Sabtu, 12 Agustus 2017

DALANG KENTRUNG TERAKHIR




Kata Pengantar

          Dalang Kentrung Terakhir karya Mas Joyo Juwoto ini sama halnya seperti kumpulan cerpen Eutanasia karya Linda Tria Sumarno yang berasal dari daerah sama – Bangilan, Tuban, Jawa Timur. Kumpulan cerpen ini juga penuh dengan kejutan yang belum pernah saya dengar dan begitu menyentuh perasaan. Taruhlah secara acak tentang dongeng “Santri Kreweng”, yang merupakan perbendaharaan baru dalam bentuk istilah yang saya ketahui. Memang, sejak zaman Belanda, pendudukan Jepang, dan permulaan Revolusi 1945, saya sudah biasa mendengar istilah santri gudik dengan segala dongeng mirisnya. Dan, kehidupan para santri yang didedahkan oleh Mas Joyo merupakan kejutan positif bagi diri pribadi saya.
          Dalam cerita “Ongkek Bambu” terlihat jelas Mas Joyo Juwoto mengkritisi pemerintah dari sudut pandang yang menurut pandangan umum merupakan sampah masyarakat. Sebagian besar cerita Mas Joyo Juwoto memperhatikan detail-detail sederhana, bahkan sepele, yang bagi orang lain mungkin kurang penting, tapi bagi Mas Joyo Juwoto menjadi suatu kelebihan, ciri khas. Tokoh-tokoh dalam tulisan-tulisan Mas Joyo Juwoto seperti mencari sesuatu atau menyusuri menuju ke arah Sang Pencipta. Ketika membaca naskah ini, saya jadi teringat dengan naskah Kiai Budi berjudul Kafilah Cinta yang belum terbit, yang juga memiliki berbagai kemiripan. Di sinilah terlihat tulisan-tulisan Mas Joyo Juwoto bersifat realisme-agamis-magis dan dalam sebagian besar ceritanya, Mas Joyo Juwoto mengajak pembaca menebak atau menentukan sendiri bagaimana akhir cerita dengan dibantu oleh petunjuk dari penulis melalui ciri-ciri khusus.
Cerita tentang penderas legen sangat miris dan tragis. Walau saya pernah melihat sendiri, dengan kepala sendiri, di perkampungan penganut buddhisme di Jember, tidak jauh dari Bukit Manoreh, Bagelen, Purworejo, Jawa Tengah sekitar tahun 1985. Ketika itu saya sedang berburu darkem (dara kembang) agar terbebas dari derita menahun dukon (duda kontemporer). Saya melihat bagaimana para lelaki, tua dan muda, seperti monyet dalam keadaan gerimis, bahkan hujan, memanjat pohon kelapa dengan cekatan untuk menderas legen dan kemudian memasaknya menjadi gula merah. Dan, para lelaki itu belum pernah melihat mobil, kereta api, bahkan becak sekalipun. Mereka selamanya tinggal di bukit, bersembunyi seperti Buddha Gautama dalam kehidupan “sangkar emas” istana, sehingga tak mengetahui apa itu api, apa itu hujan angin.
          Cerita tentang Mbah Ratri dalam “Dalang Kentrung Terakhir” dan “Kentrung Bate” juga tak boleh dilewatkan untuk dibaca. Kami di Pataba juga pernah menanggap kentrung dalam suatu acara. Bahkan dalang yang kami tanggap itu pun kabarnya tinggal satu-satunya, sama halnya dengan Mbah Ratri, sang dalang kentrung terakhir. Jadi, kentrung merupakan kesenian yang mendekati kemusnahan kalau tak ada generasi penerus yang mau melestarikannya. Walau Indonesia pernah memiliki satu-satunya peneliti dengan gelar Doktor Kentrung, dia tidak lain adalah Suripan Hadiutomo dari Blora yang kabarnya mendapat pengakuan akademik dari Belanda. Sangat miris.
          Ada banyak istilah dalam dunia tulis-menulis dunia. Ada aliran klasik, modern, realisme-magis, realisme-sosial, realisme-sosialis, bahkan realisme-ideal dan entah apa lagi. Yang jelas semua tulisan, termasuk tulisan Mas Joyo Juwoto, memiliki misi, memiliki tujuan, memiliki fungsi, memiliki makna, dan laureat nobel dari Swedia, Gunnar Myrdal dengan trilogi Asian Drama-nya pernah menyatakan bahwa semua buku mempunyai manfaat, tinggal kita bisa atau tidak mengambil manfaat itu. Yang jelas setiap buku mengandung rasa, apa pun alirannya, dan rasa tersebut tidak bisa diperdebatkan – non dispuntandum.
          Bagi saya, menggeliatnya kegiatan baca-tulis di Tuban belakangan ini sangat positif dan menjanjikan. Harus didukung. Siapa tahu Tuban bukan hanya legenda metu banyune (keluar airnya) atau watu tiban (batu jatuh), bukan hanya menjadi latar cerita Arus Balik yang begitu luar biasa, melainkan juga, moga-moga, menjadi kota pertama di Nusantara yang menyandang gelar “Tempat Utama Budaya Baca-Tulis Anak-anak Nusantara” yang saya singkat “TUBAN” dan melahirkan penulis sekelas, atau bahkan melebihi, Pramoedya Ananta Toer. Semoga!

Blora, 19 Juli 2017 
Soesilo Toer



“Ingat, Nduk, kentrung tidak hanya sekadar hiburan semata, tetapi juga kentrung adalah jalanmu. Jalan yang akan mengantarkanmu hingga nanti engkau sampai pada jalan kasampurnan hidup,” Kiai Basiman melanjutkan wejangan.
Ratri hanya diam, dia adalah satu-satunya santri Kiai Basiman yang mendapatkan amanah untuk melanjutkan tradisi kentrung

Sebagian besar cerita Mas Joyo Juwoto memperhatikan detail-detail sederhana, bahkan sepele, yang bagi orang lain mungkin kurang penting, tapi bagi Mas Joyo Juwoto menjadi suatu kelebihan, ciri khas. Tokoh-tokoh dalam tulisan-tulisan Mas Joyo Juwoto seperti mencari sesuatu atau menyusuri menuju ke arah Sang Pencipta.
Soesilo Toer –

Penulis: JOYO JUWOTO
Penyunting: SOESILO TOER
Penerbit: KOMUNITAS KALI KENING & PATABA PRESS
Cetakan Pertama: Agustus, 2017
Tebal Buku: xii + 132 halaman, 14 x 20 cm
ISBN: 978-602-61940-1-5
Harga: Rp.55.000
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar