Sabtu, 30 Mei 2015

PRAM DALAM BUBU







Ars Longa




Dalam legenda
 


          Di sekitar pantai laut Jawa yang dikenal dengan nama Dampoawang, hidup Lasiyem dengan suaminya, sang nelayan, Juana. Mereka makmur, hidup rukun dan dikenal murah hati. Namun terasa ada yang kurang dalam keluarga ini: tidak pernah terdengar jerit dan tangis bayi dalam rumah mereka. Bagi mereka ini merupakan aib keluarga. Mereka berusaha keras untuk mendapatkan keturunan namun hasilnya nihil. Berapa gelas ramuan pucuk gelagah muda yang telah mereka minum, berapa banyak kecambah dan kacang tanah mentah dilahap, berapa ribu doa ia panjatkan, berapa tempat keramat ia kunjungi, hasilnya nihil. Tanda kehamilan pun tidak, apalagi hamil betulan.


            Adalah pengemis kambuhan di kelenteng pantai Dampoawang itu yang memberi nasehat Lasiyem dengan suaminya untuk mencoba memohon di kelenteng yang terletak di muara sungai Bambu atau Kaliori. Dan suami istri itu pun bersemedi di sana. Sehari, seminggu, sebulan... hasilnya nihil. Tidak ada petunjuk, tidak ada mimpi, tidak ada firasat. Kosong. Dan waktu berjalan terus maju. Tahu-tahu sudah beberapa tahun berlalu. Keluarga yang tadinya dikenal kaya itu bangkrut sudah. Mereka sudah jadi keluarga kebanyakan yang tak jarang makan nasi aking atau ramban dedaunan. Entah kekuatan dari mana yang mendorong mereka tetap bersemedi dan memohon.


            Pada suatu malam, ketika gelombang pasang dan deburan ombak memecah pantai, suami istri itu bagaikan mendengar suara dari langit yang mengabarkan bahwa permohonan mereka dikabulkan. Keduanya pulang bertangisan di tengah hujan deras dan deru angin. Sayup-sayup berita dari langit itu terus bertalu di telinga: aku akan mendapat keturunan. Namun biayanya mahal. Semahal nyawa kalian berdua. Ini cobaan atau bencana? Bukan masalah. Siapapun yang pernah lahir harus menanggung resiko: kematian.


            Singkat kata Lasiyem benar-benar hamil dan ketika sampai bulannya lahirlah bayi kembar lelaki dan perempuan. Bayi laki-laki tak bertahan hidup dan menghembuskan nafas terakhir bersama dengan ibunya Lasiyem, yang lemah kehabisan tenaga dan darah. Bayi mungil perempuan dipungut anak oleh seorang tuan-tuan. Sementara Juana yang melaut kembali, tidak pernah ada kabar beritanya. Ia hilang di laut lepas bersama perahunya.




Gadis Pantai Dampoawang


            Bayi perempuan mungil itu tumbuh sehat dan kuat. Bagai mendapat nur dari sang kala dan sang helia. Namanya kondang di seantero pantai Dampoawang karena kecantikannya. Belum juga sepuluh tahun umurnya, sang dewi yang bernama Anjan itu mulai diperebutkan banyak remaja, pejabat, dan lelaki hidung belang. Bapak asuhnya tidak salah memberi nama Anjan, yang merupakan singkatan dari anak pujaan. Yang salah adalah kerena ia cantik dan jadi gunjingan orang. Rumah bapak asuh itu tidak pernah sepi pengunjung dengan berbagai cara dan gaya sendiri. Namun akhirnya yang beruntung adalah sang penghulu, pejabat setempat, kaya raya, tua dan poligamis ulung. Singkat kata raja kecil di lingkungannya. Bapak asuh Ajan tidak mampu berbuat banyak. Mereka sahabat karib. Mengabdi pada suatu sistim birokrasi yang sama. Punya kegemaran sejenis: Hidup adalah mencari kesenangan belaka. Dan itu adalah Judex Factie. Dan juga ius quia justum berkah tak terkirakan bagi keduanya yang didukung oleh jabatan yang mereka pegang masing-masing. Lebih-lebih sang penghulu adalah laki-laki jawa yang mendukung lingga sebagai keunggulan gender. Bukankah sangkan paraning dumadi juga melegendakan bahwa wanita itu berasal dari iga laki-laki: woman created from the rib of man, bait syair yang indah namun mungkin juga menyesatkan. Dan sang penghulu memang benar-benar memanfaatkan jabatannya untuk memperoleh brahmacharya sejati, menjadikan dirinya hedonis sejati. Anjan dipersunting dalam pelaminan yang diwakili oleh sebilah kuros, senjata bangsa Portugis yang orang Jawa katanya mengadopsi senjata kebanggaan itu sebagai keris. Cuma bedanya, -itu juga katanya- orang Portugis meletakkan senjata itu di depan, sedang orang Jawa meletakkan senjata kebanggaan itu di belakang. Itu menurut dongeng, juga bukan kebetulan. Orang Jawa dikenal sebagai patuh pada kekuasaan. Setia kepada atasan. Begitu setianya, sehingga kalau dikehendaki atasannya, ia rela mati dibunuh dengan senjatanya sendiri yang dicabut oleh atasannya. Benar tidak legenda ini, perlu dicermati lebih lanjut. Lantas bagaimana peresmian perkawinan diwakilkan kepada sebilah keris. Barangkali itu adalah akal-akalan sang penghulu sendiri yang tentunya punya budaya malu. Lelaki tua bangka dengan sederet istri, masih menghendaki istri di bawah umur yang barangkali sudah pantas disebut cucunya. Itulah jaman edannya Inul Daratista dengan lagu cocakrowo-nya, lirik lagu berdimensi ganda, di mana orang bisa kejeblos dengan penafsiran yang kebablasan. Namun bagi sekelompok lain, syair lagu itu penuh dengan nuansa seni. Jarang penyair Indonesia mampu berkarya sekena dan pas seperti itu. Tidak baik oleh Taufiq Ismail, (yang dulunya dikenal dengan Taufiq A. G.) maupun pengarang Anggun, yang sering dijuluki Si Burung Merak, W. S. Rendra. Khusus tentang perubahan nama dari singkatan A. G menjadi Ismail, ada seorang wartawan Asia Week asal Bekasi, lahir di daerah Batak dan besar di Sulawesi yang berniat mengorek masalah tersebut, namun sejauh ini belum pernah terdengar hasilnya. Yang jelas pengarang buku “Tirani Dan Benteng” bersama dengan D. S. Moeljanto almarhum itu berada dalam dilema, begitu orde baru rontok, mana yang tirani? Mana yang benteng? Pendukung “Manifes Kebudayaan” kelas dua ala Wiratmo Soekito itu mungkin menyadari bahwa “benteng” pun bisa berubah menjadi “tiran” dan atau sebaliknya. Anti tesisnya Harun Yahya, tidak beda dengan antitesis tabula rasa. Dan itu lah kebenaran fenomenal. Tabula rasa ala John Locke adalah antitesanya Phytagoras tentang “paes” as a sheet of white paper, yang senada dengan Socrates. Filsuf kenamaan dari Timur, lama sebelum Phytagoras, juga sudah menyatakan kebenaran fenomena tersebut. Konghucu, sang guru, yakin memang demikianlah tabiat manusia itu. Yang jelas, dalam beberapa hal manusia benar-benar kalah dengan kambing. Untuk menjadi cerdas manusia harus membaca 432 jilid buku. Dari bayi sampai bisa jalan manusia butuh setidaknya dua tahun. Kambing hanya dalam hitungan jam sesudah lahir mulai bisa berdiri dan menyusu, dua tiga minggu mulai merumput dan sebelum pusarnya copot anak kambing betina dan jantan sudah mulai belajar ngeseks. Setelah disapih dari induknya, sekitar setengah tahun, kambing generasi baru ini sepenuhnya sudah mandiri dan dewasa dan siap untuk berkembang biak. Tidak ada perkosaan, tidak ada kawin di bawah umur, apalagi dicabuli oleh guru ngajinya, pamannya, tetangganya. Tapi incest itu biasa dalam dunia perkambingan. Namanya juga kambing!


            Anjan adalah salah satu contoh tentang perampasan haknya untuk menentukan pilihannya sendiri. Ia kawin bukan kemauannya sendiri, tetapi kemauan banyak pihak. Dulu kawin di bawah umur unsurnya adalah jual beli tenaga untuk menggarap lahan. Peristiwa Anjan adalah lebih pada unsur kekuasaan, uang, dan hedonisme. Dalam dunia kambing sama sekali bersifat naluriah. Kambing tidak mengenal uang, tidak mengetahui hedonisme, tidak mengenal kekuasaan. Ada unsur menang-kalah, ia bukan merupakan sistim, tetapi cuma unsur kebetulan dan kenisbian. Manusia unggul dari mahkluk lain karena ia dianugerahi kelapangan pikiran. Keberadaan seseorang karena akalnya, Rene Descartes pernah keceplosan dengan konsep keakuannya: Cogito Ergo Sum - aku berpikir maka aku ada, tetapi ia tidak mampu menelurkan pendapat tentang keberadaannya. Manusia dengan inderanya bisa mendengar, dari apa yang ia dengar ia bisa belajar dan dengan hasil mendengar dan belajar itu ia bisa menciptakan sesuatu dan mengubah sesuatu. Manusia bisa mengkhayal banyak. We can sense too much. We can survival of the fittest and survival of the fastest. Sampai keakuan Rene Descartes direkayasa menjadi Emo Ergo Sum - aku belanja maka aku ada. Ini adalah kerjanya kaum nouveaux riches. Dan kalau saja kambing bisa bicara ia akan mengatakan: Adio homo! Belakangan ada lagi: mudico ergo sum – aku mudik maka aku ada, atau leleso ergo sum – saya memulung maka saya ada.


            Anjan diboyong sang suami, pejabat yang tua. Dipingit dalam istana raja kecil, dilayani, dimanja, dicukupi segala kebutuhannya. Dan tugasnya hanya mencukupi kebutuhan biologis sang suami yang tidak dikenalnya. Ia tahu kalau itu suaminya, ketika malam datang mengendap-endap, menubruk, dan nggelut dengan berbagai posisi dan kondisi. Lupa bahwa ia itu priyayi, pemuka agama. Panutan yang disegani. Namun apa artinya semua itu? Manusia manapun yang dalam keadaan kasmaran berperilaku melebihi binatang. Barangkali sebaliknya binatang yang sedang kasmaran berperilaku melebihi manusia.


            Demikian setiap kali, setiap saat, setiap ada kesempatan sang suami menjahili dirinya. Dan baru berhenti total ketika suatu hari lahir bayi perempuan. Sang suami tidak datang menantang bergelut lagi. Sebaliknya, ia mulai jarang datang, bahkan kemudian sama sekali tidak datang. Misi Anjan bagi dirinya sudah selesai. Ia tidak lebih dari piaraan yang tidak punya daya tarik lagi baginya. Segala kemewahan mulai dikurangi, jatah makanan hanya cukup buat menyusui anak dan bertahan hidup. Segala hiasan yang selama ini dipakai mulai dipreteli. Kamar tidur, peraduan sebagai primadona istana, juga sudah diganti. Sekarang cukup dipan beralas tikar dan bantal lusuh. Anjan tahu persis perlakuan itu. Dan ia merasa, sebagai seorang wanita bahwa pasti pada suatu hari, tiba saatnya ia akan diusir dari istana di pojok alun-alun pantai Dampoawang tersebut.


            Dan firasat itu terbukti benar. Ketika bayi mulai kurang ketergantungannya kepada asi dan mulai diganti dengan makanan, ia didorong keluar pagar tembok dengan buntalan pakaiannya. Ia menjerit, melolong, meronta, menghiba mohon anaknya diberikan. Tetapi sia-sia, namun ia tetap menunggu di sana tanpa makan, tanpa minum, bahkan tanpa tidur. Sehari, seminggu, sebulan. Badannya menjadi kurus kering, pakaiannya mulai compang camping. Anjan yang tadinya berarti anak pujaan kini berubah menjadi anak jalanan. Orang-orang yang lalu lalang menganggap ia sakit jiwa. Mereka pilih menghindar. Yang pernah tahu suka memberinya makanan atau melempar uang receh. Sebagian besar anak-anak malah mengusir dengan melempari krikil atau apa saja, persis anjing geladag yang tidak tahu siapa pemiliknya.


            Menyadari usahanya sia-sia, Anjan pun mulai mengerti bahwa hidup tidak boleh terpaku pada suatu masalah. Anak memang bagian roh dan jiwanya, namun apa artinya kalau diri sendiri hancur? Hidup harus dipertahankan. Hidup adalah bagian dari anugerah. Dan baginya itu lebih penting. Kalau memang dikehendaki suatu kali pasti ia akan dipertemukan dengan darah dagingnya itu. Dan dengan tekad baru itu ia mulai menjauhi pagar tembok yang dianggap keparat itu. Kemana pergi, sesuka kaki melangkah, menuju kemana angin bertiup berlalu.




Pertemuan Dua Tradisi


Nun jauh di Timur sana tinggal keluarga penghulu. Ia sama sekali beda dengan penghulu yang diceritakan di muka. Ia bukan raja kecil, bukan brachmacharya dan bukan hedonis. Penghuni kaki gunung Kelud dan monogam. Melarat dan beranak banyak. Tradisi di sana berjalan lamban, beda dengan tradisi pesisir yang sering dan gampang terpengaruh oleh tradisi, budaya, dan peradaban dari luar. Silsilahnya hebat, katanya keturunan prabu Brawijaya. Mana ada keluarga yang punya silsilah keluarga kalau hanya keluarga kere biasa. Sebisa-bisa ya yang terkenal. Dari keluarga penghulu kaki gunung itu, dari lima belas anak pinaknya, lelaki dan perempuan, yang tertua dianggap paling maju sekolahnya, paling pintar akalnya dan sangat philantrop. Kebatinannya kuat, tirakatnya lanjut, tindaknya terpuji. Oleh berbagai keunggulan itulah setelah menamatkan sekolah dasarnya, ada orang kaya yang mau membiayai melanjutkan sekolah di Mataram yang dikenal sebagai pusat budaya, tradisi, dan kemajuan sesudah Majapahit dan Demak.


Demi penghematan, ia tempuh jarak itu dengan jalan kaki. Sebagian besar uangnya diberikan kepada ibunya yang janda dengan tanggungan sekeranjang anak-anak. Di Mataram ia sekolah guru. Menurutnya, kalau pun suatu kali ia menganggur, ia bisa mendidik adik-adiknya. Di sekolah inilah berlangsung kongres Boedi Oetomo pertama yang sangat terkesan di hatinya. Enam tahun ia di kota gudeg dan tamat dengan menjinjing diploma, bahkan dibenum di sekolah gubermen di daerah asalnya. Itu pun juga karena prestasi belajar, berorganisasi, dan bersosialisasi di sana. Untuk tambahan uang saku ia menjadi tukang plitur dan sales di sebuah perusahaan mebel. Ia bahkan pernah mencoba mendirikan usaha biro perjalanan untuk para wisatawan asing bersama teman sekolahnya. Rugi karena kurang menguasai medan. Pernah terjadi mereka mendapatkan borongan mengantarkan wisatawan dengan taksi seharga dua puluh lima gulden. Di atas kertas mereka akan mengeruk keuntungan dua perlima-nya. Lambaian ceria dan senyum simpul berkembang mengantar keberangkatan lima buah taksi sewaan itu menuju utara ke arah Muntilan dan parkir di pinggir kota. Rombongan turun dengan gembira tak kalah cerianya dengan para pengantar. Antara mereka bertanya-tanya:


“Where is tem’pel oh my God, it is one of my destination!”.


Kepala rombongan menyahut:


“Here is Tempel!”.


Debat kusir pun terjadi, biro perjalanan mengantarkan rombongan sampai ke desa Tempel di pinggir kota, sedang rombongan wisatawan menghendaki diantarkan ke Borobudur temple. Maka bubarlah biro perjalanan tersebut.


Belajar dan mengajar itu dua masalah yang berbeda. Anak penghulu itu mengalami berbagai hambatan kejiwaan. Sebelum ia belajar di Mataram, semua orang tua anak-anak dan tetangga tahu belaka dirinya dari ujung kaki sampai ujung rambutnya. Bahkan apa yang ia dan adik-adiknya makan setiap hari. Sekarang ia datang sebagai guru. Yang berpapasan selalu memberi hormat dengan menundukkan kepala. Sedang yang masih bisa mengelak akan mencari jalan lain. Ia seperti hidup di dunia lain, di dunia mimpi. Dan ia tidak suka itu. Maka ia pun mohon dipindahkan ke sekolah lain. Ketika ditanya ke kota mana ia berminat pindah, tanpa ragu ia menyebut kota Dampoawang. Ia pernah mendengar dan membaca posesi pemakaman puteri sejati Nusantara. Arak-arakan itu mencapai puluhan kilometer dan diikuti puluhan ribu orang dengan berjalan kaki, sepeda, dan dokar menaiki dan menuruni tebing hutan jati gunung Kendeng. Ia ingat itu dan ia tanpa malu-malu menangisinya. Dan kepindahannya ke kota itu sekedar turut larut dalam kesedihan masa lalu tersebut.


Sekolah tempat ia mengajar tidak jauh dari pantai. Dan karena ia anak penghulu maka ia dipondokkan di rumah penghulu juga di pojok alun-alun Dampoawang. Tinggal di langgar rumah penghulu bersama santri-santri yang lain. Pagi mengajar, malam mengaji. Itu ia jalankan secara rutin. Dan tahu-tahu beberapa tahun berlalu sudah. Anak Anjan sekolah di mana ia mengajar. Tiap hari bertemu pandang dan berbagi kata bathin. Sesudah tamat ia mau melanjutkan sekolah ke MULO Semarang tetapi dilarang oleh salah seorang ibu tirinya yang berasal dari kota wali.


Sementara itu Boedi Oetomo makin berkembang, bahkan gembong Boedi Oetomo asal Nglepeh itu membuka Boedi Oetomo di kota Saminti. Namun sekolah Ongko Loro di jalan Pirukunan itu tiba-tiba ia tinggalkan begitu saja. Mungkin karena tidak ada animo, mungkin sang dedengkot Boedi Oetomo itu kecantol dengan de yung aproditen dari negeri kincir angin. Usaha Boedi Oetomo dilanjutkan oleh Edy Sarwono, namun tidak jelas juntrungnya. Boedi Oetomo tutup di sana. Kisah ini dicermati oleh anak penghulu dari kaki gunung Kelud tersebut. Ia ingat berbagai pokok pikiran tentang Boedi Oetomo, ia setuju dengan berbagai kekecualian. Alkisah bupati kota Saminti merasa prihatin akan nasib Boedi Oetomo dan memasang iklan di surat kabar Semawis. Iklan ini merangsang dirinya untuk memberanikan diri mengajukan penawaran. Dan gayung pun bersambut.


Anak Anjan, puteri penghulu Dampoawang didaupkan dengan putera sang penghulu dari kaki gunung Kelud. Dan berbulan madu pun dilangsungkan di kota Saminti.




Kota Saminti




            Saminti terletak kurang dari empat puluh kilometer di sebelah selatan kota Dampoawang. Kota kapur, miskin, dan separo kotanya dilingkari dengan sungai Lusi dari utara sampai selatan, sebelum ia membelok ke barat dan kemudian ke barat laut. Ia bersumber dari hutan jati desa Gandu di kaki gunung Kendeng.


            Menurut babatnya Saminti adalah kota bekas jajahan Mataram pertengahan abad ke 18, penduduk setempat berusaha melawan, tetapi kalah kuat dengan tentara Mataram yang bersenjata peralatan modern dari negeri kincir angin. Tentara bayaran Mataram berhasil mengalahkan tentara belandong. Supaya tidak timbul perlawanan berkepanjangan, Mataram melakukan taktik bedol desa, daerah Saminti dijadikan basis dan kantong-kantong tentara Mataram. Desa-desa di sana diberi nama desa-desa dari mana tentara Mataram itu berasal. Desa-desa itu ada sampai sekarang, sebut saja Karangnongko, Banjarrejo, Jetis, Mlangsen, Beran, Tempel, Kridosono. Kota dibangun sedemikian rupa sehingga kota Saminti boleh dibilang kota pertigaan dan kota perempatan. Mungkin oleh bupati pertama Suminti R. A. Wilatikta untuk menunjang mobilitan tentara pendudukannya. Saminti dengan luas sekitar enam kilometer persegi itu memiliki sekitar seratus pertigaan dan perempatan yang jarak satu dengan yang lainnya hanya dipisahkan kurang dari seratus meter. Namun ketika terjadi perjanjian Giyanti, Saminti dialihkan kekuasaan Mataram Jogjakarta menjadi kekuasaan kasunanan Surakarta. Sebagai protes R. A. Wilatika lengser dan menghilang entah kemana. Ada dugaan inilah asal mula lahirnya gerakan kaum blandong yang anti pajak, berjuang dengan prinsip sikep, rukun, tenggang rasa, menepati janji, jujur; tabu untuk dusta, irihati, dan mencuri. Namun bagi negeri kincir angin ini adalah pembangkangan terhadap kekuasaan. Para tokoh mereka banyak yang ditangkap dan dibuang ke Digul dan Andalas. Tapi justru gerakannya semakin meluas keempat penjuru mata angin. Dan negeri kincir angin tetap menerapkan pajak sebagai wujud pengakuan warga jajahan terhadap kekuasaan di seberang lautan. Bahkan Karl Marx dalam analisanya pernah mengatakan bahwa pajak merupakan perwujudan hubungan antara warga dangan negaranya. Represi dilakukan, namun itu ibarat membongkar rumah semut. Penghuninya buyar kemana-mana. Perempat pertama abad dua puluh itulah pengantin baru itu memulai bulan madunya. Itu berarti seperempat abad sebelum Cifford Geertz melahirkan thesis tentang Mojokuto, Dinamika Sosial Sebuah Kota Di Jawa. Anak penghulu dari kaki gunung Kelud itu adalah abangan pertama yang masuk kota Saminti. Dengan modalnya sendiri dan pinjaman teman-teman dari kota Dampoawang ia mendirikan lembaga pendidikan di sana dengan nama Intituut Boedi Oetomo, satu-satunya lembaga yang pernah ada di Nusantara dengan prinsip mandiri: belajar, bekerja, dan berkarya. Prinsip seperti ini beda dengan Taman Siswa, INS Kayutanam, bahkan juga Perguruan Rakyat Batavia yang lahir empat puluh empat hari sesudah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Perguruan Rakyat mengaku merupakan lembaga pendidikan nasional pertama di Nusantara yang tercantum dalam anggaran dasar mereka.


            Intituut Boedi Oetomo dibangun di pertemuan jalan antara Galingsong dan Bantarangin. Terdiri dari kelas satu sampai dengan kelas tujuh. Dalam waktu singkat Intituut Boedi Oetomo menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi, sosial, pemberantasan buta huruf, koperasi, olahraga dll. Di sana juga berkembang gerakan anak asuh bahkan jabang bayi PNI lahir di lingkungan Intituut Boedi Oetomo ini. Namun kiprah pendidikan daerah ini tentu saja kalah harum dibandingkan dengan Taman Siswa di bawah Soewardi Soerjaningrat yang kemudian menjadi Ki Hadjar Dewantoro, bapak pendidikan nasional nusantara atau Perguruan Rakyat, yang berhasil menghimpun lebih dari seratus tokoh nasional lulusan dari dalam dan luar negeri. Di sana ada Hoesni Thamrin, A. Mononutu, Soenarjo, Amir Sjarifoeddin, Ali Sastroamidjojo, bahkan Soekarno dan Moh. Hatta pernah bergabung. Dan Perguruan Rakyat tetap hidup sampai detik ini. Sedang Intituut Boedi Oetomo mulai surut dengan  peraturan undang-undang sekolah liar dan mati suri dengan masuknya balatentara dari negeri matahari terbit. Namun sampai sekarang kenangan manis tentang Intituut Boedi Oetomo bagi angkatan tua masih dikenang. Pernah dicatat bahwa yang dimaksud undang-undang sekolah liar atau wilde schoolen ordonantie adalah peraturan Hindia Belanda yang antara lain menetapkan bahwa para tamatan sekolah bukan milik Gubermen tidak bisa atau sulit diterima bekerja pada instansi di lingkungan pemerintahan resmi. Pada waktu itu orang bersekolah demi supaya menjadi pegawai. Tak pelak animo masuk sekolah swasta langsung anjlok. Termasuk Intituut Boedi Oetomo. Padahal dari sejak semula Intituut Boedi Oetomo telah memberi warning, bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah kemandirian. Dan kemandirian berarti percaya diri. Dan percaya diri adalah kebebasan. Justru itu sila ketiga dari Intituut Boedi Oetomo adalah berkarya yang merupakan wujud dari perpaduan dari belajar dan bekerja dalam dimensi yang lebih tinggi. Karya membuat kita menjadi ada dari ketiadaan. Karya membuat kita jadi dikenang. Kalau ia merupakan yang monumental, kita akan lama dikenang bahkan mungkin selamanya. Karena seni itu abadi adanya. Tidak peduli yang membuatnya hadir di antara kita atau tidak. Sebagai contoh pelukis nyentrik Van Gogh. Karena lukisannya dianggap tidak pas, telinganya sendiri diiris. Kini lukisannya yang lebarnya kurang dari satu meter saja nilainya ratusan juta dolar, yaitu Sang Bunga Matahari. Ya, seni itu abadi -Ars Longa. Pada tekad, pengorbanan dan kebebasan. Beratnya syarat yang dituntut oleh seni itu maka itu ia merupakan barang langka di dunia ini dan hanya terlahir dari sedikit saja orang. Sebagian manusia bahkan tidak tahu bakatnya sendiri sampai akhir hayat.


 


Keluarga Njentit




            Tadinya keluarga pengantin baru itu ngontrak di desa Mlangsen. Ketika bayi pertama lahir, mereka pindah di jalan Pasar Pari. Jalan berbatu gunung gamping itu tidak panjang, kurang dari setengah kilometer. Membujur dari utara jembatan Kaliwangan ke arah barat sampai notog. Jalan kemudian membelok ke utara. Rumah kontrakan itu di sebelah utaranya toko emas “Ijo”, persis di samping lorong yang ujungnya dulu dikenal dengan nama “gardu gendruwo”.


            Dalam perkawinan sekitar dua puluh tahun itu mereka dikaruniai sembilan anak laki-laki dan perempuan. Dari yang termuda panggilannya Santi, meninggal bersama ibunya dalam satu hari, ketika berusia kurang dari satu tahun karena sakit. Kemudian urutan yang lebih tua, Cuk, Cus, Liek, Is, Oem, Koen, Wiek, dan Moek. Berkat didikan sang ibu yang berbudaya pantai, semua senang membaca. Berkat didikan ayah mereka senang menyanyi dan menulis, berkarya. Tujuh dari delapan anak yang hidup kemudian pernah menulis di surat kabar atau majalah. Bahkan pernah ada selentingan, bahwa dalam dunia tulis menulis pun ada mafia dan KKN. Seorang di antaranya bahkan dituduh menjiplak ketenaran nama penulis senior dan numpang kepopulerannya. Hal itu membuat salah seorang dari keluarga penulis itu merasa risi dan menghindari menulis dengan nama asli. Bahkan tanda tangannya pun tanda tangan nama samaran dan dibalik dari belakang.


            Keluarga di samping jalan Kerbau, karena biasanya buat jalan sapi atau kerbau yang akan diguyang di kali Lusi. Sering juga disebut dengan jalan Empot Paresan. Biasanya di musim kemarau para pesakitan kota Saminti digiring mandi ke kali. Sambil ke kali mereka mikuli bertong-tong empot, kotorannya sendiri dari buwen, makanya gang di samping rumah pengantin baru itu juga disebut gang Empot. Berjam-jam bau kotoran itu mengambang di sana kalau paresan-paresan itu berangkat mandi. Yang duluan mandi kemudian nebo di antara rumah penduduk minta makan.


            Keluarga itu tinggal di ujung jalan Pasar Pari, kemudian namanya menjadi jalan Pasar Khewan. Sesudah di sekitar situ dibuat tempat pemotongan sapi jalan diubah lagi dengan nama Jagalan. Kerena kata jagalan dianggap terlalu kejam kemudian jalan itu diubah lagi mejadi jalan Pemotongan. Terakhir kali jalan itu diubah lagi menjadi jalan Sumbawa. Sedang jalan Galingsong diubah menjadi jalan Halmahera.


            Keluarga besar dengan anak banyak, rumah besar dengan dapur seluas lapangan bulutangkis sering diajeni dengan nama ndoro atau priyayi. Persepsi itu mestinya keliru, kerena kepala sekolah Intituut Boedi Oetomo itu bukan pegawai Gubermen. Ada nyanyian yang sampai sekarang oleh keluarga itu masih sering diingat:


 


Lara atiku di wada priyayi saminti


Ora nginangi, ora ngududi


Anggepe kaya bupati




            Di samping kurang tepat, ia lebih berbau ngajeni bahkan dengki, tetapi sejatinya cuma merugikan, kerena kepala sekolah Intituut Boedi Oetomo itu justru dianggap terlalu vokal dengan kekuasaan penjajah. Misalnya mengerek bendera merah putih, tidak menyanyikan lagu-lagu Wihelmus, tetapi lagu mars Intituut Boedi Oetomo. Jadi kegiatan-kegiatan yang selalu terjadi di sana dianggap oleh pemerintah sebagai membangun kekuatan masa untuk tujuan politik. Kepala sekolah dicurigai, rumah digeledah, dan pernah tidak pulang tiga hari tiga malam. Selentingan menyebutkan ia dipanggil kepala intel kota. Ceritanya kala itu ngintel orang dengan cara membuntuti yang diinteli. Kepala sekolah Intituut Boedi Oetomo juga diperlakukan tidak bedanya dengan yang lain. Ia ikuti kemana pergi, termasuk ngompol dan kecepirit. Bapak guru tahu betul ia diikuti. Ia tidak risi justru senang kemana-mana ada yang ngawal. Tapi suatu saat ia benar-benar tidak ingin mendapat pengawalan. Orang-orang tua kota Saminti tahu bahwa dipertemuan jalan Galingsong dengan jalan Bantarangin banyak kuburan. Orang bilang banyak wewe, gendruwo dan banaspati. Makanya kalau bapak guru mau santai ia menghilang dulu di antara kuburan itu. Penguntitnya urung membuntuti. Takut. Ia tidak pulang tiga hari tiga malam itu karena dilaporkan oleh intel penakut dengan tuduhan rapat gelap.


            Ketika Intituut Boedi Oetomo bangkrut, keluarga juga turut bangkrut. Anak-anak asuh juga kena getahnya. Padahal di kota Saminti ada beberapa sekolah swasta, lalu berapa efek yang diciptakan kolonial di seluruh nusantara ini? Dalam sejarahnya Perguruan Rakyat yang pernah berkembang pesat sampai ke Bandung, Semarang dan Makasar masih mending, Intituut Boedi Oetomo tutup total. Dari banyak membiayai anak kurang mampu sampai tidak mampu membiayai anak sendiri sekolah!


Pernah sampai kedengaran para tetangganya membuat ungkapam:
 


Jarak merajak, jati mati.


Rakyat bergerak, priyayi mati.
 


Namun keluarga di pojokan tetap keluarga njentit. Dalam keadaan kesulitan mereka tetap menggeliat. Bahkan berlagu sambil menari-nari: suk peng-sesuk gepeng. Dan njentit artinya adalah gaya jalan. Yaitu ketika berjalan kakinya seperti nyendal-nyendal, tumit seperti terangkat, sedang badan dan kepala condong ke depan. Jalan dengan gaya seperti itu di kota Saminti hanya dimiliki oleh mereka. Padahal dalam keluarga itu ada beberapa orang yang berjalan seperti itu. Yang pertama bapak, kemudian menurun ke anak pertama, Moek, anak kelima, Is, anak ketujuh, Cus, dan anak kedelapan, Cuk. Makanya keluarga itu dikenal dengan nama keluarga njentit. Bahkan belakangan ada kisah bahwa jalan Moek yang njentit itu membikin petugas sewot, kerena pasti itu indikasi ideologi komunis. Gila!




Hidup Itu Singkat


            Bangkrutnya Intituut Boedi Oetomo seperti sudah dikatakan di muka membuat keluarga secara ekonomi sosial goyah. Yang paling menderita dampaknya adalah ibu. Pedih hatinya ketika tahu asal usulnya, nasib ibu kandungnya yang sengsara, mengembara dibawa angin lalu sampai ke kota buaya dan menjadikan dirinya pun kabarnya menjadi buaya di sana, jadi buruh tukang cuci, ngutil di pasar, dan bertahun-tahun menekuni profesi sebagai pedagang pakaian rombeng. Dan dongeng sedih itu menjadi kenyataan ketika pada suatu kali sang ibu berdiri di hadapannya. Peristiwa ia benam dalam-dalam di lubuk hati sampai meninggalnya tanpa diketahui suami dan anak-anaknya. Kisah itu baru sekian tahun kemudian didongengkan nenek kepada cucunya Oemi. Kesedihan hatinya ditambah berat lagi dengan ibu-ibu dan saudara tiri dari bapak penghulu kota Dampoawang. Mereka gencar mengumbar dongeng tersebut. Hatinya tambah risau dengan makin seringnya konflik keuangan dengan sang suami yang tertutup penghasilannya.


            Sebelumnya mereka pernah berangan-angan supaya nantinya anak-anak bisa sekolah di Eropa. Ternyata anak tertuanya pun, mereka hanya mampu menyekolahkan sampai tamat sekolah di sekolah bapaknya sendiri. Lalu bagaimana dengan anak-anak yang lain? Ini adalah indikasi hilangnya generasi.


                   Situasi itu ditambah dengan kacaunya perekonomian dunia yang dikenal dengan jaman malaise. Jaman meleset dan makin gencarnya ancaman perang dunia, yang di Asia dikenal dengan nama perang Pasifik. Lebih-lebih lagi ibu yang sudah beranak hampir sejinah itu diisukan di-demeni oleh seorang santri gudig yang setiap kumat terang-terangan berusaha menunjukkan cintanya. Sang ibu tak kuat menanggung beban itu dan meninggal kerena TBC yang waktu itu dikenal dengan “penyakit orang kaya”, bersama anaknya yang terkecil, Soesanti. Nama itu dipilih sendiri oleh sang bapak. Soe-berarti lebih baik, san-mesisan, dan ti-mati. Soesanti-lebih baik mesisan mati. Dan ia mati sesuai dengan namanya. Sang bapak adalah orang yang gemar tirakat. Nama yang diberikan anak-anaknya adalah nama yang dipilihkan sesuai dengan nasib dan rejekinya sendiri. Jangan coba merubahnya. Kalau berani tanggung sendiri akibatnya. Menambah boleh tapi jangan mengubah aslinya.


            Ibu meninggal dalam usia tiga puluh tujuh tahun, beberapa saat sebelum Dai Nippon menyerbu nusantara.


            Sang ayah jadi duda. Kesepian dan menganggur. Ia memperoleh spirit baru dalam ceki yang diam-diam sudah digelutinya sejak Intituut Boedi Oetomo kehabisan murid. Wewenang sekolah diberikan kepada wakilnya, Amir, teman setianya yang mengaku keturunan tentara Mataram generasi yang ke lima belas. Beban makin bertambah ketika terjadi peristiwa Madiun. Ia dianggap pentolan PNI yang kiri dan dianggap pro Muso. Dia ikut ditawan bersama teman-temannya dan digiring sampai kota Minatani. Soemodarsono, teman seprofesi ketika diangkut dengan kereta api mencoba kabur dan ditembak mati ketika melompat dari kereta.


            Front Nasional yang dibangun Muso, yang katanya baru pulang dari Moskwa ditumpas oleh kekuatan kabinet Moh. Hatta dengan pelaksana kekuasaan militer Gatot Soebroto. Begitu selesai peristiwa Madiun, seperti sudah diduga sebelumnya, tentara negeri kincir angin yang membonceng kemenangan tentara sekutu kedua kalinya membonceng tentara sekutu yang menguasi nusantara. Tahap pertama mereka menduduki kota-kota besar dan pelabuhan penting baru kemudian melakukan aksi berikutnya. Sang duda turut bergerilya. Ikut keluar kota. Anak-anak ia tinggalkan begitu saja. Sementara ia dengar anaknya yang pertama meringkuk dalam tahanan karena mengangkat senjata. Anaknya yang kedua invalid karena diparang oleh bangsa sendiri yang mengaku pejuang, tetapi tidak kebagian distribusi kedudukan. Anak perempuannya yang jadi istri kopral sakit total karena TBC. Karena katanya ketularan suaminya yang kena penyakit TBC kulit, atau memang itu mungkin penyakit ketularan ibunya. Dalam masa itu tidak mungkin orang berpikir rasional. Bagaimana mau berpikir rasional kalau perut saja tidak rasional jalannya.


            Pendudukan Londo di nusantara memberi peluang kepada mereka yang mendambakan keemasan jaman normal. Mereka menguasai medan dan menjadi mata-mata musuh, ratusan gerilayawan berhasil mereka ciduk dan tangkap, termasuk sang duda. Ia digebuki dan dikerangkeng. Namun ketika ia dihadapkan kepada si bule ia dilepas karena mahir Holland spreken, namun dengan syarat mau membuka sekolah. Dan ia mau. Ia menilai tidak ada kaitan antara sekolah dan perang. Dan ia mempelopori usaha kembali ke bangku sekolah dan jiwa nasionalisme tetap bersemi. Oleh karena itu, segala distribusi dan separo dari gajinya dari penguasa pendudukan ia sumbangkan kepada mereka yang tetap bergerilya di luar kota. Hal itu ia koordinasikan dengan semua guru yang mau menerima konsepnya: dalam keadaan apapun belajar harus tetap jalan, termasuk dalam keadaan perang dan pendudukan.


            Kemudian terjadi perundingan Meja Budar R-R -atau Roem-Royen. Ini adalah rundingan bagaikan antara bapak didik dan anak didik. Bukankah Mr. Roem itu lulusan negeri Welandi? Katanya di meja perundingan Indonesia menang, kedaulatan Republik dikembalikan, maka lahirlah RIS-Republik Indonesia Serikat. Terjadi merger pegawai. Bagi yang sudah bekerja kepada tentara pendudukan disebut kelompok federal dan yang baru pulang dari gerilya disebut kelompok republik. Itu urusan lain. Yang jelas rakyat berpesta kemenangan. Para interniran, termasuk Moek juga dibebaskan. Pesta kemenangan disambut di mana-mana. Di kota Saminti juga dibentuk panitia pesta kemenangan. Pesta akan dilakukan di gedung kamar bolah. Sang duda yang mendapat kedudukan menjadi guru kembali juga diundang, bahkan undangan kehormatan sebagai koordinator pendukung para gerilyawan.


            Pesta sudah dimulai dengan pidato silih berganti dan diakhiri dengan makan-makan. Pak guru dengan lima anak-anaknya dapat satu meja dan sedang asyik menyantap hidangan ketika mendadak ada seseorang berpakaian lusuh, berambut gondrong dan ikat kepala berwarna merah putih lusuh berteriak lantang:


            “Saudara-saudara setanah air. Anda harus tahu bahwa pesta kemenangan ini hanya untuk kaum republiken. Kaum federal keluar!”.


            Karena orang itu bicara tidak jauh dari tempat pak guru dan anak-anaknya duduk, maka tak sepatah kata pun omongan si gondrong itu luput dari perhatiannya. Ia tersedak ketika menyuap dan sendok terpelanting dari tangannya. Tanpa bicara apa-apa, kedua anak laki-laki yang sedang menikmati santapan ditariknya keluar dari pesta. Ketiga anaknya yang lain tergopoh-gopoh turut bangkit dan mengejar ayahnya tanpa mengerti apa yang terjadi. Ia berjalan tergesa-gesa dan baru mengendorkan langkahnya, menunggu disusul langkah lima anak-anaknya yang lain. Begitu mereka dekat ia berkata:


            “Oemi, anakku, ini uang, ajak adik-adikmu makan di Kopla’an.”


            Sang ayah mengeluarkan segumpal uang dari balik jasnya, sedang tangan yang sebelah lagi dipakai menutupi mukanya. Namun Oemi tahu, mata ayahnya basah. Oemi dengar apa yang diomongkan pemuda berambut gondrong itu, tapi ia tidak mengerti bahwa pesta itu diperuntukkan cuma buat kaum “republiken”. Kalau begitu kenapa ayahnya diundang? Apa memang begitulah arti kata revolusi? Ia tidak paham. Mendengar bukan berarti paham. Dari mana ia mampu memahami kata itu? Sekolah cuma kelas tiga, tambah beberapa hari di kelas empat. Begitu sang ibu meninggal, ia ambil inisiatif sendiri dengan keluar dari sekolah dan menjadi pengendali sukarela rumah tangga menggantikan kedudukan sang ibu. Itu harus, demi ayah dan adik-adiknya. Waktu itu ia baru genap sebelas tahun. Masih belum berintrok, bahkan bercelana dalam. Tidak punya bahan dan kurang perlu. Bahkan seingatnya ia sendiri belum paham, sebenarnya laki-laki atau perempuankah dirinya itu. Ia rasa raut mukanya kasar, tangannya presis tangan cakruk, di sana-sini timbul otot-otot. Sama sekali beda dengan muka ibundanya yang kuning langsat, halus, terawat, penuh pancaran kasih sayang keibuan. Mukanya sendiri mirip muka sang ayah di mana di sana sini menonjol tulang. Seingatnya bahkan sejak kecil para tetangga sering keliru menyebutnya “gus”, bukan “ning”, karena dikira memang ia laki-laki.


            Pulang ke rumah ia mencoba tidur, tetapi urung. Ia resah memikirkan ayahnya dan menunggunya sampai pagi, dan ternyata bapak tidak pulang. Tiga hari kemudian ayah pulang dengan muka pucat. Tengah malamnya ayah muntah darah. Ia mencoba mendekat, ingin menolong, tetapi oleh sang ayah ia disuruh menyingkir. Tetapi ia tetap mengajar. Namun terakhir kali pegawai rumah sakit datang mengabari kalau ayah dirawat di rumah sakit. Dan seminggu sebelum akhir bulan Mei, lima tahun kurang tiga bulan sesudah pergerakan kedaulatan ayahnya tak mampu bertahan hidup. Ia meninggal penuh dengan kekecewaan terbenam dalam hatinya. Barangkali benar ramalan namanya sendiri yang terdiri cuma dari empat huruf. Empat huruf itu merupakan akronim dari seluruh jalan hidupnya: tansah, ora, enak, rasane. Ia adalah manusia yang gelisah, sibuk mencari jati diri. Dan ia menemukan jati dirinya dalam bentuk tanda tangan yang berupa deretan angka yaitu angka tujuh dan dua angka satu, yang kalau dideretkan akan berarti angka tujuh ratus sebelas. Tanda tangan yang fenomenal, sangat mudah ditiru. Namun barangkali itu adalah tanda tangan satu-satunya yang pernah dibuat orang. Anak belum masuk sekolah pun bisa menirunya. Anak-anak tadinya tidak mengerti arti di balik tanda tangan itu. Namun karena lima di antara anak-anak lahir dengan lambang Aquarius, maka angka tujuh ratus sebelas itu disimpulkan merupakan tanggal dan bulan kelahiran sang ayah yaitu tujuh Februari. Hari kesedihan itu bercampur haru dan bangga sekaligus. Sedih karena sang ayah sedo. Haru karena kedelapan anaknya bisa berkumpul, suatu hal yang pada waktu itu sulit terjadi. Bangga kerena sekolah seluruh kota Saminti diliburkan. Ribuan tetangga dan murid hadir melayat. Karangan bunga menggunung. Iring-iringan pelayat berkelok-kelok lebih dua kilometer. Ketika kepala iringan sampai di pemakaman, ekornya masih ada di rumah duka. Iring-iringan melewati ujung jalan Galingsong, pertemuan dengan jalan Bantarangin. Melewati gedung Intituut Boedi Oetomo, kemudian membelok ke jalan Pirukunan dan melewati gedung Boedi Oetomo yang dipimpin Dr. Soetomo dan pada perempatan jalan berikutnya iringan membelok ke kiri lurus sampai Gudangbanyu. Iringan itu bagaikan dirancang menapaktilasi perjalanan hidup sang ayah. Hidup ini bagaikan sandiwara raksasa, namun ia bukan pasar malam. Layar sandiwara pun turun, babak baru dimulai. Dan itu terjadi delapan tahun sesudah istrinya. Lima puluh tahun lebih usianya, lebih tiga perlimanya ia sumbangkan untuk pendidikan. Hidup itu bukan panjangnya, tetapi maknanya. Vita brevis-hidup itu singkat!.


 
Seni Itu Abadi




               Ibu yang bijak bagi anak-anaknya itu meninggal dalam usia tiga puluh tujuh tahun. Ayah yang kreatif dan inovatif itu meninggal dalam usia sekitar lima puluh empat tahun. Dan kalau ditotal dan kemudian dibagi dua menghasilkan seputar empat puluh lima tahun. Alangkah pendek umur para keturunannya. Ini adalah hitungan arithmetic yang ngawur dan tidak punya logika, tidak ada secuil ilmu yang dipakai sebagai landasan, tetapi menjadi patokan yang menakutkan. Lalu apa yang bisa dikerjakan dalam waktu sedemikian itu? Apalagi fondasi pendidikan tidak punya, wawasan sempit, kenalan setali tiga uang, harta pun tiada. Padahal menurut kata orang untuk menjadi cerdas orang harus membaca sekitar empat ratus lebih jilid buku. Sedang buku tidak terbeli. Bahasa asing tidak menguasai. Bahasa anak negeri itu bukan bahasa ilmu, tetapi bahasa ninabobok, bahasa flora dan fauna, bahasa ilmu sihir, dan tenaga dalam. Lalu apa yang bisa dikerjakan dengan bekal sedemikian sedikit? Kerja pada Gubermen? Mustahil, tuan Welandi sudah menggariskan dalam undang-undang. Padahal kalau dikaji kembali politik etnis, akibat beberapa tokoh bule dari negeri tanah rendah itu merasa hutang budi dan mencoba membalasnya dengan jalan politik tersebut. Salah satu tiang dari tiga sasaran yang dicoba terapkan adalah memberi pendidikan kepada negeri jajahan. Betul! Pendidikan, tetapi bukan pekerjaan. Pendidikan dengan pekerjaan itu dua soal berbeda. Anak-anak pendiri Instituut Boedi Oetomo dari kota Saminti itu tiga orang berhasil menyelesaikan di sekolah bapaknya sampai tamat kelas tujuh. Jadi cuma berijasah sekolah rendah. Yang nomor empat sudah dikatakan di muka, baru naik kelas empat. Sisanya berkutat dalam alam kemerdekaan. Padahal hidup harus tetap jalan. Untuk itu perut harus diisi. Maka semua memeras otak. Di sinilah konsep sang ayah menemukan nur. Belajar bukan lagi merupakan pengertian baku. Belajar merupakan terobosan baru. Kalau belajar untuk memperoleh kepandaian dengan melatih diri dengan bimbingan seorang guru tidak terpenuhi, maka guru yang terbaik adalah dirinya sendiri. Belajar bukan lagi di mana, bagaimana, tetapi dengan apa saja. Dan gerakan belajar diri sendiri itu menemukan pencerahan –verlichting aufklarung-nya dalam keluarga. Ia adalah didactika magna dalam keluarga. Kalau ditelusuri sejarahnya bukanlah orang-orang ternama dulu kebanyakan juga berasal dari orang tak berpunya, sengsara, dan papa? Kalau seorang anak keluarga mampu mendapat pendidikan yang baik, menjadi terkenal tentu mendapat acungan jempol. Tetapi kalau tanpa sarana dan prasarana menjadi terkenal itu baru namanya fenomenal. Ambil contoh John Locke atau F. Herbert atau yang lain, mereka punya modal pendukung. Tetapi sebut saja Herbert Spenser, Thomas Alfa Edison, Danton, Bosco, Frobel, Adam Smith, Pestalozzi, Rousseau, bahkan Socrates -sang manusia jalanan-, atau Konghucu -sang guru-, rata-rata bermodal dengkul –kerja keras. Kelihatannya memang orang harus belajar dulu untuk menjadi manusia. Pada waktunya dan untuk setiap orangnya berbeda mulai menekuni hal kedua, yaitu bekerja. Belajar dan bekerja adalah makan dan memberi makan pada waktu timbul gejala lain di antara keduanya yang dengan singkat disebut karya. Karya bisa jadi hasil dari hobi. Tetapi karya sejati adalah sesuatu yang lahir dari pergulatan untuk mewujudkan jati diri, pencerahan diri, sari diri. Dan ia harus bermanfaat buat diri sendiri dan buat lingkungan. Karya bukan sekedar karya, karya yang harus memberi spirit, semangat, dan bukan sebaliknya meracuni dan menggeragoti, mencemari. Dan karya yang baik mendorong ke dalam kebaikan, kemajuan, dan peradaban umat manusia. Ia mengantar kita ke gerbang yang terbuka –Janua reserat. Ia memberi semangat supaya orang kuat kala mendapat cobaan. Memberi spirit hidup. Apalagi memang hidup itu singkat kalau dibandingkan dengan jagad raya. Jadi hidup singkat itu harus bermanfaat, berguna bagi sesama. Jangan cuma yang sempat belajar menjadi abdi, yang sempat bekerja menjadi kuli. Manusia harus mencari pencerahan diri dari lingkungan dan dari diri sendiri. Tak sia-sia orang menggoreskan motto: ars longa vita brevis. Itu bukan sekedar buah bibir, ia lahir dari belajar tekun dan bekerja keras. Karena hidup singkat, jadikan ia bermanfaat, menciptakan sesuatu yang abadi, dan yang abadi itu adalah seni, ars longa –seni itu abadi-, setidak-tidaknya lebih panjang dari senimannya sendiri.


            Dan Orbis Pictus ini menjelmakan wujudnya dalam linguarum. Pelopor linguarum adalah anak tertua, Moek. Bayi prematur ini sering sakitan. Kalah kuat dengan Wiek sang adik. Jadilah ia lebih banyak melamun ketimbang jingkrak-jingkrak. Dalam melamun itu ia seolah jingkrak-jingkrak. Dalam melamun ia berpikir. Dalam berpikir ia melamun. Dalam melamun dan berpikir ia berpikir. Dalam melamun dan berpikir ia berpikir. Dalam tidur ia berpikir. Dalam mimpi ia berpikir. Akhirnya ia menyerah:


            Aku tidak bisa berbuat apa-apa kecuali berpikir. Karena hanya itu modalku, maka itulah pekerjaanku, itulah hidupku, itulah tugasku. Itulah tugas nasionalku. Jadi tentara pernah kualami, itu bukan bakatku. Jadi pedagang pernah kualami, itu bukan bidangku. Jadi pegawai pernah kualami, itu bukan misiku. Misi hidupku adalah pikiranku. Dan pikiran itu tergores dalam linguarum-ku. Apakah itu salah? Karena itu mulai detik ini aku harus bicara padamu semua, adik-adikku: menulislah. Kalau pun mungkin kau tidak bisa jadi kaya, tetapi kau akan dikenang, bahwa kau pernah ada. Karena itu asahlah senjatamu itu setajam mungkin. Dan itulah res kita. Itulah tucht kita. Kalau tulisanmu bagus, kau akan dihargai. Mungkin kau akan dapat uang, kalau tidak berarti yang kau tulis itu sampah. Walau sampah pun mungkin ada nilainya. Lawan itu pendapat yang mengatakan bahwa segala sesuatu rusak di tangan manusia. Rousseau itu barangkali kurang waras karena tidak pernah mengenal ibunya sendiri. Kita punya ibu yang bijak, kita punya bapak yang selalu gelisah. Walaupun kita serba kekurangan tetapi kita punya kekuatan. Punya harga diri.


            Dan Moek yang baru keluar dari tahanan kompeni, sepeninggal sang ayah tanpa ragu memboyong ketiga adik di bawah umurnya dan hijrah ke kota harapan: Betawi. Belajarlah dari lingkunganmu. Belajarlah dari dirimu sendiri. Kenali dirimu. Mulailah bekerja dalam belajar. Rajut hidupmu antara dua kata itu: belajar dan bekerja. Kemudian bekerja dan belajar. Itu pesan orang tua kita. Jangan kecewakan orang tua kita yang kecewa. Wujudkan impian mereka. Bapakmu itu orang besar dalam lingkungan yang kecil. Kalau ia hidup di kota besar, jadi tokoh ia. Sayang ia terjerumus ke kota Saminti, kota sate, minyak, dan kayu jati. Namun kecermelangan memandang masa depan hebat. Sayang, sayang, ia mati muda, TBC lagi. Penyakit di masanya merupakan takdir akhir hidup. Nenek kita memberi pencerahan ketabahan, ibu memberi pencerahan cinta dan kesetiaan, bapak memberi pencerahannya pencerahan. Satu lagi yang ingin kukatakan. Percaya syukur, tidak pun bukan masalah bagiku. Utamanya pesan itu telah kusampaikan pada kalian. Saat ini Eropa adalah merupakan pusat peradaban, pusat pembaharuan, pusat ilmu pengetahuan dan pendidikan. Humanisme lahir di situ, tepatnya di Italia. Pelopornya Petrarca dan Bocaccio. Kita diperkenalkan pada istilah yang maha agung renaisance, bisa diartikan kebangkitan kembali. Naissance artinya lahir. Aku bukan ilmuwan, jadi tidak bisa runut bicara. Ngacak. semua yang kutahu, kucerna kembali dan menjadi penyuluh jiwaku dari belajar sendiri. Sebagian besar di balik jeruji besi. Di sana aku menemui nama besar seperti si jidat besar Plato, murid Socrates. Dari Plato aku belajar realisme. The right man in the right place itu bukan motto sembarangan. Itu kenyataan. Manusia dibagi menurutnya berdasarkan kemampuannya. Sebagai homo manusia itu jelas utamanya adalah akal. Homo pun diberkati dengan kehendak, satu di antaranya adalah keberanian dan homo pun disempurnakan dengan hasrat. Perpaduan ketiga sifat itu menciptakan manusia seutuhnya. Manusia yang hanya punya keberanian tidak lebih dari ternak. Lengkapi dirimu dengan akal. Dan akal itu seyogyanya kau peroleh di Eropa. Itu pesan orang tuamu, camkan. Aku sendiri kans untuk itu tertutup. Pengetahuanku cuma dibekali sampai kelas tujuh sekolah dasar. Itupun kutempuh dalam tempo sepuluh tahun. Memalukan! Dengan umurku sekarang, berdasarkan penelitian sudah tidak mampu untuk menerima pelajaran lagi. Otak sudah mencapai puncak perkembangannya dan mengkerut kembali. Seperti teorinya Stephan Hawking tentang jagad raya. Kini tugasku hanya mengejar waktu, mengejar sisa umurku supaya lebih bermanfaat.


            Kenyataan memang sangat menakjubkan. Moek mencoba mempergunakan waktu seefisien mungkin. Ia menulis novel dalam hitungan minggu, dua minggu, tiga minggu. roman ditulisnya dalam sebulan. Itu pun sudah terlalu lama. Ia tidak mengoreksi apa yang telah ia ketik. Apa yang telah ia curahkan dianggapnya selesai di situ. Baik buruk itu baginya bagaikan anak kandung sendiri. Ia tidak bedakan. Yang menilai adalah pembaca. Dan merunut ilham sedemikian rupa sehingga tidak tindih dan berulang kembali. Kebanyakan yang ia tulis adalah kritik lingkungan. Namun ia sendiri ogah dikritik. Tema yang ia garap kebanyakan adalah masalah keluarganya sendiri, jaman anak-anaknya. Dan ia selalu mengagungkan wanita sebagai sentral, bak resources intangable asset. Ciri itu menjadikan Moek sebagai penulis terproduktif. Tema yang digarap makin beragam. Dan ia “menggelinding” begitu saja. Bukan itu saja, sebagai penulis ia kekecualian dalam klasifikasi sastra Nusantara dan mendobrak pembagian itu yang dikategorikan oleh bekas gurunya, calon penulis yang gagal dan kemudian terjun ke dalam dunia kritik sastra. Ia menolak dikategorikan angkatan 45, ia tidak termasuk angkatan 66, ia tetap berkibar dalam angkatan 90. Orang lain boleh kehabisan ilham, ia tidak pernah mengeluh tentang itu. Justru puncak karyanya lahir di hari-hari paling senja dalam hidupnya. Namanya makin berkibar di seantero dunia, walau bahkan tidak dikenal di tanah kelahirannya sendiri. Karyanya telah dialih bahasakan dalam lebih dari empat puluh bahasa. Ia dibesarkan oleh lingkungan. Sebagian mengatakan bahwa dibesarkan oleh musuh-musuhnya! Ia dibesarkan oleh Orde Baru! Ada benarnya. Cuma bukan itu tujuan utama Orde Baru. Belakangan yang tadinya turut merampas kebebasannya, turut menginjak-injak hak azasinya mengajak rekonsiliasi. Lha yang digebugi saja belum hilang sakitnya, ya suatu usul yang kebangetan banget.


            Moek membangun citra tentang dirinya sendiri bukan sekarang saja. Apa yang ia peroleh semua itu adalah berkat kerja kerasnya, berkelahi untuk ruang hidup yang dimilikinya. Di negeri ini ia tidak numpang hidup. Lebih setengah abad terus menerus, tanpa henti. Dan ini suatu kekecualian. Banyak di nusantara ini lahir apa yang dinamakan penulis kagetan, penulis musiman. Kerena mereka menulis hanya sekedar iseng, atau cari uang, kegiatan sampingan buat tambahan tebal asal dapur.


            Bila dikatakan bahwa Moek itu menulis karena carrier hemofilia – penyakit yang diturunkan lewat sang ibu ditambah dengan lewat sang ayah. Keduanya membentuk penyakit yang disebut “gila menulis”. Ketenarannya diperoleh secara berjenjang. Tentu tidak sebanding dengan ketenaran penulis Inggris J. K. Rowling. Cerita sihirnya Harry Potter benar-benar menyihir dunia. Hanya dalam beberapa tahun ia berhasil menangguk popularitas dan kekayaan berlimpah. Ia menjadi wanita terkaya di negeri itu. Padahal mula ia menulis hanya keisengan, kesepian sebagai pelayan sebuah kafe. Bukunya telah difilmkan dan juga sukses besar. Dalam pada itu bukunya juga sudah diterjemahkan dalam lebih dari enam puluh bahasa!! Dunia demam Harry Potter ciptaan Joane Kethleen Rowling yang kini berusia empat puluh tahun. Lima seri Harry Potter telah terjual lebih dari 200 juta kopi! Bulan Juli tahun ini seri keenamnya akan diluncurkan. Judulnya Harry Potter And The Half Blood Prince yang mengisahkan tentang kedatangan sang pengeran sihir.


            Namun kita tidak hendak membandingkan keberhasilan J. K. Rowling dengan keberhasilan Moek. Bukan saja Inggris lebih dulu dan maju dalam budaya membaca, tetapi secara sosial memang mereka jauh lebih baik, secara ekonomi jauh lebih stabil. Dan segudang kelebihan yang lain. Singkat kata, lain lubuk lain ikannya. Lain dapur, lain masakannya.


            Keberhasiln Moek itu adalah kebahagiaan tersendiri baginya. Dulu ketika ia mulai menulis ia sudah cukup bahagia kalau tulisannya dibaca orang. Misi pertama itu sekarang sudah tidak diragukan lagi. Honor juga cukup deras, walau tidak sehebat J. K. Rowling. Penghargaan itu sisi lain lagi. Yang jelas Moek menulis bukan untuk mencari penghargaan. Ia juga pernah mengatakan menulis bukan untuk dilombakan. Buku “Perburuan” yang dapat hadiah pertama tahun 1950 menurutnya kemudian sebagai salah prosedur, salah jalur. Juga “Cerita Dari Blora”. Waktu itu bahkan ia ada di negeri Belanda ketika diumumkan. Hadiahnya Cus yang mengambil di gedung Decapark. Waktu itu hadir sebagai pemenang adalah Mochtar Loebis dengan bukunya “Jalan Tak Ada Ujung”. Bahkan ketika Cus naik panggung mewakili Moek, Mochtar Loebis berteriak:


            “Itu bukan Moek. Panitia jangan sembrono”. Dan orang terperangah.


            Panitia waktu itu adalah Joebaar Ajoeb. Namun prosesi jalan terus. Itulah pertama kali Cus melihat sosok Mochtar Loebis yang gagah dan tinggi besar. Dan itupun merupakan terakhir kali melihatnya. Tidak pernah ia bersua lagi dengan sang penulis tersebut. Namun ia sangat terkesan dengan kritiknya tentang terjemahan Moek buku “Ibunda” karangan Maxim Gorki yang dimuat dalam harian Indonesia Raya. Surat kabar miliknya. Surat kabar itu di kemudian hari diberangus oleh Orde Lama karena dianggap surat kabar kuning.


            Satu lagi yang harus dicatat bahwa Moek tidak menulis untuk hiburan dan buku hiburan. Sangat kontras dengan J. K. Rowling yang jelas menulis untuk hiburan yang temanya berkisar tentang dunia sihir.


            Oleh kegigihan menulis dalam kondisi yang muskil, penuh dengan intrik politik, kekerasan fisik, penghinaan mertabat sebagai manusia, menimbulkan simpati dan antipati banyak pihak. Di mana-mana ia disanjung, di sana pula ia dihujat. J. K. Rowling pun pernah mengalami nasib seperti itu. Dunia itu isinya memang pro dan kontra, plus dan minus, positif dan negatif, baik dan buruk. Sudah di era Socrates percaya bahwa manusia itu mempunyai pembawaan untuk berbuat baik. Dan hal ini berlawanan dengan ajarannya Pythagoras maupun Konghucu. Mengingat ini semua orang teringat akan nama sang ayah yang terdiri hanya empat huruf yang merupakan singkatan daripada inti hidup itu yang sesungguhnya. Dan itu manjadi kenyataan dan benar sekali adanya: tansah ora enak rasane. Dan itu hidup, itulah seni hidup, itulah dialektikanya hidup. Bahwa di samping dua kategori kemutlakan keberadaan materi, yaitu ruang dan waktu, manusia butuh kategori ketiga, yaitu gerak. Semua materi hidup dalam ruang dan waktu. Dan untuk membuktikan keberadaannya tergantung pada geraknya. Gerakannya itulah hidupnya. Namun gerak pun tidak mandiri. Ia bisa bergerak juga dalam koridor ruang dan waktu. Dan tidak bisa lain. Kalau suatu gerak di luar ruang dan waktu itu berarti bukan gerak yang dimaksud. Dan ruang dan gerak pun tidak bisa lain kecuali proses gerak dalam ruang itu diukur keberadaanya oleh waktu. Hanya waktu dan waktu itu yang menentukan gerak dalam ruang yang sudah dikatakan di muka. Dengan demikian ruang, waktu, dan gerak adalah triloginya kehidupan. Kurang dari tiga ini tidak mungkin menimbulkan adanya gejala kehidupan. Dan yang hidup dalam ruang, waktu dan gerak adalah materi. Jadi materi adalah akibat dari trilogi. Trilogi juga akibat dari materi. Jadi materi adalah sebab dan sekaligus akibat dari materi. Jadi kalau ada meteri berarti ada trilogi. Sebaliknya kalau ada trilogi di sana selalu ada materi. Itu bisa diumpamakan dengan sekeping uang logam. Kalau ada bagian dalam dari uang itu, pasti ada bagian luarmya. Bedanya kalau uang logam itu ada yang membuat, trilogi dan materi itu ada dengan sendirinya. Materi muncul begitu saja ketika muncul trilogi, dan trilogi ada begitu saja karena adanya materi. Materi dan trilogi menciptakan dirinya sendiri. Trilogi menciptakan materi dan materi menciptakan trilogi. Materi dan trilogi tidak tahu kapan lahirnya dan tidak tahu kapan matinya. Mereka tidak pernah lahir dan tidak pernah mati. Mereka hidup selamanya dan mereka mati selamanya. Mereka bergerak selamanya dan tidak bergerak selamanya. Mereka adalah intinya mereka. Dan intinya mereka adalah mereka. Mereka adalah satunya-satu. Manusia tidak mungkin mencapai yang satunya satu ini. Mungkin manusia hanya bisa mencapai yang satu tanpa adanya satunya, atau sebaliknya manusia bisa mencapai satunya tanpa adanya satu. Manusia memang bagian materinya materi tersebut. Dan karena manusia juga bergerak dalam koridor ruang dan waktu, maka manusia bisa berbuat apa saja dalam koridornya sendiri. Seperti sudah dikatakan di muka manusia adalah mahkluk yang selalu gelisah. Dari kegelisahanlah manusia mencoba mencapai sesuatu yang diinginkan termasuk ilmu dan kebudayaannya. Pokoknya upaya manusia menciptakan segalanya, termasuk apa yang dinamakan semiotika, yang kata orang adalah ilmu ciptaan manusia yang bisa mengkaji segala tanda dan gejala yang ada dalam masyarakat lingkungannya, antara lain fenomena, simbol gejala dan yang lain lagi. Bahkan dengan semiotika dapat digunakan untuk membangun citra seseorang. Diana Trister Dodge misalnya, seorang pakar dalam dunia pendidikan mencoba menarik garis merah yang menjadikan seseorang itu beda, tampil beda dengan keberadaannya. Untuk itu ia berusaha mengumpulkan dan mempelajari sekian banyak masa kanak-kanak tokoh terkenal dunia. Dan manusia beda dari perbedaannya, manusia sama karena kesamaannya. Manusia belajar karena persamaannya, manusia bekerja karena perbedaannya, manusia belajar dan bekerja karena karyanya. Untuk berkarya manusia harus belajar dan bekerja. Sebagian orang dengan doa menyertainya, sebagai penguat spirit dan semangatnya.            


Soesilo Toer




"PRAM DALAM BUBU" karya SOESILO TOER
Penerbit: Pataba PressPenyunting: Gunawan Budi Susanto
Cetakan pertama: April 2015
Tebal buku: xliv + 264 halaman, 14 x 21 cm
ISBN: 978-602-71978-1-7
Harga: Rp 70.000,00 (tak termasuk ongkos kirim)




Pemesanan:
* Purwokerto
dan sekitarnya: Yuli Rm (081568241918)


* Cirebon dan sekitarnya: Hermawan Widodo (081914020214).


* Semarang dan sekitarnya: Kang Putu (087731631118).


* Jogja dan sekitarnya: Marheriyanto, Fakultas Teknologi Pertanian UGM Jogja (081328274794) / Senja Mulyana (085721364525/082138878011).


* Mojokerto dan sekitarnya: Rockhand (089619090001)


* Karawang dan sekitarnya: Khamid Istakhori (085695622555)


* Malaysia: Zaidi Musa, Kedai Hitam Putih (+60123840415)


* Jakarta dan sekitarnya: Yohana Sudarsono: (085693269444/089677578419) / Koesalah Soebagyo Toer Jl. Turi III No 27 RT 05/10 Kemiri Muka, Beji, Depok 16423 (087785067160)


#Pemesanan dari berbagai kota lain di Indonesia bisa ke Benee Santoso
Jalan Sumbawa Nomor 40 Kelurahan Jetis, Kota Blora, Jawa Tengah
Telepon +6287742070671/+6285711631124 BBM: 537CB695 WA: 089
653169450 Wechat/Line : ben_kim13


Tidak ada komentar:

Posting Komentar