Ars
Longa
Dalam
legenda
Di sekitar
pantai laut Jawa yang dikenal dengan nama Dampoawang, hidup Lasiyem dengan
suaminya, sang nelayan, Juana. Mereka makmur, hidup rukun dan dikenal murah
hati. Namun terasa ada yang kurang dalam keluarga ini: tidak pernah terdengar
jerit dan tangis bayi dalam rumah mereka. Bagi mereka ini merupakan aib
keluarga. Mereka berusaha keras untuk mendapatkan keturunan namun hasilnya
nihil. Berapa gelas ramuan pucuk gelagah muda yang telah mereka minum, berapa
banyak kecambah dan kacang tanah mentah dilahap, berapa ribu doa ia panjatkan,
berapa tempat keramat ia kunjungi, hasilnya nihil. Tanda kehamilan pun tidak,
apalagi hamil betulan.
Adalah pengemis kambuhan di
kelenteng pantai Dampoawang itu yang memberi nasehat Lasiyem dengan suaminya
untuk mencoba memohon di kelenteng yang terletak di muara sungai Bambu atau
Kaliori. Dan suami istri itu pun bersemedi di sana. Sehari, seminggu,
sebulan... hasilnya nihil. Tidak ada petunjuk, tidak ada mimpi, tidak ada
firasat. Kosong. Dan waktu berjalan terus maju. Tahu-tahu sudah beberapa tahun
berlalu. Keluarga yang tadinya dikenal kaya itu bangkrut sudah. Mereka sudah
jadi keluarga kebanyakan yang tak jarang makan nasi aking atau ramban dedaunan.
Entah kekuatan dari mana yang mendorong mereka tetap bersemedi dan memohon.
Pada suatu malam, ketika gelombang
pasang dan deburan ombak memecah pantai, suami istri itu bagaikan mendengar
suara dari langit yang mengabarkan bahwa permohonan mereka dikabulkan. Keduanya
pulang bertangisan di tengah hujan deras dan deru angin. Sayup-sayup berita
dari langit itu terus bertalu di telinga: aku akan mendapat keturunan. Namun
biayanya mahal. Semahal nyawa kalian berdua. Ini cobaan atau bencana? Bukan
masalah. Siapapun yang pernah lahir harus menanggung resiko: kematian.
Singkat kata Lasiyem benar-benar
hamil dan ketika sampai bulannya lahirlah bayi kembar lelaki dan perempuan.
Bayi laki-laki tak bertahan hidup dan menghembuskan nafas terakhir bersama
dengan ibunya Lasiyem, yang lemah kehabisan tenaga dan darah. Bayi mungil
perempuan dipungut anak oleh seorang tuan-tuan. Sementara Juana yang melaut
kembali, tidak pernah ada kabar beritanya. Ia hilang di laut lepas bersama
perahunya.
Gadis
Pantai Dampoawang
Bayi perempuan mungil itu tumbuh
sehat dan kuat. Bagai mendapat nur dari sang kala dan sang helia. Namanya
kondang di seantero pantai Dampoawang karena kecantikannya. Belum juga sepuluh
tahun umurnya, sang dewi yang bernama Anjan itu mulai diperebutkan banyak
remaja, pejabat, dan lelaki hidung belang. Bapak asuhnya tidak salah memberi
nama Anjan, yang merupakan singkatan dari anak pujaan. Yang salah adalah kerena
ia cantik dan jadi gunjingan orang. Rumah bapak asuh itu tidak pernah sepi
pengunjung dengan berbagai cara dan gaya sendiri. Namun akhirnya yang beruntung
adalah sang penghulu, pejabat setempat, kaya raya, tua dan poligamis ulung.
Singkat kata raja kecil di lingkungannya. Bapak asuh Ajan tidak mampu berbuat
banyak. Mereka sahabat karib. Mengabdi pada suatu sistim birokrasi yang sama.
Punya kegemaran sejenis: Hidup adalah mencari kesenangan belaka. Dan itu adalah
Judex Factie. Dan juga ius quia justum berkah tak terkirakan
bagi keduanya yang didukung oleh jabatan yang mereka pegang masing-masing. Lebih-lebih
sang penghulu adalah laki-laki jawa yang mendukung lingga sebagai keunggulan gender.
Bukankah sangkan paraning dumadi juga
melegendakan bahwa wanita itu berasal dari iga laki-laki: woman created from the rib of man, bait syair yang indah namun mungkin
juga menyesatkan. Dan sang penghulu memang benar-benar memanfaatkan jabatannya
untuk memperoleh brahmacharya sejati,
menjadikan dirinya hedonis sejati.
Anjan dipersunting dalam pelaminan yang diwakili oleh sebilah kuros, senjata bangsa Portugis yang orang
Jawa katanya mengadopsi senjata kebanggaan itu sebagai keris. Cuma bedanya,
-itu juga katanya- orang Portugis meletakkan senjata itu di depan, sedang orang
Jawa meletakkan senjata kebanggaan itu di belakang. Itu menurut dongeng, juga
bukan kebetulan. Orang Jawa dikenal sebagai patuh pada kekuasaan. Setia kepada
atasan. Begitu setianya, sehingga kalau dikehendaki atasannya, ia rela mati
dibunuh dengan senjatanya sendiri yang dicabut oleh atasannya. Benar tidak
legenda ini, perlu dicermati lebih lanjut. Lantas bagaimana peresmian
perkawinan diwakilkan kepada sebilah keris. Barangkali itu adalah akal-akalan
sang penghulu sendiri yang tentunya punya budaya malu. Lelaki tua bangka dengan
sederet istri, masih menghendaki istri di bawah umur yang barangkali sudah
pantas disebut cucunya. Itulah jaman edannya Inul Daratista dengan lagu cocakrowo-nya, lirik lagu berdimensi
ganda, di mana orang bisa kejeblos
dengan penafsiran yang kebablasan. Namun bagi sekelompok lain, syair lagu itu
penuh dengan nuansa seni. Jarang penyair Indonesia mampu berkarya sekena dan
pas seperti itu. Tidak baik oleh Taufiq Ismail, (yang dulunya dikenal dengan Taufiq
A. G.) maupun pengarang Anggun, yang sering dijuluki Si Burung Merak, W. S.
Rendra. Khusus tentang perubahan nama dari singkatan A. G menjadi Ismail, ada
seorang wartawan Asia Week asal Bekasi, lahir di daerah Batak dan besar di
Sulawesi yang berniat mengorek masalah tersebut, namun sejauh ini belum pernah
terdengar hasilnya. Yang jelas pengarang buku “Tirani Dan Benteng” bersama
dengan D. S. Moeljanto almarhum itu berada dalam dilema, begitu orde baru
rontok, mana yang tirani? Mana yang benteng? Pendukung “Manifes Kebudayaan”
kelas dua ala Wiratmo Soekito itu mungkin menyadari bahwa “benteng” pun bisa
berubah menjadi “tiran” dan atau sebaliknya. Anti tesisnya Harun Yahya, tidak
beda dengan antitesis tabula rasa. Dan
itu lah kebenaran fenomenal. Tabula rasa
ala John Locke adalah antitesanya Phytagoras tentang “paes” as a sheet of white paper, yang senada dengan Socrates.
Filsuf kenamaan dari Timur, lama sebelum Phytagoras, juga sudah menyatakan
kebenaran fenomena tersebut. Konghucu, sang guru, yakin memang demikianlah
tabiat manusia itu. Yang jelas, dalam beberapa hal manusia benar-benar kalah
dengan kambing. Untuk menjadi cerdas manusia harus membaca 432 jilid buku. Dari
bayi sampai bisa jalan manusia butuh setidaknya dua tahun. Kambing hanya dalam
hitungan jam sesudah lahir mulai bisa berdiri dan menyusu, dua tiga minggu mulai
merumput dan sebelum pusarnya copot anak kambing betina dan jantan sudah mulai
belajar ngeseks. Setelah disapih dari
induknya, sekitar setengah tahun, kambing generasi baru ini sepenuhnya sudah
mandiri dan dewasa dan siap untuk berkembang biak. Tidak ada perkosaan, tidak
ada kawin di bawah umur, apalagi dicabuli oleh guru ngajinya, pamannya,
tetangganya. Tapi incest itu biasa
dalam dunia perkambingan. Namanya juga kambing!
Anjan adalah salah satu contoh
tentang perampasan haknya untuk menentukan pilihannya sendiri. Ia kawin bukan
kemauannya sendiri, tetapi kemauan banyak pihak. Dulu kawin di bawah umur
unsurnya adalah jual beli tenaga untuk menggarap lahan. Peristiwa Anjan adalah
lebih pada unsur kekuasaan, uang, dan hedonisme.
Dalam dunia kambing sama sekali bersifat naluriah. Kambing tidak mengenal uang,
tidak mengetahui hedonisme, tidak
mengenal kekuasaan. Ada unsur menang-kalah, ia bukan merupakan sistim, tetapi
cuma unsur kebetulan dan kenisbian. Manusia unggul dari mahkluk lain karena ia
dianugerahi kelapangan pikiran. Keberadaan seseorang karena akalnya, Rene
Descartes pernah keceplosan dengan konsep keakuannya: Cogito Ergo Sum - aku berpikir maka aku ada, tetapi ia tidak mampu
menelurkan pendapat tentang keberadaannya. Manusia dengan inderanya bisa mendengar,
dari apa yang ia dengar ia bisa belajar dan dengan hasil mendengar dan belajar
itu ia bisa menciptakan sesuatu dan mengubah sesuatu. Manusia bisa mengkhayal
banyak. We can sense too much. We can
survival of the fittest and survival of the fastest. Sampai keakuan Rene
Descartes direkayasa menjadi Emo Ergo Sum
- aku belanja maka aku ada. Ini adalah kerjanya kaum nouveaux riches. Dan kalau saja kambing bisa bicara ia akan
mengatakan: Adio homo! Belakangan ada
lagi: mudico ergo sum – aku mudik
maka aku ada, atau leleso ergo sum –
saya memulung maka saya ada.
Anjan diboyong sang suami, pejabat
yang tua. Dipingit dalam istana raja
kecil, dilayani, dimanja, dicukupi segala kebutuhannya. Dan tugasnya hanya
mencukupi kebutuhan biologis sang suami yang tidak dikenalnya. Ia tahu kalau
itu suaminya, ketika malam datang mengendap-endap, menubruk, dan nggelut dengan berbagai posisi dan
kondisi. Lupa bahwa ia itu priyayi, pemuka agama. Panutan yang disegani. Namun
apa artinya semua itu? Manusia manapun yang dalam keadaan kasmaran berperilaku
melebihi binatang. Barangkali sebaliknya binatang yang sedang kasmaran
berperilaku melebihi manusia.
Demikian setiap kali, setiap saat,
setiap ada kesempatan sang suami menjahili dirinya. Dan baru berhenti total
ketika suatu hari lahir bayi perempuan. Sang suami tidak datang menantang
bergelut lagi. Sebaliknya, ia mulai jarang datang, bahkan kemudian sama sekali
tidak datang. Misi Anjan bagi dirinya sudah selesai. Ia tidak lebih dari
piaraan yang tidak punya daya tarik lagi baginya. Segala kemewahan mulai
dikurangi, jatah makanan hanya cukup buat menyusui anak dan bertahan hidup.
Segala hiasan yang selama ini dipakai mulai dipreteli.
Kamar tidur, peraduan sebagai primadona istana, juga sudah diganti. Sekarang
cukup dipan beralas tikar dan bantal lusuh. Anjan tahu persis perlakuan itu.
Dan ia merasa, sebagai seorang wanita bahwa pasti pada suatu hari, tiba saatnya
ia akan diusir dari istana di pojok alun-alun pantai Dampoawang tersebut.
Dan firasat itu terbukti benar. Ketika bayi mulai kurang ketergantungannya kepada
asi dan mulai diganti dengan makanan, ia didorong keluar pagar tembok dengan buntalan
pakaiannya. Ia menjerit, melolong, meronta, menghiba mohon anaknya diberikan.
Tetapi sia-sia, namun ia tetap menunggu di sana tanpa makan, tanpa minum,
bahkan tanpa tidur. Sehari, seminggu, sebulan. Badannya menjadi kurus kering,
pakaiannya mulai compang camping. Anjan yang tadinya berarti anak pujaan kini
berubah menjadi anak jalanan. Orang-orang yang lalu lalang menganggap ia sakit
jiwa. Mereka pilih menghindar. Yang pernah tahu suka memberinya makanan atau
melempar uang receh. Sebagian besar anak-anak malah mengusir dengan melempari
krikil atau apa saja, persis anjing geladag yang tidak tahu siapa pemiliknya.
Menyadari usahanya sia-sia, Anjan
pun mulai mengerti bahwa hidup tidak boleh terpaku pada suatu masalah. Anak
memang bagian roh dan jiwanya, namun apa artinya kalau diri sendiri hancur?
Hidup harus dipertahankan. Hidup adalah bagian dari anugerah. Dan baginya itu
lebih penting. Kalau memang dikehendaki suatu kali pasti ia akan dipertemukan
dengan darah dagingnya itu. Dan dengan tekad baru itu ia mulai menjauhi pagar
tembok yang dianggap keparat itu. Kemana pergi, sesuka kaki melangkah, menuju
kemana angin bertiup berlalu.
Pertemuan
Dua Tradisi
Nun
jauh di Timur sana tinggal keluarga penghulu. Ia sama sekali beda dengan
penghulu yang diceritakan di muka. Ia bukan raja kecil, bukan brachmacharya dan bukan hedonis. Penghuni kaki gunung Kelud dan
monogam. Melarat dan beranak banyak. Tradisi di sana berjalan lamban, beda
dengan tradisi pesisir yang sering dan gampang terpengaruh oleh tradisi,
budaya, dan peradaban dari luar. Silsilahnya hebat, katanya keturunan prabu
Brawijaya. Mana ada keluarga yang punya silsilah keluarga kalau hanya keluarga kere biasa. Sebisa-bisa ya yang
terkenal. Dari keluarga penghulu kaki gunung itu, dari lima belas anak
pinaknya, lelaki dan perempuan, yang tertua dianggap paling maju sekolahnya,
paling pintar akalnya dan sangat philantrop.
Kebatinannya kuat, tirakatnya lanjut, tindaknya terpuji. Oleh berbagai
keunggulan itulah setelah menamatkan sekolah dasarnya, ada orang kaya yang mau
membiayai melanjutkan sekolah di Mataram yang dikenal sebagai pusat budaya,
tradisi, dan kemajuan sesudah Majapahit dan Demak.
Demi
penghematan, ia tempuh jarak itu dengan jalan kaki. Sebagian besar uangnya
diberikan kepada ibunya yang janda dengan tanggungan sekeranjang anak-anak. Di
Mataram ia sekolah guru. Menurutnya, kalau pun suatu kali ia menganggur, ia
bisa mendidik adik-adiknya. Di sekolah inilah berlangsung kongres Boedi Oetomo
pertama yang sangat terkesan di hatinya. Enam tahun ia di kota gudeg dan tamat
dengan menjinjing diploma, bahkan dibenum
di sekolah gubermen di daerah asalnya. Itu pun juga karena prestasi belajar,
berorganisasi, dan bersosialisasi di sana. Untuk tambahan uang saku ia menjadi
tukang plitur dan sales di sebuah perusahaan mebel. Ia bahkan pernah mencoba
mendirikan usaha biro perjalanan untuk para wisatawan asing bersama teman
sekolahnya. Rugi karena kurang menguasai medan. Pernah terjadi mereka
mendapatkan borongan mengantarkan wisatawan dengan taksi seharga dua puluh lima
gulden. Di atas kertas mereka akan mengeruk keuntungan dua perlima-nya.
Lambaian ceria dan senyum simpul berkembang mengantar keberangkatan lima buah
taksi sewaan itu menuju utara ke arah Muntilan dan parkir di pinggir kota.
Rombongan turun dengan gembira tak kalah cerianya dengan para pengantar. Antara
mereka bertanya-tanya:
“Where
is tem’pel oh my God, it is one of my destination!”.
Kepala
rombongan menyahut:
“Here
is Tempel!”.
Debat
kusir pun terjadi, biro perjalanan mengantarkan rombongan sampai ke desa Tempel
di pinggir kota, sedang rombongan wisatawan menghendaki diantarkan ke Borobudur
temple. Maka bubarlah biro perjalanan tersebut.
Belajar
dan mengajar itu dua masalah yang berbeda. Anak penghulu itu mengalami berbagai
hambatan kejiwaan. Sebelum ia belajar di Mataram, semua orang tua anak-anak dan
tetangga tahu belaka dirinya dari ujung kaki sampai ujung rambutnya. Bahkan apa
yang ia dan adik-adiknya makan setiap hari. Sekarang ia datang sebagai guru.
Yang berpapasan selalu memberi hormat dengan menundukkan kepala. Sedang yang
masih bisa mengelak akan mencari jalan lain. Ia seperti hidup di dunia lain, di
dunia mimpi. Dan ia tidak suka itu. Maka ia pun mohon dipindahkan ke sekolah
lain. Ketika ditanya ke kota mana ia berminat pindah, tanpa ragu ia menyebut
kota Dampoawang. Ia pernah mendengar dan membaca posesi pemakaman puteri sejati
Nusantara. Arak-arakan itu mencapai puluhan kilometer dan diikuti puluhan ribu
orang dengan berjalan kaki, sepeda, dan dokar menaiki dan menuruni tebing hutan
jati gunung Kendeng. Ia ingat itu dan ia tanpa malu-malu menangisinya. Dan
kepindahannya ke kota itu sekedar turut larut dalam kesedihan masa lalu
tersebut.
Sekolah
tempat ia mengajar tidak jauh dari pantai. Dan karena ia anak penghulu maka ia
dipondokkan di rumah penghulu juga di pojok alun-alun Dampoawang. Tinggal di langgar rumah penghulu bersama santri-santri
yang lain. Pagi mengajar, malam mengaji. Itu ia jalankan secara rutin. Dan
tahu-tahu beberapa tahun berlalu sudah. Anak Anjan sekolah di mana ia mengajar.
Tiap hari bertemu pandang dan berbagi kata bathin. Sesudah tamat ia mau
melanjutkan sekolah ke MULO Semarang tetapi dilarang oleh salah seorang ibu
tirinya yang berasal dari kota wali.
Sementara
itu Boedi Oetomo makin berkembang, bahkan gembong Boedi Oetomo asal Nglepeh itu
membuka Boedi Oetomo di kota Saminti. Namun sekolah Ongko Loro di jalan Pirukunan
itu tiba-tiba ia tinggalkan begitu saja. Mungkin karena tidak ada animo,
mungkin sang dedengkot Boedi Oetomo itu kecantol dengan de yung aproditen dari negeri kincir angin. Usaha Boedi Oetomo
dilanjutkan oleh Edy Sarwono, namun tidak jelas juntrungnya. Boedi Oetomo tutup
di sana. Kisah ini dicermati oleh anak penghulu dari kaki gunung Kelud
tersebut. Ia ingat berbagai pokok pikiran tentang Boedi Oetomo, ia setuju
dengan berbagai kekecualian. Alkisah bupati kota Saminti merasa prihatin akan
nasib Boedi Oetomo dan memasang iklan di surat kabar Semawis. Iklan ini
merangsang dirinya untuk memberanikan diri mengajukan penawaran. Dan gayung pun
bersambut.
Anak
Anjan, puteri penghulu Dampoawang didaupkan
dengan putera sang penghulu dari kaki gunung Kelud. Dan berbulan madu pun
dilangsungkan di kota Saminti.
Kota
Saminti
Saminti terletak kurang dari empat
puluh kilometer di sebelah selatan kota Dampoawang. Kota kapur, miskin, dan
separo kotanya dilingkari dengan sungai Lusi dari utara sampai selatan, sebelum
ia membelok ke barat dan kemudian ke barat laut. Ia bersumber dari hutan jati
desa Gandu di kaki gunung Kendeng.
Menurut babatnya Saminti adalah kota
bekas jajahan Mataram pertengahan abad ke 18, penduduk setempat berusaha
melawan, tetapi kalah kuat dengan tentara Mataram yang bersenjata peralatan
modern dari negeri kincir angin. Tentara bayaran Mataram berhasil mengalahkan
tentara belandong. Supaya tidak timbul perlawanan berkepanjangan, Mataram
melakukan taktik bedol desa, daerah Saminti dijadikan basis dan kantong-kantong
tentara Mataram. Desa-desa di sana diberi nama desa-desa dari mana tentara
Mataram itu berasal. Desa-desa itu ada sampai sekarang, sebut saja
Karangnongko, Banjarrejo, Jetis, Mlangsen, Beran, Tempel, Kridosono. Kota
dibangun sedemikian rupa sehingga kota Saminti boleh dibilang kota pertigaan
dan kota perempatan. Mungkin oleh bupati pertama Suminti R. A. Wilatikta untuk
menunjang mobilitan tentara pendudukannya. Saminti dengan luas sekitar enam
kilometer persegi itu memiliki sekitar seratus pertigaan dan perempatan yang
jarak satu dengan yang lainnya hanya dipisahkan kurang dari seratus meter.
Namun ketika terjadi perjanjian Giyanti, Saminti dialihkan kekuasaan Mataram Jogjakarta
menjadi kekuasaan kasunanan Surakarta. Sebagai protes R. A. Wilatika lengser
dan menghilang entah kemana. Ada dugaan inilah asal mula lahirnya gerakan kaum blandong yang anti pajak, berjuang
dengan prinsip sikep, rukun, tenggang
rasa, menepati janji, jujur; tabu untuk dusta, irihati, dan mencuri. Namun bagi
negeri kincir angin ini adalah pembangkangan terhadap kekuasaan. Para tokoh
mereka banyak yang ditangkap dan dibuang ke Digul dan Andalas. Tapi justru
gerakannya semakin meluas keempat penjuru mata angin. Dan negeri kincir angin
tetap menerapkan pajak sebagai wujud pengakuan warga jajahan terhadap kekuasaan
di seberang lautan. Bahkan Karl Marx dalam analisanya pernah mengatakan bahwa
pajak merupakan perwujudan hubungan antara warga dangan negaranya. Represi
dilakukan, namun itu ibarat membongkar rumah semut. Penghuninya buyar
kemana-mana. Perempat pertama abad dua puluh itulah pengantin baru itu memulai
bulan madunya. Itu berarti seperempat abad sebelum Cifford Geertz melahirkan
thesis tentang Mojokuto, Dinamika Sosial Sebuah Kota Di Jawa. Anak penghulu
dari kaki gunung Kelud itu adalah abangan pertama yang masuk kota Saminti.
Dengan modalnya sendiri dan pinjaman teman-teman dari kota Dampoawang ia
mendirikan lembaga pendidikan di sana dengan nama Intituut Boedi Oetomo,
satu-satunya lembaga yang pernah ada di Nusantara dengan prinsip mandiri:
belajar, bekerja, dan berkarya. Prinsip seperti ini beda dengan Taman Siswa,
INS Kayutanam, bahkan juga Perguruan Rakyat Batavia yang lahir empat puluh
empat hari sesudah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Perguruan Rakyat mengaku
merupakan lembaga pendidikan nasional pertama di Nusantara yang tercantum dalam
anggaran dasar mereka.
Intituut Boedi Oetomo dibangun di
pertemuan jalan antara Galingsong dan Bantarangin. Terdiri dari kelas satu
sampai dengan kelas tujuh. Dalam waktu singkat Intituut Boedi Oetomo menjadi
pusat kegiatan politik, ekonomi, sosial, pemberantasan buta huruf, koperasi,
olahraga dll. Di sana juga berkembang gerakan anak asuh bahkan jabang bayi PNI
lahir di lingkungan Intituut Boedi Oetomo ini. Namun kiprah pendidikan daerah
ini tentu saja kalah harum dibandingkan dengan Taman Siswa di bawah Soewardi
Soerjaningrat yang kemudian menjadi Ki Hadjar Dewantoro, bapak pendidikan
nasional nusantara atau Perguruan Rakyat, yang berhasil menghimpun lebih dari
seratus tokoh nasional lulusan dari dalam dan luar negeri. Di sana ada Hoesni
Thamrin, A. Mononutu, Soenarjo, Amir Sjarifoeddin, Ali Sastroamidjojo, bahkan
Soekarno dan Moh. Hatta pernah bergabung. Dan Perguruan Rakyat tetap hidup
sampai detik ini. Sedang Intituut Boedi Oetomo mulai surut dengan peraturan undang-undang sekolah liar dan mati
suri dengan masuknya balatentara dari negeri matahari terbit. Namun sampai
sekarang kenangan manis tentang Intituut Boedi Oetomo bagi angkatan tua masih
dikenang. Pernah dicatat bahwa yang dimaksud undang-undang sekolah liar atau wilde schoolen ordonantie adalah
peraturan Hindia Belanda yang antara lain menetapkan bahwa para tamatan sekolah
bukan milik Gubermen tidak bisa atau sulit diterima bekerja pada instansi di
lingkungan pemerintahan resmi. Pada waktu itu orang bersekolah demi supaya
menjadi pegawai. Tak pelak animo masuk sekolah swasta langsung anjlok. Termasuk
Intituut Boedi Oetomo. Padahal dari sejak semula Intituut Boedi Oetomo telah
memberi warning, bahwa salah satu
tujuan pendidikan adalah kemandirian. Dan kemandirian berarti percaya diri. Dan
percaya diri adalah kebebasan. Justru itu sila ketiga dari Intituut Boedi
Oetomo adalah berkarya yang merupakan wujud dari perpaduan dari belajar dan
bekerja dalam dimensi yang lebih tinggi. Karya membuat kita menjadi ada dari
ketiadaan. Karya membuat kita jadi dikenang. Kalau ia merupakan yang
monumental, kita akan lama dikenang bahkan mungkin selamanya. Karena seni itu
abadi adanya. Tidak peduli yang membuatnya hadir di antara kita atau tidak.
Sebagai contoh pelukis nyentrik Van
Gogh. Karena lukisannya dianggap tidak pas, telinganya sendiri diiris. Kini
lukisannya yang lebarnya kurang dari satu meter saja nilainya ratusan juta dolar,
yaitu Sang Bunga Matahari. Ya, seni itu abadi -Ars Longa. Pada tekad, pengorbanan dan kebebasan. Beratnya syarat
yang dituntut oleh seni itu maka itu ia merupakan barang langka di dunia ini
dan hanya terlahir dari sedikit saja orang. Sebagian manusia bahkan tidak tahu
bakatnya sendiri sampai akhir hayat.
Keluarga
Njentit
Tadinya keluarga pengantin baru itu ngontrak di desa Mlangsen. Ketika bayi
pertama lahir, mereka pindah di jalan Pasar Pari. Jalan berbatu gunung gamping
itu tidak panjang, kurang dari setengah kilometer. Membujur dari utara jembatan
Kaliwangan ke arah barat sampai notog.
Jalan kemudian membelok ke utara. Rumah kontrakan itu di sebelah utaranya toko
emas “Ijo”, persis di samping lorong yang ujungnya dulu dikenal dengan nama “gardu
gendruwo”.
Dalam perkawinan sekitar dua puluh
tahun itu mereka dikaruniai sembilan anak laki-laki dan perempuan. Dari yang
termuda panggilannya Santi, meninggal bersama ibunya dalam satu hari, ketika
berusia kurang dari satu tahun karena sakit. Kemudian urutan yang lebih tua,
Cuk, Cus, Liek, Is, Oem, Koen, Wiek, dan Moek. Berkat didikan sang ibu yang
berbudaya pantai, semua senang membaca. Berkat didikan ayah mereka senang
menyanyi dan menulis, berkarya. Tujuh dari delapan anak yang hidup kemudian pernah
menulis di surat kabar atau majalah. Bahkan pernah ada selentingan, bahwa dalam
dunia tulis menulis pun ada mafia dan KKN. Seorang di antaranya bahkan dituduh
menjiplak ketenaran nama penulis senior dan numpang kepopulerannya. Hal itu
membuat salah seorang dari keluarga penulis itu merasa risi dan menghindari
menulis dengan nama asli. Bahkan tanda tangannya pun tanda tangan nama samaran
dan dibalik dari belakang.
Keluarga di samping jalan Kerbau,
karena biasanya buat jalan sapi atau kerbau yang akan diguyang di kali Lusi. Sering juga disebut dengan jalan Empot Paresan.
Biasanya di musim kemarau para pesakitan kota Saminti digiring mandi ke kali.
Sambil ke kali mereka mikuli
bertong-tong empot, kotorannya sendiri dari buwen,
makanya gang di samping rumah pengantin baru itu juga disebut gang Empot.
Berjam-jam bau kotoran itu mengambang di sana kalau paresan-paresan itu berangkat mandi. Yang duluan mandi kemudian nebo di antara rumah penduduk minta
makan.
Keluarga itu tinggal di ujung jalan
Pasar Pari, kemudian namanya menjadi jalan Pasar Khewan. Sesudah di sekitar
situ dibuat tempat pemotongan sapi jalan diubah lagi dengan nama Jagalan.
Kerena kata jagalan dianggap terlalu
kejam kemudian jalan itu diubah lagi mejadi jalan Pemotongan. Terakhir kali
jalan itu diubah lagi menjadi jalan Sumbawa. Sedang jalan Galingsong diubah
menjadi jalan Halmahera.
Keluarga besar dengan anak banyak,
rumah besar dengan dapur seluas lapangan bulutangkis sering diajeni dengan nama ndoro atau priyayi.
Persepsi itu mestinya keliru, kerena kepala sekolah Intituut Boedi Oetomo itu
bukan pegawai Gubermen. Ada nyanyian yang sampai sekarang oleh keluarga itu
masih sering diingat:
Lara atiku di wada priyayi saminti
Ora nginangi, ora ngududi
Anggepe kaya bupati
Di samping kurang tepat, ia lebih
berbau ngajeni bahkan dengki, tetapi
sejatinya cuma merugikan, kerena kepala sekolah Intituut Boedi Oetomo itu
justru dianggap terlalu vokal dengan kekuasaan penjajah. Misalnya mengerek
bendera merah putih, tidak menyanyikan lagu-lagu Wihelmus, tetapi lagu mars
Intituut Boedi Oetomo. Jadi kegiatan-kegiatan yang selalu terjadi di sana
dianggap oleh pemerintah sebagai membangun kekuatan masa untuk tujuan politik.
Kepala sekolah dicurigai, rumah digeledah, dan pernah tidak pulang tiga hari
tiga malam. Selentingan menyebutkan ia dipanggil kepala intel kota. Ceritanya
kala itu ngintel orang dengan cara
membuntuti yang diinteli. Kepala
sekolah Intituut Boedi Oetomo juga diperlakukan tidak bedanya dengan yang lain.
Ia ikuti kemana pergi, termasuk ngompol
dan kecepirit. Bapak guru tahu betul
ia diikuti. Ia tidak risi justru senang kemana-mana ada yang ngawal. Tapi suatu saat ia benar-benar
tidak ingin mendapat pengawalan. Orang-orang tua kota Saminti tahu bahwa
dipertemuan jalan Galingsong dengan jalan Bantarangin banyak kuburan. Orang
bilang banyak wewe, gendruwo dan banaspati. Makanya kalau bapak guru mau santai ia menghilang dulu
di antara kuburan itu. Penguntitnya urung membuntuti. Takut. Ia tidak pulang
tiga hari tiga malam itu karena dilaporkan oleh intel penakut dengan tuduhan
rapat gelap.
Ketika Intituut Boedi Oetomo
bangkrut, keluarga juga turut bangkrut. Anak-anak asuh juga kena getahnya. Padahal
di kota Saminti ada beberapa sekolah swasta, lalu berapa efek yang diciptakan
kolonial di seluruh nusantara ini? Dalam sejarahnya Perguruan Rakyat yang
pernah berkembang pesat sampai ke Bandung, Semarang dan Makasar masih mending,
Intituut Boedi Oetomo tutup total. Dari banyak membiayai anak kurang mampu
sampai tidak mampu membiayai anak sendiri sekolah!
Pernah
sampai kedengaran para tetangganya membuat ungkapam:
Jarak
merajak, jati mati.
Rakyat
bergerak, priyayi mati.
Namun
keluarga di pojokan tetap keluarga njentit.
Dalam keadaan kesulitan mereka tetap menggeliat. Bahkan berlagu sambil
menari-nari: suk peng-sesuk gepeng.
Dan njentit artinya adalah gaya
jalan. Yaitu ketika berjalan kakinya seperti nyendal-nyendal, tumit seperti terangkat, sedang badan dan kepala
condong ke depan. Jalan dengan gaya seperti itu di kota Saminti hanya dimiliki
oleh mereka. Padahal dalam keluarga itu ada beberapa orang yang berjalan
seperti itu. Yang pertama bapak, kemudian menurun ke anak pertama, Moek, anak
kelima, Is, anak ketujuh, Cus, dan anak kedelapan, Cuk. Makanya keluarga itu
dikenal dengan nama keluarga njentit.
Bahkan belakangan ada kisah bahwa jalan Moek yang njentit itu membikin petugas sewot, kerena pasti itu indikasi ideologi
komunis. Gila!
Hidup
Itu Singkat
Bangkrutnya Intituut Boedi Oetomo
seperti sudah dikatakan di muka membuat keluarga secara ekonomi sosial goyah.
Yang paling menderita dampaknya adalah ibu. Pedih hatinya ketika tahu asal
usulnya, nasib ibu kandungnya yang sengsara, mengembara dibawa angin lalu
sampai ke kota buaya dan menjadikan dirinya pun kabarnya menjadi buaya di sana,
jadi buruh tukang cuci, ngutil di
pasar, dan bertahun-tahun menekuni profesi sebagai pedagang pakaian rombeng.
Dan dongeng sedih itu menjadi kenyataan ketika pada suatu kali sang ibu berdiri
di hadapannya. Peristiwa ia benam dalam-dalam di lubuk hati sampai meninggalnya
tanpa diketahui suami dan anak-anaknya. Kisah itu baru sekian tahun kemudian
didongengkan nenek kepada cucunya Oemi. Kesedihan hatinya ditambah berat lagi
dengan ibu-ibu dan saudara tiri dari bapak penghulu kota Dampoawang. Mereka
gencar mengumbar dongeng tersebut. Hatinya tambah risau dengan makin seringnya
konflik keuangan dengan sang suami yang tertutup penghasilannya.
Sebelumnya mereka pernah
berangan-angan supaya nantinya anak-anak bisa sekolah di Eropa. Ternyata anak
tertuanya pun, mereka hanya mampu menyekolahkan sampai tamat sekolah di sekolah
bapaknya sendiri. Lalu bagaimana dengan anak-anak yang lain? Ini adalah
indikasi hilangnya generasi.
Situasi itu ditambah dengan
kacaunya perekonomian dunia yang dikenal dengan jaman malaise. Jaman meleset dan makin gencarnya ancaman perang dunia,
yang di Asia dikenal dengan nama perang Pasifik. Lebih-lebih lagi ibu yang
sudah beranak hampir sejinah itu diisukan
di-demeni oleh seorang santri gudig yang setiap kumat terang-terangan
berusaha menunjukkan cintanya. Sang ibu tak kuat menanggung beban itu dan
meninggal kerena TBC yang waktu itu dikenal dengan “penyakit orang kaya”,
bersama anaknya yang terkecil, Soesanti. Nama itu dipilih sendiri oleh sang
bapak. Soe-berarti lebih baik, san-mesisan,
dan ti-mati. Soesanti-lebih baik mesisan mati. Dan ia mati sesuai dengan
namanya. Sang bapak adalah orang yang gemar tirakat. Nama yang diberikan
anak-anaknya adalah nama yang dipilihkan sesuai dengan nasib dan rejekinya
sendiri. Jangan coba merubahnya. Kalau berani tanggung sendiri akibatnya.
Menambah boleh tapi jangan mengubah aslinya.
Ibu meninggal dalam usia tiga puluh
tujuh tahun, beberapa saat sebelum Dai Nippon menyerbu nusantara.
Sang ayah jadi duda. Kesepian dan
menganggur. Ia memperoleh spirit baru
dalam ceki yang diam-diam sudah
digelutinya sejak Intituut Boedi Oetomo kehabisan murid. Wewenang sekolah
diberikan kepada wakilnya, Amir, teman setianya yang mengaku keturunan tentara
Mataram generasi yang ke lima belas. Beban makin bertambah ketika terjadi
peristiwa Madiun. Ia dianggap pentolan
PNI yang kiri dan dianggap pro Muso. Dia ikut ditawan bersama teman-temannya
dan digiring sampai kota Minatani. Soemodarsono, teman seprofesi ketika
diangkut dengan kereta api mencoba kabur dan ditembak mati ketika melompat dari
kereta.
Front Nasional yang dibangun Muso,
yang katanya baru pulang dari Moskwa ditumpas oleh kekuatan kabinet Moh. Hatta
dengan pelaksana kekuasaan militer Gatot Soebroto. Begitu selesai peristiwa
Madiun, seperti sudah diduga sebelumnya, tentara negeri kincir angin yang
membonceng kemenangan tentara sekutu kedua kalinya membonceng tentara sekutu
yang menguasi nusantara. Tahap pertama mereka menduduki kota-kota besar dan
pelabuhan penting baru kemudian melakukan aksi berikutnya. Sang duda turut
bergerilya. Ikut keluar kota. Anak-anak ia tinggalkan begitu saja. Sementara ia
dengar anaknya yang pertama meringkuk dalam tahanan karena mengangkat senjata.
Anaknya yang kedua invalid karena diparang oleh bangsa sendiri yang mengaku
pejuang, tetapi tidak kebagian distribusi kedudukan. Anak perempuannya yang
jadi istri kopral sakit total karena TBC. Karena katanya ketularan suaminya
yang kena penyakit TBC kulit, atau memang itu mungkin penyakit ketularan
ibunya. Dalam masa itu tidak mungkin orang berpikir rasional. Bagaimana mau
berpikir rasional kalau perut saja tidak rasional jalannya.
Pendudukan Londo di nusantara memberi peluang kepada mereka yang mendambakan
keemasan jaman normal. Mereka menguasai medan dan menjadi mata-mata musuh,
ratusan gerilayawan berhasil mereka ciduk dan tangkap, termasuk sang duda. Ia
digebuki dan dikerangkeng. Namun ketika ia dihadapkan kepada si bule ia dilepas
karena mahir Holland spreken, namun
dengan syarat mau membuka sekolah. Dan ia mau. Ia menilai tidak ada kaitan
antara sekolah dan perang. Dan ia mempelopori usaha kembali ke bangku sekolah
dan jiwa nasionalisme tetap bersemi. Oleh karena itu, segala distribusi dan
separo dari gajinya dari penguasa pendudukan ia sumbangkan kepada mereka yang
tetap bergerilya di luar kota. Hal itu ia koordinasikan dengan semua guru yang
mau menerima konsepnya: dalam keadaan apapun belajar harus tetap jalan,
termasuk dalam keadaan perang dan pendudukan.
Kemudian terjadi perundingan Meja
Budar R-R -atau Roem-Royen. Ini adalah rundingan bagaikan antara bapak didik
dan anak didik. Bukankah Mr. Roem itu lulusan negeri Welandi? Katanya di meja perundingan Indonesia menang, kedaulatan
Republik dikembalikan, maka lahirlah RIS-Republik Indonesia Serikat. Terjadi merger pegawai. Bagi yang sudah bekerja
kepada tentara pendudukan disebut kelompok federal dan yang baru pulang dari
gerilya disebut kelompok republik. Itu urusan lain. Yang jelas rakyat berpesta
kemenangan. Para interniran, termasuk Moek juga dibebaskan. Pesta kemenangan
disambut di mana-mana. Di kota Saminti juga dibentuk panitia pesta kemenangan.
Pesta akan dilakukan di gedung kamar bolah. Sang duda yang mendapat kedudukan
menjadi guru kembali juga diundang, bahkan undangan kehormatan sebagai
koordinator pendukung para gerilyawan.
Pesta sudah dimulai dengan pidato
silih berganti dan diakhiri dengan makan-makan. Pak guru dengan lima
anak-anaknya dapat satu meja dan sedang asyik menyantap hidangan ketika
mendadak ada seseorang berpakaian lusuh, berambut gondrong dan ikat kepala
berwarna merah putih lusuh berteriak lantang:
“Saudara-saudara setanah air. Anda
harus tahu bahwa pesta kemenangan ini hanya untuk kaum republiken. Kaum federal
keluar!”.
Karena orang itu bicara tidak jauh
dari tempat pak guru dan anak-anaknya duduk, maka tak sepatah kata pun omongan
si gondrong itu luput dari perhatiannya. Ia tersedak ketika menyuap dan sendok
terpelanting dari tangannya. Tanpa bicara apa-apa, kedua anak laki-laki yang
sedang menikmati santapan ditariknya keluar dari pesta. Ketiga anaknya yang
lain tergopoh-gopoh turut bangkit dan mengejar ayahnya tanpa mengerti apa yang
terjadi. Ia berjalan tergesa-gesa dan baru mengendorkan langkahnya, menunggu
disusul langkah lima anak-anaknya yang lain. Begitu mereka dekat ia berkata:
“Oemi, anakku, ini uang, ajak adik-adikmu
makan di Kopla’an.”
Sang ayah mengeluarkan segumpal uang
dari balik jasnya, sedang tangan yang sebelah lagi dipakai menutupi mukanya.
Namun Oemi tahu, mata ayahnya basah. Oemi dengar apa yang diomongkan pemuda
berambut gondrong itu, tapi ia tidak mengerti bahwa pesta itu diperuntukkan
cuma buat kaum “republiken”. Kalau begitu kenapa ayahnya diundang? Apa memang
begitulah arti kata revolusi? Ia tidak paham. Mendengar bukan berarti paham.
Dari mana ia mampu memahami kata itu? Sekolah cuma kelas tiga, tambah beberapa
hari di kelas empat. Begitu sang ibu meninggal, ia ambil inisiatif sendiri
dengan keluar dari sekolah dan menjadi pengendali sukarela rumah tangga
menggantikan kedudukan sang ibu. Itu harus, demi ayah dan adik-adiknya. Waktu
itu ia baru genap sebelas tahun. Masih belum berintrok, bahkan bercelana dalam. Tidak punya bahan dan kurang
perlu. Bahkan seingatnya ia sendiri belum paham, sebenarnya laki-laki atau perempuankah
dirinya itu. Ia rasa raut mukanya kasar, tangannya presis tangan cakruk, di
sana-sini timbul otot-otot. Sama sekali beda dengan muka ibundanya yang kuning
langsat, halus, terawat, penuh pancaran kasih sayang keibuan. Mukanya sendiri
mirip muka sang ayah di mana di sana sini menonjol tulang. Seingatnya bahkan
sejak kecil para tetangga sering keliru menyebutnya “gus”, bukan “ning”, karena
dikira memang ia laki-laki.
Pulang ke rumah ia mencoba tidur,
tetapi urung. Ia resah memikirkan ayahnya dan menunggunya sampai pagi, dan
ternyata bapak tidak pulang. Tiga hari kemudian ayah pulang dengan muka pucat.
Tengah malamnya ayah muntah darah. Ia mencoba mendekat, ingin menolong, tetapi
oleh sang ayah ia disuruh menyingkir. Tetapi ia tetap mengajar. Namun terakhir
kali pegawai rumah sakit datang mengabari kalau ayah dirawat di rumah sakit.
Dan seminggu sebelum akhir bulan Mei, lima tahun kurang tiga bulan sesudah
pergerakan kedaulatan ayahnya tak mampu bertahan hidup. Ia meninggal penuh
dengan kekecewaan terbenam dalam hatinya. Barangkali benar ramalan namanya
sendiri yang terdiri cuma dari empat huruf. Empat huruf itu merupakan akronim
dari seluruh jalan hidupnya: tansah, ora,
enak, rasane. Ia adalah manusia yang gelisah, sibuk mencari jati diri. Dan
ia menemukan jati dirinya dalam bentuk tanda tangan yang berupa deretan angka
yaitu angka tujuh dan dua angka satu, yang kalau dideretkan akan berarti angka
tujuh ratus sebelas. Tanda tangan yang fenomenal, sangat mudah ditiru. Namun
barangkali itu adalah tanda tangan satu-satunya yang pernah dibuat orang. Anak
belum masuk sekolah pun bisa menirunya. Anak-anak tadinya tidak mengerti arti
di balik tanda tangan itu. Namun karena lima di antara anak-anak lahir dengan
lambang Aquarius, maka angka tujuh ratus sebelas itu disimpulkan merupakan
tanggal dan bulan kelahiran sang ayah yaitu tujuh Februari. Hari kesedihan itu
bercampur haru dan bangga sekaligus. Sedih karena sang ayah sedo. Haru karena kedelapan anaknya bisa
berkumpul, suatu hal yang pada waktu itu sulit terjadi. Bangga kerena sekolah
seluruh kota Saminti diliburkan. Ribuan tetangga dan murid hadir melayat.
Karangan bunga menggunung. Iring-iringan pelayat berkelok-kelok lebih dua
kilometer. Ketika kepala iringan sampai di pemakaman, ekornya masih ada di rumah
duka. Iring-iringan melewati ujung jalan Galingsong, pertemuan dengan jalan
Bantarangin. Melewati gedung Intituut Boedi Oetomo, kemudian membelok ke jalan
Pirukunan dan melewati gedung Boedi Oetomo yang dipimpin Dr. Soetomo dan pada
perempatan jalan berikutnya iringan membelok ke kiri lurus sampai Gudangbanyu.
Iringan itu bagaikan dirancang menapaktilasi perjalanan hidup sang ayah. Hidup
ini bagaikan sandiwara raksasa, namun ia bukan pasar malam. Layar sandiwara pun
turun, babak baru dimulai. Dan itu terjadi delapan tahun sesudah istrinya. Lima
puluh tahun lebih usianya, lebih tiga perlimanya ia sumbangkan untuk
pendidikan. Hidup itu bukan panjangnya, tetapi maknanya. Vita brevis-hidup itu singkat!.
Seni
Itu Abadi
Ibu yang bijak bagi anak-anaknya itu meninggal dalam usia tiga puluh
tujuh tahun. Ayah yang kreatif dan inovatif itu meninggal dalam usia sekitar
lima puluh empat tahun. Dan kalau ditotal dan kemudian dibagi dua menghasilkan
seputar empat puluh lima tahun. Alangkah pendek umur para keturunannya. Ini
adalah hitungan arithmetic yang ngawur dan tidak punya logika, tidak ada
secuil ilmu yang dipakai sebagai landasan, tetapi menjadi patokan yang
menakutkan. Lalu apa yang bisa dikerjakan dalam waktu sedemikian itu? Apalagi
fondasi pendidikan tidak punya, wawasan sempit, kenalan setali tiga uang, harta
pun tiada. Padahal menurut kata orang untuk menjadi cerdas orang harus membaca
sekitar empat ratus lebih jilid buku. Sedang buku tidak terbeli. Bahasa asing
tidak menguasai. Bahasa anak negeri itu bukan bahasa ilmu, tetapi bahasa ninabobok,
bahasa flora dan fauna, bahasa ilmu sihir, dan tenaga dalam. Lalu apa yang bisa
dikerjakan dengan bekal sedemikian sedikit? Kerja pada Gubermen? Mustahil, tuan
Welandi sudah menggariskan dalam
undang-undang. Padahal kalau dikaji kembali politik etnis, akibat beberapa
tokoh bule dari negeri tanah rendah itu merasa hutang budi dan mencoba
membalasnya dengan jalan politik tersebut. Salah satu tiang dari tiga sasaran yang
dicoba terapkan adalah memberi pendidikan kepada negeri jajahan. Betul!
Pendidikan, tetapi bukan pekerjaan. Pendidikan dengan pekerjaan itu dua soal
berbeda. Anak-anak pendiri Instituut Boedi Oetomo dari kota Saminti itu tiga
orang berhasil menyelesaikan di sekolah bapaknya sampai tamat kelas tujuh. Jadi
cuma berijasah sekolah rendah. Yang nomor empat sudah dikatakan di muka, baru
naik kelas empat. Sisanya berkutat dalam alam kemerdekaan. Padahal hidup harus
tetap jalan. Untuk itu perut harus diisi. Maka semua memeras otak. Di sinilah
konsep sang ayah menemukan nur. Belajar bukan lagi merupakan pengertian baku.
Belajar merupakan terobosan baru. Kalau belajar untuk memperoleh kepandaian
dengan melatih diri dengan bimbingan seorang guru tidak terpenuhi, maka guru
yang terbaik adalah dirinya sendiri. Belajar bukan lagi di mana, bagaimana,
tetapi dengan apa saja. Dan gerakan belajar diri sendiri itu menemukan
pencerahan –verlichting aufklarung-nya
dalam keluarga. Ia adalah didactika magna
dalam keluarga. Kalau ditelusuri sejarahnya bukanlah orang-orang ternama dulu
kebanyakan juga berasal dari orang tak berpunya, sengsara, dan papa? Kalau
seorang anak keluarga mampu mendapat pendidikan yang baik, menjadi terkenal
tentu mendapat acungan jempol. Tetapi kalau tanpa sarana dan prasarana menjadi
terkenal itu baru namanya fenomenal. Ambil contoh John Locke atau F. Herbert
atau yang lain, mereka punya modal pendukung. Tetapi sebut saja Herbert
Spenser, Thomas Alfa Edison, Danton, Bosco, Frobel, Adam Smith, Pestalozzi,
Rousseau, bahkan Socrates -sang manusia jalanan-, atau Konghucu -sang guru-,
rata-rata bermodal dengkul –kerja keras. Kelihatannya memang orang harus
belajar dulu untuk menjadi manusia. Pada waktunya dan untuk setiap orangnya
berbeda mulai menekuni hal kedua, yaitu bekerja. Belajar dan bekerja adalah
makan dan memberi makan pada waktu timbul gejala lain di antara keduanya yang
dengan singkat disebut karya. Karya bisa jadi hasil dari hobi. Tetapi karya
sejati adalah sesuatu yang lahir dari pergulatan untuk mewujudkan jati diri,
pencerahan diri, sari diri. Dan ia harus bermanfaat buat diri sendiri dan buat
lingkungan. Karya bukan sekedar karya, karya yang harus memberi spirit, semangat, dan bukan sebaliknya
meracuni dan menggeragoti, mencemari. Dan karya yang baik mendorong ke dalam
kebaikan, kemajuan, dan peradaban umat manusia. Ia mengantar kita ke gerbang
yang terbuka –Janua reserat. Ia
memberi semangat supaya orang kuat kala mendapat cobaan. Memberi spirit hidup. Apalagi memang hidup itu
singkat kalau dibandingkan dengan jagad raya. Jadi hidup singkat itu harus
bermanfaat, berguna bagi sesama. Jangan cuma yang sempat belajar menjadi abdi,
yang sempat bekerja menjadi kuli. Manusia harus mencari pencerahan diri dari
lingkungan dan dari diri sendiri. Tak sia-sia orang menggoreskan motto: ars longa vita brevis. Itu bukan sekedar
buah bibir, ia lahir dari belajar
tekun dan bekerja keras. Karena hidup singkat, jadikan ia bermanfaat,
menciptakan sesuatu yang abadi, dan yang abadi itu adalah seni, ars longa –seni itu abadi-,
setidak-tidaknya lebih panjang dari senimannya sendiri.
Dan Orbis Pictus ini menjelmakan wujudnya dalam linguarum. Pelopor linguarum adalah
anak tertua, Moek. Bayi prematur ini sering sakitan. Kalah kuat dengan Wiek
sang adik. Jadilah ia lebih banyak melamun ketimbang jingkrak-jingkrak. Dalam
melamun itu ia seolah jingkrak-jingkrak. Dalam melamun ia berpikir. Dalam
berpikir ia melamun. Dalam melamun dan berpikir ia berpikir. Dalam melamun dan
berpikir ia berpikir. Dalam tidur ia berpikir. Dalam mimpi ia berpikir.
Akhirnya ia menyerah:
Aku tidak bisa berbuat apa-apa
kecuali berpikir. Karena hanya itu modalku, maka itulah pekerjaanku, itulah
hidupku, itulah tugasku. Itulah tugas nasionalku. Jadi tentara pernah kualami,
itu bukan bakatku. Jadi pedagang pernah kualami, itu bukan bidangku. Jadi
pegawai pernah kualami, itu bukan misiku. Misi hidupku adalah pikiranku. Dan
pikiran itu tergores dalam linguarum-ku. Apakah itu salah? Karena itu mulai
detik ini aku harus bicara padamu semua, adik-adikku: menulislah. Kalau pun
mungkin kau tidak bisa jadi kaya, tetapi kau akan dikenang, bahwa kau pernah
ada. Karena itu asahlah senjatamu itu setajam mungkin. Dan itulah res kita. Itulah tucht kita. Kalau tulisanmu bagus, kau akan dihargai. Mungkin kau
akan dapat uang, kalau tidak berarti yang kau tulis itu sampah. Walau sampah
pun mungkin ada nilainya. Lawan itu pendapat yang mengatakan bahwa segala
sesuatu rusak di tangan manusia. Rousseau itu barangkali kurang waras karena
tidak pernah mengenal ibunya sendiri. Kita punya ibu yang bijak, kita punya
bapak yang selalu gelisah. Walaupun kita serba kekurangan tetapi kita punya
kekuatan. Punya harga diri.
Dan Moek yang baru
keluar dari tahanan kompeni, sepeninggal sang ayah tanpa ragu memboyong ketiga
adik di bawah umurnya dan hijrah ke kota harapan: Betawi. Belajarlah dari
lingkunganmu. Belajarlah dari dirimu sendiri. Kenali dirimu. Mulailah bekerja
dalam belajar. Rajut hidupmu antara dua kata itu: belajar dan bekerja. Kemudian
bekerja dan belajar. Itu pesan orang tua kita. Jangan kecewakan orang tua kita
yang kecewa. Wujudkan impian mereka. Bapakmu itu orang besar dalam lingkungan
yang kecil. Kalau ia hidup di kota besar, jadi tokoh ia. Sayang ia terjerumus
ke kota Saminti, kota sate, minyak, dan kayu jati. Namun kecermelangan
memandang masa depan hebat. Sayang, sayang, ia mati muda, TBC lagi. Penyakit di
masanya merupakan takdir akhir hidup. Nenek kita memberi pencerahan ketabahan,
ibu memberi pencerahan cinta dan kesetiaan, bapak memberi pencerahannya pencerahan.
Satu lagi yang ingin kukatakan. Percaya syukur, tidak pun bukan masalah bagiku.
Utamanya pesan itu telah kusampaikan pada kalian. Saat ini Eropa adalah
merupakan pusat peradaban, pusat pembaharuan, pusat ilmu pengetahuan dan
pendidikan. Humanisme lahir di situ, tepatnya di Italia. Pelopornya Petrarca
dan Bocaccio. Kita diperkenalkan pada istilah yang maha agung renaisance, bisa diartikan kebangkitan
kembali. Naissance artinya
lahir. Aku bukan ilmuwan, jadi tidak bisa runut bicara. Ngacak. semua yang kutahu, kucerna kembali dan menjadi penyuluh
jiwaku dari belajar sendiri. Sebagian besar di balik jeruji besi. Di sana aku
menemui nama besar seperti si jidat besar
Plato, murid Socrates. Dari Plato aku belajar realisme. The right man in the right place itu bukan motto sembarangan. Itu
kenyataan. Manusia dibagi menurutnya berdasarkan kemampuannya. Sebagai homo manusia itu jelas utamanya adalah
akal. Homo pun diberkati dengan
kehendak, satu di antaranya adalah keberanian dan homo pun disempurnakan dengan hasrat. Perpaduan ketiga sifat itu
menciptakan manusia seutuhnya. Manusia yang hanya punya keberanian tidak lebih
dari ternak. Lengkapi dirimu dengan akal. Dan akal itu seyogyanya kau peroleh
di Eropa. Itu pesan orang tuamu, camkan. Aku sendiri kans untuk itu tertutup.
Pengetahuanku cuma dibekali sampai kelas tujuh sekolah dasar. Itupun kutempuh
dalam tempo sepuluh tahun. Memalukan! Dengan umurku sekarang, berdasarkan
penelitian sudah tidak mampu untuk menerima pelajaran lagi. Otak sudah mencapai
puncak perkembangannya dan mengkerut kembali. Seperti teorinya Stephan Hawking
tentang jagad raya. Kini tugasku hanya mengejar waktu, mengejar sisa umurku
supaya lebih bermanfaat.
Kenyataan memang sangat menakjubkan.
Moek mencoba mempergunakan waktu seefisien mungkin. Ia menulis novel dalam
hitungan minggu, dua minggu, tiga minggu. roman ditulisnya dalam sebulan. Itu
pun sudah terlalu lama. Ia tidak mengoreksi apa yang telah ia ketik. Apa yang
telah ia curahkan dianggapnya selesai di situ. Baik buruk itu baginya bagaikan
anak kandung sendiri. Ia tidak bedakan. Yang menilai adalah pembaca. Dan
merunut ilham sedemikian rupa sehingga tidak tindih dan berulang kembali.
Kebanyakan yang ia tulis adalah kritik lingkungan. Namun ia sendiri ogah dikritik.
Tema yang ia garap kebanyakan adalah masalah keluarganya sendiri, jaman
anak-anaknya. Dan ia selalu mengagungkan wanita sebagai sentral, bak resources intangable asset. Ciri itu
menjadikan Moek sebagai penulis terproduktif. Tema yang digarap makin beragam.
Dan ia “menggelinding” begitu saja. Bukan itu saja, sebagai penulis ia
kekecualian dalam klasifikasi sastra Nusantara dan mendobrak pembagian itu yang
dikategorikan oleh bekas gurunya, calon penulis yang gagal dan kemudian terjun
ke dalam dunia kritik sastra. Ia menolak dikategorikan angkatan 45, ia tidak
termasuk angkatan 66, ia tetap berkibar dalam angkatan 90. Orang lain boleh
kehabisan ilham, ia tidak pernah mengeluh tentang itu. Justru puncak karyanya
lahir di hari-hari paling senja dalam hidupnya. Namanya makin berkibar di
seantero dunia, walau bahkan tidak dikenal di tanah kelahirannya sendiri.
Karyanya telah dialih bahasakan dalam lebih dari empat puluh bahasa. Ia
dibesarkan oleh lingkungan. Sebagian mengatakan bahwa dibesarkan oleh musuh-musuhnya!
Ia dibesarkan oleh Orde Baru! Ada benarnya. Cuma bukan itu tujuan utama Orde Baru.
Belakangan yang tadinya turut merampas kebebasannya, turut menginjak-injak hak
azasinya mengajak rekonsiliasi. Lha yang digebugi saja belum hilang sakitnya,
ya suatu usul yang kebangetan banget.
Moek membangun citra tentang dirinya
sendiri bukan sekarang saja. Apa yang ia peroleh semua itu adalah berkat kerja kerasnya, berkelahi untuk ruang hidup yang
dimilikinya. Di negeri ini ia tidak numpang
hidup. Lebih setengah abad terus menerus, tanpa henti. Dan ini suatu
kekecualian. Banyak di nusantara ini lahir apa yang dinamakan penulis kagetan,
penulis musiman. Kerena mereka menulis hanya sekedar iseng, atau cari uang,
kegiatan sampingan buat tambahan tebal asal dapur.
Bila dikatakan bahwa Moek itu
menulis karena carrier hemofilia –
penyakit yang diturunkan lewat sang ibu ditambah dengan lewat sang ayah.
Keduanya membentuk penyakit yang disebut “gila menulis”. Ketenarannya diperoleh
secara berjenjang. Tentu tidak sebanding dengan ketenaran penulis Inggris J. K.
Rowling. Cerita sihirnya Harry Potter benar-benar menyihir dunia. Hanya dalam
beberapa tahun ia berhasil menangguk popularitas dan kekayaan berlimpah. Ia
menjadi wanita terkaya di negeri itu. Padahal mula ia menulis hanya keisengan,
kesepian sebagai pelayan sebuah kafe. Bukunya telah difilmkan dan juga sukses
besar. Dalam pada itu bukunya juga sudah diterjemahkan dalam lebih dari enam
puluh bahasa!! Dunia demam Harry Potter ciptaan Joane Kethleen Rowling yang
kini berusia empat puluh tahun. Lima seri Harry Potter telah terjual lebih dari
200 juta kopi! Bulan Juli tahun ini seri keenamnya akan diluncurkan. Judulnya
Harry Potter And The Half Blood Prince yang mengisahkan tentang kedatangan sang
pengeran sihir.
Namun kita tidak hendak membandingkan
keberhasilan J. K. Rowling dengan keberhasilan Moek. Bukan saja Inggris lebih
dulu dan maju dalam budaya membaca, tetapi secara sosial memang mereka jauh
lebih baik, secara ekonomi jauh lebih stabil. Dan segudang kelebihan yang lain.
Singkat kata, lain lubuk lain ikannya. Lain dapur, lain masakannya.
Keberhasiln Moek itu adalah
kebahagiaan tersendiri baginya. Dulu ketika ia mulai menulis ia sudah cukup
bahagia kalau tulisannya dibaca orang. Misi pertama itu sekarang sudah tidak
diragukan lagi. Honor juga cukup deras, walau tidak sehebat J. K. Rowling.
Penghargaan itu sisi lain lagi. Yang jelas Moek menulis bukan untuk mencari
penghargaan. Ia juga pernah mengatakan menulis bukan untuk dilombakan. Buku “Perburuan”
yang dapat hadiah pertama tahun 1950 menurutnya kemudian sebagai salah
prosedur, salah jalur. Juga “Cerita Dari Blora”. Waktu itu bahkan ia ada di
negeri Belanda ketika diumumkan. Hadiahnya Cus yang mengambil di gedung
Decapark. Waktu itu hadir sebagai pemenang adalah Mochtar Loebis dengan bukunya
“Jalan Tak Ada Ujung”. Bahkan ketika Cus naik panggung mewakili Moek, Mochtar
Loebis berteriak:
“Itu bukan Moek. Panitia jangan
sembrono”. Dan orang terperangah.
Panitia waktu itu adalah Joebaar
Ajoeb. Namun prosesi jalan terus. Itulah pertama kali Cus melihat sosok Mochtar
Loebis yang gagah dan tinggi besar. Dan itupun merupakan terakhir kali
melihatnya. Tidak pernah ia bersua lagi dengan sang penulis tersebut. Namun ia
sangat terkesan dengan kritiknya tentang terjemahan Moek buku “Ibunda” karangan
Maxim Gorki yang dimuat dalam harian Indonesia Raya. Surat kabar miliknya.
Surat kabar itu di kemudian hari diberangus oleh Orde Lama karena dianggap
surat kabar kuning.
Satu lagi yang harus dicatat bahwa
Moek tidak menulis untuk hiburan dan buku hiburan. Sangat kontras dengan J. K.
Rowling yang jelas menulis untuk hiburan yang temanya berkisar tentang dunia
sihir.
Oleh kegigihan menulis dalam kondisi
yang muskil, penuh dengan intrik politik, kekerasan fisik, penghinaan mertabat
sebagai manusia, menimbulkan simpati dan antipati banyak pihak. Di mana-mana ia
disanjung, di sana pula ia dihujat. J. K. Rowling pun pernah mengalami nasib
seperti itu. Dunia itu isinya memang pro dan kontra, plus dan minus, positif
dan negatif, baik dan buruk. Sudah di era Socrates percaya bahwa manusia itu
mempunyai pembawaan untuk berbuat baik. Dan hal ini berlawanan dengan ajarannya
Pythagoras maupun Konghucu. Mengingat ini semua orang teringat akan nama sang
ayah yang terdiri hanya empat huruf yang merupakan singkatan daripada inti
hidup itu yang sesungguhnya. Dan itu manjadi kenyataan dan benar sekali adanya:
tansah ora enak rasane. Dan itu
hidup, itulah seni hidup, itulah dialektikanya hidup. Bahwa di samping dua
kategori kemutlakan keberadaan materi, yaitu ruang dan waktu, manusia butuh
kategori ketiga, yaitu gerak. Semua materi hidup dalam ruang dan waktu. Dan
untuk membuktikan keberadaannya tergantung pada geraknya. Gerakannya itulah
hidupnya. Namun gerak pun tidak mandiri. Ia bisa bergerak juga dalam koridor
ruang dan waktu. Dan tidak bisa lain. Kalau suatu gerak di luar ruang dan waktu
itu berarti bukan gerak yang dimaksud. Dan ruang dan gerak pun tidak bisa lain
kecuali proses gerak dalam ruang itu diukur keberadaanya oleh waktu. Hanya
waktu dan waktu itu yang menentukan gerak dalam ruang yang sudah dikatakan di
muka. Dengan demikian ruang, waktu, dan gerak adalah triloginya kehidupan.
Kurang dari tiga ini tidak mungkin menimbulkan adanya gejala kehidupan. Dan
yang hidup dalam ruang, waktu dan gerak adalah materi. Jadi materi adalah
akibat dari trilogi. Trilogi juga akibat dari materi. Jadi materi adalah sebab
dan sekaligus akibat dari materi. Jadi kalau ada meteri berarti ada trilogi.
Sebaliknya kalau ada trilogi di sana selalu ada materi. Itu bisa diumpamakan
dengan sekeping uang logam. Kalau ada bagian dalam dari uang itu, pasti ada
bagian luarmya. Bedanya kalau uang logam itu ada yang membuat, trilogi dan
materi itu ada dengan sendirinya. Materi muncul begitu saja ketika muncul
trilogi, dan trilogi ada begitu saja karena adanya materi. Materi dan trilogi
menciptakan dirinya sendiri. Trilogi menciptakan materi dan materi menciptakan
trilogi. Materi dan trilogi tidak tahu kapan lahirnya dan tidak tahu kapan
matinya. Mereka tidak pernah lahir dan tidak pernah mati. Mereka hidup
selamanya dan mereka mati selamanya. Mereka bergerak selamanya dan tidak
bergerak selamanya. Mereka adalah intinya mereka. Dan intinya mereka adalah
mereka. Mereka adalah satunya-satu. Manusia tidak mungkin mencapai yang satunya
satu ini. Mungkin manusia hanya bisa mencapai yang satu tanpa adanya satunya,
atau sebaliknya manusia bisa mencapai satunya tanpa adanya satu. Manusia memang
bagian materinya materi tersebut. Dan karena manusia juga bergerak dalam
koridor ruang dan waktu, maka manusia bisa berbuat apa saja dalam koridornya
sendiri. Seperti sudah dikatakan di muka manusia adalah mahkluk yang selalu
gelisah. Dari kegelisahanlah manusia mencoba mencapai sesuatu yang diinginkan
termasuk ilmu dan kebudayaannya. Pokoknya upaya manusia menciptakan segalanya,
termasuk apa yang dinamakan semiotika,
yang kata orang adalah ilmu ciptaan manusia yang bisa mengkaji segala tanda dan
gejala yang ada dalam masyarakat lingkungannya, antara lain fenomena, simbol
gejala dan yang lain lagi. Bahkan dengan semiotika dapat digunakan untuk
membangun citra seseorang. Diana Trister Dodge misalnya, seorang pakar dalam
dunia pendidikan mencoba menarik garis merah yang menjadikan seseorang itu
beda, tampil beda dengan keberadaannya. Untuk itu ia berusaha mengumpulkan dan
mempelajari sekian banyak masa kanak-kanak tokoh terkenal dunia. Dan manusia
beda dari perbedaannya, manusia sama karena kesamaannya. Manusia belajar karena
persamaannya, manusia bekerja karena perbedaannya, manusia belajar dan bekerja
karena karyanya. Untuk berkarya manusia harus belajar dan bekerja. Sebagian
orang dengan doa menyertainya, sebagai penguat spirit dan semangatnya.
Soesilo Toer
"PRAM DALAM BUBU" karya SOESILO TOER
Penerbit: Pataba
PressPenyunting: Gunawan Budi Susanto
Cetakan pertama: April 2015
Tebal
buku: xliv + 264 halaman, 14 x 21 cm
ISBN:
978-602-71978-1-7
Harga: Rp
70.000,00 (tak termasuk ongkos kirim)
Pemesanan:
* Purwokerto dan sekitarnya: Yuli Rm (081568241918)
* Cirebon dan sekitarnya: Hermawan Widodo (081914020214).
* Semarang dan sekitarnya: Kang Putu (087731631118).
* Jogja dan sekitarnya: Marheriyanto, Fakultas Teknologi Pertanian UGM Jogja (081328274794) / Senja Mulyana (085721364525/082138878011).
* Mojokerto dan sekitarnya: Rockhand (089619090001)
* Karawang dan sekitarnya: Khamid Istakhori (085695622555)
* Malaysia: Zaidi Musa, Kedai Hitam
Putih (+60123840415)
* Jakarta dan
sekitarnya: Yohana Sudarsono: (085693269444/089677578419) / Koesalah Soebagyo
Toer Jl. Turi III No 27 RT 05/10
Kemiri Muka, Beji, Depok 16423 (087785067160)
#Pemesanan dari berbagai kota lain di
Indonesia bisa ke Benee Santoso
Jalan Sumbawa Nomor 40 Kelurahan Jetis, Kota Blora, Jawa Tengah
Telepon +6287742070671/+6285711631124 BBM: 537CB695 WA: 089653169450 Wechat/Line : ben_kim13
Jalan Sumbawa Nomor 40 Kelurahan Jetis, Kota Blora, Jawa Tengah
Telepon +6287742070671/+6285711631124 BBM: 537CB695 WA: 089653169450 Wechat/Line : ben_kim13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar