Pengantar
Tadinya
saya tahu kota Tuban hanya sebatas legenda “watu tiban” atau “metu banyune”
saja, atau dari lakon wayang krucil yang katanya ciptaan Pangeran Pekik dari
Madura. Pada zaman permulaan kemerdekaan dikenal Kesatuan Ronggolawe yang
dikomandani oleh Jenderal Djatikoesoemo. Pada era Orde Baru saya membaca buku Arus Balik yang sebagian besar berlatar
Tuban dengan tiga tokoh utama Wiranggaleng, Idayu, dan sang “Ulasawa.”
Belakangan ini saya mencoba mengenal Tuban langsung dengan pecel lele dan ikan
bakarnya yang dahsyat nikmat dan harganya. Untung saja ada wartawan Tuban yang
filantrop tulen. Dari dialah saya mengenal kelenteng yang begitu megah dan
menakjubkan, yang dalam cerita “Rey” dikatakan “terbesar se-Asia Tenggara
se-Asia Tenggara dan dengan berani menantang laut lepas yang terhampar luas di
depannya.” Sama seperti Museum Geologi Bandung yang membuat diri kita seperti
debu dibandingkan dengan alam semesta.
Ternyata
kota pantai Laut Jawa ini juga penuh dengan sesuatu yang menakjubkan diri saya.
Begitu banyak tradisi lama yang tersimpan tanpa peduli meski dunia sudah
demikian maju. Dunia maju yang juga penuh dengan dekadensi abad 21, narkoba,
budaya modern kota besar yang berasimilasi dengan tradisi dan budaya local
pedalaman. Semua itu sedikit banyak terkuak dalam karya Linda Tria Sumarno ini.
Gaya menulis seperti film detektif yang penuh dengan kejutan, teka-teki, yang
endingnya harus kita ciptakan sendiri. Edan! Secara acak dapat kita baca Alia,
Rey, Sekar, Jasmin, dll. Kita bak
dipermainkan ombak pantai Laut Jawa di Tuban dan akhirnya kita terbenam batu
tiban besar yang seharusnya menyakitkan, namun justru kita merasakan nikmat
berkepanjangan yang tragis sekaligus romantis. Membaca cerpen Linda Tria
Sumarno ini saya hanyut terbawa arus air mata sendiri. Sudah lama saya tak
menikmati karya yang sedikit ngelantur, namun pas. Sebuah kisah sederhana
tentang kehidupan sehari-hari yang terjadi di sekeliling kita. Dengan jeli
penulis menangkap kejadian-kejadian biasa tersebut dan mengubahnya menjadi
kisah yang luar biasa.
“Senandung
Senja Sang Veteran” adalah hasil nyata Revolusi 1945. Banyak pejuang cacat yang
tak memperoleh pension, namun puluhan ribu lagi dengan tipu daya mengaku
sebagai veteran. Ada seorang yang mengaku veteran dengan bangga pamer sumber
hidupnya dari tiga jenis pension: veteran 45, veteran Trikora, dan pension atas
nama istri yang seorang bekas pegawai negeri, namun pada kenyataannya angkat
senjata pun tidak pernah. Tokoh Mbah Tejo sama dengan yang dialami Prawito
Toer, adik Pramoedya Ananta Toer, yang jelas cacat, dipensiun dini dan dicabut
hak pensiunnya karena difitnah sebagai orang kiri. Lalu siapa yang harus
membela? Yang lucu ada di negeri ini seorang generalissimo – jenderal bintang
lima, entah menang perang lawan siapa hingga mendapat bintang begitu banyak.
Dalam suatu acara resmi internasional yang ditandai dengan tembakan pistol
sebagai pembukaan resminya, eh… tidak tahu cara menembakkan pistol itu! Edan!
“Luka
di Tepian Kali Kening” adalah banyak fakta yang terjadi di negeri ini. Sungguh,
untuk pertama kali saya menikmati alur ceritanya. Sebuah tragedi kemanusiaan
yang tak termaafkan. Pendeknya membaca kumpulan cerpen Linda Tria Sumarno ini
semoga saja merupakan titik awal kebangkitan dunia seni sastra Indonesia untuk
bersinar kembali menandingi gaya dekaden yang pernah saya nilai sebagai
angkatan pertama millennium tiga.
Sebagai
penutup, gaya nglantur Linda Tria Sumarno saya yakin akan mengungguli keindahan
“raja nglantur” kenamaan, Ivan S Turgenev, pengarang kelahiran Rusia abad 19.
Akhir kata, selamat dan terus berkarya!
Blora,
28 Mei 2017
Soesilo Toer
Ratri
tak sudi menemui ibunya yang sedang meregang nyawa. Terlintas di mata Ratri,
ibunya yang malam itu pulang entah dari mana. Ibunya selalu pergi siang hari
dan pulang larut dengan seorang lelaki yang bukan bapaknya. Ia juga tak bisa
melupakan malam di mana ia harus merasakan pedihnya luka yang digoreskan lelaki
ibunya itu, lelaki yang merenggut masa depannya dengan paksa tatkala ibunya tengah
terlelap tidur. Ratri membenci ibunya. Hidupnya semakin terpuruk, saat bapaknya
pulang dari Malaysia tanpa memberi kabar dan mendapatu ibunya sedang bercumbu
dengan lelaki lain. Terjadi pertengkaran hebat antara bapaknya dengan lelaki
ibunya. Hingga membuat ibunya kalap dan menikam bapaknya sampai meregang nyawa
di hadapannya. Satu hal yang tidak mungkin Ratri lupakan dan maafkan seumur
hidup, bahwa ibunya sendirilah yang membuatnya menjadi yatim.
Gaya
menulis seperti film detektif yang penuh dengan kejutan, teka-teki, yang
endingnya harus kita ciptakan sendiri. Edan! Secara acak dapat kita Alia,
Sekar, Jasmin, dll. Kita bak dipermainkan ombak pantai Laut Jawa di Tuban dan
akhirnya kita terbenam batu tiban besar yang seharusnya menyakitkan, namun
justru kita merasakan nikmat berkepanjangan yang tragis sekaligus romantis.
Membaca cerpen Linda Tria Sumarno ini saya hanyut terbawa arus air mata
sendiri.
Soesilo Toer –
Penulis: LINDA TRIA SUMARNO
Penyunting: SOESILO TOER
Penerbit: KOMUNITAS KALI KENING & PATABA PRESS
Cetakan Pertama: Juni, 2017
Cetakan Kedua: Agustus, 2017
Tebal Buku: xii + 132 halaman, 14 x 20 cm
ISBN: 978-602-61434-7-1
Harga: Rp.55.000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar