Dari Penerbit
Ibuku di Surga pernah diterbitkan secara mandiri dan dicetak terbatas oleh penulis pada tahun 2002. Buku ini terdiri dari tiga buah cerita: “Keluarga Pak Wirya”, “Ibuku di Surga” dan “Ketika Jepang Datang” yang menceritakan tentang keadaan sebuah keluarga di kota kecil di ujung paling timur Jawa Tengah.
“Keluarga Pak Wirya” menceritakan tentang keluarga miskin beranak banyak yang terpaksa menitipkan sebagian anaknya pada keluarga lain, karena penghasilan kepala keluarga sebagai penggali pasir tidak memadai pada zaman Jepang yang gila-gilaan.
Ketika akhirnya Mbok Wirya jatuh sakit dan terlilit lintah darat, ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan menceburkan diri ke sumur dan bertekad tidak mau lagi ditolong, walau sebenarnya masih bisa. Akhirnya, karena kebutuhan, Pak Wirya menjadi kuli membersihkan sumur yang dipakai istrinya untuk bunuh diri, dan ia menjatuhkan diri sekalian ke dalamnya.
“Ibuku di Surga” menceritakan tentang keteguhan seorang ibu dalam membesarkan anak-anaknya yang berjumlah delapan orang dan mendidiknya dalam hal kerja, tanggung jawab, dan kemandirian dengan langsung memberikan contoh dan penjelasan. Sosok ibu dalam cerita ini mengajarkan tidak ada pekerjaan yang hina. Pekerjaanlah yang membuat manusia bermanfaat dan mulia. Digambarkan oleh penulis sosok ibunda yang bersikap lemah lembut kepada anak-anaknya, namun di sisi lain dapat juga bersikap keras mendidik anak dalam kesopanan tata krama Jawa pada umumnya.
“Ketika Jepang Datang” adalah cerita terakhir yang menggambarkan datangnya balatentara Nippon di Jawa sebagai zaman hiruk-pikuk dan kacau-balau. Sang ibu berusaha tetap tegar, namun penyakit, kelelahan dan kemalangan dalam melahirkan mengakhiri hidup pada usia muda bersamaan waktu dengan anaknya yang terkecil.
Tidak banyak buku Indonesia yang melukiskan zaman pancaroba akhir penjajahan Belanda dan awal penjajahan Jepang. Inilah satu di antaranya, khusus menurut penglihatan seorang anak berumur 7–8 tahun. Anak adalah filsuf yang pertama. Dengan pancaindranya yang masih jernih, terang dan tajam ia mengamati sekitar, mempertanyakannya dan menyimpulkan masalah-masalahnya, walau tidak dalam bentuk rumusan-rumusan seperti pada orang dewasa. Maka pengamatan, pemertanyaan dan perumusan anak itu tidak kurang relevan dibanding dengan pengamatan, pemertanyaan dan perumusan dewasa. Membaca buku ini sama saja dengan mengamati salah satu pojok masyarakat dan sejarah Indonesia.
Buku ini memiliki beberapa kemiripan dengan buku Bukan Pasar Malam dan Cerita dari Blora karangan Pramoedya Ananta Toer. Selain keluarga yang menjadi mata pusaran dalam cerita ini, dapat pula kita saksikan keadaan sebuah kota miskin pada umumnya.
Satu lagi karya dari seorang penulis yang namanya melambung sebagai seorang penerjemah kelas wahid Indonesia yang khusus dipersembahkan kepada ketiga orang anaknya dan kepada anak-anak di seluruh Indonesia. Semoga buku ini dapat menjadi tambahan bahan bacaan bagi anak-anak di seluruh Indonesia, bahkan dunia, untuk mengisi segmen buku anak-anak yang belakangan ini semakin terpinggirkan. Akhir kata, penerbit mengucapkan selamat membaca kepada adik-adik sekalian.
Jogjakarta, 24 Februari 2017 15:25
Ketika akhirnya Mbok Wirya jatuh sakit dan terlilit lintah darat, ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan menceburkan diri ke sumur dan bertekad tidak mau lagi ditolong, walau sebenarnya masih bisa. Akhirnya, karena kebutuhan, Pak Wirya menjadi kuli membersihkan sumur yang dipakai istrinya untuk bunuh diri, dan ia menjatuhkan diri sekalian ke dalamnya.
“Ibuku di Surga” menceritakan tentang keteguhan seorang ibu dalam membesarkan anak-anaknya yang berjumlah delapan orang dan mendidiknya dalam hal kerja, tanggung jawab, dan kemandirian dengan langsung memberikan contoh dan penjelasan. Sosok ibu dalam cerita ini mengajarkan tidak ada pekerjaan yang hina. Pekerjaanlah yang membuat manusia bermanfaat dan mulia. Digambarkan oleh penulis sosok ibunda yang bersikap lemah lembut kepada anak-anaknya, namun di sisi lain dapat juga bersikap keras mendidik anak dalam kesopanan tata krama Jawa pada umumnya.
“Ketika Jepang Datang” adalah cerita terakhir yang menggambarkan datangnya balatentara Nippon di Jawa sebagai zaman hiruk-pikuk dan kacau-balau. Sang ibu berusaha tetap tegar, namun penyakit, kelelahan dan kemalangan dalam melahirkan mengakhiri hidup pada usia muda bersamaan waktu dengan anaknya yang terkecil.
Tidak banyak buku Indonesia yang melukiskan zaman pancaroba akhir penjajahan Belanda dan awal penjajahan Jepang. Inilah satu di antaranya, khusus menurut penglihatan seorang anak berumur 7–8 tahun. Anak adalah filsuf yang pertama. Dengan pancaindranya yang masih jernih, terang dan tajam ia mengamati sekitar, mempertanyakannya dan menyimpulkan masalah-masalahnya, walau tidak dalam bentuk rumusan-rumusan seperti pada orang dewasa. Maka pengamatan, pemertanyaan dan perumusan anak itu tidak kurang relevan dibanding dengan pengamatan, pemertanyaan dan perumusan dewasa. Membaca buku ini sama saja dengan mengamati salah satu pojok masyarakat dan sejarah Indonesia.
Buku ini memiliki beberapa kemiripan dengan buku Bukan Pasar Malam dan Cerita dari Blora karangan Pramoedya Ananta Toer. Selain keluarga yang menjadi mata pusaran dalam cerita ini, dapat pula kita saksikan keadaan sebuah kota miskin pada umumnya.
Satu lagi karya dari seorang penulis yang namanya melambung sebagai seorang penerjemah kelas wahid Indonesia yang khusus dipersembahkan kepada ketiga orang anaknya dan kepada anak-anak di seluruh Indonesia. Semoga buku ini dapat menjadi tambahan bahan bacaan bagi anak-anak di seluruh Indonesia, bahkan dunia, untuk mengisi segmen buku anak-anak yang belakangan ini semakin terpinggirkan. Akhir kata, penerbit mengucapkan selamat membaca kepada adik-adik sekalian.
Jogjakarta, 24 Februari 2017 15:25
IBUKU DI SURGA
Tidak banyak buku Indonesia yang melukiskan
zaman pancaroba akhir penjajahan Belanda dan awal penjajahan Jepang. Inilah
satu di antaranya, khusus menurut penglihatan seorang anak berumur 7-8 tahun.
Anak adalah filsuf yang pertama. Dengan pancainderanya yang masih jernih,
terang dan tajam ia mengamati sekitar, mempertanyakannya dan menyimpulkan
masalah-masalahnya , walau tidak dalam bentuk rumusan-rumusan seperti pada
dewasa. Maka pengamatan, pemertanyaan dan perumusan anak itu tidak kurang
relevan dibanding dengan pengamatan, pemertanyaan dan perumusan dewasa. Membaca
buku ini sama saja dengan mengamati salah satu pojok masyarakat dan sejarah
Indonesia.
Pengarang buku ini, Koesalah
Soebagyo Toer, memasuki dunia sastra sebagai penulis cerita pendek. Walau kegiatannya
sebagai penerjemah (Inggris, Rusia, Belanda, dan Jawa) kemudian lebih
menyibukkannya, jiwanya tetap pada kesusasteraan
Ibuku di Surga
merupakan salah satu cerita yang ditulisnya ketika mendekam dalam penjara Orde
Baru Salemba Jakarta (1968-1978), di samping cerita Adik Tentara/Adhine Tentara (1996) yang terbit dalam bahasa
Indonesia dan Jawa.
Penulis: KOESALAH SOEBAGYO TOER
Penyunting: SOESILO TOER
Penerbit:
PATABA PRESS
Cetakan Pertama: 2002
Cetakan Kedua: Maret, 2017
Tebal Buku: xii + 168 halaman,
14 x 21 cm
ISBN: 978-602-60211-4-4
Harga: Rp. 50.000,00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar