Kata
Pengantar
Dalang
Kentrung Terakhir karya Mas Joyo Juwoto ini sama halnya seperti kumpulan
cerpen Eutanasia karya Linda Tria
Sumarno yang berasal dari daerah sama – Bangilan, Tuban, Jawa Timur. Kumpulan cerpen ini juga penuh
dengan kejutan yang belum pernah saya dengar dan begitu menyentuh perasaan. Taruhlah secara acak tentang
dongeng “Santri Kreweng”, yang merupakan perbendaharaan baru dalam bentuk
istilah yang saya ketahui. Memang, sejak zaman Belanda, pendudukan
Jepang, dan permulaan Revolusi 1945, saya sudah biasa mendengar istilah santri
gudik dengan segala dongeng mirisnya. Dan, kehidupan para santri yang
didedahkan oleh Mas Joyo merupakan kejutan positif bagi diri pribadi saya.
Dalam cerita “Ongkek Bambu” terlihat jelas Mas Joyo Juwoto mengkritisi pemerintah dari sudut pandang yang menurut pandangan umum merupakan sampah
masyarakat. Sebagian besar cerita Mas Joyo Juwoto memperhatikan
detail-detail sederhana, bahkan sepele,
yang bagi orang lain mungkin kurang penting, tapi bagi Mas Joyo Juwoto menjadi
suatu kelebihan, ciri khas. Tokoh-tokoh dalam tulisan-tulisan Mas Joyo Juwoto
seperti mencari sesuatu atau menyusuri menuju ke arah Sang Pencipta. Ketika
membaca naskah ini, saya jadi teringat dengan naskah Kiai Budi berjudul Kafilah Cinta yang belum terbit, yang juga
memiliki berbagai kemiripan. Di sinilah terlihat tulisan-tulisan Mas Joyo
Juwoto bersifat realisme-agamis-magis dan dalam sebagian besar ceritanya, Mas
Joyo Juwoto mengajak pembaca menebak atau menentukan sendiri bagaimana akhir
cerita dengan dibantu oleh petunjuk dari penulis melalui ciri-ciri khusus.
Cerita tentang penderas legen sangat miris dan tragis. Walau saya pernah melihat
sendiri, dengan kepala sendiri, di perkampungan penganut buddhisme di Jember,
tidak jauh dari Bukit Manoreh, Bagelen, Purworejo, Jawa Tengah sekitar tahun
1985. Ketika itu saya sedang berburu darkem (dara kembang) agar terbebas dari
derita menahun dukon (duda kontemporer). Saya melihat bagaimana para lelaki,
tua dan muda, seperti monyet dalam keadaan gerimis, bahkan hujan, memanjat pohon
kelapa dengan cekatan untuk menderas legen dan kemudian memasaknya menjadi gula
merah. Dan, para lelaki itu belum pernah melihat mobil, kereta api, bahkan
becak sekalipun. Mereka selamanya tinggal di bukit, bersembunyi seperti Buddha
Gautama dalam kehidupan “sangkar emas” istana, sehingga tak mengetahui apa itu
api, apa itu hujan angin.
Cerita tentang Mbah Ratri dalam
“Dalang Kentrung Terakhir” dan “Kentrung Bate” juga tak boleh dilewatkan untuk
dibaca. Kami di Pataba juga pernah menanggap kentrung dalam suatu acara. Bahkan
dalang yang kami tanggap itu pun kabarnya tinggal satu-satunya, sama halnya dengan Mbah
Ratri, sang dalang
kentrung terakhir. Jadi, kentrung merupakan kesenian yang mendekati kemusnahan
kalau tak ada generasi penerus yang mau melestarikannya. Walau Indonesia pernah
memiliki satu-satunya peneliti dengan gelar Doktor Kentrung, dia tidak lain
adalah Suripan Hadiutomo dari Blora yang kabarnya mendapat pengakuan akademik
dari Belanda. Sangat miris.
Ada banyak istilah dalam dunia
tulis-menulis dunia. Ada aliran klasik, modern, realisme-magis,
realisme-sosial, realisme-sosialis, bahkan realisme-ideal dan entah apa lagi.
Yang jelas semua tulisan, termasuk tulisan Mas Joyo Juwoto, memiliki misi, memiliki
tujuan, memiliki fungsi, memiliki makna, dan laureat nobel dari Swedia, Gunnar
Myrdal dengan trilogi Asian Drama-nya
pernah menyatakan bahwa semua buku mempunyai manfaat, tinggal kita bisa atau
tidak mengambil manfaat itu. Yang jelas setiap buku mengandung rasa, apa pun
alirannya, dan rasa tersebut tidak bisa diperdebatkan – non dispuntandum.
Bagi saya, menggeliatnya kegiatan
baca-tulis di Tuban belakangan ini sangat positif dan menjanjikan. Harus
didukung. Siapa tahu Tuban bukan hanya legenda metu banyune (keluar airnya) atau watu tiban (batu jatuh), bukan hanya menjadi latar cerita Arus Balik yang begitu luar biasa, melainkan
juga, moga-moga, menjadi kota pertama di Nusantara yang menyandang gelar
“Tempat Utama Budaya Baca-Tulis Anak-anak Nusantara” yang saya singkat “TUBAN”
dan melahirkan penulis sekelas, atau bahkan melebihi, Pramoedya Ananta Toer.
Semoga!
Blora, 19 Juli 2017
Soesilo
Toer
“Ingat, Nduk, kentrung
tidak hanya sekadar hiburan semata, tetapi juga kentrung adalah jalanmu. Jalan
yang akan mengantarkanmu hingga nanti engkau sampai pada jalan kasampurnan
hidup,” Kiai Basiman melanjutkan wejangan.
Ratri hanya diam, dia adalah satu-satunya santri Kiai
Basiman yang mendapatkan amanah untuk melanjutkan tradisi kentrung
Sebagian besar cerita Mas Joyo
Juwoto memperhatikan detail-detail sederhana, bahkan
sepele, yang bagi orang lain mungkin kurang penting, tapi bagi Mas Joyo Juwoto
menjadi suatu kelebihan, ciri khas. Tokoh-tokoh dalam tulisan-tulisan Mas Joyo
Juwoto seperti mencari sesuatu atau menyusuri menuju ke arah Sang Pencipta.
Soesilo Toer –
Penulis: JOYO JUWOTO
Penyunting: SOESILO TOER
Penerbit: KOMUNITAS KALI KENING & PATABA PRESS
Cetakan Pertama: Agustus, 2017
Tebal Buku: xii + 132 halaman, 14 x 20 cm
ISBN: 978-602-61940-1-5
Harga: Rp.55.000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar