke arah sudut ruangan
yang kosong.
“Braakk..! Untung kalau
kamu tidak suka pelajaran saya, keluar!” teriak ibu dosen sambil menggebrak
meja Untung dan membuyarkan lamunannya.
“Gak kok bu,” jawab
Untung terkagetkan.
“Ya sudah, selamat ya
Untung!” kata bu Lisa sambil menjulurkan tangannya.
“Buat apa Bu?” kata
Untung kebingungan.
“Kamu mendapatkan nilai
terbaik untuk mata kuliah ibu,” jawab bu Lisa.
“Padahal aku dapat
jawaban itu dari bawah meja he.he.he.,” kata Untung dalam hati.
Malam telah dilewati
semua makhluk hidup. Fajar telah terbit dari ufuk timur. Terdengar suara
semprotan minyak berulang-ulang. Untung menyemprotkan minyak wangi itu ke
bajunya berkali-kali.
“Hai tampan, ha.ha.ha.,”
ujar Untung di depan cermin.
Jam telah menunjukkan
pukul 8 tepat. Kerumunan mahasiswa meninggalkan ruangan kusam dan sepi. Untung
bersemangat karena kali ini adalah jatahnya berjalan dengan Siska. Senyum palsu
selalu terpasang di mukanya.
“Hei Sis, ayok aku
sudah siap !“ ajak Untung dengan mantap.
“Iya Tung kebetulan aku
mau ke butik ada tas indah banget cuma satu doang,” jawab Siska.
Mereka pergi
menggunakan mobil warna ungu nan mulus milik Siska. Banyak pengunjung memadati butik
itu. Siska berusaha mencapai tempat tas itu berada.
“Tung itu tasnya!” teriak
Siska menunjuk tas itu.
“Oh itu, santai dengan
keberuntunganku kamu pasti bisa mendapatkannya,” jawab Untung yakin.
Desakan pengunjung
membuat Siska dan Untung terpisahkan. Siska beberapa kali memanggil Untung. Saat
itu tas tak terlihat oleh Siska. Begitu terlihat, tas itu sudah diperebutkan
oleh beberapa perempuan.
“Untung kamu tu ya,
katanya mau beliin tas itu. Liat tu tasnya udah gak ada. Bukan untung malah
buntung!” teriak Siska dengan raut muka marah dan pergi meningalkan Untung
sendiri.
“Siska, tunggu Sis..!” teriak
Untung dengan keras mengejar Siska.
Di kampus, Untung dan
Bejo berusaha mencari-cari Siska. Pandangan mereka hanya tertuju ke halaman
kampus. Mereka terdiam saat melihat Siska berjalan dengan rambut terkibas angin
lewat.
“Siskaa..!” teriak
Untung dan Bejo bersamaan.
“Siska, siapa yang kamu
pilih pasti aku kan?” tanya Untung dengan percaya diri.
“Woo, ra kudu Siska
milih kuwe!” sahut Bejo dengan marah.
“Hemm, tak ada yang aku
pilih. Kalian buat aku sial dengan kebejoan dan keberuntungan kamu itu.
Sekarang aku sudah punya cowok baru, Slamet!” jawab Siska dengan menggandeng
cowok culun ingusan dan menjijikkan.
“Wah edyaan tenan ..mak
e!!” teriak Bejo dan Untung bersamaan sambil berpelukan. (*)
Nama
Penulis : Yuli Agustya Rahmawati
Asal
Sekolah :
SMAN 1 Tunjungan Blora Jawa Tengah
Judul : Mister Bejo dan Mister Untung
***********************************************************************
LORONG
BAYANGAN
Ratih
Dwi H
Suasana telah sunyi,
angin berhembus kencang menerbangkan daun kering melayang-layang. Menghirup
angin sejuk di bawah pohon memandangi semut merah bergotong royong membopong
seekor lalat yang tak berdaya, di bawah jajahan para semut yang bersatu.
“He.he.he..hebat juga
tuch semut,” gumamnya sambil terkagum-kagum memandangi barisan semut yang
berbaris.
Jilbab putih itu
terhembus angin bergelombang bagai awan putih yang mengepul di udara. Gadis
kalem itu melamun menikmati hembusan angin yang semakin kencang. Dengan headset
menutupi telinga mungilnya terdengar lagu-lagu semangat menemaninya. Tetap Semangat judul favorit Esa, nama
gadis berjilbab putih itu. Gadis yang duduk di bangku kelas X4. Gadis yang
sangat menyukai pelajaran Bahasa Indonesia, mempunyai keahlian dengan tangan
dan jemarinya memegang ballpoint menari-nari di atas kertas dengan lihai
menulis kata-kata mutiara.
Suara heningnya
terbuyarkan dengan kebisingan yang terdengar dari belakang gudang.
“Ya Allah!” kata Esa
tersentak kaget.
Langkah lambannya
dengan mata terbelalak meneropong pintu hitam bertuliskan gudang. Matanya
tersentak kaget, raut wajahnya seketika terlihat kemerah-merahan, terpancar
rasa senang yang menandakan penantian telah usai.
“Ternyata dia
benar-benar datang..,” kata Esa pelan, dengan mata tak henti-hentinya
memandangi bagian tubuh dari ujung rambut hingga ujung kaki. Hatinya serasa
kebun yang ditumbuhi 1000 macam bunga mawar. Cowok yang terus menghisap rokok
menikmati narkotika ringan yang berakibat ketergantungan yang sangat fatal itu,
menjadi pemandangan sepulang sekolah bagi Esa. Sudah dua minggu ini Esa, gadis
berjilbab itu selalu memperhatikan tingkah laku cowok bertampang garang itu. Cowok
itu telah memikat hatinya dan membuat hatinya menyimpan banyak pertanyaan. Matanya
terbelalak kaget, raut wajahnya seketika nampak panik, setelah cowok Mr.
Misterius (panggilan Esa kepada sang cowok) balik memandangnya.
“Heh!” katanya
tersentak kaget.
“Ya Allah dia..,” kata
Esa balikkan wajahnya dan menunduk dengan perasaan panik. Ia segera beranjak
pergi.
“Eh.eh..,” terdengar
alunan nafas Esa yang terengah-engah. Tiba-tiba tangannya terasa ada yang
menyentuhnya. Dada terasa sesak, jantung ingin sekali rasanya copot. Dengan
perasaan berdebar-debar, ia beranikan diri menoleh ke belakang.
“Mau kemana?” terdengar
suara seorang cowok dengan nada pelan.
Keringat dingin Esa
mulai bercucuran, raut wajah pucat mulai menghampirinya.
“Eee..mau pulang lah,” jawab
Esa terdengar gugup, tangannya tergetar ketakutan.
“Eh.. mau kemana?” tanya
Esa saat tangannya ditarik cowok itu dan dibawa ke bawah pohon.
“Apa maumu?” tanya
cowok itu dengan pandangan tajam ke arah wajah Esa.
Seketika Esa menjadi
panik dan wajahnya pucat pasi. Pandangan tajam itu membuat Esa salah tingkah.
“Mau ku..,?” kata Esa
mencoba tegas.
“Ya maumu!” jawabnya
dengan nada tegas pula.
“Mauku jadi pacarmu!” kata-kata
pengakuan itu meluncur begitu saja dari mulut Esa yang terdengar gemetar.
Terlihat cowok itu hanya
cengar-cengir dengan wajah seperti menahan tawa.
“Okey kita pacaran!” jawab
singkat si cowok dan langsung pergi meninggalkan Esa yang berdiri menahan malu.
Ucapan tadi benar-benar tak diduganya. Ia masih belum percaya telah
mengucapkannya. Aliran darahnya tepat di ujung kepala ingin rasanya meluncur
keluar dari jantung. Nafasnya yang tiba-tiba sesak membuatnya susah berbicara,
terasa berat untuk mengucap, merah pipinya menggambarkan rasa senang yang
menggebu-gebu.
“Pa..ca..ran..” kata
Esa pelan tak pecaya.
“Hey! Tunggu!” kata Esa
berlari mengejar pacar barunya yang tak tahu entah siapa sebenarnya.
“Heh! Kita kan sudah
pacaran, jadi aku perlu tau siapa namamu,” katanya terdengar senang. Mimik
wajahnya yang merah dan senyum bibir itu membuat semakin cerah sore ini.
“Ben!” jawabnya singkat
cuek dan ketus.
“Ben, oh..enaknya aku
pangil kamu apa ya? Sayang, baby, pipi, papa atau abi ya?” jawab Esa nerocos
tak henti-henti.
“Terserah. Sekarang
kamu pulang!” jawab cowok lengkap Ben Kevano Save King itu sambil memegang
jemari Esa. Esa mengangguk pelan, mengikuti apa kata Ben, serasa dihipnotis.
Matahari telah
tersenyum. Embun-embun sisa hujan semalam masih tampak di ujung daun. Wajah
berseri-seri itu menambah pagi hari menjadi lebih cerah. Burung-burung berkicau ria, kuncup-kuncup
sore telah mekar di pagi yang indah seakan menyambut datangnya sang surya.
“Mah, Esa berangkat,” sapa
Esa beranjak keluar menghampiri sepedanya yang sudah terpampang tepat di depan
pintu gerbang.
“Hati-hati sayang,” terdengar
suara lembut seorang wanita yang amat disayangi gadis riang itu.
Beberapa hari ini perilaku
Esa begitu aneh. Ia sering berbicara sendiri, melambai-lambaikan tangannya
sendiri, kadang malah tertawa terbahak-bahak sendiri.
“Kalian lihat kan, Esa
sudah beberapa hari ini terlihat sangat aneh,” kata siswa lain sambil melihat
Esa yang duduk di bawah pohon dekat gudang belakang, sedang makan sendiri.
“Emm..gila kalik,” jawab
siswa lain membenarkan.
Semua siswa lain telah
pulang ke rumah bertemu dengan ayah ibu. Berbeda dengan Esa yang masih duduk
manis tersender di bawah pohon dengan wajah kumel dan kusut.
“Ya ampun tumben dia
telat,” gerutu Esa sambil melihat jam tangan yang melingkar di tangan kirinya.
Matahari telah terlihat
terbenam mega-mega merah di ujung barat. Suara kumandang telah terdengar
menandakan masuk waktunya sholat maghrib.
“Ehh..” terdengar
desahan Esa bangun dari tidurnya karena terlalu lama menunggu.
“Emmhh..maghrib. Ya
Allah!” kata Esa melihat cahaya terang telah menjadi gelap gulita. Dengan wajah
masih mengantuk Esa terburu-buru mengemasi buku dan tasnya untuk segera pulang.
“Apa dia benar-benar
tidak datang?” tanya Esa meletakkan tasnya dalam keranjang sepeda.
Matanya terus mencari
di sudut-dudut, mencari sesosok cowok jabrik bernama Ben. Esa merasa kecewa.
Wajah kusam itu tertunduk tertekuk-tekuk berjalan menuntun sepedanya keluar
sekolahan yang sepi bagai kuburan.
“Mau pulang?” terdengar
suara laki-laki dari belakang.
“Iyalah, orang udah
malem,” jawab Es terdengar tersenggak-senggak manahan tangis. Matanya sayu
berubah cerah saat melihat cowok yang berdiri di belakanganya.
“Kamu gak mau nunggu
aku?” jawab Ben mengulurkan tangan kanannya.
Esa benar-benar kaget mengetahui
datangnya Ben. Air matanya semakin deras terharu. Tanpa berpikir panjang ia
langsung menjatuhkan sepedanya dan menghampiri uluran tangan cowok yang ia
cintai itu.
Di setiap jalan,
percakapan dan tawa tak henti-hentinya terdengar. Candaan-candaan kecil mampu
merubah wajah kusam itu. Malam itu terasa benar-benar indah bagi Esa.
Pagi telah datang
kembali. Hari begitu cepat berputar. Saatnya ketemu kata hati Esa sambil
menuntun sepedanya ke bawah pohon langganannya. Hari-hari terukir manis. Hidup
sepinya sekarang berubah penuh dengan tawa dan senyuman manis di setiap
detiknya. Sudah dua bulan ini Esa dan Ben berpacaran. Tetapi ada satu hal yang
membuat Esa benar-benar penasaran.
“Pingin banget dech
ketemu dia waktu sekolah, bukan setiap pulang sekolah,” katanya pelan.
“Samperin ke kelasnya
ah!” kata Esa berjalan menuju kelas XII IS3.
Dengan senyuman lebar,
langkahnya pasti bertujuan bertemu dengan cowok terbaiknya. Rasanya deg-degan
saat mengintip dari depan kelas.
“Cari siapa?” sapa
seorang kakak kelas menghampiri Esa.
“Emm, maaf bisa
dipanggilin yang namanya Ben?” kata Esa sambil menengok ke dalam kelas.
“Di sini gak ada yang
namanya Ben!” jawab kakak kelas itu ketus.
Esa tak percaya. Dengan
teguh Esa menyodorkan HP dan menunjukkan fotonya bersama Ben.
“Mana?” tanya kakak
kelas itu mengeluh.
“Ini fotonya kak!” kata
Esa kesal sambil menunjuk layar HP yang ternyata hanya ada fotonya sendiri.
Padahal ia ingat jelas bahwa fotonya saat itu bersama Ben.
“Dasar ngawur!” sentak
kakak kelas itu meninggalkan Esa di depan kelas.
Esa meninggalkan kelas
itu dengan langkah bergelantungan, pikiran buyar. Ia masih belum benar-benar
percaya.
“Hai!” sapa seorang
kakak kelas cewek menghampirinya.
“Iya.,” jawab Esa
singkat.
“Kamu cari Ben ya?” tanya
kakak kelas itu memperlihatkan foto Ben bersama teman-temannya.
“Iya, ini Ben kan kak?”
tanya Esa tersenyum.
Semuanya menjadi jelas
setelah Esa mendengar cerita kakak kelas cewek itu. Siapa Ben sebenarnya terungkap.
Cowok impiannya itu ternyata telah pergi. Pergi meninggalkannya untuk selamanya.
Ben telah meninggal setengah tahun lalu. (*)
Nama
Penulis : Ratih Dwi H
Asal
Sekolah :
SMAN 1 Tunjungan Blora Jawa Tengah
Judul : Lorong Bayangan
*****************************************************************************
DONGENG
AYAH
Bernadette
Diandra Antariksa
“Pluk!” kulihat orang
itu membuang sampah di kali.
“Papa,” kataku.
“Mengapa kita tidak
boleh membuang sampah di kali?”
“Anakku akan
kuceritakan sesuatu padamu. Dahulu kala terdapat sungai Sobek yang indah.
Tetapi sungai itu sering banjir. Nah, Tong dan Sampah ingin mengetahui
penyebabnya lalu mereka mendirikan pos jaga di delta sungai.”
Tiap malam Tong dengan
setia mengawasi sungai itu dan pada siang harinya ganti Sampah menunggu dengan
setia. Akhirnya setelah dua tahun melakukan observasi mereka mendapatkan
kesimpulan bahwa sampah yang dibuang penduduk desa Kotor telah memblokir arus
sungai dan membendung air. Setelah beberapa waktu bendungan itu pun tidak sanggup
lagi menampung air sungai tersebut. Alhasil air meluap yang menyebabkan banjir dan
longsor.
Informasi ini segera
dilaporkan oleh Tong dan Sampah kepada penduduk desa Kotor. Di luar dugaan
ternyata para penduduk mau menerima laporan dari dua bersaudara Tong dan
Sampah. Setelah dua hari saja mereka berdua mulai melihat perubahan yang
signifikan, yaitu penduduk desa Kotor tidak lagi membuang sampah di sungai
Sobek melainkan di belakang rumah mereka.
“Nah begitulah
seharusnya,” kata Tong kepada Sampah dengan bangga.
Tetapi kebahagiaan bersaudara
Tong dan Sampah tidak bertahan lama. Selang beberapa minggu penduduk desa Kotor
mulai mengeluhkan bahwa sampah yang sekarang mereka kumpulkan di belakang rumah
mereka mulai mengeluarkan bau kurang sedap. Kembali para penduduk desa Kotor
membuang sampah di sungai.
Bersaudara Tong dan
Sampah pun menjadi sedih. Mereka mencoba menghibur diri mereka dengan menonton
pertandingan sepak bola. Kebetulan tim yang bermain merupakan favorit mereka, yaitu
Rajawali. Setelah lima menit bertanding Rajawali mencetak gol.
“Aha! Aku punya ide!” kata
Tong sekonyong-konyong.
Ternyata ide Tong
adalah membuat tempat sampah dari jaring-jaring. Ia mendapatkan ide itu ketika
Rajawali mencetak gol. Jaring-jaring dalam gawang dapat menahan bola agar bola
itu tidak pergi melayang ke arah penonton.
“Ide bagus itu, Tong!” kata
Sampah.
Mereka lalu pergi ke
pasar untuk membeli tali yang lumayan panjang.
“Untuk apa kau membeli
tali sebanyak itu Tong?” tanya para penduduk desa.
“Untuk membuat tempat
penampungan sampah,” kata Tong dengan mata berbinar-binar karena telah
menemukan gagasan tersebut.
“Hahaha..kau sedang
bergurau ya?” tanya penduduk desa.
Tong dan Sampah tidak
mendengar mereka karena mereka telah berlari menuju rumah mereka untuk memulai
membuat tempat penampungan sampah pertama di dunia.
Bertahun-tahun mereka
merantau mencoba untuk belajar bagaimana caranya mengikat simpul yang benar
agar dapat mengubah wujud tali menjadi jaring-jaring. Berkali-kali mereka
mencoba dan berkali-kali juga mereka gagal. Tetapi mereka tidak pernah lelah
ataupun bosan karena mereka rela melakukan demi desa mereka yang tercinta.
Akhirnya mereka berhasil membuat jaring-jaring yang kuat dan bagus kualitasnya.
Namun mereka tetap belum tahu bagaimana caranya agar dapat membuat kerangka
kayu yang bagus. Lagi-lagi mereka merantau ke tempat di mana seluruh pekerja
kayu terbaik berada. Mereka kembali mencoba belajar dan gagal, tetapi mereka
tidak pernah patah semangat karena mereka telah bersikukuh bahwa mereka akan
mengabdi kepada desa tempat mereka dilahirkan. Mereka telah berbulat tekad
untuk mengubah nama desa Kotor menjadi desa Bersih.
Akhirnya mereka
berhasil, dengan bekerja keras mampu menggabungkan kerangka kayu mereka dengan
jaring-jaring. Setelah tempat penampungan itu selesai dibuat, mereka
prensentasikan hasil jerih payahnya selama bertahun-tahun kepada penduduk desa
Kotor. Mereka melihat dengan kagum, lupa bahwa mereka dulu mengolok-olok
gagasan tersebut.
“Wow, apa itu?” tanya
penduduk desa dengan kagum.
“Oh ini. Ini adalah
tempat penampungan sampah. Setiap keluarga akan mendapatkan satu!” jawab Smpah
dengan bersemangat.
“Kami sudah memberikan
semua tempat sampah ini kepada Kepala Desa. Silakan diambil ya!” kata Tong
menjelaskan lebih lanjut.
“Oh begitu. Yuk kita ke
rumah Kepala Desa!” seru penduduk desa. Alangkah senangnya Tong dan Sampah.
Hasil kerja mereka ternyata tidak sia-sia.
Satu minggu berlalu dan
tampaknya semua penduduk bahagia. Mereka bahkan sepakat untuk bergotong-royong
membersihkan sampah dari sungai. Terlihat dengan jelas bahwa sungai Sobek tidak
lagi berwarna coklat melainkan biru bersih.
“Aku bangga kepada desa
ini Tong, karena mereka mau menerima gagasan kita dengan tangan terbuka,” kata
Sampah.
Dua minggu berlalu
ketika tiba-tiba sekelompok penduduk desa datang ke rumah Tong dan Sampah.
Mereka membawa tempat penampungan sampah mereka.
“Apa-apaan ini?” tanya
Tong bingung
“Barang ini tidak
berguna sama sekali!” kata penduduk desa marah. Merekapun kemudian membuang
jaring sampah mereka, lalu membakarnya.
“Kenapa kalian
melakukan ini? Tahukah kalian, bahwa kami menghabiskan lima tahun untuk belajar
membuat ini!” kata Sampah dengan nada kecewa.
“Jaring-jaring dalam
tempat sampah ini terlalu besar lubangnya, sehingga sampah-sampah kecil tidak
dapat ditampung!” jawab penduduk desa.
“Tetapi ini adalah
jaring-jaring terkecil yang bisa dibuat!” bantah Tong.
“Kalau begitu kami
tidak mau memakai tempat sampah rosokan ini!” balas penduduk desa dengan marah.
Seketika hancurlah
impian Tong dan Sampah. Semua yang mereka lakukan ternyata sia-sia.
Satu minggu kemudian
semua penduduk desa Kotor membuang tempat sampah mereka karena mengalami
peristiwa yang sama dengan kelompok penduduk desa yang membakar tempat sampah
meraka.
Berminggu-minggu Tong
dan Sampah mengasingkan diri, mereka tidak mau menemui siapapun. Penduduk desa
akhirnya merasa bersalah. Merekapun bersama-sama ke rumah Tong dan Sampah.
Mereka terkejut ketika menemukan mereka berdua ternyata jatuh sakit. Tong dan
Sampah sampai tidak makan karena merasa sedih dan dihinggapi perasaan bahwa mereka
telah mengecewakan penduduk desa Kotor.
Dengan cemas para
penduduk membawa Tong dan Sampah ke tabib Lin Yun yang terkenal. Selama
berminggu-minggu penduduk desa Kotor bergantian menunggui kedua bersaudara itu.
Tiap hari para penduduk bergantian membawa selimut, handuk, bunga dan berbagai
macam barang lain. Akhirnya Tong dan Sampah siuman.
“Syukurlah! Kami semua
merasa kasihan terhadap kalian,” kata Kepala Desa.
“Kalian tidak perlu
merasa kasihan kepada kami,” balas Tong.
Ternyata setelah Tong
dan Sampah siuman, penduduk desa tetap setia menjenguk Tong dan Sampah.
Setelah beberapa hari
mereka berdua diperbolehkan untuk pulang. Namun sebelum pulang, tabib Lin Yun
menumbuk obat yang harus diminum oleh Tong dan Sampah.
“Aha! Aku dapat ide.
Melihat serbuk obat tetap di dalam mangkok, kita dapat membuat tempat sampah
berbentuk mangkok raksasa,” kata Sampah.
“O, ide cemerlang!” kata
Tong sambil berjingkrak-jingkrak di atas kasur.
“Hai turun. Kalian berdua
duduk. Kalian belum sembuh total!” kata tabib Lin Yun.
Tong dan Sampah dengan
sedikit malu kembali duduk.
Tabib Lin Yun
memberikan obat kepada Tong dan Sampah. Setelah itu merekapun pulang ke rumah
setelah menyampaikan terimakasih kepada tabib Lin Yun.
Sampai rumah Tong dan
Sampah segera mengambil gergaji lalu berangkat menuju hutan. Mereka hendak
memotong kayu. Seorang tukang kayu dari desa melihat mereka dan merasa iba.
“Kalian tidak usah
memotong kayu, biar saya saja. Kalian pulang dan istirahatlah,” kata tukang
kayu kepada mereka.
Keesokan harinya tukang
kayu datang ke rumah Tong dan Sampah membawa potongan-potongan kayu dan berkata
kepada mereka, “Saya tidak akan memberi potongan-potongan kayu ini jika kalian
belum berjanji kepada saya bahwa tidak akan memegang kayu ini hingga sembuh
total!”
Terpaksa Tong dan
Sampah harus bersumpah kepada tukang kayu itu bahwa mereka tidak akan
mempergunakan kayu tersebut sebelum mereka sembuh dari penyakit yang kini
mereka derita. Sialnya, tukang kayu itu berjanji akan menjenguk mereka. Selama
beberapa hari ke depan tukang kayu dengan setia menunggui mereka. Tong dan
Sampah tidak bisa mengerjakan niatnya membuat tempat sampah dari kayu itu.
Setelah beberapa lama, mereka pun sembuh, sehingga mereka dapat memulai
pekerjaan yang tertunda lama.
Dengan senang Tong dan
Sampah mengemasi pakaian mereka. Ternyata mereka hendak pergi lagi untuk
mempelajari cara memahat tempat penampungan sampah tersebut. Mereka pergi ke
berbagai kota bahkan negara-negara lain. Mereka menemui berbagai pemahat kayu
yang sangat terkenal. Mereka pun melalui masa yang sudah tidak terasa asing lagi.
Ya mereka melalui masa percobaan saat mereka harus berusaha dengan keras untuk
mencapai keinginan mereka. Juga saat mereka mengalami kegagalan. Bulir-bulir
keringat berjatuhan dari dahi Tong dan Sampah. Mereka merasa capai, lelah dan
kapanasan. Namun mereka telah bertekad untuk tidak menyerah sebelum mereka
berhasil. Akhirnya mereka berhasil membuat tempat penampungan sampah berupa
mangkuk besar.
“Akhirnya selesai juga,”
kata Sampah sambil mengelap keringat di dahinya. Mereka kembali ke desa Kotor
dan menuju rumah mereka untuk istirahat.
Keesokan harinya mereka
bersiap-siap menyampaikan hasil karyanya kepada penduduk desa. Sempat terbersit
keraguan saat mengingat keranjang sampah kreasinya terdahulu yang dibuang
penduduk desa.
“Kali ini pasti berhasil,”
kata Tong meyakinkan diri.
Beberapa minggu
kemudian mereka melihat adanya perubahan. Sungai Sobek tidak lagi berwarna
coklat. Sampah tidak lagi dijumpai di sudut-sudut desa. Namun kemudian, ada
keluhan dari penduduk. Tempat penampungan sampah itu tidak ada tutupnya, sering
tertiup angin dan berhamburan isinya.
Tong dan Sampah pergi
ke hutan untuk mencari kayu. Mereka berusaha membuat tutup penampungan sampah
itu. Perlu waktu lama sehingga mereka berhasil membuat tutup penampungan sampah
sesuai yang diinginkan. Setelah jadi tutup penampung sampah itu dibagi-bagi
kepada penduduk desa.
Berminggu-minggu telah
berlalu dan tidak ada masalah muncul. Berbulan-bulan kemudian penduduk desa
datang ke rumah Tong dan Sampah membawa kabar yang baik.
“Kami telah
menyimpulkan bahwa tempat sampah buatan kalian telah memenuhi standar kami.
Karena itu kami ingin berterimakasih,” kata Kepala Desa.
“Oh kami sungguh
senang!” kata Tong. Mereka merasa sangat bahagia, usahanya yang tidak kenal lelah selama ini diterima penduduk
desa.
Sebagai bentuk rasa
terimakasih penduduk desa Kotor kepada Tong dan Sampah, mereka menamai tempat
penampungan sampah itu dengan Tong Sampah. Sejak adanya tong sampah itu, desa
Kotor tidak lagi kotor. Sungai menjadi bersih. Jalanan juga tampak bersih
tertata rapi. Mereka mengubah nama desa Kotor menjadi desa Bersih sesuai
harapan Tong dan Sampah, pahlawan mereka.
Ayah menyudahi
ceritanya. Sekarang aku jadi mengerti mengapa tidak boleh sembarangan membuang
sampah. (*)
Nama
Penulis : Bernadette Diandra
Antariksa
Asal
Sekolah :
SMP Dyatmika Denpasar Bali
Judul : Dongeng Ayah
*******************************************************************************
GARA-GARA
KALENG
Aini
Nur Rahmah
Di pagi yang cerah nan
terik, sang mentaripun mulai menebarkan senyuman khasnya yang menyengat kulit.
Segelas susu hangat telah habis diteguk oleh Anya. Ia telah siap berangkat
sekolah di hari pertamanya. Ia berjalan menuju gang tikus untuk menunggu bus.
Bus putih berhenti di
hadapan Anya. Ia segera naik, bus melaju cepat di jalan aspal hitam legam. Di
dalam bus yang penuh penumpang, Anya terpaksa berdiri. Sampai depan SMA Harapan
Bangsa, Anya berteriak “Kiri stop!”.
Teriakan keras itu
membuat kaget penumpang lain dan menengok kepadanya. Anya hanya cengar-cengir
saja, kemudian melompat turun. Anya tergesa-gesa setelah melirik jam tangannya.
Dengan nafas yang tak beraturan dan keringat bercucuran, ia menuju kelas dan ingin
segera masuk. Jam pertama adalah pelajaran matematika dari Pak Kumis yang
katanya sangat killer. Sebelumnya ia mengintip lewat jendela. Ternyata Pak
Kumis tidak ada. Anya melompat girang, tanpa disadari ada yang mengawasi.
Dengan deheman khas dan keras, Anya dibuat sangat kaget. Ternyata Pak Kumis
sudah berada di belakangnya. Anya langsung terdiam, hatinya mengkeret, tubuh
agak gemetar harus berhadapan dengan guru killer.
“Zevanya Ardinda!” teriak
Pak Kumis.
“I..Iya Pak,” jawab
Anya dengan suara lirih dan kepala tertunduk.
“Berdiri sampai jam
pelajaran saya habis!” perintah Pak Kumis.
Dengan lesu, Anya
berdiri di depan kelas. Teriakan teman-temanya pun tak dihiraukannya. “Mimpi
apa semalam,” kata Anya lirih. Setelah jam pelajaran Pak Kumis selesai, ia kembali
ke tempat duduknya. Hari itu jam pelajaran di sekolah terasa sangat lama oleh
Anya.
Akhirnya bel tanda usai
sekolah bordering nyaring. Anya dan teman-temannya keluar dari kelas dan
berpisah di depan gerbang sekolah. Sengatan matahari yang menyayat kulit
membuat hati Anya semakin dongkol, gara-gara kena marah oleh Pak Kumis tadi
pagi. Di pinggir jalan Anya melihat kaleng bekas soft drink di depannya. Tanpa
pikir panjang ia langsung menendangnya.
“Pletak!” tanpa sengaja
kaleng itu melayang mengenai kepala anak laki-laki di depannya.
“Woi, siapa yang
melempar kaleng ini ke kepalaku?” tanya anak laki-laki itu. Anya pura-pura
tidak tahu dan segera naik bus tujuan ke rumahnya.
Sampai di rumah, Anya
menceritakan kejadian-kejadian pagi tadi kepada abangnya. Begitu mendengar
cerita Anya, abangnya langsung tertawa. “Nya..Nya.. ngidam apa mama waktu hamil
kamu!” kata abangnya. “Tidak tahu bang!” jawab Anya singkat. Diapun langsung
pergi dari hadapan abangnya.
Esok harinya, seperti
biasa mentari memancarkan sinarnya yang cerah, secerah hati Anya saat itu. Ia
menyusuri jalan setapak menuju ujung gang tikus untuk menunggu bus. Bus biru
berhenti di depannya, Anya langung naik. Di dalam bus, tanpa sengaja ia bertemu
dengan anak laki-laki yang kepalanya ketimpuk kaleng yang ditendangnya kemarin.
“Kamu yang melempar
kaleng ke kepalaku kemarin kan?” tanya anak laki-laki itu membuka pembicaraan.
“Enak saja kamu bicara!
Kenapa kamu menuduh aku yang melempar?” balas Anya.
“Kamu kan yang duduk di
belakangku. Sementara yang di belakangku kemarin hanya ada kamu dan kucing.”
“Tahu dari mana kamu
kalau hanya aku dan kucing?”
“Aku kan ingat waktu
itu. Yang benar saja, masak yang melempar kaleng itu kucing?”
“Bisa saja kan!”
Debat antara dua anak
SMA itu semakin memanas. Sampai-sampai orang-orang di dalam bus ngeri sendiri.
Adu mulut itu baru selesai saat bus sampai di depan SMA Harapan Bangsa. Anya
langsung turun tanpa menghiraukan anak laki-laki yang tidak terima kepalanya
tertimpuk kaleng.
Pelajaran dimulai, Anya
tidak dapat berpikir jernih. Karena perutnya keroncongan setelah adu mulut
dengan laki-laki di dalam bus. Rasanya Anya ingin menonjok anak itu. Tiba-tiba
Anya dikagetkan oleh pengumuman melalui speaker sekolah : “ Zevanya Ardinda dan Raditya dimohon segera
menuju ke kantor, terima kasih .“
Anya tersentak dari
lamunan. Ia segera minta ijin guru kelas menuju kantor sekolah. Sampai di
kantor sekolah, Anya bertemu lagi dengan anak laki-laki yang kepalanya
tertimpuk kaleng.
“Kamu lagi, kamu lagi!”
kata Raditya dan Anya hampir bersamaan.
“Mau apa kamu?” tanya
Anya.
“Aku dipanggil ke sini.
Kamu mau apa?” kata Raditya balik bertanya.
“Oh, jadi kamu yang
namanya Raditya?” tanya Anya.
Tiba-tiba datang bu
Irma guru bahasa Indonesia, yang langsung menghampiri mereka berdua. “Sudah,
sudah debatnya,” kata bu Irma. Anya dan Raditya pun terdiam.
“Anya dan Radit, kalian
ikut lomba debat bahasa Indonesia ya! Tadi ibu lihat kalian berdebat di bus
sepertinya sangat kompak,” kata bu Irma.
“Saya dan Radit, bu?”,
tanya Anya.
“Iya, kamu dan Radit”,
jawab bu Irma.
“Maaf bu, saya tidak
mau dengan Radit”.
“Yee.., memangnya yang
mau dengan kamu juga siapa?!” sahut Raditya.
“Pokoknya Anya dan kamu
Radit harus ikut. Nanti saya yang akan bimbing. Kalian berdua harus menjadi tim
yang solid”.
“Satu tim bu?!”, tanya
Anya dan Radit bersamaan.
“Wah kompak sekali
kalian berdua. Bagus, bagus. Saya suka itu”, kata bu Irma.
Lalu Anya dan Raditya
kembali ke kelas masing-masing. Anyapun segera masuk ke kelas. Saking
dongkolnya ia dengan Raditya, sampai-samoai ia tak menghiraukannya. Radityapun
demikian, ia masih belum rela kalau Anya belum mengaku dan minta maaf.
Sepulang sekolah Anya
tidak langsung pulang, melainkan harus mengikuti latihan untuk persiapan debat
bahasa Indonesia. Ia tidak begitu semangat mengikuti latihan tersebut karena ia
harus dipertemukan dengan Raditya.
Sasampainya di
perpustakaan untuk latihan debat bahasa Indonesia ternyata bu Irma dan Raditya
sudah menunggunya. Anya langsung bergabung untuk latihan debat. Walaupun agak
tidak setuju, namun Anya mengikuti juga.
Sepulang latihan debat,
Anya langsung menuju depan gerbang untuk menunggu bus. Raditya ternyata juga menunggu bus.
Namun jarak antara Anya dan Raditya berdiri agak jauh untuk menghindari adanya
adu mulut lagi. Bus berhenti di depan SMA Harapan Bangsa. Raditya langsung
naik, sedangkan Anya enggan naik karena ia enggan satu bus bersama Raditya.
“Kamu nggak pulang
Nya?” tanya Raditya.
“Nanti saja menunggu bus lain. Aku malas pulang
bareng kamu,” jawab Anya.
“Ini bus terakhir lho,
Nya!” kata Raditya.
“Iya neng, ini bus
terakhir, saya sopirnya. Ayo naik neng!” sahut sopir bus.
“Ya sudah jalan kaki
saja kalau begitu”, kata Anya.
Raditya turun dari bus
dan menggandeng tangan Anya agar naik ke dalam bus. Anya tersentak kaget. Namun
ia mengikuti Raditya naik bus. Mereka duduk di kursi paling belakang.
“Aku di pojok”, kata
Anya. Raditya menurut, jadi ia duduk di pinggir. Bus melaju dengan kecepatan
penuh. Anya dan Raditya tidak banyak bicara di dalam bus.
“Pak gang tikus!”,
teriak Anya dari belakang. Bus berhenti di depan gang tikus.
“Tidak jadi pak, nanti
turun di perempatan depan saja!” teriak Raditya dengan keras.
“Eh kamu apa-apaan sih,
aku kan mau turun! Awas kaki!” kata Anya.
Raditya hanya diam dan
membiarkan kakinya terjulur ke depan agar Anya tidak dapat lewat.
“Salah sendiri duduk di
pojok. He.he..” kata Raditya sambil tertawa penuh kemenangan.
Anya marah, namun hanya
dapat diam tak dapat berbuat apa-apa ketika bus itu kembali melaju kencang.
“Bang kiri!” teriak
Raditya. Bus berhenti di perempatan jalan. Raditya turun dan menggandeng tangan
Anya. Anya diam saja saking kesalnya kepada Raditya.
“Lepaskan, aku mau
pulang!” kata Anya.
“Nggak! Sebelum kamu
mengaku kalau kamu yang nimpuk kepalaku dengan kaleng kemarin”, jawab Raditya mengancam.
“Aku nggak akan mengaku
sampai kapanpun”, Anya berontak.
“Ya sudah kalau begitu,
aku nggak akan melepaskan tanganmu” kata Raditya.
Raditya tetap
menggandeng tangan Anya hingga berhenti di depan sebuah rumah yang cukup luas
halamannya.
“Siapa itu Dit?” tanya
seorang wanita paruh baya yang sedang duduk di halaman.
“Cewek Radit, mi!”
jawab Raditya.
“Enak saja kamu
ngomong! Tidak tante, saya temannya Radit”, jawab Anya sambil mencubit pinggang
Raditya.
“Auw..!” teriak
Raditya.
“Ya sudah, kalian makan
siang saja dulu”, kata ibunya Raditya.
“Makasih tante, jadi
merepotkan”, jawab Anya.
Raditya mengajak Anya
ke ruang makan untuk makan siang. Setelah mengeluarkan sepedanya, Raditya
mengantar Anya pulang ke rumahnya. Anya masih dengan bibir manyun, hanya
mengikuti kemauan Raditya.
“Stop..Stop!” teriak
Anya.
“Ini rumah kamu?” tanya
Raditya.
“Iya, sudah ya, ” jawab
Anya sewot. Raditya langsung pulang tanpa menghiraukan ocehan Anya. Ia hanya
senyum-senyum melihat Anya yang bibirnya masih manyun.
Esok harinya, Minggu
hari libur, setelah mandi Anya langsung memanjat pohon untuk berjemur. Tingkah
Anya cukup membuat keluarganya geleng-geleng kepala. Tak berapa lama datang
seorang laki-laki dengan tas di punggungnya mengayuh sepeda berhenti di halaman
rumah Anya. Anak itu Raditya yang akan menghampiri Anya.
“Bang, Anya ada?” tanya
Raditya.
“Oh ada, ayo masuk!”
ajak abangnya Anya.
Setelah menyilakan
Raditya, abangnya berteriak kepada Anya, “Nya, turun!”.
“Sebentar bang, sedang
asyik di atas!” jawab Anya .
“Kamu dicari teman kamu,
itu di bawah!” kata abangnya.
Anya turun dengan wajah
heran. Anya merasa tidak punya janjian dengan temannya.
“Eh kamu Dit, ngapain
ke rumah?” tanya Anya.
“Sekarang kita latihan
lomba debat, kamu lupa ya?” jawab Raditya.
“Oh iya, sebentar aku
ganti baju dulu,” kata Anya.
Tidak butuh waktu lama,
Anya sudah siap. Dia membawa sepeda milik kakaknya. Sampai sekolah mereka
menaruh sepedanya di tempat parkir pojok sekolah.
Suasana sekolah sepi,
karena hari itu libur. Mereka dapat berkonsentrasi penuh berlatih debat. Anya
dan Raditya harus dapat bekerja sama dengan kompak untuk lomba besok. Setelah
dirasa cukup, mereka sudahi latihan terakhir itu dan pulang ke rumah
masing-masing.
Malamnya, Anya tidak
dapat tidur. Gelisah memikirkan lomba besok pagi. Untuk mengurangi gelisah,
Anya membuka kembali catatan-catatan kecilnya. Dari catatan itu Anya mendapatkan
pemahaman bahwa untuk meraih cita-cita, seseorang harus belajar dan bekerja
keras. Tak terasa Anyapun tertidur setelah lelah membuka catatan-catatan itu.
Pagi hari, dengan penuh
percaya diri Anya pamitan kepada orang tuanya untuk mengikuti lomba. Mobil yang
membawa peserta lomba dari SMA Harapan Bangsa telah menunggu di depan rumah
Anya. Ia segera masuk ke dalam mobil.
Perlombaan debat pagi
itu berlangsung dengan seru. Masing-masing peserta menampilkan kemampuan
maksimal mereka. Raditya dan Anya juga tampil maksimal pagi itu. Mereka merasa
lega setelah selesai mengikuti lomba itu. Tinggal waktunya untuk menunggu
pengumuman pemenang lomba debat.
“Dit, maafin aku ya.
Dulu aku yang nimpuk kaleng ke kepala kamu,” kata Anya sambil menunduk saat
menunggu pengumuman hasil lomba.
“Ehm, nggak apa-apa
kok, toh yang nimpuk kan kucing bukan kamu,” jawab Raditya dengan mimik lucu.
“Kita damai kan?” tanya
Anya agak takut.
Raditya mengangguk dan
mengedipkan mata tanda setuju. Ketika hasil lomba diumumkan ternyata juara 2
dan 3 dari SMA lain. Saat itu Anya sudah tidak punya harapan menang. Namun begitu
mereka hendak meninggalkan ruangan itu, ternyata nama Raditya dan Anya disebut
sebagai pemenang lomba debat. Mereka meraih juara 1. Raditya dan Anya melompat
girang mendengar pengumaman yang tidak diduga itu. Tanpa sengaja mereka
bergandengan ke panggung untuk mendapatkan piala juara pertama dengan senyum
lebar. (*)
Nama
Penulis : Aini Nur Rahmah
Asal
Sekolah :
SMAN 1 Tunjungan Blora Jawa Tengah
Judul : Gara-Gara Kaleng
********************************************************************************
PESAN
PAK GURU
Darali
Noya Kireina Mahardika
Suasana di kelas 7E
begitu riuh rendah dengan suara murid-murid di dalamnya. Pak Rahim menegur
beberapa murid agar tenang saat mengikuti pelajaran. Setelah tenang, pak Rahim
melanjutkan pelajarannya. Meskipun tegas, namun pak Rahim adalah guru yang
sangat dekat dengan murid-muridnya.
“Siapa yang bisa
menjelaskan tentang perbedaan antara arteri dan vena?” tanya pak Rahim.
“Saya pak!” jawab Fadli
Haikal.
“Jelaskan Fadli!” jawab
pak Rahim.
“Arteri mengangkut
darah yang mengandung oksigen. Sedangkan vena mengangkut darah yang mengandung
karbon dioksida,” jawab Fadli dengan mantap.
Pak Rahim membenarkan
jawaban Fadli. Pak Rahim kemudian memberikan tambahan 1 poin ke daftar nilai
Fadli. Dalam hati pak Rahim terbersit rasa bangga kepada Fadli, namun juga
heran bagaimana murid yang sering bergurau di kelas mampu mengikuti pelajaran
dengan baik.
Hari berlalu, tak
terasa ujian telah hampir datang. Pak Rahim memanggil Fadli untuk menghadap
saat jam istirahat.
“Ada kepentingan apa
bapak memanggil saya?” tanya Fadli kepada guru idolanya itu.
“Minggu depan, mungkin
bapak tidak mengajar lagi di sini lagi,” kata pak Rahim.
“Tetapi mengapa
mendadak sekali pak. Apa bapak sudah tidak betah dengan ulah teman-teman di kelas?” tanya Fadli sambil menatap pak
Rahim yang semakin hari wajahnya tampak semakin pucat.
“Tidak Fadli. Bapak
hanya merasa sudah waktunya untuk bapak meluangkan waktu seutuhnya untuk
keluarga. Ini saatnya bapak untuk pensiun,”jawab pak Rahim sambil tersenyum.
“Tetapi kami masih
membutuhkan bimbingan bapak. Dua minggu lagi kami menempuh ujian akhir semester,”
kata Fadli dengan wajah memelas.
“Tenang Fadli. Kita
masih bisa berkomunikasi dengan surat. Itu hobimu kan?” tanya pak Rahim.
“Iya pak, tapi..”
“Tenang saja. Bapak
akan selalu mendoakanmu dan teman-tamanmu. Tetap semangat ya belajarnya,”
nasehat pak Rahim kepada Fadli.
“Terimakasih pak,” ujar
Fadli pelan.
Tiga bulan telah
berlalu. Fadli melalui hari-hari itu dengan penuh kerinduan kepada pak Rahim.
Tidak lupa ia selalu mengirim dan membalas surat dari pak Rahim. Suatu hari
dalam suratnya, Fadli mengundang pak Rahim datang ke rumahnya. Dia ingin
mengajak pak Rahim datang di acara syukuran, karena Fadli meraih peringkat satu
di kelasnya. Beberapa hari kemudian surat dari pak Rahim datang yang menjawab
bahwa pak Rahim akan datang dalam acara tersebut.
Hari itu cuaca begitu
gelap. Hujan disertai petir membuat hari itu terasa mencekam. Namun semua itu
tidak menyurutkan niat Fadli untuk menyambut kedatangan guru kesayangannya, pak
Rahim. Fadli mengayuh sepeda menuju stasiun kota dengan semangat. Dia menunggu
kedatangan pak Rahim dengan perasaan tak menentu. Tak lama kereta datang.
Dengan perasaan yang campur aduk antara haru kangen, Fadli menunggu turunnya
penumpang. Hingga akhirnya tinggal seorang perempuan cantik setengah baya yang
berdiri di stasiun itu. Ibu itu mendekati Fadli.
“Ini Fadli ya?”
tanyanya dengan lembut.
“Iya, ibu siapa?” jawab
Fadli.
“Saya Aiza, istri pak
Rahim,” jawabnya pelan.
“Oh, tetapi di mana pak
Rahim bu?” tanya Fadli heran. Saat itu Fadli tidak melihat pak Rahim
bersamanya.
“Maafkan ibu ya nak.”
kata bu Aiza. “Sebenarnya pak Rahim telah meninggalkan ibu untuk selamanya
sejak dua bulan yang lalu.”
“Bu Aiza bohong!” seru
Fadli.
“Memang benar nak.
Selama ini kamu selalu menerima balasan surat dari pak Rahim. Sebenarnya ibu
yang menulis balasan dan mengirimkan surat itu. Itu semua atas permintaan pak
Rahim sebelum meninggal.” Jelas bu Aiza.
“Mengapa bu Aiza,
mengapa?”
Pikiran Fadli tak
menentu. Dia tetap yakin bahwa yang dikatakan oleh bu Aiza itu bohong. Namun bu
Aiza akhirnya dapat menjelaskan kepada Fadli. Bahwa bohong itu tidak selalu
berarti jahat, jika niatnya untuk kebaikan. Meski yang melakukan harus
menderita karenanya. Demi suaminya yang tidak menepati janji, dia harus
berbohong. Suami yang sudah lama dikubur, dapat menepati janjinya lewat pesan
kepada istrinya yang setia. (*)
Nama
Penulis : Darali Noya Kireina
Mahardhika
Asal
Sekolah : SMPN 2 Blora Jawa Tengah
Judul : Pesan Pak Guru
**********************************************************************************
AKU
MENANG TETAPI KALAH
Titis
Larasati
“Kring..kring..,” jam
weker menunjuk pukul 04.00. Aku segera beranjak dari tempat tidur yang semalam
menghantarkanku ke pulau mimpi. Kudengar dari dapur, suara alat memasak jatuh
bergrempyangan tak karuan. Di luar ayah membaca majalah, sambil minum secangkir
teh hangat, duduk di kursi tua. Kutuju kamar adikku. Kubangunkan mereka dari
tidur lelapnya. “Sekar..,Luhur.., ayo bangun!” Masih malas-malas mereka membuka
dua kelopak matanya.
“Hmm mbak, masih
ngantuk!” kata Sekar sambil mengusap matanya.
Ditariknya selimut di
sampingnya. “Mbak Sekar, ini selimutku!” Luhur mulai melawan saat selimutnya
tiba-tiba saja ditarik. Sekar adalah adik yang sangat manja, usil dan
cemburuan. Coba saja kalau ada yang berani membeda-bedakan ia dengan aku. Pasti
matanya langsung melotot, pipi gembulnya langsung menggelembung membentuk
kue-kue bak pao, dan bibirnya langsung nerocos bak jalannya kereta api. Sedang
Luhur adalah adik yang senang disayang. Karena dia anak bungsu dan laki-laki
pula. Ibuku sangat menyayanginya melebihi dari kami berdua. Ketrampilannya
bermain barongan tak ada tandingannya.
“Dik, ayo mandi. Jadi
ikutan dukung mbak Titis tes ‘Van Lith’ apa enggak? Kalau gak cepat nanti kita
ketinggalan bus..”
Diiringi kokokan ayam
dari kandang belakang rumah, aku dan keluarga kecilku berangkat menuju
Muntilan, untuk ikut seleksi penerimaan siswa SMA ‘Van Lith’. SMA elit yang aku
dambakan. Hanya siswa yang berotak brilliant yang dapat masuk. Kami naik bus
kelas ekonomi yang kondisinya sudah tidak layak jalan. Meski begitu, aku tetap
senang karena ada harapan besar di dadaku. Dalam perjalanan, ibu tak
henti-henti berdoa untukku.
Setelah beberapa jam
perjalanan, kondisi bus yang panas dan pengap mulai menimbulkan efek kepada
kami. Luhur mulai kegerahan dan menangis. Aku merasakan perut mual dan akhirnya
muntahku tak tertahankan. Aku mabuk darat. Aku yang tadinya tegar penuh percaya
diri, sekarang rasa pede itu buyar bersama muntahan yang keluar. Hatiku menjadi
ciut menghadapi ujian masuk SMA favorit idamanku.
Setelah enam jam, bus
masuk kota Muntilan. Kami turun, dan segera mencari tempat menginap. Hotel
Purnama menjadi tempat kami menginap selama mengikuti tes yang menentukan itu.
Seorang pegawai hotel mengantarkan kami ke kamar hotel yang masih kosong. Kami
hanya kebagian satu kamar untuk rame-rame di kamar nomer 9. Tak lama kemudian
seorang OB membawakan kami teh hangat. Aku melihat di kamar-kamar lain, banyak
sainganku yang juga sedang menyiapkan diri mengikuti tes. Mereka selalu membawa
buku pelajaran.
“Tis, lihat betapa
banyak saingan yang akan kau hadapi besok. Apapun hasilnya yang penting kamu
sudah berusaha, bapak percaya kamu pasti bisa!”. Kata-kata itu kembali
memberikan kekuatan untukku.
Aku meyakinkan diriku
mampu bersaing dengan mereka besok, “Teman, tunggu aku. Buktikan siapa yang
akan jadi pemenang”.
Pagi-pagi sekali aku bangun,
aku berdoa “Tuhan Yesus, tolonglah aku. Semoga apa yang kulakukan hari ini
adalah yang terbaik untukku. Kalau aku diterima di SMA ‘Van Lith’ maka akan
kujalani nazar yang telah kuikat dengan ibumu, Maria. Terjadilah padaku menurut
kehendakmu. Amin”.
Nazar yang kuikat
dengan ibu Maria adalah jalan tanpa alas kaki pulang – pergi ke Wereskat.
Tempat itu sangat jauh, lebih dari 5 kilo dari rumahku. Tempat itu digunakan
untuk tempat ibadah umat katolik yang didirikan oleh Romo Ernesto. Dulunya
dijadikan sebagai tempat rehabilitasi penderita kusta. Namun karena sudah tidak
ada lagi yang terkena kusta dan warga di situ sudah sembuh, maka diperbarui
untuk tempat wisata rohani.
“Selamat pagi. Bagi
para ca_OSVA (Calon Siswa ‘Van Lith’) diharap segera mendaftar ulang di depan
kantor guru. Terimakasih,” terdengar suara seorang siswi yang memberikan
pengumuman.
Aku langsung menuju
tempat pendaftaran ulang. ”Saya Titis Larasati dari SMP Katolik Adi Sucipto
Blora” kataku kepada panitia. Setelah didaftar ulang, aku diberi kartu peserta
tes dengan nomer 304. Kartu itu harus kupakai selama tes.
“Hari ini kalian akan
mengikuti tes tahap pertama, meliputi tes mata pelajaran, IQ, EQ dan ter
pribadi tertulis. Yang mengikuti tes ada 800 peserta, 500 putri dan 300 putra. Yang akan diterima nanti
adalah 160 siswa terdiri 100 putri dan 60 putra. Maka kerjakan dengan
sebaik-baiknya. Hanya yang terbaik, mampu lulus seleksi ini”.
Tes mata pelajaran
kukerjakan dengan susah payah. Ada 100 pertanyaan yang membuat kepala seakan
melayang-layang. Rasanya ingin pingsan saja, namun kutahan sekuat tenaga dan
dayaku. Selesai itu dilanjutkan dengan tes IQ yang jumlah pertanyaannya juga
tak kalah banyak. Salah satunya adalah pertanyaan berupa gambar telur kecil,
sedang dan besar. Yang ditanyakan adalah, gambar telur itu yang manakah telur
gajah? Dengan mantap kupilih gambar telur yang paling besar dengan asumsi bahwa
gajah adalah binatang besar, maka pasti telurnya juga besar. Namun setelah
kuulang lagi, aku baru sadar bahwa gajah itu tidak bertelur. Gajah berkembang
biak dengan melahirkan. Maka langsung kuhapus jawaban itu dan kuganti dengan
pilihan jawaban : tidak ada. Dua tes sudah lewat. Saatnya untuk istirahat.
“Sekarang jam 12.00.
Kami tim PSB hanya memberi kalian waktu 30 menit untuk istirahat dan makan. Tes
selanjutnya dimulai jam 12.30 tepat. Tidak ada toleransi!”.
Aku berlari menghampiri
orang tauku. Kulihat mereka sedang menungguku sambil duduk-duduk di teras.
“Bisa nduk?” tanya
bapak.
“Lumayan pak. Aku yakin
bisa lulus tes,” jawabku mantap.
“Yo wes, sekarang kita
ke hotel. Istirahat untuk persiapan tes fisik besok”.
“Masih ada 2 tes lagi
pak. Ini waktu istirahat hanya 30 menit. Sekarang aku lapar”
“Yo wes, makan saja di
kantin. Ayo!” ajak bapak.
Tes berikutnya adalah
tes EQ dan kepribadian. Tidak berat karena hanya menyampaikan alasan dan
motivasi masuk sekolah itu. Kujawab dengan sejujurnya semua yang ditanyakan.
Rasanya cepat sekali tes itu, tahu-tahu sudah selesai. Aku langsung kembali ke
hotel untuk menyiapkan fisik.
Hari kedua tes fisik,
semua peserta dikumpulkan di halaman sekolah. Mereka mengenakan seragam olah
raga dari sekolah masing-masing. Panitia yang terdiri dari kakak kelas memberi
kami nomor punggung. Kemudian seorang panitia memimpin latihan pemanasan.
Sekitar 15 menit pemanasan itu, kemudian kami digiring menuju lapangan utama.
Tes pertama adalah lari
sprint 100 meter. Ada 5 peserta yang ditandingkan. Begitu start, aku langsung
melesat lari. Jarak 100 meter dapat kutempuh dengan waktu yang tidak
mengecewakan. Berikutnya berlari mengitari lapangan utama dengan waktu 12
menit. Luas lapangan utama itu hampir 2 kali lapangan Kridosono Blora.
“Ayo nak, kamu pasti
bisa. Makan gula jawa ini, biar energimu kuat. Atur nafas, lari yang cepat
jangan hiraukan teman-temanmu. Yang penting lari saja sekuat-kuatnya!” teriak
bapak memberi semangat.
“Mbak, ini minum dulu.
Semangat ya!” Sekar juga turut membakar semangatku.
Aku mulai berlari.
Panjang langkahku. Keringat mulai mengucur. Kukerahkan energi dalam tubuhku.
Satu putaran selesai. Melaju putaran kedua lewat. Masuk putaran tiga mataku
mulai berkunang-kunang, nafasku mulai tersengal-sengal. Tak kuhiraukan teriakan
orang-orang di luar sana. Selesai putaran ke empat aku masih terus mencoba
bertahan. Waktu sudah masuk menit ke delapan, tinggal sedikit sisa waktu.
Rasanya aku ingin berhenti saja, namun impian masuk ke sekolah ini yang
menguatkanku untuk terus melaju. Putaran ke lima darahku mengalir kencang,
kepalaku mulai goyang. Aku sempat melihat ada teman yang terjatuh pingsan. Aku
sebenarnya juga ingin pingsan, tetapi aku tahan. Hampir mendekati putaran ke enam, rasanya sudah tidak
tahan. Waktu sudah lewat 11 menit baru setengah putaran.
“Waktu habis!!” teriak
panitia.
Aku terjatuh di tempat
terakhirku. Aku terbangun saat mendengar suara, “Bangun mbak!”. Kulihat
samar-samar Sekar ada di sampingku.
“Minum dulu mbak!” kata
Sekar sambil menyodorkan Aqua.
Keteguk sampai separo
air putih itu, untuk mengganti cairan tubuh yang rasanya habis terkuras saat
lari tadi.
“Aku dapat berapa
putaran dik?”
“Wah mbak Titis hebat,
dapat enam putaran!”
Tes fisik yang
betul-betul menguras tenaga itu ternyata belum berakhir. Sekitar sepuluh menit
aku istirahat. Selanjutnya menjalani tes berikutnya. Tes fisik berupa push up,
sit up, back up dan squot trust, kulewati dengan baik. Selesai uji fisik yang
melelahkan itu aku kembali ke hotel.
Kulihat bapak termenung
di luar kamar hotel. Sepertinya ada yang dipikirkan. Selesai aku bersih-bersih,
bapak mendekatiku.
“Tis, sebenarnya kamu
pingin banget masuk ke SMA ‘Van Lith’ ini beneran tidak?” tanya bapak yang
membuatku kaget.
“Ya jelas pak, aku
pingin banget!” jawabku mantap.
“Begini Tis, bapak
jelaskan ya. Bapak senang kamu jika diterima di sini. Bapak juga bangga punya
anak pintar. Namun anak bapak ada tiga, semua bapak sayangi, tidak ada yang
bapak bedakan, bapak harus adil. Kalau kamu sekolah di sini, biayanya mahal
sekali. Kalau hanya kamu saja bapak kuat. Tetapi kan ada adik-adikmu yang juga
butuh biaya. Bapak tidak kuat bayarnya,” kata bapak panjang lebar.
Tentu kata-kata itu
memudarkan rasa pedeku yang kubangun sejak awal. Aku memang memahami kondisi
ekonomi keluargaku. Tetapi meski begitu rasanya sakit juga saat itu.
“Ya pak, aku mengerti.
Kalau nanti diterima dan tidak kuat bayar, tidak apa-apa. Sekolah di Blora juga
baik-baik kok,” kataku kepada bapak. Meski begitu aku bertekad untuk bisa
diterima dan bayarnya harus murah.
Hari ketiga adalah tes
wawancara. Terus terang aku gugup menghadapi tes ini, meskipun aku sudah
belajar banyak kepada bapak strategi menghadapi tes wawancara.
Aku masuk ruangan tes.
Seorang bruder berpakaian putih menjabat tanganku. Setelah duduk, pertama-tama
yang ditanyakan adalah alasan dan motivasiku masuk ke sekolah tersebut,
kehidupanku di sekolah, di gereja dan di rumah.
Saat bruder itu
memintaku menampilkan keahlian khusus yang kumiliki, aku membaca puisi dalam
bahasa Inggris karanganku sendiri, judulnya “Three Miracle Spears…”
Aku bacakan puisi itu
dengan penuh penghayatan karena aku sendiri yang membuatnya, dan kurasa bruder
itu juga suka dengan penampilanku.
“Baiklah, Titis. Kami
rasa cukup. Selanjutnya tunggu pengumuman dari kami lewat SMS atau email. Kami
tahu, kamu anak yang berprestasi. Namun yang mendaftar ke sini semua juga
berprestasi. Maka tunggu pengumuman nanti ya. Semoga sukses” kata bruder itu
ramah.
Selesai itu kami semua
kembali ke Blora, dengan bus ekonomi lagi. Tetapi aku sudah tidak mabuk, karena
pikiranku hanya fokus pada hasil ujian tes masuk SMA ‘Van Lith’.
Seperti yang dijanjikan
bruder, pagi saat aku mengantar adik ke TK aku mendapatkan SMS dari SMA ‘Van
Lith’. Saat kubuka dan kubaca SMS itu, aku melonjak girang. Ternyata aku
diterima. Dalam SMS itu disebutkan, untuk konfirmasi langsung telpun ke SMA ‘Van
Lith’ atau bagian TU.
Saat orang tuaku tahu
aku diterima, aku dipeluk dan diciumnya. Ternyata usahaku tidak sia-sia. Aku
diterima di SMA favoritku, SMA ‘Van Lith’. Siangnya aku penuhi nazarku,
berjalan kaki pulang pergi tanpa alas kaki dari rumah menuju Goa Maria
Sendangharjo Wereskat. Hujan turun membasahi jiwaku. Rasanya aku melayang.
“Terimakasih ya Tuhan”. Aku akan masuk SMA ‘Van Lith’. “Tetapi benarkah aku
akan sekolah ke sana?” tanyaku dalam hati dengan galau menahan air mata. Aku
menang tetapi kalah! (*)
Nama
Penulis : Titis Larasati
Asal
Sekolah :
SMA Katolik “Wijaya Kusuma” Blora Jawa Tengah
Judul : Aku Menang Tetapi Kalah
**************************************************************************
REMPEYEK
IBU SEMANGATKU
Meirheyma
Denfia Saputri
Rintik hujan mulai
turun membasahi bumi. Aku tersadar dari lamunanku. Aku harus segera pulang. Ibu
pasti akan memarahiku kalau tahu aku pulang terlambat dalam keadaan basah
kuyup.
“A..,i..,u..,e..,o..sebel
ah! Tiap hari ngomel terus, sampai-sampai terasa bolong kuping ini.”
“Icha..! Kamu terlambat
lagi. Baju basah semua, cepat ganti. Ibu kan sudah bilang bawa mantel, jadi
kamu nggak tiap hari kehujanan begini. Kalau sakit ibu juga yang susah! Nih,
makanmu. Setelah hujan reda, nanti antarkan rempeyek-rempeyek ini ke warung bu
Ida”
Hari semakin gelap,
malam pun tiba. Aku harus mulai berkecimpung dengan buku-buku pelajaran, karena
harus mengerjakan PR yang seabrek buat ulangan besok Senin. Aku merasa pusing
dan capek.
“Icha.., bangun!” suara
ibu membangunkanku. Aku menggeliat. Kubuka jendela, ternyata matahari sudah
tersenyum menyapaku. Pagi yang indah. Aku bergegas ke kamar mandi.
“Cha, hari ini libur
kan, nanti bantu ibu membuat rempeyek untuk besok. Jangan lupa nanti antarkan
rempeyek ke warung bu Ida!”
“Siap bos..! kataku
sambil berlagak hormat.
Ya, beginilah kerjaku
setiap libur sekolah, pasti membantu, membantu dan membantu membuat rempeyek.
Semenjak kepergian ayah, ibulah yang yang menjadi tulang punggung kami. Akulah
yang harus sering membantu ibu. Bantu ini, bantu itu, capek rasanya.
Suasana hening
kurasakan di malam itu, saat aku mulai mengisi memori otakku kembali. Aku
mendengar suara yang terdengar aneh. Ternyata itu suara perutku.
“Krucuk..krucuk..” Aku lapar. Aku langsung lari ke meja makan, dan kuambil
toples isi rempeyek. “Kriuk..kriuk..” kulahap rempeyek dalam toples di malam
yang hening itu. Gila, ternyata rempeyek setengah toples ludes kulahap. Sisanya
segera kukembalikan ke meja makan. Malam semakin larut dan aku harus tidur.
“Aih..aih neng Icha
juragan, masih juga promosi rempeyek di kelas, ditaruh di wajah lagi? Emang
tempat di warung masih kurang?” ejek Danang yang memang terkenal paling usil di
kelas. “Hoi teman-teman, neng Icha jualan rempeyek di kelas!” teriak Danang
seenaknya.
“Tuh lihat, mukanya
penuh rempeyek!” sambungnya sambil tertawa. “Siapa beli, siapa beli, rempeyek
kacang dipajah di wajah!”. “Ha..ha..ha..” anak-nak lain ikut tertawa.
Aku menjadi malu dan
berang, karena saat itu wajahku terasa gatal dan penuh bintik-bintik jerawat.
“Danang! Apa-apaan sih
kamu!” teriak Dini temanku sebangku.
“Lho memang benar kok.
Dia bawa rempeyek di wajahnya!” lagi-lagi anak-anak yang lain tertawa.
Jerawat-jerawat itu
sepertinya memenuhi wajahku, hingga persis rempeyek kacang
“Danang, jangan gitu
dong sama teman sendiri!” kata Dini.
Pelajaran telah
selesai, aku segera mengemas tas dan buku-bukunya. Setiba di rumah, aku masuk
kamar dan langsung menangis di tempat tidur. Ibu yang sedang sibuk di dapur
merasa heran melihat anaknya pulang sekolah langsung menangis. Ibu menghampiriku,
“Ada apa Icha, kamu kok tiba-tiba menangis?”.
“Ibu.., Icha malu bu,
Icha malu! Icha nggak mau bawa rempeyek lagi ke sekolah bu. Teman-teman Icha
semua meledek Icha bu. Apalagi jerawat dan gatal-gatal di wajah ini. Pokoknya
besok Icha nggak mau bawa rempeyek lagi ke sekolah. Nggak mau!” teriakku.
Besoknya aku ke sekolah
tidak lagi membawa rempeyek ibu. Aku sudah bosan dengan ejekan teman-temanku
tiap hari. Hari demi hari telah kulalui, ke sekolah tanpa harus berjualan
rempeyek lagi di kantin.
“Anak-anak, tes
semester I kurang dua minggu lagi. Kalian harus mempersiapkan diri untuk
menghadapi tes itu. Kalian harus lebih giat belajar. Bagi anak-anak yang belum
menyelesaikan administrasi, tolong sebelum tes, selesaikan. Apalagi yang belum
bayar SPP sampai bulan ini” kata wali kelas.
Aku pulang sekolah
dengan lesu. Aku tahu belum bayar SPP selama dua bulan. Sering aku minta uang
kepada ibu, namun setiap kali ibu selalu menunda janjinya karena memang tidak punya
uang.
“Ibu bagaimana tes
tinggal dua minggu lagi. Icha tidak boleh ikut tes kalau belum bayar SPP”
“Sebenarnya ibu juga
ingin kamu tetap sekolah nak. Ibu tidak ingin kamu bodoh seperti ibu, tetapi
ibu hanya bisa berjualan rempeyek seperti ini. Dulu sebelum bapakmu meninggal,
beliau berpesan agar ibu dapat menyekolahkan kamu, biar kelak kamu menjadi
orang yang berguna untuk nusa dan bangsa, utamanya untuk kamu sendiri,” kata
ibu sambil menghapus air mata. “Tetapi keadaan sudah lain, ibu tidak mempunyai
usaha lain, hanya jualan rempeyek ini. Seandainya bapakmu masih ada, pasti
tidak akan seperti ini”.
Aku tertegun, tersentak
dan bergetar tubuhku mendengar jeritan hati ibu.
“I..iya bu, Icha
mengerti, Icha mau. Icha tidak akan malu lagi bu. Mulai besok Icha akan
membantu ibu membuat rempeyek. Icha akan bawa ke sekolah lagi. Maafkan Icha bu.
Ibu telah berusaha menyekolahkan Icha hingga harus bekerja keras siang malam,
sekali lagi maafkan Icha bu. Ibu adalah satu-satunya orang tua yang Icha punya”.
Sejak itu aku tidak
malu lagi ke sekolah sambil membawa rempeyek buatan ibu, untuk dititipkan di
kantin. Aku lebih giat belajar demi meraih cita-citaku. Aku mau membuktikan
bahwa cita-cita ayahku hanya ada pada diriku. Bahkan justru aku bangga mempunyai
orang tua seperti ibu. “Maafkan Icha ayah..” kataku dalam hati.
Kini rempeyek-rempeyek
itu semakin laris terjual. Aku sudah dapat membayar SPP serta bisa ikut tes
semester di sekolah. Aku kini tegar menatap masa depanku. “ Ya.. rempeyek ibuku adalah semangatku!” (*)
Nama
Penulis : Meirheyma Denfia
Saputri
Asal
Sekolah :
SMPN 2 Blora Jawa Tengah
Judul : Rempeyek Ibu Semangatku
****************************************************************************
BOLA
BUNDAR DUNIAKU
Edi
Orakari
Waktu kecil, aku sudah suka
dengan sepak bola. Orang tuaku yang selalu mengajakku menonton sepak bola.
Sejak itu pula aku mulai senang bermain sepak bola. Setiap hari aku terus
bermain bola. Tahun 2002 saat piala dunia, tiap malam aku selalu menonton.
Jagoku adalah Jerman, dengan pemain favoritku Oliver Kahn. Meski kalah, namun
aku tetap bangga dengan tim Panser itu. Aku terobsesi menjadi penjaga gawang tangguh
seperti Oliver Kahn.
Aku kemudian masuk SSB
Putra Mustika di Blora. Ada seorang siswa yang sudah kukenal namanya Abrizal.
Pelatih yang membina kelompok kelahiran 95-96 adalah mas Tukin. Latihan
dilakukan di stadion Kridosono Blora, seminggu 3 kali tiap hari Selasa, Kamis
dan Sabtu mulai jam 14.30. Saat aku kelas 2 SMP, SSB Putra Mustika mengikuti
kejuaraan nasional Metco. Saat itu aku terpilih masuk tim Putra Mustika. Hari
Kamis SSB Putra Mustika mendapat jatah screening di Semarang. Selesai dari
Semarang, kami harus mulai latihan karena waktu sudah mepet. Persiapan yang
mepet itu digunakan untuk latihan secara maksimal.
Pertandingan melawan
Bintang Mas Sukoharjo, kami dihajar 3-0. Kekalahan itu dijadikan evaluasi untuk
meningkatkan mental bertanding. Seminggu kemudian kami bertandang ke Rembang. Kami
kalah dengan skor lebih telak 6-0 tanpa balas.
Pada turnamen Mustika
Cup yang diselenggarakan oleh Putra Mustika, kami mampu menjadi juara. Ada enam
klub yang mengikuti turnamen itu. Putra Mustika Blora, Priamor Pati, Purba
Juana, Cepu Putra, Perseto Todanan dan Bantolo Sakti Purwodadi. Dalam mencapai
tangga mencapai juara, Putra Mustika mampu mengalahkan Priamor Pati 5-1, kemudian
bermain seri 1-1 melawan Bantolo Sakti Purwodadi. Putaran semi final Purba
Juana dapat kami kalahkan. Di final aku tetap menjadi penjaga gawang utama,
melawan Cepu Putra. Dalam pertandingan yang dramatis, Cepu Putra dapat
dikalahkan dengan skor 5-3. Putra Mustika lolos sebagai juara.
Setelah banyak
mengikuti berbagai kompetisi, aku mulai mendapat pengalaman yang berharga,
meskipun tidak banyak prestasi yang berhasil kuraih. Selesai UAN, Persikaba
akan menggelar seleksi pemain U-16 untuk mengikuti kompetisi Piala Suratin.
Mendapat kabar itu, aku
mendatangi stadion Kridosono untuk mengikuti seleksi. Hari pertama ada 5
penjaga gawang yang diseleksi. Kebetulan aku yang paling muda. Hari itu aku lolos.
Namun pada hari berikutnya saat mengikuti seleksi lanjutan, aku merasa minder.
Ada yang kurang dalam diriku. Saat aku ditunjuk sebagai penjaga gawang, banyak
kesalahan yang kulakukan. Aku merasa tidak puas dengan penampilanku. Begitu
pengumuman disampaikan, ternyata aku tidak lolos seleksi masuk U-16. Aku sangat
kecewa, tidak bisa masuk tim U-16. Namun aku tetap semangat untuk berlatih.
Bola adalah duniaku. Si bundar itu telah membuatku jatuh hati, dan menjadikan
hidupku lebih terasa berarti.
Gagal masuk Persikaba
Junior, aku tetap tekun berlatih sepak bola, sambil menunggu seleksi atau kompetisi
lagi. Aku membaca di Suara Merdeka, ada berita akan dilakukan seleksi U-21 untuk
persipan mengikuti seleksi LPA (Liga Primer Amatir) yang diikuti Blora Fc. Aku
langsung menghubungi Amin Farid, manager Blora Fc.
Setelah mengetahui
tanggal seleksi, aku berlatih dengan semangat untuk mengikuti seleksi LPA. Dari
serangkaian seleksi itu aku selalu mengikutinya. Setiap hari Senin dan Jum’at
seleksi dilakukan terus menerus. Saat pengumuman pemain yang masuk tim U-21,
lagi-lagi aku gagal. Rasanya aku ingin menangis saja. Namun karena bola sudah
menjadi duniaku, sudah mendarah daging dalam setiap denyut nadiku, maka aku
tidak akan pernah meninggalkan dunia bola yang kucintai sejak aku masih kecil
dulu. Lebih-lebih sesudah aku punya pegangan, yaitu kaos hitam yang selalu
kupakai ketika menjadi penjaga gawang. Walau ia dekil dan sobek namun ia selalu
menjadi jimat kemenanganku. Tidak percaya? Tonton aku, buktikan! (*)
Nama : Edi Orakari
Asal
Sekolah : SMAN 2 Blora Jawa
Tengah
Judul
: Bola Bundar
Duniaku
********************************************************************
Dapatkan
tulisan-tulisan yang lain pada posting berikutnya :
“ Kumpulan
Tulisan Terpilih Karya Anak Semua Bangsa Jilid II “
Semua adalah
persembahan Pataba Press Blora
Pataba ada di
Blora untuk Indonesia dan dunia
Membangun
Masyarakat Indonesia
adalah
Membangun Budaya
Membaca dan Menulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar