Kata Pengantar
Oleh Soesilo Toer
Ketika libur lebaran
kemarin datang seseorang dari daerah Bulu, Rembang, tempat di mana dimakamkan
wanita sejati Indonesia, RA Kartini. Ketika itu dia membeli buku Cinta Pertama yang dijual di
Perpustakaan Pataba. Selain itu, dia juga bercerita memiliki naskah dan hendak
diterbitkan. Saya menyuruh dia mencetak dan memberikannya kepada saya. Nama
orang itu adalah Danang Pamungkas, yang naskahnya saya sunting dan saat ini sedang pembaca pegang.
Dalam bukunya, Danang
Pamungkas berterus-terang mengakui perubahan drastis hidup di desa dan di kota
besar. Apalagi kota besar yang dimaksud adalah Yogya yang terkenal sebagai kota
pelajar. Bukan hanya nasional, melainkan juga internasional. Yogya tak beda
dengan kota Praha di Cekoslovakia sebagai kota pemuda sesudah Perang Dunia II
atau Moskow sesudah tahun 1960 sebagai kota mahasiswa sedunia di mana mahasiswa
yang meliputi setengah juta orang dari lebih seratus negara belajar di sana,
Saya percaya, setiap buku punya makna dan tujuan, baik secara terbuka ataupun tersembunyi. Itu urusan dan rahasia sang penulis sendiri. Buat saya, yang
paling jelas dari buku ini adalah bukan lahir dari persoalan orang lain,
melainkan lahir dari pengalaman pribadi. Bukan
buku pesanan demi imbalan tertentu dari tokoh yang ia tulis.
Sebagai sama-sama bekas
mahasiswa yang berbeda rentang waktu lebih dari 60 tahun (antara pertengahan
abad 20 dan permulaan milenium ketiga) jelas memiliki banyak perbedaan, walau
ada juga sisa-sisa kesamaannya. Yang jelas, perubahan orde membawa konsekuensi
tersendiri dalam dunia pendidikan. Hal itu nyata dikemukakan oleh Danang
Pamungkas. Satu yang saya rasakan, Danang Pamungkas terlihat banyak membaca
buku. Nyata dari banyak tokoh yang disebut dan sitiran kata-kata sang tokoh
dalam buku ini.
Soal penilaian terhadap
tokoh, itu urusan Danang Pamungkas pribadi. Dan, itu buat saya sangat positif.
Seiring dengan berjalannya waktu dan semakin dewasanya sang tokoh ini, pasti
akan makin objektif apa yang pernah ia kemukakan dan ia nilai. Seperti
kata-kata dia sendiri, dialektika hidup dengan segala konsekuensinya.
Satu hal yang misterius
buat saya adalah disebutkannya tokoh yang menurutnya di atas rata-rata tokoh
lain. Banyak nama tokoh seperti itu, sebut saja Bob – raja kayu lapis Indonesia
dan salah satu tokoh di balik dendam tersembunyi sang tokoh utama, Fuad – bekas
menteri PDK Orde Baru dengan apologia-nya Sokrates, Basri – tokoh dalam kabinet
Presiden ke-7 RI. Dan masih banyak yang lain memerlukan catatan kaki.
Ada juga hal yang
menarik ketika Danang Pamungkas menyebut dirinya proletar. Padahal kalau
menyimak naskah dari kalimat pertama sampai titik terakhir tidak ada
sama sekali gejala seperti itu. Itu kalau menurut sejarah lahirnya istilah
tersebut, kapan dan di mana lahirnya.
Pernah di Indonesia ada
tokoh yang berupaya membangun perekonomian Indonesia yang dia sebut sebagai
ekonomi Pancasila dengan tiang utama etatisme. Nama ahli ekonomi mikro dari UGM
itu melambung sebentar dan kemudian tenggelam begitu saja sekitar tahun 1980.
Seingat saya, bahkan saya ingin berpolemik lewat surat kabar terbesar di
Indonesia. Waktu itu belum berkembang HP. Namun surat kabar tersebut menolak
dengan alasan tidak menerima polemik. Doktor ekonomi itu sangat akrab dengan
para wartawan, tetapi begitu diangkat menjadi tokoh DPR/MPR menolak menemui
wartawan. Tokoh yang begini menurut Abraham Lincoln (Presiden Amerika Serikat
yang terbunuh) jelas bukan tokoh baik.
Menurut Sokrates,
negara baik itu dipimpin oleh orang baik. Cara untuk menguji orang baik itu
adalah dengan memberikan dia jabatan. Berubah
atau tidak ketika orang itu mempunyai jabatan, kata Abraham Lincoln. Perubahan yang dimaksud Abraham Lincoln tentunya adalah 3T (tahta,
harta, dan kalau lelaki - wanita).
Saya percaya pada
ajaran dialektika fanta rei yang mengajarkan semua mengalir, semua berubah. Termasuk diri seseorang:
berubah umur, rambut. Cuma perubahan itu bagi setiap orang terasa berbeda,
karena setiap individu adalah manusia tunggal dengan citarasa berbeda pula. Jadi, adanya adagium rasa tak bisa diperdebatkan, dalam hal ini,
berlaku hukum tersebut. Danang Pamungkas membuktikan itu dalam tulisannya. Dia melukiskan apa saja yang dia
alami dengan lugas, pas, dan menarik dibaca dan dipelajari. Berbagai kesukaran
dalam studi, berbagai uneg-uneg dalam bergaul, berbagai langkah konyol seorang
pemuda meningkat remaja, tumplek blek dia tulis. Terutama dalam kaitannya
dengan birokrasi kampus dan perguruan tinggi di mana dia menempuh studi yang
dia pilih sendiri. Dan, dengan berbagai kesukaran itulah akhirnya ia berhasil
lulus sebagai sarjana seperti yang ia cita-citakan. Itu terbukti dari skripsi
yang ia tulis. Karena itu, hai mahasiswa, bacalah tulisan Danang Pamungkas ini
sebagai contoh kasus nyata bagaimana berjuang mewujudkan cita-cita.
Blora, 31 Juli
2017
Soesilo Toer
Hidup di kota besar bukanlah hal mudah bagi Mayong. Ia
menemukan ketidakadilan, penindasan, ketidakmanusiawian dan juga kebodohan yang
menjadi ciri bangsanya. Ia berharap banyak dengan pendidikan tinggi akan
membuatnya menjadi manusia bebas dan bermartabat bagi dirinya. Namun lika-liku
kehidupan yang menerjang membuatnya pesimis dengan harapan yang telah ia
imajinasikan dalam alam pikirannya selama ini. Wanita silih-berganti mengisi
hidupnya, baik wanita berdarah Melayu maupun wanita berdarah Jawa. Namun malang
nasib Mayong, tidak satu pun dari mereka mampu membuatnya sadar bahwa asmara
itu tidak hanya dirasionalkan saja, tetapi juga membutuhkan sesuatu hal yang
tidak bisa ia temukan di lingkungan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Novel
ini seperti membawa diri saya sendiri menelusuri masa lampau; masa di mana
kampus bukan berisi pekarangan, melainkan penentangan. Masa di mana kehidupan
kuliah bukan diisi oleh kedatangan, melainkan kehadiran sebuah mimpi.
Eko Prasetyo –
Lugas,
pas, dan menarik dibaca dan dipelajari. Berbagai kesukaran dalam studi,
berbagai uneg-uneg dalam bergaul, berbagai langkah konyol seorang pemuda
meningkat remaja, tumplek blek dia tulis.
Soesilo Toer –
Penulis: DANANG PAMUNGKAS
Penyunting: SOESILO TOER
Penerbit: PATABA PRESS
Cetakan Pertama: Agustus, 2017
Tebal Buku: xvi + 184 halaman, 14 x 21 cm
ISBN: 978-602-61940-2-2
Harga: Rp. 70.000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar