Dari Penerbit
Suatu hari, tanpa sengaja kami
menemukan kertas tanda terima dari Prof. Dr. Andries Teeuw di Jakarta
bertanggal 27 Januari 1975 yang menyatakan telah menerima dua buah naskah
tulisan Soesilo Toer berjudul Kompromi
dan Anak Bungsu yang diantarkan oleh
Hermanoe Maulana (suami Is, salah seorang kakak perempuan dari Soesilo Toer). Bila
melihat tanggal tersebut, ketika itu Soesilo Toer masih mendekap dalam penjara
Orde Baru di Kebayoran Lama. Sebelumnya, kedua naskah tersebut dititipkan oleh penulis
pada Theo van Bausekom sekitar tahun 1973, baru kemudian diserahkan kepada Pak
Hermanoe Maulana. Pada tahun 1975 ketika Prof. Dr. Andries Teeuw mendapat gelar
Honoris Causa bahasa Jawa dari
Universitas Indonesia, Pak Hermanoe Maulana memberikan kedua naskah itu kepada Prof.
Dr. Andries Teeuw ketika penulis masih mendekap dalam penjara Orde Baru di
Kebayoran Lama.
Bila Anak Bungsu sudah lebih dulu kami temukan dan kami ketik ulang,
namun bagaimana dengan Kompromi? Kami
sama sekali tidak mengetahui apalagi melihat naskah tersebut dan bagaimana
nasibnya? Hilang, terselip, dimakan rayap, atau bagaimana? Dalam keadaan yang
masih abu-abu soal naskah tersebut, ketika ada kesempatan berkunjung ke Depok,
kami sempat bertanya kepada Ibu Oetati, istri mendiang Pak Koesalah Soebagyo
Toer, apakah memiliki alamat Pak Andries Teeuw atau tempat di mana kira-kira
beliau menyimpan koleksinya. Sayangnya, semua usaha pencarian naskah Kompromi gagal.
Entah kebetulan atau memang sudah
menjadi jalannya, tanpa sengaja naskah itu berhasil ditemukan dalam koper yang
berisi kumpulan dokumen penulis selama ke luar negeri. Naskah yang berhasil
ditemukan itu sudah terkumpul secara urut dan lengkap, walaupun tidak begitu
rapi karena diketik pada kertas tipis seperti biasa digunakan untuk membungkus
roti. Sama halnya dengan Anak Bungsu
dan Dunia Samin 2, Kompromi ditulis ketika penulis belajar
di luar negeri. Dari tanggal yang tercatat pada naskah tersebut menunjukkan
bahwa naskah mulai ditulis pada 12 November 1969 dan selesai pada 21 November
1969, atau dalam tempo sekitar sepuluh hari, di mana antara satu bab dengan
yang lain hanya berselisih hari saja. Hal itu memberitahu kepada kita, ketika
itu penulis sedang memiliki mood yang
sangat bagus untuk menulis.
Dalam naskah tersebut tahulah kami
bahwa buku ini pada mulanya berjudul Di
Antara Dua Kaki Gunung Batu merujuk pada perbandingan antara dua gunung
batu dari dua negara di dua belahan dunia; satu di Wonosari, Gunung Kidul, Jogjakarta
yang ada di Pulau Jawa, satunya lagi di Kamenka, sebuah
kota kecil di Republik Moldavia. Dan isi buku ini memang memperbandingkan kedua gunung batu
tersebut, tentu saja bersama dengan para tokoh yang mendiami. Para tokoh wanita
dari kedua gunung batu itulah yang telah menginspirasi menulis buku ini,
ditambah dengan seorang tokoh wanita dari gunung lainnya di daerah Jawa Barat.
Praktis inti cerita buku ini adalah tentang kisah percintaan antara sosok aku
dengan ketiga wanita tersebut. Sebuah kisah yang tak kalah romantis dan tragis
bila dibandingkan dengan Anak Bungsu,
novel ini termasuk dalam salah satu karya terbaik Soesilo Toer.
Pada medio tahun 1959-1960 penulis
pernah menulis fragmen Wonosari yang
dimuat dalam majalah Widjaja selama
beberapa edisi. Ketika pengantar ini dibuat, beberapa bagian dari fragmen Wonosari tersebut berhasil kami temukan.
Ke depannya, kami yakin, dengan usaha, kerja keras, dan bantuan dari beberapa
kawan penjual buku, akan berhasil mengumpulkan fragmen tersebut secara lengkap
untuk kemudian kami terbitkan ulang. Semoga saja.
Melihat pada apa yang ditulis (baik
itu Kompromi maupun beberapa fragmen Wonosari yang sudah kami temukan),
terlihat dengan jelas Wonosari memiliki tempat khusus di hati penulis, tempat
spesial yang bahkan tak mampu menandingi, seperti yang penulis katakan, “Paris
yang agung, London yang hebat, Berlin yang cemerlang, dan Moskow yang besar.
Semua kota-kota terkenal di dunia itu tak mampu menandingi sebuah kota gersang
di kaki Pegunungan Seribu: Wonosari.”
Kalau
bukan karena sesuatu hal yang spesial, mana mungkin penulis akan menjawab dengan
tanpa ragu-ragu Wonosari sebagai kota yang paling banyak memberikan
kenang-kenangan dalam hidupnya. Bukankah kata-kata itu yang menjadi kalimat
pembuka dari novel yang ditulis ketika penulis berada di luar negeri ini? Belum
cukup, cobalah tengok bagaimana Soesilo Toer menggambarkan Wonosari dalam buku
ini:
Di sana, di antara
kemiskinan, kenanaran, aku menemukan kehangatan dan keagungan cinta pertama
dalam hidup. Itu terjadi hampir lima belas tahun yang lalu. Namun rasanya,
waktu tidak bisa menghapus kenang-kenangan indah itu dari ingatanku. Kalau
kemudian aku menemukan kegembiraan hidup baru, keindahan hidup baru, kenalan
baru, semua itu hanyalah duplikat dari keindahan yang kureguk dari kota
gersang, Wonosari. Wonosari tidak ada duanya dalam hidup ini, ia satu-satunya,
ia tidak terulang kembali selamanya.
Dengan terbitnya buku ini, semakin
banyak resensi kita untuk memperbandingkan alam pikiran dari penulis, sebelum
ke luar negeri, ketika di luar negeri, dan setelah kembali ke Indonesia, bahkan
jauh berpuluh tahun setelah penulis vakum dari dunia kesusasteraan Indonesia.
Lebih dari itu, kita pun dapat melihat sudut pandang penulis berkait soal
cinta. Persoalan yang tidak akan pernah ada habisnya di dunia ini. Akhir kata,
selamat menikmati, selamat jatuh cinta.
Blora, 9 Juni
2017, 16.40
Tidak ada komentar:
Posting Komentar