LISTRIK MASUK KAMPUNG
Hermawan Widodo
Jika
Dahlan Iskan selaku dirut PLN sedang getol-getolnya memperbaiki perlistrikan
Indonesia itu adalah hal yang wajar. Sebab jaringan listrik yang mampu
menghidupkan berbagai kebutuhan mendasar manusia itu, saat ini selayaknya sudah
dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Listrik hampir menjadi
kebutuhan primer, setara dengan sembako. Sebagian besar kegiatan manusia
berhubungan dan memerlukann listrik. Meski demikian masih banyak dijumpai di
berbagai belahan sudut pulau luar Jawa yang belum tersentuh aliran listrik.
Jangankan
di luar Jawa. Saya saja yang tinggal di sentral Jawa, Jogjakarta Hadiningrat
pusatnya budaya dan peradaban Jawa baru bisa merasakan aliran listrik pada
pertengahan tahun 1990, sehari menjelang saya menempuh pra ebta saat kelas 3
SMAN 5 Jogja.
Kondisi
itu mungkin tidak dapat dipercaya, jika dilihat secara geografis dusun saya
Kepuh Lor, berjarak tidak lebih dari 4 Km dari Kotagede yang legendaris dengan
kerajinan perak dan juga merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram. Hanya
berjarak sekitar 3 Km dari monumen Ngoto, tempat jatuhnya pesawat yang dipiloti
oleh Adisucipto. Juga hanya sekitar 2 Km dari Sanggrahan yang sangat terkenal
di kalangan kaum pencari kepuasan bawah perut. Tetapi faktanya, saya dan warga
dusun baru bisa menikmati listrik, pada pertengahan tahun 1990, jauh tertinggal
dengan penduduk di lereng pegunungan Muria Kudus, yang sudah mendapatkan sengatan
listrik sejak tahun 1980.
Berarti
dusun saya yang masih sangat dekat dengan kota tertinggal satu dekade dengan
dusun di lereng gunung yang lebih dekat dengan batu. Kutho cerak karo ratu, gunung cerak karo watu, kata orang Jawa.
Namun dekat dengan ratu tidak menjamin lebih cepat mendapatkan kemudahan dalam
urusan perlistrikan ini.
Pada
akhir tahun ‘70an, dusun Kepuh Lor sebenarnya sudah mengenal jaringan listrik
tegangan tinggi atau yang disebut dengan sutet itu. Hanya beberapa meter dari
rumah saya berdiri tower berangka besi baja sangat tinggi, yang di atasnya
menggantung 4 kabel bermuatan mega watt listrik. Tower itu dibangun saat saya
masih duduk di TK. Pagi-pagi ada delapan orang dari PLN datang ke sawah kas
desa yang berada di selatan Kepuh Lor, tepatnya hanya berjarak 8 meter dari
rumah Budhe Pudjo, dan hanya 2 meter saja dari jalan.
Mereka
membawa berbagai macam perlengkapan kerja. Namun yang utama adalah pacul.
Mereka dibagi menjadi empat kelompok. Tiap kelompok terdiri dari 2 orang
menggali lubang berdiameter satu meter, dengan kedalaman lebih dari 10 meter.
Lubang seperti sumur itu berjarak 6 meter antara lubang satu dengan yang
lainnya. Penggalian lubang itu selesai hanya dalam tempo kurang dari sehari.
Mereka kemudian berpindah ke tempat lain, yang jaraknya sekitar 500 meter dari
penggalian sebelumnya. Di sebelah timur, penggalian dilakukan di area
persawahan dusun Jambidan, sedang di baratnya berada di seberang sungai yang
membelah Kepuh Wetan dan Kepuh Kulon.
Lubang
mirip sumur itu dibiarkan sekitar satu minggu tanpa ada tindak lanjut. Kamilah
yang kemudian menindaklanjuti dengan memanfaatkan sebagai arena bermain. Kami
julurkan tali ke dasar lubang dari atas. Yang dimaksud dengan tali adalah,
karung beras yang dipilin kemudian diikat sambung menyambung hingga sepanjang
lebih sepuluh meter. Tali karung beras itu kami ikatkan ke pohon yang ada di
dekat lubang itu. Dengan tali itu kami menuruni lubang hingga ke dasarnya.
Meski
nampak mudah, namun tidak semua anak berani turun dengan mengandalkan tali
darurat itu. Saya termasuk yang berani. Saya selalu membayangkan menjadi
pemanjat tebing yang bergelantungan di tali. Rasanya gagah dan heroik. Kadang
saya mencoba turun tidak menggunakan tali. Saya turun menggunakan tumpuan kaki
dan tangan. Namun karena diameter lubang agak lebar untuk ukuran badan saya
waktu itu, saya agak kesulitan untuk menahan tubuh dengan kaki dan tangan.
Tumpuan kaki dan tangan terlalu jauh untuk menjangkau bibir lubang sehingga
kekuatannya tidak maksimal. Saya belum pernah berhasil turun dengan cara itu.
Kami
bermain dengan lubang-lubang itu hingga kemudian datang truck-truck yang
mengangkut besi baja. Truck itu menurunkan muatan di dekat empat lubang yang
sudah seminggu ini kami jadikan arena bermain. Berbagai jenis dan ukuran besi
baja menumpuk. Sepertinya itu adalah rangka tiang. Delapan orang bertopi proyek
mulai menata besi baja itu. Empat besi baja yang besar ditanam di empat lubang,
hingga hanya nampak sekitar setengah meter saja dari permukaan. Lubang itu
kemudian ditimbun dengan adonan semen hingga penuh. Jadilah empat buah pondasi
yang akan menyokong berdirinya rangka tower.
Dengan
keahlian yang sepertinya memang sudah teruji, mereka kemudian memasang besi
baja berbagai ukuran itu. Di tiap ujung besi baja ada lubang-lubang untuk
memasang sekrup dan baut. Selain membentuk ketinggian, besi baja itu juga
dipasang melintang, menyambungkan antar tiang. Sehari itu sudah nampak bangunan
rangka tower yang berdiri sekitar delapan meter.
Hari
berikutnya aktifitas pemasangan besi baja tidak berjalan secepat hari pertama.
Hal itu dikarenakan besi baja itu harus dinaikkan ke sambungan yang sudah
tinggi. Dengan menggunakan tali besar, besi baja itu diikat dan ditarik ke atas
disambungkan pada ujung-ujungnya yang terakhir. Dibutuhkan waktu seminggu
hingga tower itu selesai. Tower yang sudah jadi itu ketinggiannya sekitar tiga
puluh meter. Empat fondasi kuat menjadi penyangga tiang-tiang besi baja yang
ditata dengan konstruksi khusus itu. Tiap empat tiang yang berdiri kemudian disambungkan
dengan delapan tiang melintang sehingga nampak sangat kokoh.
Pada
ketinggian dua puluh meter dari permukaan tanah dibuatkan dua cabang ke kiri
dan ke kanan. Cabang ke dua di puncak tower juga ke kiri dan ke kanan. Panjang
cabang sekitar lima meter. Dari jauh tower itu nampak seperti tiang bersalib
dua. Bangunan gagah itu kemudian juga dibiarkan begitu saja oleh orang-orang
bertopi proyek itu.
Warga
Kepuh Lor terutama anak-anak memanfaatkan tower itu untuk bermain. Tower itu
dipanjat untuk membuktikan keberanian. Semakin tinggi semakin diakui
keberaniannya. Saya hanya berani memanjat hingga ketinggian lima belas meter
saja, baru separo dari tinggi tower. Dari ketinggian itu melihat benda-benda
atau orang-orang di bawah sudah nampak kecil-kecil.
Namun
ada yang berani memanjat tower hingga ke puncak, namanya mas Harno anaknya Budhe
Pudjo. Umurnya lima belas tahun lebih tua dari saya. Dia naik ke atas tower
sambil membawa layang-layang dan gulungan benang. Sambil berdiri di cabang
tower dia terbangkan layang-layang itu. Semakin lama semakin tinggi. Begitu
benang di gulungan habis, dia duduk di antara besi baja itu. Layang-layang
ukuran jumbo berwarna merah itu terus melayang-layang mengikuti arah angin pada
ketinggian di atas rata-rata yang lain. Untuk rekor manaiki tower dia belum
terpatahkan, bahkan mungkin tidak ada yang berani mematahkan rekor itu, kecuali
petugas PLN bagian arus tegangan tinggi.
Meskipun
saya senang dan berani naik tower itu, namun setiap malam ketika berjalan di
bawah tower itu muncul rasa ngeri. Tidak tahu mengapa saya selalu mengalami
ketakutan jika berjalan di jalan yang hanya dua jengkal dari tower tinggi itu
berdiri. Malam-malam, Bapak sering mengajak saya untuk membeli mi rebus atau
yang lain di warung mbah Mar.
Ketika
berjalan yang hanya berjarak dua meter dari tower itu berdiri, saya selalu
merapat kemudian memegang erat tangan bapak. Mungkin bapak heran, melihat
perubahan sikap saya ketika berada di bawah tower itu. Dalam diri saya muncul
kekhawatiran jika tower itu tiba-tiba roboh. Ketakutan yang menurut saya
menggelikan, tetapi bagi anak seusia TK saat itu masih bisa diterima.
Tower
itu menjadi ajang bermain kurang lebih selama sebulan. Truck-truck kembali
datang dengan membawa gulungan kabel sangat banyak jumlahnya. Di tiap-tiap
titik dengan jarak tertentu di tempatkan gulungan kabel seukuran jempol kaki.
Ketika kabel itu masih berada di bawah, kabel itu bergerak karena ditarik untuk
disambungkan dengan kabel di ujung yang lain. Waktu kabel bergerak itu, juga dijadikan
sebagai ajang bermain bagi kami anak-anak Kepuh Lor.
Sepulang
dari sekolah TK, saya, Slamet dan Suselo selalu mencari sesuatu yang bisa
diikatkan pada kabel yang bergerak. Biasanya berupa kantong plastik bekas, atau
pelepah pisang. Bermacam-macam benda yang terikat itu akan terseret gerak
kabel. Mungkin bapak bertopi proyek di seberang sana akan misuh-misuh ketika
harus mencopoti ikatan-ikatan benda pada kabel hasil kreasi kami. Saat
mengikatkan ke kabel itu kami harus ikut bergerak searah gerak kabel. Jika tidak
begitu, maka benda yang akan diikatkan sudah putus oleh goresan kabel sebelum
terikat. Selo pernah tergores pahanya oleh kabel yang bergerak itu, akibatnya
dia harus berdarah-darah. Kabel-kabel itu, kemudian oleh orang-orang yang
bertopi proyek dinaikkan ke tower.
Sayangnya
saya tidak bisa menjadi saksi hidup bagaimana kabel seukuran jempol kaki dan
panjangnya berkilo-kilo meter itu, bisa bertengger di tower yang tingginya
mencapai 30 meter. Sepulang dari sekolah TK dengan maksud main ikat kabel, ternyata
sang kabel sudah bertengger di atas sana dengan angkuhnya.
Kabel sudah terpasang di tower. Berjarak lima
meter dari bawah, di tiap tiang tower di beri pagar runcing dan tulisan merah
pada plat putih. Bunyi tulisan itu yang jelas adalah “ BERBAHAYA - LISTRIK
TEGANGAN TINGGI - DILARANG MEMANJAT “. Dengan adanya tulisan peringatan
berbahaya itu selesai sudah tower sebagai ajang bermain. Sebab setelah itu
tower bukan lagi ajang bermain-main, dia sudah menjelma menjadi tower penjemput
maut. Barang siapa memiliki nyali cukup untuk naik ke tower itu kemudian dengan
gagah memegang kabel seukuran jempol kaki itu, bisa dipastikan dia akan sukses
menjemput maut.
Ketika
tower sutet itu sudah berfungsi, kami warga Kepuh Lor tidak bisa menikmati
aliran listrik yang towernya berdiri gagah hanya beberapa jengkal di samping
bumi Kepuh Lor. Listrik bertegangan tinggi itu sekedar lewat saja di atas
kepala kami, tidak peduli dengan warga di bawahnya yang sangat ingin dusunnya
diterangi listrik. Justru burung merpati saya yang sukses menikmati bangunan
gagah salah satu ikon Kepuh Lor itu.
Ketika
saya melepas merpati berbulu hitam itu dari dusun Dolahan sekitar satu kilo
meter dari rumah, burung itu terbang dengan cepat ke arah Kepuh Lor. Dari
tempat saya berdiri melepaskan burung itu, saya melihat merpati saya tiba-tiba
mampu menukik dengan ketajaman tukikan 90 derajat. Suatu prestasi yang
betul-betul luar biasa, mengingat merpati saya tidak memiliki kemampuan khas
merpati terlatih.
Merpati
hitam itu selama ini jika turun tidak mampu menukik, dia hanya turun langsam
saja. Tetapi tukikan itu terlihat ada yang janggal. Burung itu seperti terhenti
dan kemudian melesat ke bawah. Saya mengambil sepeda yang tergeletak, kemudian
mengontelnya menuju rumah. Saya penasaran dengan peningkatan kemampuan merpati
saya. Namun sampai rumah, di gupon tidak ada merpati itu. Di atas genteng juga
tidak ada. Saya heran. Terbersit pemikiran merpati saya menabrak kabel listrik.
Saya
berlari menuju sawah persis di bawah kabel yang melintas. Saya mencari-cari di
tempat kira-kira merpati saya tadi menukik tajam. Mata saya tertumbuk pada
sosok hitam yang tergeletak di sela-sela tumbuhan kacang. Saya ambil sosok itu,
yang ternyata merpati hitam yang belum pulang. Tercium bau gosong. Saya lihat
dada burung itu sudah terbelah, mati sudah.
Merpati
hitam itu ketika terlihat menukik, bukan karena mau turun dengan gerakan
tukikan tajam, namun karena dia menghantam kabel listrik tegangan tinggi.
Akibatnya sungguh tragis, dia mati seketika dan jatuh melayang tanpa ampun, ke
bawah terhempas di sawah, dengan dada gosong dan terbelah. Burung merpati saya
betul-betul menik-mati tower sutet itu, menabrak kabel dan mati.
Memasuki
pertengahan tahun ‘80an wacana mewujudkan penerangan listrik kembali menguat.
Waktu itu warga Kepuh Lor menyelenggarakan turnamen bola volley yang
mendatangkan klub-klub bola volley se Jogjakarta.
Bapak
selaku bendahara turnamen, paling kuat memperjuangkan hasil keuntungan turnamen
itu untuk membeli tiang listrik. Dengan tiang itu, maka kabel yang membawa
aliran listrik bisa sampai di Kepuh Lor. Tentu wacana itu menimbulkan gairah
bagi kami untuk bisa menikmati enaknya memiliki jaringan listrik.
Turnamen
yang digelar selama sebulan penuh itu berjalan sangat sukses. Berbagai klub
volley ternama seperti Yuso, Pertamina, Baja 78, Mataram Timur dan yang lain,
saling tanding dengan kualitas permainan yang baik. Beberapa pemain nasional
juga turut turun lapangan, bermain memperkuat klubnya. Wajar jika penonton
mampu tersedot banyak setiap harinya. Tiket selalu habis terjual. Bahkan banyak
penonton yang masuk meski tanpa tiket, setelah pintu dibuka pada saat game
terakhir penentu kemenangan.
Permainan
paling sedikit tiga game, dan paling banyak lima game. Tiap klub harus mampu
meraih poin tiga game untuk memenangi pertandingan hari itu. Selain
pertandingan volley bermutu tinggi, juga dimeriahkan pentas seni di malam hari
di panggung yang sengaja dibuat di pojok lahan yang agak jauh dari lapangan.
Setiap
malam kamis dan malam minggu, selalu ada pertunjukan seni. Ada tari, dagelan
dan lainnya. Yang menjadi favorit adalah pentas dangdut dari MBS. Malam minggu
saat MBS tampil, penonton selalu membludak. Pentas seni di malam hari itu juga
memberikan pemasukan cukup besar, karena setiap penonton wajib membeli karcis
masuk.
Meski
turnamen volley berjalan sukses dan menangguk pendapatan besar, namun harapan yang
tinggi untuk segera mendapatkan aliran listrik ternyata tidak bisa wujud.
Menurut bapak, tidak ada kata sepakat dalam penggunaan hasil keuntungan turnamen
untuk mengalirkan listrik bagi dusun kami. Saya tidak paham persis bagaimana
alotnya pembahasan, namun yang pasti listrik yang sudah diharapkan segera masuk
dusun kami tidak jadi, batal, gagal, urung menyala.
Upaya
mendapatkan energi listrik akhirnya pupus sudah. Kami harus kembali
mengandalkan aki (bunyi dari tulisan accu) untuk menyalakan tivi, mengandalkan
minyak tanah untuk penerangan, dan tentu arang untuk menyeterika.
Saya
merasakan betapa dongkolnya saat asyik-asyiknya nonton film minggu siang
tiba-tiba akinya habis. Kami harus pontang-panting lari ke rumah tetangga untuk
melanjutkan melihat film Combat, yang menjadi film favorit selain film Raksasa.
Celakanya di dusun saya yang memiliki tivi hanya ada dua orang, yaitu bapak
saya dan Budhe Pujo. Namun di rumah budhe itu tivinya diletakkan di ruang dalam
dan tidak untuk umum. Jadi kami harus lari meyeberang sungai ke Kepuh Kulon
sekedar untuk melihat aksi serdadu Amerika hingga kelar.
Tetapi
kalau filmnya Londen (maksudnya film Little House-nya Michael London) kami
tidak begitu antusias meskipun aki habis, ya sudah tidak perlu berlari-lari
seperti halnya mengejar film perangnya serdadu Amerika Combat atau Raksasa.
Divisi
penerangan di rumah saya masih mengandalkan lampu teplok, dan petromak. Mungkin
keluarga saya satu-satunya yang selalu menyalakan petromak setiap hari. Baru
setelah jam 9 malam petromak dimatikan dan yang tetap menyala adalah lampu
teplok. Sebagai anak tertua, saya yang ditugaskan menjabat menteri penerangan dan
bertanggung jawab terhadap penerangan dalam rumah.
Kewajiban
menyalakan teplok dan petromak itu rutin setiap menjelang magrib. Sehingga
ketika saatnya harus menyalakan lampu saya masih asyik bermain, pasti ibu sudah
mencari dan menyuruh segera pulang untuk menyalakan lampu.
Untuk
stok minyak tanah, ibu berlangganan kepada Lek Pringgo, pemilik warung
kelontong terlengkap di Kepuh Kidul. Biasanya sekali antar sekitar 40 liter,
yang kemudian dituangkan dalam ember plastik besar. Urusan merapikan baju
dengan seterika juga tak kalah ribetnya. Menyiapkan seterika hingga siap
dipakai bukanlah perkara mudah.
Dibutuhkan
perjuangan ekstra agar arang di dalam seterika itu bisa menjadi bara sesuai
harapan. Kadang api baru menyala sebentar kemudian mati, sehingga arang masih
dalam keadaan hitam seperti semula. Cara jitu adalah dengan mengguyur minyak
tanah, kemudian saat api masih menyala dikipasi perlahan-lahan hingga nampak
bara merah di tiap-tiap bongkahan arang. Resikonya memang sedikit terasa aroma
minyak tanah. Belum resiko terbakar, atau baju jadi meleleh jika tingkat
kepanasannya sudah sangat tinggi. Begitu seterika diletakkan di baju langsung
lengket, dan dijamin baju sudah tidak bisa dipakai lagi. Itu kalau seterika
yang dipakai masih seterika besi yang berat, umumnya merk jago, yang pengaitnya
memang berbentuk jago.
Namun
jika seterika itu dibuat dari kuningan yang lebih kecil dan ringan, resiko tadi
bisa diminimalisir. Karena begitu ribetnya, saya kadang membawa baju seragam
SMA ke rumah Memet di Kanggotan ketika berangkat belajar bersama. Malam
diseterika, pagi dipakai sekolah.
Kondisi
jahiliyah itu baru berakhir saat bulan Mei tahun 1990. Sehari menjelang pra
ebta SMA, tiba-tiba lampu yang sudah terpasang di rumah menyala. Memang
beberapa bulan sebelumnya tiang listrik sudah masuk Kepuh Lor. Kabel juga sudah
dipasang dan dialirkan ke tiap-tiap rumah. Kami tidak perlu bersusah payah
membeli tiang listrik sendiri yang selama ini menjadi kendala utama. Rasanya
dunia terang benderang bersamaan dengan menyalanya lampu dop di rumah kami.
Waktu itu kami hanya memasang beberapa lampu dop sembari menunggu aliran
listrik benar-benar sampai rumah.
Setelah
diyakini aliran listrik nyata berada di rumah kami, bapak kemudian membeli
berbagai perlengkapan listrik khususnya lampu yang mampu menerangi rumah kami
layaknya saat masih menyalakan petromak. Rumah menjadi terang benderang di
malam hari. Euforia itu berlanjut terus hingga sekitar sebulan kemudian. Lampu
tidak padam sepanjang malam. Kehadiran listrik mampu mengatasi segala keribetan
itu.
Dan
memang selayaknya listrik dapat dinikmati oleh seluruh warga negara tanpa
kecuali, tentu dengan harga yang murah. Saya tidak mau ikut pusing
mengkalkulasi biaya produksi, harga jual, subsidi dan tetek bengek lainnya. Mau
saya sangat sederhana, listrik menyala, kalau bisa malah menyala terus, terang
terus sepanjang masa. (*)