Tanpa terasa sepuluh tahun
berlalu sudah semenjak kepergian sastrawan kondang Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Untuk mengenang
hari meninggalnya, 30 April 2006, didirikanlah Perpustakaan Pataba
di rumah peninggalan Mastoer di Blora.
Upaya itu selain untuk mengenang
jasa-jasa Mastoer dalam dunia pendidikan di Kota Sate, juga untuk mengenang
Pramoedya Ananta Toer. Buku ini merupakan
buku seri kelima
tentang Pramoedya Ananta Toer yang menjadi kado ulang tahun kesepuluh
Perpustakaan Pataba bagi para penggemar Pramoedya Ananta Toer di mana pun berada dan untuk melengkapi keempat seri sebelumnya: Pram dari dalam,
Pram dalam Kelambu, Pram dalam Bubu,
dan Pram dalam Belenggu. Kami selaku penerbit
tak menutup kemungkinan untuk
menerbitkan buku Pram dalam
Tungku jilid dua, tiga, dan seterusnya apabila ada tulisan- tulisan
lain tentang Pramoedya Ananta
Toer yang kami terima.
Selama ini, Jalan
Sumbawa tempat
Perpustakaan Pataba beralamat, tercatat sudah beberapa
kali berganti nama seperti dapat kita lihat pada catatan
Soesilo Toer dalam
buku Pram dari Dalam.
Yang diketahui oleh umum, dan sekarang pun hanya tinggal beberapa orang
yang tahu, kali pertama disebut Jalan Pasar Pari, karena di ujung timur
jalan ini ada pasar. Bisa diduga dulu Blora daerah penghasil padi. Ketika
dibuka lembaga penelitian tentang
ternak, Blora berhasil
meningkatkan populasi ternak
sapi
secara
signifikan, bahkan sampai dewasa ini. Pasar Pari diubah menjadi Pasar Khewan.
Jalan Pasar Khewan kemudian
diubah lagi menjadi Jalan Pejagalan, ketika di depan pasar dibuka tempat
pemotongan ternak. Karena
istilah pejagalan
dianggap terlalu kejam kemudian diubah menjadi Jalan Pemotongan. Nama jalan itu bertahan
sampai tahun 1949.
Lalu, ketika Orde Baru berkuasa, Jalan
Pemotongan diubah
menjadi Jalan Sumbawa hingga sekarang.
Ketika memperingati seribu hari meninggalnya Pramoedya, berbagai
komunitas mengusulkan Jalan Sumbawa
menjadi Jalan Pramoedya
Ananta Toer. Usaha untuk mengenang pengarang
Blora itu gagal,
karena tidak ada respons dari dinas terkait. Demikian juga tidak ada tanggapan
ketika ahli waris Toer menghibahkan tanah bekas
Sekolah Instituut Boedi Oetomo (IBO) kepada negara, demi generasi muda. Sebagai
salah satu syarat
antara lain Jalan Galingsong, di mana tanah itu terletak,
diubah menjadi Jalan Mastoer.
Namun,
sampai detik ketika penerbit menuliskan semua ini, nama jalan tersebut tetaplah demikian
adanya. Bahkan yang menyedihkan, Jalan Sumbawa
sudah diganti secara sepihak
oleh para pembuat
Master Plan Blora dengan nama Jalan Ambon. Melihat hal itu, penerbit
pun tidak ingin kalah. Sejak kali pertama menerbitkan buku secara resmi di bawah naungan Lembaga Kajian Budaya dan Lingkungan Pasang
Surut dalam buku Pram dalam Kelambu, kami pun mengklaim
secara sepihak jalan tempat Perpustakaan Pataba beralamat adalah Jalan
Pramoedya Ananta
Toer (eks Jalan
Sumbawa) Nomor
40. Begitu pun ketika beberapa kawan mengirimkan surat atau paket kepada
kami, banyak yang sudah melakukan hal yang sama. Dengan harapan, seiring
perjalanan waktu, orang akan makin
terbiasa menganggap Jalan Sumbawa sebagai Jalan Pramoedya
Ananta Toer dan dengan demikian
makin memperkenalkan nama Pramoedya
Ananta Toer ke masyarakat Blora khususnya.
Berita soal usulan penggantian nama jalan itu pernah dimuat dalam jaringan
(daring) di salah satu radio di Blora. Ketika
kami melihat beberapa
komentar dari khalayak
ramai, masih ada yang belum mengetahui siapa Pramoedya
Ananta Toer. Itu tentu sangat menyedihkan. Sosok yang terkenal
dan dihormati di dunia itu, justru tidak dikenal di daerah
asalnya. Setelah itu pun muncul
berita mengenai penggantian nama jalan tersebut di salah satu koran di Jawa Tengah,
dan menurut pendapat
pejabat terkait, itu merupakan
usulan bagus. Namun,
usulan bagus yang tidak pernah ada ditindaklanjuti selama tujuh tahun belakangan semenjak kali pertama
muncul ketika acara 1.000 Hari Meninggalnya Pram pada 2009 dan sudah
31 tahun semenjak SMPN 5 dihibahkan ke
negara.
Maka, untuk makin memopulerkan nama Pramoedya
Ananta Toer, penerbit terus berupaya
sekuat tenaga, salah
satu cara dengan mengadakan lomba menulis untuk
pelajar SMP/SMA sederajat, kegiatan dalam rangka hari lahir dan meninggal Pramoedya Ananta Toer, bedah buku, menerbitkan buku, bekerja
sama dengan beberapa
komunitas dalam dan luar kota Blora,
promosi, dan lain sebagainya.
Dan, bila Jalan Sumbawa
telah benar-benar berubah menjadi Jalan Pramoedya
Ananta Toer, selanjutnya penerbit akan pindah alamat ke Jalan Mastoer (eks Jalan Halmahera) Nomor 53 karena memang
sudah seharusnya Jalan Halmahera berganti nama menjadi Jalan Mastoer.
Itu sebenarnya sudah menjadi
tanggung jawab dan kewajiban
pemerintah daerah sebagai bagian dari “perjanjian” dengan keluarga
Mastoer ketika menghibahkan tanah yang sekarang
dipergunakan untuk bangunan sekolah
SMP Negeri
5 Blora.
Dalam perjanjian itu disebutkan, tanah dan bangunan peninggalan dari Dr. Soetomo
akan diberikan kepada negara, sedangkan bangunan milik
Mastoer akan ditimbun
di rumah masa kecil Pramoedya Ananta Toer, tempat sekarang
berdiri Perpustakaan Pataba.
Selain itu, Jalan
Halmahera, di mana bangunan itu berdiri
diubah menjadi
Jalan Mastoer, dan terakhir
adalah pembuatan monumen untuk mengenang
jasa-jasa Mastoer. Namun apa daya? Bangunan milik Mastoer
tidak diberikan kepada para ahli warisnya,
Jalan Halmahera sampai detik ini belum diganti,
dan hanya satu permintaan keluarga Toer yang dikabulkan. Itulah pembuatan monumen.
Itu pun dengan banyak
kesalahan di sana-sini. Nama Mastoer yang hanya Mastoer
thok thil, doang aja, tanpa embel-embel lain,
ditambahi dengan nama sang bapak,
Imam Badjoeri. Di monumen
itu juga tertulis
“Belajar, Bekerja, dan Berdoa”,
padahal itu bukanlah moto Instituut
Boedi Oetomo. Itu moto kaum Nasrani
abad ke-
17 dari Prancis.
Padahal, jelas-jelas Mastoer adalah Islam.
Begitu pun sang bapak dan bapak mertua, yang sama-sama merupakan penghulu. Jelas
itu adalah penipuan,
pemalsuan, pembelokan, dan pembohongan sejarah. Kalau sejarah
sudah diselewengkan, lantas
bagaimana generasi muda sekarang
bisa mengetahui atau bahkan mencintai
sejarah? Hal itu masih diperparah oleh minat baca generasi
muda sekarang yang memprihatinkan. Mereka lebih senang melihat
ketimbang membaca. Kalaupun membaca,
jika tidak ada gambarnya, emoh.
Pernah
Pramoedya Ananta
Toer menyikapi secara kritis moto yang tertulis di monumen
itu. Namun tidak ada perubahan. Di kemudian hari, Soesilo Toer melakukan hal yang sama,
bahkan siap menanggung biaya perbaikan. Namun sang kepala sekolah,
ketika itu, mengatakan tidak kekurangan dana dan berjanji akan mengganti. Lagi-lagi sampai saat ketika pengantar ini diketik, ketika kepala sekolah
sudah berkali-kali berganti, tetap tidak ada perubahan.
Karena itu, dalam rangka
“mendesak” dan “menekan” pemerintah daerah untuk meluruskan sejarah dan menaruh
nama Pramoedya Ananta Toer
dan
Mastoer di tempat semestinya, kami selaku penerbit
akan terus berpromosi, mengklaim secara
sepihak, dan dalam beberapa tahun ke depan juga akan kami susuli dengan menerbitkan sebuah buku berjudul
Perjuangan Sebuah Lembaga Pendidikan, yang mengulas sepak terjang Instituut Boedi Oetomo di dunia pendidikan di kota Blora.
Jika kedua nama jalan itu telah berganti
nama, bukan tidak mungkin
Pataba akan kembali
pindah alamat ke Jalan Pramoedya
Ananta Toer VI Nomor 2 RT 19 RW 25 Jetis, Blora. Angka-angka yang tertera
di alamat itu tidak lain dan tidak bukan merupakan tanggal
lahir Pramoedya Ananta Toer. Memang, Perpustakaan Pataba,
yang merupakan rumah peninggalan Mastoer,
memiliki letak unik. Seperti
para penghuninya yang dipojokkan, rumah itu pun terletak di pojokan dan berdiri sendiri seperti kata Muhidin
M. Dahlan. Di sisi utara, di antara
pagar dengan SD Negeri
Jetis 2 dipisahkan dari jalan menuju ke makam. Pun demikian
di sisi timur, yang dipisahkan dari sebuah lorong, barulah dapat ditemui sebuah
toko mebe
Ada yang bilang, “Bangsa
yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan.” Bung Karno juga pernah bilang,
“Jas merah, jangan sekali- sekali melupakan sejarah.” Jangan sampai kata-kata Bung Karno itu hanya tersisa “merah” saja. Jangan sampai pula terjadi,
orang Belanda menjadi lebih
Indonesia ketimbang orang Indonesia
sendiri karena
“otak orang Indonesia
(sudah berada) di Belanda”,
seperti kata Gunawan Budi Susanto.
Bukankah semua itu akan menjadi ironi yang begitu menyedihkan bagi bangsa sekaya Indonesia?
Maka, sudah menjadi kewajiban generasi muda untuk mengubah dan memperbaiki semua itu ke arah yang lebih baik tentu. Karena, hanya kepada generasi
mudalah kita dapat menggantungkan harapan dan hanya generasi mudalah yang dapat melakukan. SEMANGAT BELAJAR!!! SEMANGAT
BEKERJA!!! SEMANGAT BERKARYA!!!
Blora, 13 Agutus 2015: 22:30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar