Dari Penerbit
Setelah acara bedah buku Cinta
Pertama karya Maxim Gorky di aula gedung D lantai 3 Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Padjajaran Kampus Jatinangor, Sumedang, pada 10 Mei 2017 kami melanjutkan
perjalanan ke Depok karena satu dan lain hal. Ketika itulah Ibu Utati (istri
mendiang Koesalah Soebagyo Toer) memberi kami sebuah fotocopy buku karya
Aleksandru Sahia ini bersama dengan beberapa fotocopy majalah lama yang memuat
tulisan Koesalah Soebagyo Toer. Memang sudah sejak lama kami memiliki keinginan
untuk mengumpulkan tulisan-tulisan lama keluarga Toer, dalam bentuk apa pun,
bisa berupa puisi, esai, cerpen, dan sebagainya.
Untuk mewujudkan keinginan itu kami sudah mulai melakukan
proses pencarian dengan dibantu beberapa kawan penjual buku lawas seperti Bayu
Nugrah, Dodit Sulaksono, Dinding Buku, Entis Gladag, dan lain-lain.
Selama mencari, dan dengan dibantu kawan-kawan tersebut,
terkumpul cukup banyak tulisan-tulisan lama. Bahkan sekiranya dibukukan, dapat
menjadi beberapa buku. Dari tulisan yang berhasil dikumpulkan, setidaknya kami
menemukan ada enam keluarga Toer, mereka adalah Pramoedya Ananta Toer, Walujadi
Toer, Koesaisah Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Soesilo Toer, dan Soesetyo Toer. Praktis
hanya dua orang keluarga Toer yang, entah tidak menulis atau kami gagal
menemukan tulisannya, yaitu Koenmarjatoen Toer dan Oemisjafaatoen Toer. Padahal,
pada awalnya kami hanya fokus mengumpulkan tulisan-tulisan lama dari Walujadi
Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Soesilo Toer di mana nama ketiganya tercantum
dalam buku Bibliografi Karya Sastra
Indonesia dalam Majalah; Drama, Prosa, Puisi karya Ernst Ulrich Kratz
terbitan UGM Press. Sementara untuk tulisan-tulisan Pramoedya Ananta Toer pasti
sudah banyak yang mengumpulkan, demikian pikir kami. Namun andaikata kami
menemukannya, tetap kami dokumentasi untuk koleksi pribadi.
Selain dari Ibu Utati, kami juga dapat meminjam dua buah buku
lawas dari Mas Dodit Sulaksono karya A.I. Ulyanowa & Jelizarowa berjudul Kenang-kenangan tentang Ilyitsy (Lenin) terjemahan
Walujadi Toer dan Anton Chekhov berjudul Pertaruhan
terjemahan Pramoedya Ananta Toer & Koesalah Soebagyo Toer.
Dari buku fotocopy Pemberontakan
di Pelabuhan kami mengetahui bahwa cerpen “Hujan Juni” sudah pernah dimuat
dalam majalah Kisah nomor 10 tahun
III Oktober 1955 halaman 21-23 dengan judul “Turunlah Hujan.” Entah apa yang menjadikan
kedua judul cerpen itu berbeda. Begitu pun dengan isi keduanya. Entah itu
karena cerpen tersebut diterjemahkan ulang (mengingat perbedaan rentang waktu
lima tahun antara dipublikasikannya cerpen ini di majalah dan kali pertama buku
ini diterbitkan) atau karena proses penyuntingan redaksi, baik itu dari pihak
penerbit, maupun majalah. Namun kedua kemungkinan itu tak begitu memberi
pengaruh signifikan cerita secara keseluruhan.
Sebagai solusi untuk mengatasi masalah perbedaan, dalam buku
ini kami muat sama dengan fotocopy buku yang diberikan oleh Ibu Utati, namun
dengan penyesuaian ejaan. Sementara untuk cerpen “Turunlah Hujan” rencananya akan
kami muat dalam buku Antologi Cerpen
Dunia yang (semoga saja bisa) memuat terjemahan dari Pramoedya Ananta Toer,
Walujadi Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Soesilo Toer dari beberapa penulis
dari berbagai belahan dunia. Semoga saja buku tersebut bisa segera kita nikmati
bersama. Amin.
Buku ini kali pertama diterbitkan oleh Jajasan Pembaruan
Djakarta pada tahun 1960. Menurut daftar riwayat hidup Koesalah Soebagyo Toer,
buku ini diterjemahkan dari bahasa Inggris. Dari Wikipedia kami mengetahui buku
ini berjudul Revolt in the Harbour
dalam bahasa Inggris dan Revolta în Port
dalam bahasa asli, Rumania. Tentu saja, karena Koesalah Soebagyo Toer baru ke
Uni Soviet (sekarang Rusia) tahun 1960, dan mulai menerjemahkan langsung dari
bahasa Rusia setelah kembali ke Indonesia, lebih tepatnya lagi setelah bebas
dari Penjara Salemba selama sepuluh tahun.
Meskipun diterjemahkan dari bahasa Inggris pada awal-awal sang
penerjemah merintis karier, namun tidak dapat dimungkiri buku ini memiliki
kualitas terjemahan yang baik. Hal itu bukan semata pendapat asal-asalan,
ngawur, atau hanya untuk memuji-muji, namun sudah diakui oleh Dodit Sulaksono,
seorang penjual buku lawas yang sudah ahli dalam dunia perbukuan. Bahkan Mas
Dodit berani menyatakan bahwa ada perbedaan dari salah satu buku Pramoedya
Ananta Toer antara cetakan lama dan cetakan baru. Kalau bukan pemerhati yang
tekun, apa mungkin dia bisa mengetahui hal itu? Tentu tidak. Dengan tegas Mas
Dodit Sulaksono menyatakan bahwa terjemahan Pak Koesalah Soebagyo Toer lebih
baik ketimbang sang kakak, Pramoedya Ananta Toer. Tentu saja kami berpikir
bahwa mungkin memang dalam bidang penerjemahan itulah Pak Koesalah Soebagyo
Toer berbakat. Bakat yang terus dia pupuk, sampai ke Negeri Beruang Merah di
mana dia lebih mendalami filologi, dan hal itu pula yang menjadikan dia sebagai
penerjemah terbaik Indonesia, khususnya dari bahasa Rusia. Perlu bukti? Vladimir
Putin sudah mengakui dengan memberikan Pushkin Award pada Hari Rusia, 1 Juni
2016, sekitar dua setengah bulan setelah Pak Koesalah Soebagyo Toer wafat. Penghargaan
tersebut hanya bisa didapat oleh seorang penerjemah yang sudah menerjemahkan
minimum 30 tahun, sementara kalau dihitung sejak kali pertama Pak Koesalah
Soebagyo Toer menerjemahkan cerpen “Vanka”
karya Anton Pavilovich Chekhov yang dimuat dalam majalah Kisah nomor 4 tahun III April 1955
halaman 29-30 sampai wafat pada 16 Maret 2016, maka sudah hampir 61 tahun. Dan
dalam rentang waktu yang begitu panjang itu Pak Koesalah Soebagyo Toer berhasil
menerjemahan banyak buku sastra Rusia termasuk adikarya Leo Tolstoy, Voina i Mir atau dalam bahasa Inggris War and Peace alias Perang dan Damai.
Dengan segala prestasi yang sudah diraih tersebut, tentu akan
sulit untuk menandingi atau bahkan mengalahkannya. Namun kami berharap akan
lahir penerjemah-penerjemah muda lain yang memiki hasrat, kemauan, ambisi, dan
kerja keras untuk mengalahkan Pak Koesalah Soebagyo Toer, jika tidak, maka
izinkanlah saya mengutip kata-kata Pramoedya Ananta Toer, “maka sudah
semestinya kata kemajuan dihapuskan dari peradaban.” Selamat membaca.
Blora,
10 Juni 2017, 16. 25
Pengantar Penerjemah
Belum banyak yang diketahui tentang kesusasteraan Rumania di
Indonesia. Seperti negeri-negeri yang lain, Rumania pun mempunyai
penulis-penulis terkemuka, yang menulis bukan hanya sekadar iseng, melainkan
dengan dasar perjuangan yang lebih meyakinkan.
Alexandru Sahia yang cerita-cerita pendeknya dimuat dalam
buku ini, adalah salah seorang penulis Rumania terkemuka yang menulis untuk
membela kepentingan rakyat. Ia meninggal tanggal 12 Agustus 1937 ketika masih
berumur 29 tahun, dan adalah anak seorang petani yang berhasil dapat membaca
dan menulis hanya sesudah perjuangan sengit melawan kemelaratan.
Mula-mula ia membantu majalah-majalah progresif waktu itu, Djaman Baru, Dunia Merdeka dan Kebenaran Sastra, tetapi kemudian ia
mendirikan sendiri majalah Kebaja Biru
dan harian Abad Baru. Baik
majalah-majalah yang dibantunya itu maupun yang dibangunkannya sendiri mendapat
tekanan yang berat karena dicekiknya kemerdekaan pers waktu itu, dan
demikianlah majalah dan hariannya itu tidak berumur panjang.
Di samping cerita pendek, Sahia adalah juga penulis esei dan
artikel. Sekalian tulisannya mengandung keyakinan yang teguh akan menangnya
cita-cita merdeka, menangnya dalam perjuangan untuk melenyapkan perbudakan
manusia oleh manusia yang lain.
Sahia sadar akan segi buruk daripada penghisapan yang berlaku
atas kaum pekerja, dari kebangsaan apa pun juga. Ia pun tahu akan melaratnya
nasib kaum tani. Ia mengerti akan tugas seorang penulis. Karena itulah maka
hasil-hasil kerjanya rapat bergandengan dengan hasrat rakyat yang terbanyak,
yang hidupnya dilukiskan juga di dalam cerita-cerita pendeknya yang termuat
ini. Di tengah badai yang dahsyat, ia masih menantikan datangnya langit biru,
di mana akan muncul matahari yang akan memancarkan sinarnya.
Betapa pun pahitnya kemelaratan, betapa pun kerasnya keadaan
bagi kaum pekerja yang hidup di bawah kekuasaan kaum penghisap, seperti selalu
dilukiskannya di dalam cerita pendeknya, tulisan Sahia merupakan ajakan untuk
yakin akan hari depan, ajakan untuk berjuang.
Saya harap, cerita-cerita pendek Sahia ini tidak hanya akan
dapat dinikmati sebagai hasil sastra, melainkan juga sebagai ajakan, ajakan
untuk yakin akan hari depan, ajakan untuk berjuang.
Koesalah Soebagyo Toer
Penutup
Terus terang, selama 11 tahun di Uni Soviet (1962-1973) belum
pernah saya mendengar tentang para tokoh atau budayawan Rumania. Kalau Bulgaria
dengan lagu-lagu pop yang berbahasa praktis sama dengan bahasa Rusia, Hungaria
dengan lagu-lagu bangsa pengembara, praktis saya dengar setiap hari. Kalau
ditelusuri, waktu itu memang seperti ada perang dingin antara Uni Soviet dengan
Rumania, terutama masalah perdagangan minyak. Kedua negara sama-sama produsen
minyak, cuma kemampuan yang berbeda.
Siberia adalah pusat gas minyak bumi. Eropa praktis dikuasai
oleh Uni Soviet. Oleh karena itu Rumania kehilangan pasar. Hal itu menimbulkan
sentimen antara kedua negara, termasuk dalam dunia budaya dan kesusasteraan
pada umumnya. Jangankan Rumania yang praktis bertetangga dengan Uni Soviet, dalam
Peristiwa 65 di Indonesia pun mengalami dampak luar biasa, terutama bagi
mahasiswa Indonesia yang pada waktu itu belajar di Uni Soviet. Mereka yang
semula diperlakukan sebagai anak emas, setelah Peristiwa 65 menjadi anak tiri. Karya
pengarang terkenal Rusia, Fyodor Dostoyevsky pun waktu itu dianjurkan untuk
tidak dibaca karena dianggap menyebarkan ajaran pesimisme menghadapi dunia masa
depan, sementara ketika itu Uni Soviet penuh optimisme berkait
sosialisme-komunisme.
Ada kenang-kenangan tersendiri antara saya dengan Rumania.
Setidaknya tiga kali saya istirahat musim panas di Republik Moldavia yang
berbatasan dengan Rumania dan hanya dipisahkan oleh Sungai Dnester yang tenang
dan bersih selebar hanya sekitar 100 meter.
Selama saya masuk sebagai anggota Negeri Tirai Besi,
perekonomian Moldavia berkembang sangat signifikan, terutama pertanian yang
berkembang puluhan kali dan menjadi basis utama penyuplai produk pertanian
untuk Rusia yang beriklim dingin. Namun Moldavia masih kalah jauh dengan
Rumania. Jadi, sepanjang Sungai Dnester adalah merupakan lahan pameran
keberhasilan dalam dunia pertanian Rumania. Sama seperti halnya Tembok Berlin sesudah
selesai Perang Dunia II, sehingga banyak orang Jerman Timur yang lari ke Jerman
Barat lewat perbatasan Berlin Barat tersebut oleh iming-iming keberhasilan
ekonomi dunia Barat.
Yang ingin saya ceritakan adalah, saya juga kepincut dengan
iming-iming Rumania tersebut. Pada suatu kesempatan sambil istirahat di tepi
Sungai Dnester, saya diam-diam menghindari pengawal perbatasan: berenang ke
Rumania, mencuri anggur, makan sekenyangnya, dan kemudian berenang kembali ke
Moldavia. Orang di sana menyebut daerah itu adalah Bezarabika yang berarti
daerah yang tidak pernah dikuasai oleh bangsa Arab, yang pernah jaya sampai
Andalusia di Spanyol.
Karena kekenyangan dan kecapaian saya hampir tenggelam.
Untung diselamatkan para penjaga perbatasan. Saya dihabisi dengan makian dan
sumpah serapah. Namun tidak menyentuh fisik saya sama sekali. Hal itu saya
ingat sampai hari ini walau itu sudah terjadi lebih 50 tahun yang lalu.
Sudah disinggung oleh sang penerjemah, Koesalah Soebagyo
Toer, Alexandru Sahia adalah orang yang percaya akan hari kemenangan kaum
proletar. Perlu dijelaskan bahwa istilah proletar berasal dari dua kata; pro yang berarti mendung atau setuju dan
l’etat yang berarti negara – kelompok
tertindas yang mendukung berdirinya negara di bawah kaum yang tertindas.
Istilah proletar muncul sekitar permulaan abad ke-19 bersamaan dengan lahirnya
istilah liberty dan liberalisme dan lahirnya negara-negara yang mengandalkan
modal sebagai cara baru menghisap dan menindas kaum miskin.
Alexandru
Sahia (11 Oktober 1908 – 12 Agustus 1937) adalah nama pena dari Alexandru Stănescu. Dia adalah seorang jurnalis
komunis dan pengarang cerita pendek dari Rumania yang paling terkenal di antara
pengarang-pengarang lain di Rumania. Alexandru Sahia lahir di Mânăstirea, Călăraşi County dalam sebuah keluarga petani miskin, sehingga hal
itu berpengaruh sangat besar terhadap cerita-cerita yang dia tulis. Dalam tiap
ceritanya selalu terbayang perjuangan melawan penindasan untuk memberi
kedudukan golongan yang lemah di dalam masyarakat. Membaca karya-karya Alexandru Sahia
yang cuma sedikit, saya menyimpulkan bahwa ia adalah seorang radikal kiri.
Alexandru Sahia
mendaftar di Croiva Military College, yang dia anggap “menyesakkan.” Dia menyelesaikan
pendidikan tingkat dua di Saint Sava National College di Bukharest dan mulai
belajar hukum di Universitas Bukharest. Dia menderita akibat depresi dan,
meskipun kemungkinan besar masih ateis, dia menjadi pengikut baru di Biara
Cernica pada 1929. Secara mengejutkan dia menggunakan periode yang relatif
terisolasi itu untuk mempelajari marxisme, yang dia dirikan untuk menciptakan
“arah paling tepat dalam kehidupan yang luar biasa.” Alexandru Sahia
berpendapat itu merupakan salah satu cara memperjuangkan masa depan kaum
proletar supaya dapat hidup lebih manusiawi.
Pada tahun
1930, Alexandru Sahia meninggalkan biara dan melakukan perjalanan ke Timur
Tengah, mengadopsi nama barunya yang berasal dari bahasa Arab sahiya yang berarti kebenaran. Alexandru Sahia banyak menulis dalam majalah The New Era, The Free World dan The
Literary Truth.
Mengikuti
zaman, dalam kehidupan Sahia mulai berkolaborasi dengan Partai Komunis Rumania.
Sebagai partai yang diadopsi dari Joseph Stalin, tokoh Partai Komunis Rusia
dari Gruzia, bidang ideologi yang terkenal itu, dalam Kongres ke-V pada 1934 Alexandru
Sahia diminta sebagai salah satu orang yang dapat “menyampaikan” kepada
masyarakat. Keterlibatan Alexandru Sahia dengan partai kiri dapat kita simak
dari salah satu cerpen yang dia sitir dari karya antitesis Vladimir Ilyich
Lenin terhadap tesis Karl Heinrich Marx, yaitu revolusi sosialis harus
dilakukan melalui organisasi yang modern.
Alexandru Sahia
adalah seorang anggota Amicii URSS, dia juga dibiayai oleh majalah yang
diinisiatori partai, Bluze Albastre (Blue Blouses atau Kebaya Biru) dan harian Veac
Nou (The New Century). Namun
keduanya tak bisa hidup lama, karena Pemerintah Rumania waktu itu tak suka
melihat dia mencapai kemajuan-kemajuan dalam lapangannya.
Pada periode
itu juga kali pertama dia dibiayai secara politik. Cerita-cerita pendek
realisme-sosialis Alexandru Sahia ala Maxim Gorky antara lain “Revolta în Port”
(“Revolt in the Harbour” atau “Pemberontakan di Pelabuhan”), “Uzina vie” (“The Living Factory” atau “Pabrik yang
Bernyawa”), “Întoarcerea tatii din război” (“Father’s
Return from the War” atau “Kembalinya Ayah dari Perang”), “Execuţia din primăvară” (“The Execution during Springtime” atau “Eksekusi
Ketika Musim Semi”), “Şomaj fără rasă” (“Unemployment
Regardless of Race” atau “Pengangguran Tanpa Memandang Ras”), “Înghiţitorul de săbii” (“The
Sword Swallower” atau “Penelan Pedang”). Beberapa di antaranya difilmkan.
Dalam cerita
“Hujan Juni” atau dalam majalah Kisah
nomor 10 tahun III Oktober 1955 halaman 21-23 berjudul “Turunlah Hujan” yang
menjadi cerita pertama buku ini, Alexandru Sahia melukiskan bagaimana kesukaran
sebuah keluarga tani yang hidup di bawah tekanan pemerintahnya sendiri yang
tidak mau tahu tentang penghidupan golongan tani yang sukar.
Pada 1934,
Alexandru Sahia melakukan perjalanan mengelilingi Uni Soviet. Meskipun dia
memperhatikan langsung gelombang teror yang terus meningkat (dia bahkan
mengklaim telah ditangkap sementara waktu setelah menanyakan beberapa
pertanyaan yang mengganggu), rupanya Alexandru Sahia tidak ragu menulis pujian
klasik untuk sistem Soviet dalam literatur Rumania berjudul URSS azi (The USSR of Today) yang terbit tahun 1935. Dalam buku itu dia
menggambarkan keadaan-keadaan baik yang telah bisa dicapai oleh Uni Soviet.
Alexandru Sahia
meninggal pada 12 Agustus 1937 di Bukharest karena tbc. Studio film dokumenter
dalam Komunis Rumania dinamai menurut namanya dan pada 1948 Alexandru Sahia
terpilih secara anumerta untuk Akademi Rumania.
Soesilo Toer
Tidak ada komentar:
Posting Komentar