Minggu, 01 Februari 2015

PRAM DALAM KELAMBU








Surat Buat Pramoedya Ananta Toer

A
ir Kali Lusi di belahan selatan kota Blora cokelat kehijauan. Kedalaman air tak ada sejengkal. Cuma di beberapa bagian setinggi pinggang. Ada tebing yang senantiasa longsor. Di rumpun-rumpun bambu di tepian tersangkut sampah plastik di ketinggian dua kali tubuh manusia. Itu pertanda, pada musim hujan air kali meluas jauh ke kiri dan ke kanan.


Dua ratusan meter di utara kali berdiri rumah berdinding kayu jati. Rumah itu di pojok kota, di Desa Jetis, sekitar dua kilometer baratdaya alun-alun, di ujung pertemuan Jalan Sumbawa dan Jalan Halmahera.


Sewaktu kecil aku kerap bermain di pekarangan rumah itu. Ya, aku dan kawan-kawan, murid Sekolah Dasar Negeri Jetis 2, tepat di utara rumah, terpisah lorong kecil menuju ke pekuburan umum, itu menghambur ke pekarangan rumah tersebut saat istirahat tiba. Kami bermain petak umpet, berkejaran, atau sekadar duduk bergerombol di bawah kerindangan pohon jambu.


Sebagaimana kanak-kanak lain, kami tak merasa perlu meminta izin untuk memanjati pohon di pekarangan rumah itu. Kami tak peduli siapa pemilik rumah. Juga tak tahu. Hingga suatu saat kami dilarang para guru: tak boleh lagi bermain di pekarangan rumah itu. Tak tersisa pertanyaan di benak kami, karena para guru bilang: saru bermain di rumah orang, sedangkan halaman sekolah begitu lapang. Namun, guru lain bilang, rumah itu berhantu. “Jika kalian tidak hati-hati, bisa saja ada yang kesurupan,” katanya.


Padahal, ketika pohon jambu biji itu berbuah, ah betapa besar dan ranum. Akhirnya, kami cuma bisa mencuri-curi pandang. Namun tak seorang pun di antara kami berani mendekat. Lantaran, ya tentu saja, tak ada di antara kami ingin kesurupan bukan?


Kini, pohon itu sudah hilang. Kenangan masa kecil itu barangkali telah menghilang pula dari benak sebagian besar di antara kami. Namun rumah itu, yang dulu begitu besar bagiku, kini masih berdiri. Belum hilang. Entah kelak.


Nah, ke rumah itulah, aku dan Wijaya Herlambang, lulusan Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang, penulis buku Kekerasan Budaya Pasca-1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Antikomunisme melalui Sastra dan Film (2014), versi populer dari disertasi doktor dia di Queensland University Australia -- menujukan langkah, Oktober 2000. Itu kali kedua aku mengantar kawan ke sana. Kali pertama, aku berkunjung bersama Basabasuki dan Tri Budiyanto, tahun 1991, belasan tahun setelah aku lulus sekolah dasar dan tak lagi tinggal di Blora. Pada kedua kunjungan itu, kami harus menunjukkan kartu tanda penduduk atau kartu identitas, lalu menuliskan nama dan alamat lengkap di buku tamu.


Senin itu, 9 Oktober 2000, matahari baru naik sepenggalah. Kami mengetuk pintu rumah itu. Tak bersahut. “Betapa sepi rumah ini,” gumam Wijaya Herlambang. “Dan, betapa tak terurus.”


Kulanuwun!” ujarku, nyaris memekik. Dua remaja tanggung yang nongkrong di depan pos ronda, di ujung jalan depan rumah, membantu kami, memanggil-manggil tuan rumah. “Pakde Prawit! Pakde Prawit!”


Namun, entah kenapa, suara mereka seperti tercekat di tenggorokan. Namun aku bersyukur, karena itu pertanda rumah tersebut berpenghuni.


Lalu dari ruang belakang muncullah seorang lelaki tua. Dia melangkah perlahan, memutar kunci pintu. Tak salah lagi, dialah Prawita Walujadi Toer, adikmu. Dengan tatapan ragu, mungkin curiga, dia mempersilakan kami masuk dan duduk.


Ruang tamu lumayan lebar itu lengang dan kusam. Kapur di dinding tak lagi putih. Bercak-bercak lebar bekas alur air hujan membocor dari genting menghiasi dinding.


Debu di kursi, di lukisan lelaki dan perempuan, lukisan potret bapak dan ibumu, di bidang kiri-kanan pintu ke ruang belakang. Juga di foto-foto berbingkai sedikit lebih lebar dari kartu pos di dinding. Fotomu bersama Adam Malik, yang kusam, juga foto Soesilo Toer, adikmu yang lain.


Di pojok ruang, ada sepeda tua dengan kedua ban kempis. Dan, mesin jahit di bawah jendela. Agaknya tak pernah dipakai. Selebihnya keheningan.


Namun cuma sejenak. Berikutnya: kami bertiga berbincang. Satu pernyataan yang terus mengiang dalam kuping dan tetap tinggal dalam ingantku: Prawita saat itu mengatakan. “Gara-gara Pram, semua kena getahnya.” Waktu mengalir, lewat tengah hari aku tersadar, sudah terlalu lama ternyata kami merecoki tuan rumah, yang terpaksa berhenti memasak. Kami segera pamit dan minta izin untuk datang lagi keesokan hari.


“Ah, setua itu sendirian di rumah sebesar dan setua ini,” gumam kawan Wijaya Herlambang.


“Namun dia masih bersemangat dan terus menulis,”' sahutku.


Dia, setahuku, juga terus mendalami pengobatan alternatif. Itulah metode pengobatan yang dia sebut Ilmu Pengobatan Setrum Suci atau Hollystream Healthy Science. Kata dia, itu hasil elaborasi metode tusuk jarum ala Tiongkok berdasar pendekatan islami, yang dia pelajari di Pulau Buru.


Dia berkisah, dulu, 1978, sepulang dari Pulau Buru, dia mempraktikkan pengobatan alternatif di rumah itu. Dia mencatat, selama dua bulan ada 460 orang pasien. Namun tiba-tiba, suatu hari, Pelaksana Khusus Daerah/Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Laksusda/Kopkamtib) melarang dia berpraktik. Konon, para dokter memprotes karena rumah sakit kehilangan banyak pasien. Namun, menurut informasi kakakku yang dua kali berobat pada dia, pelarangan itu berdasar pertimbangan (kekhawatiran atau kecurigaan): dia menebarkan ideologi politik komunisme. Pfuaah!


Selasa, 10 Oktober 2000, aku dan Wijaya Herlambang memutari kota Blora, entah kali keberapa. Kami ke pemakaman tempat bapak dan ibumu dikuburkan, di pekuburan luas di utara kota. Lalu, sebelum kembali menemui adikmu di rumah tua di pojokan kota itu, kami berhenti di depan sebuah sekolah di Jalan Halmahera. Ada tugu di sana. Di tugu itu terpampang reproduksi potret tua, profil M. Toer, bapakmu, sang direktur Sekolah Instituut Boedi Oetomo, yang berdiri tahun 1922. Kini, di sana berdiri bangunan baru, SMP Negeri 5 Blora.


Kami termangu di bawah tugu (wagu) itu. Dan, mengeja jejak sejarah yang mewartakan kebangkitan kesadaran kebangsaan di kota kecil itu, dulu, delapan puluh tahun sebelumnya.


Tahun-tahun setelah itu, beberapa kali lagi aku ke rumah itu dan menemui adikmu, Prawita. Aku acap membawakan beberapa buku, buku bekas yang kubeli di pasar loak di Semarang. Buku-buku itu terutama soal anatomi tubuh – yang dia inginkan. Kebanyakan buku-buku lama dalam bahasa Inggris, antara lain terbitan Uni Soviet. Lalu, makin lama kian jarang aku pulang ke Blora, sehingga kian jarang pula menyambangi rumah tua di pojokan kota itu.


Rumah itu makin terlupakan. Makin merana, seperti sang penghuni, seperti babakan sejarah kota itu, yang menghilang begitu saja dari ingatan kolektif warga kota. Problematika keseharian di tanah tandus, yang cuma bagus ditanami jati -- bukan milik rakyat itu! -- telah menyedot seluruh kesadaran tentang siapa diri kita. Apalagi dulu, suatu ketika, di suatu tikungan sejarah, terjadilah pemberangusan. Ya, setelah terjadi Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) atau Gerakan 1 Oktober (Gestok), banyak orang harus menelisik kesadaran “ideologis” mereka, untuk tidak gampang dicap sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).


Blora…. Ah, apalagi yang tersisa? Semua hutan jati di sekeliling kota pun nyaris tergunduli. Di balik itu rentetan perusakan, pembakaran, pembantaian terus saja terjadi di negeri ini….


Bertahun-tahun kemudian, selagi aku terkenang-kenang semua kisah yang kau ceritakan, terutama dalam Cerita dari Blora dan Perburuan, kudengar kabar kau meninggal. Aku pun menulis obituari buatmu (“Pram Telah Pergi, Meninggalkan Bumi Manusia”, Suara Merdeka, 1 Mei 2006, halaman 1, dan dimuat ulang dalam buku 1000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa, Jakarta: Lentera Dipantara, 2009, halaman 243; yang kini kusisipkan dalam tulisan ini).


 


Ketika Kau Pergi


Ya, Pram, Pramoedya Ananta Toer, kau tak pernah menyerah di bawah kepongahan dan kebebalan (kekuasaan) manusia. Namun, innalillahi wa’innailaihi rajiun, mau tak mau kau harus menyerah di bawah kuasa ilahi.


Minggu, 30 April 2006 pukul 08.30 WIB, itu kau mengembuskan nafas terakhir dalam rengkuhan keluarga tercinta. Kau telah pergi selama-lamanya, meninggalkan bumi manusia.


Sebelumnya, saat kritis, kau menceletuk bahwa kaum muda harus melahirkan pemimpin. Kau memang senantiasa menumpukan harapan akan perubahan ke arah kehidupan (berbangsa dan bernegara) yang jauh lebih baik kepada kaum muda. Kau sudah kehilangan kepercayaan kepada generasi tua, termasuk generasi seangkatanmu. Menurut penilaianmu, mereka tak mampu mengelola negara ini menjadi lebih beradab dan bermartabat. Cuma kaum mudalah, ujarmu pada berbagai kesempatan, yang harus ambil peranan: merebut kesempatan dan menjadi pemimpin di segenap sektor kehidupan.


Kau dilahirkan di Blora, 6 Februari 1925. Kau anak sulung M. Toer, aktivis politik dan sosial terkemuka di kota kecil itu. Ayahmu pernah menjadi direktur Instituut Boedi Oetomo, menggantikan Dokter Soetomo yang dipindah ke Surabaya.


Kau telah menelurkan ratusan tulisan, baik fiksi maupun nonfiksi, baik karya asli maupun terjemahan. Karyamu yang paling monumental adalah tetralogi Pulau Buru, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Itulah sebagian karya yang kau tulis di pengasingan, Pulau Buru, berbelas tahun pada masa pemerintahan Jenderal Besar Soeharto.


Kau dikenal sebagai sosok kontroversial, baik sebagai pengarang maupun aktivis kebudayaan. Kau senantiasa memperjuangkan kebebasan (kreatif). Namun justru karena itulah kau kerap tertelikung di balik jeruji penjara. Pemerintah kolonial Belanda memenjarakanmu karena keberpihakanmu pada kemerdekaan bangsa ini. Tahun 1961 pemerintahan Soekarno mengerangkengmu dalam bui akibat menulis buku Hoakiau di Indonesia – wujud keberpihakanmu pada kebenaran sejarah dan keadilan bagi kelompok minoritas (Tionghoa).


Sebagai pemuncak, rezim “orde baru” memaksamu “menikmati” belasan tahun hidup di berbagai-bagai penjara karena perananmu sebagai eksponen Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dianggap sebagai onderbouw PKI. Pada 11 Oktober 1965-Juli 1969, kau mendekam di Penjara Salemba, Jakarta. Kemudian dipindah ke Nusakambangan (sampai 16 Agustus 1969), lalu Pulau Buru (sampai 12 November 1979), serta Penjara Magelang dan Banyumanik, Semarang (sampai Desember 1979).


Pulang dari pengasingan bukan berarti kau terbebas dari penistaan. Sebelumnya, militer telah merampas rumahmu serta membakar koleksi buku dan naskahmu. Dan, ketika keluar dari Pulau Buru, kau mengalami pembunuhan karakter dan perdata. Rezim Jenderal Besar Soeharto tak pernah membuktikan stigma kepadamu sebagai eksponen komunis yang ateis, keji, dan tak bermoral melalui pengadilan yang adil, jujur, dan terbuka. Stigma itu terus-menerus membayang-bayangi kehidupanmu beserta seluruh keluarga besarmu.


Namun kau terus mengada, tak pernah terkalahkan, dan terus berkarya. Meski, memang, terus-menerus ditiadakan. Buku-bukumu dilarang beredar. Bahkan para pemuda, antara lain Bonar Tigor Naipospos dan Bambang Isti Nugroho di Yogyakarta, yang sekadar membaca, mendiskusikan, dan mengedarkan karyamu pada paruh kedua 1980-an pun harus mendekam di bui. Berkali-ulang kau, yang menulis novel Koroepsi (1954), diunggulkan untuk menerima Nobel kesusastraan. Namun, konon, karena lobi pemerintahan Jenderal Besar Soeharto, kau, suami Maemunah Thamrin, kemenakan pahlawan nasional Mohamad Husni Thamrin, tak pernah memperoleh anugerah itu.


Akan tetapi berbagai hadiah dan penghargaan lain telah kau terima. Dan, itu lebih dari cukup untuk mengukuhkan peranmu, sang perokok berat, yang dinobatkan sebagai orang paling berpengaruh oleh Majalah Time. Ya, kau telah menerima antara lain anugerah Freedom to Write Awards dari PEN American Center (1988), The Fund for Free Expression, Amerika Serikat (AS, 1989), Wertheim Awards, Belanda (1995), Ramon Magsaysay Awards, Filipina (1995), Partai Rakyat Demokratik Awards, Indonesia (1996), Unesco Madanjeet Singh Prize (1996), doctor of humane letters dari University of Michigan, Madison, AS (1999), Chanceller’s Distinguished Honor Awards dari University of California, Berkeley, AS (1999), Chevalier de l’Ordre des Art et des Letters dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Prancis (1999), New York Foundation for the Art Awards, AS (2000), Fukuoka Cultural Grand Prize, Jepang (2000), dan Centenario Pablo Neruda, Cile (2004).


Pengumuman Yayasan Magsaysay pada 19 Juli 1995 yang memberikan penghargaan bidang sastra dan jurnalistik kepadamu memunculkan kehebohan. Pada 29 Juli 1995 ada 26 orang, antara lain Mochtar Lubis, Rendra, dan Taufiq Ismail, mempertanyakan pemberian hadiah kepadamu itu. Mereka berpendapat, kau tak layak memperoleh penghargaan karena bertanggung jawab atas pengekangan kebebasan kreatif dan menyatakan pendapat pada masa paling gelap dalam sejarah kreativitas di negeri ini (1959-1965).


Mochtar Lubis bahkan bersikap lebih ekstrem. Dia mengembalikan uang hadiah dari Yayasan Magsaysay secara mencicil -- hadiah sama yang dia peroleh jauh sebelum kau memperoleh. Pemerintah juga menghambat kepergianmu ke Filipina untuk menerima penghargaan. Akhirnya, istrimulah, Maemunah Thamrin, yang datang ke negeri yang lebih bisa menghargai prestasi dan sumbanganmu terhadap kemanusiaan itu ketimbang di negeri sendiri.


Kaum muda, antara lain Ariel Heryanto (dosen, Salatiga), Sitok Srengenge (penyair, Jakarta), Sutanto (networker, Mendut), Sosiawan Leak (penyair, Solo), Tan Lioe Ie (penyair, Bali), dan aku, mengumumkan “Pernyataan Kaum Muda untuk Kebudayaan”. Dalam pernyataan sikap kami, 26 pemuda dari berbagai kota di Indonesia, menilai langkah Mochtar Lubis dan kawan-kawan merupakan pewarisan dendam masa lalu dan pengobaran kembali prasangka (kebencian) politik. Bagi kami, langkah kaum tua itu jelas menghambat demokratisasi yang bertumpu pada kejujuran, keadilan, sikap kritis, serta kedewasaan sikap dan nurani.


Kontroversi soal dirimu belum lagi usai. Kau, yang menerjemahkan karya masterpiece Maxim Gorki, Mother (1958), bersedia memenuhi permintaan Gus Dur datang ke Istana Negara pada hari-hari awal sang kiai menjadi presiden. Saat itu Gus Dur bertanya tentang visi kemaritiman karena tahu betapa mendalam dan visioner pandanganmu mengenai perkara itu. Banyak orang heran, kenapa Pram? Kenapa kamu? Ya, mereka tak menyadari bahwa kau telah menuangkan visi itu secara menarik dan dramatis dalam novel Arus Balik (1995).


Namun, beberapa waktu kemudian, kau memboyakkan permintaan maaf Gus Dur, baik sebagai pemimpin Nadlatul Ulama (NU) maupun pemimpin bangsa, atas keterlibatan jamaah NU dalam pembantaian massal pasca-G30S/1965. Bagimu, rekonsiliasi bangsa ini hanya mungkin terjadi jika seluruh komponen mau mengakui secara jujur apa yang telah terjadi. Dan, kemudian mengubah keadaan menjadi lebih baik melalui pembangunan sistem hukum yang berkeadilan. Hal itu, menurut pendapatmu, tak mungkin tercapai cuma lewat omongan. Namun harus diwujudkan dalam tindakan nyata.


Lihatlah, betapapun dicegah beredar di negeri sendiri, karya-karyamu tak terhalangi untuk menghampiri setiap orang di berbagai belahan dunia. Karya-karyamu telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa. Karya itu bakal tetap hidup, meski kau telah pergi, meninggalkan bumi manusia menuju ke keabadian.


Ya, ya, kau telah meninggalkan bumi manusia, tempat selama ini kau nyaris selalu disalahpahami dan “dibunuh” berkali-kali. Kau juga meninggalkan Bumi Manusia, karya yang senantiasa dibaca dan dibaca lagi oleh orang-orang masih memiliki nurani di berbagai kawasan di bumi ini. Itulah karya kemanusiaan yang abadi. Karya, yang menurut penilaian The Washington Post Book Review, terlahir dari seorang master yang memiliki kecerdasan brilian dalam menata jejaring motivasi, karakter, dan emosi.


Selamat, Pram, selamat jalan!


 


 “Perpustakaan Liar” & Soesilo Toer


Sekarang, sudah lebih dari delapan tahun kau meninggalkan dunia. Setiap tahun di rumah tua di pojokan kota itu, Soesilo Toer dan Koesalah Soebagjo Toer, adik-adikmu, selalu memperingati hari kematianmu – dengan berbagai acara, yang diikuti oleh berbagai kalangan dari berbagai komunitas dan kota di negeri ini. Pada hampir setiap kali peringatan itu aku datang dan terlibat – sendiri atau bersama kawan-kawan, ganti-berganti.


Sejak kematianmu pula, di rumah tua itu berdiri perpustakaan: Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (Pataba). Adikmu, Soesilo Toer, yang mendirikan dan mengelola. Setiap kali ke Blora, ke sanalah, ke Pataba, aku senantiasa singgah dan menemui Soesilo Toer, membawakan buku tambahan koleksi Pataba atau sekadar berbincang ngalor-ngidul – meski, sedikit-banyak, pastilah berbicara pula tentang kau dan karya-karyamu.


Aku pernah menulis pula tentang Soesilo Toer, adikmu, dan Pataba. Nah, biarlah tulisan itu (“Membaca, Menulis, Mencerdaskan Bangsa”) kusisipkan pula dalam surat ini.


Tubuh adikmu itu pendek, tak lebih dari 160 cm, dengan wajah bercambang berwarna keputihan. Dia tak lagi muda. Namun jangan menyangka dia lemah. Macam keladi, tua-tua makin menjadi. Berkali ulang dia bersepeda motor, berboncengan dengan sang istri, pergi-pulang dari Blora ke rumah mertua di Yogyakarta. Saat pergi ke Semarang, dia pun berboncengan sepeda motor.


Fisik oke. Psikis? Diehard. Ya, dia keras kepala, keras kemauan, keras bersikap menghadapi tantangan kehidupan. Kini, pada usia lebih dari 70 tahun, dia toh tak henti-henti bekerja: memulung, menulis, dan memotivasi siapa pun untuk menulis dan terus menulis. Dan, itu dia lakukan dari sebuah rumah tua di pojok kota, di Jalan Sumbawa 40 Blora.


Di rumah itulah dia membangun perpustakaan. Di perpustakaan itulah dia menerima dan menjamu para tamu, tua dan muda, dari berbagai pelosok kota, dari berbagai negara. Para tamu itu datang untuk membaca, belajar menulis, meneliti, atau berkonsultasi tentang naskah mereka. Semua dia terima dengan lapang hati, lapang dada.


“Siapa pun yang datang ke perpustakaan ini bisa meminjam buku. Gratis. Jika haus, saya suguhi minuman. Saat kami makan, mereka pun saya ajak makan. Jika ingin mengingap, ada kamar tersedia bagi mereka. Mana ada perpustakaan lain semacam itu?” ujar dia seraya tersenyum, tanpa bermaksud untuk jumawa.


Upaya sepele, sederhana? Boleh jadi. Namun, jika kau tahu, itu bukan pencapaian sederhana. Sejak mula dia membangun perpustakaan itu sampai kini, masih ada saja pejabat pemerintahan yang menyebut, “Perpustakaan liar!” Karena pandangan sang pejabat itulah, perpustakaan yang dia kelola gagal memperoleh block grant Rp 200 juta dari Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2010. “Saat itu saya butuh rekomendasi dari Dinas Pendidikan sebagai salah satu syarat untuk menerima bantuan. Namun rekomendasi tak pernah keluar karena, ya itu tadi, perpustakaan ini dikategorikan perpustakaan liar!” katanya.


Liar karena apa? Tak berizin? Kepada siapa kita mesti meminta izin mendirikan perpustakaan – bagian dari upaya mencerdaskan bangsa? Bukankah perpustakaan, dan kemudian penerbitan nonkomersial, yang dia bangun bersemboyan: masyarakat Indonesia membangun adalah masyarakat Indonesia membaca, menuju masyarakat Indonesia menulis. Jadi, maaf, terlibat upaya pencerdasan masyarakat lewat pendirian perpustakaan merupakan tindakan ilegal? Masya Allah!


Namun itulah stigma yang distempelkan pada dia. Stigma “sepele” memang, tetapi itu mempertebal stigma sebelumnya: eks tahanan politik (tapol) 1965. Stigma itu terus melekat sampai kini. Meski sudah kenyang menerima perlakuan tak adil yang berdasar prasangka stigmatik itu, tampaknya sepanjang hayat pula dia mesti terus melawan siapa pun yang memperlakukan berdasar prasangka bahwa karena pernah ditahan setelah pertikaian politik 1965, dia pasti bersalah. Dan, orang bersalah tak berhak berbuat apa pun, meski mungkin perbuatan itu berguna bagi orang lain.


“Dulu, di Bekasi, sebelum pulang ke Blora, saya diarak dan disoraki, ‘PKI! PKI!’ . Ya, seperti di sinetron-sinetron itu. Saat itu ada yang mengatakan, ‘Kamu komunis!” Saya bilang, saya bukan PKI. Lalu saya lepas celana panjang saya untuk menunjukkan pada mereka. ‘Lihat, lihat! Saya tidak pake kolor item!’ Bukankah mereka punya pengertian PKI itu pake kolor item. Saat itu kolor saya merah,” katanya sambil tertawa masam.


Itu terjadi gara-gara dia tak bisa menerima begitu saja warung kelontongnya digusur. Penggusuran terjadi berkali ulang. Mula-mula warungnya, kemudian rumah tempat tinggalnya. Dia memang kalah, tetapi tak pernah menyerah.


Tahun 2004, dia memboyong anak dan istrinya, Benee Santoso (kini 23) dan Suratiyem (kini 47), pulang ke Blora dan menempati rumah keluarga besar, warisan dari sang bapak. Di kota kelahirannya tak berarti dia terbebas dari perlakuan diskriminatif dan penilaian miring. Namun dia tak peduli. Dia bertekad menjadikan rumah warisan keluarga itu menjadi ruang publik bagi pengembangan seni, budaya, dan intelektualitas. Dan, itu seperti peran rumah itu dulu, tahun 1930-1950, ketika menjadi titik simpul pergerakan melawan pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang.


Kini, di dan dari rumah di pojokan kota itulah dia – dibantu banyak eksponen muda – melancarkan gerakan: mencerdaskan masyarakat lewat membaca dan menulis. Ya, di rumah itulah dia acap menyelenggarakan acara diskusi dan bedah buku. Dia menggelar pula, antara lain, Festival Kali Lusi (2008), Seribu Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa (2009), Panggil Aku Kartini Saja (peringatan empat tahun meninggalmu, Pram, 2010). Berbagai acara itu melibatkan banyak komunitas seni dari berbagai kota. Acara Seribu Wajah Pram…, misalnya, didukung oleh 53 komunitas dari berbagai penjuru negeri dan melibatkan banyak seniman, antara lain mendiang dalang Tristuti Rachmadi, Djoko Pekik, dan Sindhunata.


Beberapa waktu lalu, dia menyelenggarakan lomba menulis bagi pelajar setingkat SMP dan SMA se-Kabupaten Blora. Peserta membeludak. Bukan cuma dari kota kecil itu. Tak sedikit pula pelajar dari Kendal, Jember, Denpasar – untuk menyebut beberapa kota – mengikuti lomba. Lalu dia, bersama Hermawan Widodo, menyunting naskah para peserta dan menerbitkannya menjadi buku. Buku pertama dari rencana tujuh buku dia beri judul Kumpulan Tulisan Terpilih Karya Anak Semua Bangsa (Pataba Press, Blora: 2011), berisi puisi dan cerpen hasil pilihan lomba menulis tahun 2011.


“Untuk menjadi bangsa yang maju, kita harus membangun kebiasaan membaca dan menulis. Dan, perpustakaan ini dengan segala kegiatan pendukungnya menjadi salah komponen pencerdasan bangsa itu,” tutur dia.


Apakah gerakan itu bakal tergusur pula? Tergusur oleh kepongahan kekuasaan? Sebagaimana dia sendiri terus-menerus tergusur dalam laku hidup semenjak muda?


 


Rumah Tua & Sebuah Museum


Begitulah. Lalu, sebagaimana sesuatu harus terjadi maka terjadilah, aku pun terlibat sebagai penyunting buku tulisan adikmu, Soesilo Toer. Buku tentang kamu: Pram dari Dalam (2013) itu diluncurkan pada peringatan hari kelahiranmu, 6 Februari 2013, di rumah tua di pojokan kota itu. Kini, aku kembali menyunting buku kedua Pram dari Dalam, yang masih berkisah tentang kamu. Kedua buku ini, bagiku, merupakan wujud rasa cinta, rasa hormat, sekaligus rasa bangga dari adikmu.


Model penulisan adikmu memang rada “ganjil”. Gaya lanturan yang nemen itu menguarkan keterusterangan, blakblakan, dan bahkan sarkasme. Dan, aku “membiarkan” gaya itu muncul, mengalir, tanpa mengubah. Nyaris peranku sebagai penyunting tinggal tak lebih dari korektor, yang menjaga sebisa mungkin tidak ada kesalahan ketik. Namun, sungguh, aku tak berani menjamin bahwa mataku tidak mengenal capek juga. Jadi, Pram, kalaulah masih ada kesalahan penulisan dalam (kedua) buku ini, itu sepenuhnya adalah kesalahanku.


Kini, gaya lanturan itulah yang aku tiru ketika menulis surat ini buatmu. Tak sepenuhnya berhasil memang. Sekarang, sebelum lanturanku berakhir, ada satu hal lagi ingin kukabarkan kepadamu: soal mimpiku tentang rumah tua keluarga besarmu itu.


Pram, aku memimpikan rumah tua itu menjadi museum. Itulah Museum Pramoedya Ananta Toer.  Jika pemerintah daerah atau bupati di Blora cerdas, semestinya menetapkan rumah tua itu sebagai cagar budaya sekaligus museum. Namun berharap kecerdasan itu dimiliki penguasa lokal di kota kelahiranmu itu, saat ini, rasanya mustahil. Aku masih yakin, mereka belum sepenuhnya mampu melepaskan diri dari cara pandang, cara pikir, dan cara sikap “bias orde baru” yang melanggengkan stigma komunis, PKI, kepadamu dan seluruh keluarga besarmu. Dan, itulah pangkal utama kenapa tak mungkin mereka “berani” mengambil langkah jenial menyatakan rumah tua itu sebagai cagar budaya sekaligus museum, apalagi dengan menyematkan namamu sebagai nama museum itu.


Banyak, sangat banyak, manfaat museum. Tentu aku tak perlu mengguruimu bukan? Namun aku ingin menyebut satu saja dari sekian banyak manfaat. Itulah wahana bagi kaum muda dari generasi ke generasi, kelak, untuk mengenal siapa kamu dan apa yang telah kau lakukan bagi negeri ini, bagi bangsa ini, lewat tulisan, lewat karya-karya sastramu. Lantaran apa? Ya, lantaran kini tak banyak di antara kaum muda bangsa ini, kaum muda negeri ini – dan terutama dari kota asal dan kota kelahiranmu – yang mengenalmu. Menyerikan bukan?


Bahkan aku, yang notabene juga berasal dari Blora, mengenal nama dan karyamu justru bertahun-tahun setelah keluar dari Blora dan bermukim di Semarang. Ironis bukan? Namun, sebenarnya, mudah dimengerti pula kenapa itu terjadi. Ya, bahkan bermula dari ketika kanak-kanak acap bermain di rumah tua itu sampai duduk di bangku sekolah menengah atas aku hidup di tengah kebungkaman siapa pun – baik di rumah, di sekolah, di pergaulan, maupun lewat buku. Jadi, adalah wajar dan lazim jika tak sekali saja pernah kudengar namamu disebut, terucap, oleh siapa pun di kota itu sejak aku kanak-kanak sampai dewasa. Ya, siapa bakal menyebut namamu, lalu bersuka hati menyodor-nyodorkan buku karyamu untuk bisa kubaca, jika bahkan di fakultas sastra pun – tempat aku belajar – namamu dan karyamu adalah sejenis kusta, yang mesti dibekap diam-diam dan dihilangkan dari orbit kehidupan manusia normal. Ya, “kehidupan normal” lantaran kampus saat itu memang berada di bawah sungkupan kebijakan “normalisasi kehidupan kampus” bukan?


Barulah kemudian paruh awal 1980-an secara sembunyi-sembunyi, diam-diam, aku mengenal karya-karyamu lewat jejaring perkawanan. Sembunyi-sembunyi, karena karyamu saat itu masih dan tetap ditabukan untuk dibaca, didiskusikan, dan dikaji di fakultas sastra!


Bahkan sampai sekarang pun tidak setiap dan semua mahasiswa jurusan sastra Indonesia di fakultas sastra atau fakultas ilmu budaya – itulah yang terjadi paling tidak di dua universitas negeri di Semarang -- mengenal namamu dan apalagi membaca karyamu. Karena itulah di Semarang, aku menginisiasi sebuah forum untuk membaca dan mendiskusikan karya-karyamu bersama para mahasiswa dan dosen muda dari berbagai disiplin ilmu. Sampai surat ini kutulis, Pram, sudah dua kali acara bulanan itu berlangsung di Rumah Buku Simpul Semarang (RBSS). Pertama, membaca dan mengkaji novel Arok-Dedes, medio November Oktober 2014. Kedua, membaca dan mengkaji Arus Balik, medio Desember 2014.


Saat membincang Arok-Dedes, misalnya, kutunjukkan pada kawan-kawan muda itu, betapa kau menulis novel itu sebagai “cara lain” menghadirkan sejarah, dengan menyiangi dan membuang segala apa yang berbau mitis. Tak ada, misalnya, betis Dedes yang bersinar gemerlap sehingga membutakan mata Arok. Kisah yang berjalin-berkelindan sepenuhnya logis dan menemu rasionalitas. Mungkin lantaran itulah, Max Lane dari Australia menyatakan pada sebuah forum bahwa sejarawan Indonesia yang paling dia hormati (justru) adalah kamu – yang sesungguhnya “bukan” sejarawan – bila sejarawan adalah benar penulis sejarah dengan pendekatan dan metodologi sepenuhnya ilmiah dan berbasis kejujuran.


Sungguh, aku berharap – entah kapan – Museum Pramoedya Ananta Toer bakal terwujud.


Nah, kini, kuakhiri saja suratku – surat yang merupakan wujud rasa hormatku kepadamu. Kini, di sana, di haribaan Sang Mahacinta, kau tak lagi menulis, kau tak lagi berkarya. Namun, percayalah, sampai kapan pun namamu bakal tetap disebut dan karyamu bakal tetap dibaca, meski mungkin (suatu saat bisa saja kembali) secara sembunyi-sembunyi, secara diam-diam, oleh tak banyak kaum muda sekalipun. Kau boleh mati, Pram, tetapi karyamu tidak.


Salam, Pram, salam.


Semarang, 25 Desember 2014
 Gunawan Budi Susanto





TELAH TERBIT & MASIH TERSEDIA!
"PRAM DALAM KELAMBU" karya SOESILO TOER
Penerbit: Pataba Press
Penyunting: Gunawan Budi Susanto
Cetakan pertama: Februari 2015
Tebal buku: xxvi + 164 halaman, 14 x 21 cm
ISBN: 978-602-71978-0-0
Harga: Rp 60.000,00 (Belum termasuk ongkos kirim)




Pemesanan:
* Purwokerto
dan sekitarnya: Yuli Rm (081568241918)


* Cirebon dan sekitarnya: Hermawan Widodo (081914020214).


* Semarang dan sekitarnya: Kang Putu (087731631118).


* Jogja dan sekitarnya: Marheriyanto, Fakultas Teknologi Pertanian UGM Jogja (081328274794) / Senja Mulyana (085721364525/082138878011).


* Mojokerto dan sekitarnya: Rockhand (089619090001)


* Karawang dan sekitarnya: Khamid Istakhori (085695622555)


* Malaysia: Zaidi Musa, Kedai Hitam Putih (+60123840415)


* Jakarta dan sekitarnya: Yohana Sudarsono: (085693269444/089677578419) / Koesalah Soebagyo Toer Jl. Turi III No 27 RT 05/10 Kemiri Muka, Beji, Depok 16423 (087785067160)


*Pemesanan dari berbagai kota lain di Indonesia bisa ke Benee Santoso
Jalan Sumbawa Nomor 40 Kelurahan Jetis, Kota Blora, Jawa Tengah
Telepon +6287742070671/+6285711631124 BBM: 537CB695 WA: 089
653169450 Wechat/Line : ben_kim13



Tidak ada komentar:

Posting Komentar