Jumat, 08 September 2017

PEMBERONTAKAN DI PELABUHAN




Dari Penerbit

Setelah acara bedah buku Cinta Pertama karya Maxim Gorky di aula gedung D lantai 3 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran Kampus Jatinangor, Sumedang, pada 10 Mei 2017 kami melanjutkan perjalanan ke Depok karena satu dan lain hal. Ketika itulah Ibu Utati (istri mendiang Koesalah Soebagyo Toer) memberi kami sebuah fotocopy buku karya Aleksandru Sahia ini bersama dengan beberapa fotocopy majalah lama yang memuat tulisan Koesalah Soebagyo Toer. Memang sudah sejak lama kami memiliki keinginan untuk mengumpulkan tulisan-tulisan lama keluarga Toer, dalam bentuk apa pun, bisa berupa puisi, esai, cerpen, dan sebagainya.
Untuk mewujudkan keinginan itu kami sudah mulai melakukan proses pencarian dengan dibantu beberapa kawan penjual buku lawas seperti Bayu Nugrah, Dodit Sulaksono, Dinding Buku, Entis Gladag, dan lain-lain.
Selama mencari, dan dengan dibantu kawan-kawan tersebut, terkumpul cukup banyak tulisan-tulisan lama. Bahkan sekiranya dibukukan, dapat menjadi beberapa buku. Dari tulisan yang berhasil dikumpulkan, setidaknya kami menemukan ada enam keluarga Toer, mereka adalah Pramoedya Ananta Toer, Walujadi Toer, Koesaisah Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Soesilo Toer, dan Soesetyo Toer. Praktis hanya dua orang keluarga Toer yang, entah tidak menulis atau kami gagal menemukan tulisannya, yaitu Koenmarjatoen Toer dan Oemisjafaatoen Toer. Padahal, pada awalnya kami hanya fokus mengumpulkan tulisan-tulisan lama dari Walujadi Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Soesilo Toer di mana nama ketiganya tercantum dalam buku Bibliografi Karya Sastra Indonesia dalam Majalah; Drama, Prosa, Puisi karya Ernst Ulrich Kratz terbitan UGM Press. Sementara untuk tulisan-tulisan Pramoedya Ananta Toer pasti sudah banyak yang mengumpulkan, demikian pikir kami. Namun andaikata kami menemukannya, tetap kami dokumentasi untuk koleksi pribadi.
Selain dari Ibu Utati, kami juga dapat meminjam dua buah buku lawas dari Mas Dodit Sulaksono karya A.I. Ulyanowa & Jelizarowa berjudul Kenang-kenangan tentang Ilyitsy (Lenin) terjemahan Walujadi Toer dan Anton Chekhov berjudul Pertaruhan terjemahan Pramoedya Ananta Toer & Koesalah Soebagyo Toer.
Dari buku fotocopy Pemberontakan di Pelabuhan kami mengetahui bahwa cerpen “Hujan Juni” sudah pernah dimuat dalam majalah Kisah nomor 10 tahun III Oktober 1955 halaman 21-23 dengan judul “Turunlah Hujan.” Entah apa yang menjadikan kedua judul cerpen itu berbeda. Begitu pun dengan isi keduanya. Entah itu karena cerpen tersebut diterjemahkan ulang (mengingat perbedaan rentang waktu lima tahun antara dipublikasikannya cerpen ini di majalah dan kali pertama buku ini diterbitkan) atau karena proses penyuntingan redaksi, baik itu dari pihak penerbit, maupun majalah. Namun kedua kemungkinan itu tak begitu memberi pengaruh signifikan cerita secara keseluruhan.
Sebagai solusi untuk mengatasi masalah perbedaan, dalam buku ini kami muat sama dengan fotocopy buku yang diberikan oleh Ibu Utati, namun dengan penyesuaian ejaan. Sementara untuk cerpen “Turunlah Hujan” rencananya akan kami muat dalam buku Antologi Cerpen Dunia yang (semoga saja bisa) memuat terjemahan dari Pramoedya Ananta Toer, Walujadi Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Soesilo Toer dari beberapa penulis dari berbagai belahan dunia. Semoga saja buku tersebut bisa segera kita nikmati bersama. Amin.
Buku ini kali pertama diterbitkan oleh Jajasan Pembaruan Djakarta pada tahun 1960. Menurut daftar riwayat hidup Koesalah Soebagyo Toer, buku ini diterjemahkan dari bahasa Inggris. Dari Wikipedia kami mengetahui buku ini berjudul Revolt in the Harbour dalam bahasa Inggris dan Revolta în Port dalam bahasa asli, Rumania. Tentu saja, karena Koesalah Soebagyo Toer baru ke Uni Soviet (sekarang Rusia) tahun 1960, dan mulai menerjemahkan langsung dari bahasa Rusia setelah kembali ke Indonesia, lebih tepatnya lagi setelah bebas dari Penjara Salemba selama sepuluh tahun.
Meskipun diterjemahkan dari bahasa Inggris pada awal-awal sang penerjemah merintis karier, namun tidak dapat dimungkiri buku ini memiliki kualitas terjemahan yang baik. Hal itu bukan semata pendapat asal-asalan, ngawur, atau hanya untuk memuji-muji, namun sudah diakui oleh Dodit Sulaksono, seorang penjual buku lawas yang sudah ahli dalam dunia perbukuan. Bahkan Mas Dodit berani menyatakan bahwa ada perbedaan dari salah satu buku Pramoedya Ananta Toer antara cetakan lama dan cetakan baru. Kalau bukan pemerhati yang tekun, apa mungkin dia bisa mengetahui hal itu? Tentu tidak. Dengan tegas Mas Dodit Sulaksono menyatakan bahwa terjemahan Pak Koesalah Soebagyo Toer lebih baik ketimbang sang kakak, Pramoedya Ananta Toer. Tentu saja kami berpikir bahwa mungkin memang dalam bidang penerjemahan itulah Pak Koesalah Soebagyo Toer berbakat. Bakat yang terus dia pupuk, sampai ke Negeri Beruang Merah di mana dia lebih mendalami filologi, dan hal itu pula yang menjadikan dia sebagai penerjemah terbaik Indonesia, khususnya dari bahasa Rusia. Perlu bukti? Vladimir Putin sudah mengakui dengan memberikan Pushkin Award pada Hari Rusia, 1 Juni 2016, sekitar dua setengah bulan setelah Pak Koesalah Soebagyo Toer wafat. Penghargaan tersebut hanya bisa didapat oleh seorang penerjemah yang sudah menerjemahkan minimum 30 tahun, sementara kalau dihitung sejak kali pertama Pak Koesalah Soebagyo Toer menerjemahkan cerpen “Vanka”  karya Anton Pavilovich Chekhov yang dimuat dalam majalah Kisah nomor 4 tahun III April 1955 halaman 29-30 sampai wafat pada 16 Maret 2016, maka sudah hampir 61 tahun. Dan dalam rentang waktu yang begitu panjang itu Pak Koesalah Soebagyo Toer berhasil menerjemahan banyak buku sastra Rusia termasuk adikarya Leo Tolstoy, Voina i Mir atau dalam bahasa Inggris War and Peace alias Perang dan Damai.
Dengan segala prestasi yang sudah diraih tersebut, tentu akan sulit untuk menandingi atau bahkan mengalahkannya. Namun kami berharap akan lahir penerjemah-penerjemah muda lain yang memiki hasrat, kemauan, ambisi, dan kerja keras untuk mengalahkan Pak Koesalah Soebagyo Toer, jika tidak, maka izinkanlah saya mengutip kata-kata Pramoedya Ananta Toer, “maka sudah semestinya kata kemajuan dihapuskan dari peradaban.” Selamat membaca.

Blora, 10 Juni 2017, 16. 25

    

Pengantar Penerjemah

Belum banyak yang diketahui tentang kesusasteraan Rumania di Indonesia. Seperti negeri-negeri yang lain, Rumania pun mempunyai penulis-penulis terkemuka, yang menulis bukan hanya sekadar iseng, melainkan dengan dasar perjuangan yang lebih meyakinkan.
Alexandru Sahia yang cerita-cerita pendeknya dimuat dalam buku ini, adalah salah seorang penulis Rumania terkemuka yang menulis untuk membela kepentingan rakyat. Ia meninggal tanggal 12 Agustus 1937 ketika masih berumur 29 tahun, dan adalah anak seorang petani yang berhasil dapat membaca dan menulis hanya sesudah perjuangan sengit melawan kemelaratan.
Mula-mula ia membantu majalah-majalah progresif waktu itu, Djaman Baru, Dunia Merdeka dan Kebenaran Sastra, tetapi kemudian ia mendirikan sendiri majalah Kebaja Biru dan harian Abad Baru. Baik majalah-majalah yang dibantunya itu maupun yang dibangunkannya sendiri mendapat tekanan yang berat karena dicekiknya kemerdekaan pers waktu itu, dan demikianlah majalah dan hariannya itu tidak berumur panjang.
Di samping cerita pendek, Sahia adalah juga penulis esei dan artikel. Sekalian tulisannya mengandung keyakinan yang teguh akan menangnya cita-cita merdeka, menangnya dalam perjuangan untuk melenyapkan perbudakan manusia oleh manusia yang lain.
Sahia sadar akan segi buruk daripada penghisapan yang berlaku atas kaum pekerja, dari kebangsaan apa pun juga. Ia pun tahu akan melaratnya nasib kaum tani. Ia mengerti akan tugas seorang penulis. Karena itulah maka hasil-hasil kerjanya rapat bergandengan dengan hasrat rakyat yang terbanyak, yang hidupnya dilukiskan juga di dalam cerita-cerita pendeknya yang termuat ini. Di tengah badai yang dahsyat, ia masih menantikan datangnya langit biru, di mana akan muncul matahari yang akan memancarkan sinarnya.
Betapa pun pahitnya kemelaratan, betapa pun kerasnya keadaan bagi kaum pekerja yang hidup di bawah kekuasaan kaum penghisap, seperti selalu dilukiskannya di dalam cerita pendeknya, tulisan Sahia merupakan ajakan untuk yakin akan hari depan, ajakan untuk berjuang.
Saya harap, cerita-cerita pendek Sahia ini tidak hanya akan dapat dinikmati sebagai hasil sastra, melainkan juga sebagai ajakan, ajakan untuk yakin akan hari depan, ajakan untuk berjuang.

Koesalah Soebagyo Toer



Penutup

Terus terang, selama 11 tahun di Uni Soviet (1962-1973) belum pernah saya mendengar tentang para tokoh atau budayawan Rumania. Kalau Bulgaria dengan lagu-lagu pop yang berbahasa praktis sama dengan bahasa Rusia, Hungaria dengan lagu-lagu bangsa pengembara, praktis saya dengar setiap hari. Kalau ditelusuri, waktu itu memang seperti ada perang dingin antara Uni Soviet dengan Rumania, terutama masalah perdagangan minyak. Kedua negara sama-sama produsen minyak, cuma kemampuan yang berbeda.
Siberia adalah pusat gas minyak bumi. Eropa praktis dikuasai oleh Uni Soviet. Oleh karena itu Rumania kehilangan pasar. Hal itu menimbulkan sentimen antara kedua negara, termasuk dalam dunia budaya dan kesusasteraan pada umumnya. Jangankan Rumania yang praktis bertetangga dengan Uni Soviet, dalam Peristiwa 65 di Indonesia pun mengalami dampak luar biasa, terutama bagi mahasiswa Indonesia yang pada waktu itu belajar di Uni Soviet. Mereka yang semula diperlakukan sebagai anak emas, setelah Peristiwa 65 menjadi anak tiri. Karya pengarang terkenal Rusia, Fyodor Dostoyevsky pun waktu itu dianjurkan untuk tidak dibaca karena dianggap menyebarkan ajaran pesimisme menghadapi dunia masa depan, sementara ketika itu Uni Soviet penuh optimisme berkait sosialisme-komunisme.
Ada kenang-kenangan tersendiri antara saya dengan Rumania. Setidaknya tiga kali saya istirahat musim panas di Republik Moldavia yang berbatasan dengan Rumania dan hanya dipisahkan oleh Sungai Dnester yang tenang dan bersih selebar hanya sekitar 100 meter.
Selama saya masuk sebagai anggota Negeri Tirai Besi, perekonomian Moldavia berkembang sangat signifikan, terutama pertanian yang berkembang puluhan kali dan menjadi basis utama penyuplai produk pertanian untuk Rusia yang beriklim dingin. Namun Moldavia masih kalah jauh dengan Rumania. Jadi, sepanjang Sungai Dnester adalah merupakan lahan pameran keberhasilan dalam dunia pertanian Rumania. Sama seperti halnya Tembok Berlin sesudah selesai Perang Dunia II, sehingga banyak orang Jerman Timur yang lari ke Jerman Barat lewat perbatasan Berlin Barat tersebut oleh iming-iming keberhasilan ekonomi dunia Barat.
Yang ingin saya ceritakan adalah, saya juga kepincut dengan iming-iming Rumania tersebut. Pada suatu kesempatan sambil istirahat di tepi Sungai Dnester, saya diam-diam menghindari pengawal perbatasan: berenang ke Rumania, mencuri anggur, makan sekenyangnya, dan kemudian berenang kembali ke Moldavia. Orang di sana menyebut daerah itu adalah Bezarabika yang berarti daerah yang tidak pernah dikuasai oleh bangsa Arab, yang pernah jaya sampai Andalusia di Spanyol.
Karena kekenyangan dan kecapaian saya hampir tenggelam. Untung diselamatkan para penjaga perbatasan. Saya dihabisi dengan makian dan sumpah serapah. Namun tidak menyentuh fisik saya sama sekali. Hal itu saya ingat sampai hari ini walau itu sudah terjadi lebih 50 tahun yang lalu.
Sudah disinggung oleh sang penerjemah, Koesalah Soebagyo Toer, Alexandru Sahia adalah orang yang percaya akan hari kemenangan kaum proletar. Perlu dijelaskan bahwa istilah proletar berasal dari dua kata; pro yang berarti mendung atau setuju dan l’etat yang berarti negara – kelompok tertindas yang mendukung berdirinya negara di bawah kaum yang tertindas. Istilah proletar muncul sekitar permulaan abad ke-19 bersamaan dengan lahirnya istilah liberty dan liberalisme dan lahirnya negara-negara yang mengandalkan modal sebagai cara baru menghisap dan menindas kaum miskin.
Alexandru Sahia (11 Oktober 1908 – 12 Agustus 1937) adalah nama pena dari Alexandru Stănescu. Dia adalah seorang jurnalis komunis dan pengarang cerita pendek dari Rumania yang paling terkenal di antara pengarang-pengarang lain di Rumania. Alexandru Sahia lahir di Mânăstirea, Călăraşi County dalam sebuah keluarga petani miskin, sehingga hal itu berpengaruh sangat besar terhadap cerita-cerita yang dia tulis. Dalam tiap ceritanya selalu terbayang perjuangan melawan penindasan untuk memberi kedudukan golongan yang lemah di dalam masyarakat. Membaca karya-karya Alexandru Sahia yang cuma sedikit, saya menyimpulkan bahwa ia adalah seorang radikal kiri.
Alexandru Sahia mendaftar di Croiva Military College, yang dia anggap “menyesakkan.” Dia menyelesaikan pendidikan tingkat dua di Saint Sava National College di Bukharest dan mulai belajar hukum di Universitas Bukharest. Dia menderita akibat depresi dan, meskipun kemungkinan besar masih ateis, dia menjadi pengikut baru di Biara Cernica pada 1929. Secara mengejutkan dia menggunakan periode yang relatif terisolasi itu untuk mempelajari marxisme, yang dia dirikan untuk menciptakan “arah paling tepat dalam kehidupan yang luar biasa.” Alexandru Sahia berpendapat itu merupakan salah satu cara memperjuangkan masa depan kaum proletar supaya dapat hidup lebih manusiawi.
Pada tahun 1930, Alexandru Sahia meninggalkan biara dan melakukan perjalanan ke Timur Tengah, mengadopsi nama barunya yang berasal dari bahasa Arab sahiya yang berarti kebenaran. Alexandru Sahia banyak menulis dalam majalah The New Era, The Free World dan The Literary Truth.
Mengikuti zaman, dalam kehidupan Sahia mulai berkolaborasi dengan Partai Komunis Rumania. Sebagai partai yang diadopsi dari Joseph Stalin, tokoh Partai Komunis Rusia dari Gruzia, bidang ideologi yang terkenal itu, dalam Kongres ke-V pada 1934 Alexandru Sahia diminta sebagai salah satu orang yang dapat “menyampaikan” kepada masyarakat. Keterlibatan Alexandru Sahia dengan partai kiri dapat kita simak dari salah satu cerpen yang dia sitir dari karya antitesis Vladimir Ilyich Lenin terhadap tesis Karl Heinrich Marx, yaitu revolusi sosialis harus dilakukan melalui organisasi yang modern.
Alexandru Sahia adalah seorang anggota Amicii URSS, dia juga dibiayai oleh majalah yang diinisiatori partai, Bluze Albastre (Blue Blouses atau Kebaya Biru) dan harian Veac Nou (The New Century). Namun keduanya tak bisa hidup lama, karena Pemerintah Rumania waktu itu tak suka melihat dia mencapai kemajuan-kemajuan dalam lapangannya.
Pada periode itu juga kali pertama dia dibiayai secara politik. Cerita-cerita pendek realisme-sosialis Alexandru Sahia ala Maxim Gorky antara lain “Revolta în Port” (“Revolt in the Harbour” atau “Pemberontakan di Pelabuhan”), “Uzina vie” (“The Living Factory” atau “Pabrik yang Bernyawa”), “Întoarcerea tatii din război” (“Father’s Return from the War” atau “Kembalinya Ayah dari Perang”), “Execuţia din primăvară” (“The Execution during Springtime” atau “Eksekusi Ketika Musim Semi”), “Şomaj fără rasă” (“Unemployment Regardless of Race” atau “Pengangguran Tanpa Memandang Ras”), “Înghiţitorul de săbii” (“The Sword Swallower” atau “Penelan Pedang”). Beberapa di antaranya difilmkan.
Dalam cerita “Hujan Juni” atau dalam majalah Kisah nomor 10 tahun III Oktober 1955 halaman 21-23 berjudul “Turunlah Hujan” yang menjadi cerita pertama buku ini, Alexandru Sahia melukiskan bagaimana kesukaran sebuah keluarga tani yang hidup di bawah tekanan pemerintahnya sendiri yang tidak mau tahu tentang penghidupan golongan tani yang sukar.
Pada 1934, Alexandru Sahia melakukan perjalanan mengelilingi Uni Soviet. Meskipun dia memperhatikan langsung gelombang teror yang terus meningkat (dia bahkan mengklaim telah ditangkap sementara waktu setelah menanyakan beberapa pertanyaan yang mengganggu), rupanya Alexandru Sahia tidak ragu menulis pujian klasik untuk sistem Soviet dalam literatur Rumania berjudul URSS azi (The USSR of Today) yang terbit tahun 1935. Dalam buku itu dia menggambarkan keadaan-keadaan baik yang telah bisa dicapai oleh Uni Soviet.
Alexandru Sahia meninggal pada 12 Agustus 1937 di Bukharest karena tbc. Studio film dokumenter dalam Komunis Rumania dinamai menurut namanya dan pada 1948 Alexandru Sahia terpilih secara anumerta untuk Akademi Rumania.

Soesilo Toer
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar