MENARIK
GARIS PADA LEVEL
K
E T I D A K W A J A R A N
Soesilo
Toer
Tulisan
Bagian Pertama
Di
kampung aku belajar ngaji sejak kecil. Tadinya hanya mendengarkan entah dari
siapa mulanya. Suaranya mendayu-dayu, meratap penuh iba. Tapi jelas bukan dari
bapak. Dan memang seumur hidup aku tidak pernah mendengar bapak mengaji. Ketika
bapak meninggal aku mengaji di rumah tetangga. Di langgar. Enggak bayar. Bahkan
kalau hapal sesuatu ayat dapat hadiah, jajan ndesa : gantilut, dumbeg, emput
atau apa saja. Jadinya ya getol banget. Guru ngajinya Pak Irin, petani ngebon,
yang bengkoangnya suka aku gangsir. Walau ketahuan tak pernah sewot, oleh
tingkahku yang ‘begidasan’.
Ketika
diboyong Pram ke Jakarta, oleh istrinya aku disuruh ngaji di madrasah dekat
rumah. Katanya, wak haji adalah bapaknya kiper tim nasional Mauli Saelan. Tak pernah
aku ngecek kebenarannya. Yang kuingat di sini aku panen raya, hampir tiap hari
kena gebug mistar di telapak tanganku karena tuolol banget. Yang istimewa dapat
zakat ‘bengkoyok’, sejenis penyakit kudis, mrintis berisi nanah berwarna
keputihan. Kukira karena bangku-bangku tidak pernah dibersihkan selama tahunan.
Sembuh setelah disuntik cairan, katanya ‘cortison’, sekalian minta keluar
karena kapok.
Ketika
dewasa aku belajar agama di Tanah Abang, di rumah haji Junaidi, bapaknya Mahbub
Junaidi, tokoh teras ormas Islam di Jakarta. Pram tahu banget masalah ini.
Makanya tak heran ketika pada suatu kali pertemuan, ia tanya penuh selidik,
“Hebat kamu…kapan jadi Islam sejati?”
Dan
aku tidak paham, enggak mudeng. Belum pernah selamanya aku dengar tes pemahaman
semumet itu.
“Atau
mau jadi Syeh sekalian. Kalau keturutan itu berarti kau mengalahkan embahmu
Haji Ibrahim, penghulu Rembang. Hebat…,” pujinya.
Tentu
aku berbunga-bunga walau hati kecilku mengkerut. Pasti ia bercanda. Ia tahu
persis keadaanku yang sering masak nasi saja berasnya sering ngutang di warung.
Tapi tidak, melihat roman mukanya yang tanpa ekspresi aku yakin ia serius.
Belakangan ketika dewasa dan mulai jerawatan, aku jadi teringat masa lalu,
ketika pada suatu kali Pram pisah ranjang dengan istrinya dan berakhir, seperti
ia sendiri mengakui cerai tanpa bercerai, atau sering dikatakan sebaliknya
bercerai tanpa cerai.
Sepengamatanku
masa itu KUA belum berfungsi banget seperti sekarang. Bahkan tahun ’62 KTP juga
belum berfungsi optimal. Mungkin karena itu umpatan atau makian ‘haram jadah’
terhadap anak yang lahir tanpa surat nikah medok banget di Jakarta. Cerita
selanjutnya kan begini : Serius karena tak naik kelas aku bertekad belajar maksimal.
Salah satu kiatku ngendon di rumah kakak ipar kontemporerku, tegasnya setengah
bekas istrinya Pram. Ia tak keberatan,
bahkan setuju, maksudnya supaya aku bisa ngemong ponakan-ponakanku, yang
jumlahnya tiga orang. Semua cewek. Kiat kedua, kami dengan teman-teman
membentuk kelompok belajar bersama secara bergilir. Berjumlah empat orang.
Semuanya cowok.
Kalau
dengan sistem inipun aku tidak lulus, berarti benar putusan bapakku dulu di
kampung, yang ndongkrokkan aku di kelas empat dua tahun karena dianggap gebleg.
Dan aku sudah memutuskan jalan keluarnya : keliling nusantara dengan naik
sepeda. Kebetulan waktu itu sedang ngetrend-ngetrendnya Melayu dilanda hobi
keliling dunia jalan kaki. Yang paling berkesan tiga serangkai keliling dunia.
Salah seorang di antaranya Lawalata, seingatku dari Sulawesi. Terdengar kabar
kemudian bahwa salah seorang pengeliling dunia jalan itu sampai di Jerman dan
digaet janda bule, pengusaha sapi perah. Cuma seorang yang sampai di markas PBB
di New York. Tapi bagiku tidak penting lagi urusan jadi filsuf jalanan itu.
Suatu
kali, ketika aku membersihkan perpustakaan Pram, aku menemukan segumpal surat
lusuh tulisan Mbak Afrah, bekas istrinya Pram, yang tak jadi dikirimkan,
diuwel-uwel dan dibuang. Waktu itu ia susah kerja di Bilangan Glodok, Jakarta
Kota. Dalam konsep surat yang ngebet minta cerai itu tecantum kata Syeh. Tanya
kepada bekas istrinya tentu saja tidak etis dan kurang ajar. Tanya sama Pram
rasanya juga kebangetan. Bocoran kemudian kusadap dari anak pertama Pram, Ros, yang
waktu itu sudah mulai belajar baca tulis. Aku juga yang disuruh menjemput dan
mengantarkan sekolah Belanda di kampung di Jalan Kaji, Petojo Binatu. Tentu
saja tidak mudah anak seumur itu, tapi aku ngebet banget. Dari berbagai bujuk
rayu pernah terungkap mungkin dengan tak sengaja, anak semok ini berucap
beberapa kali : “Edan harta.”
Dua
kata itu kureka bagaikan pelajar ilmu spionase memecahkan sandi musuh. Tak
penting bagiku benar atau salah Syeh adalah akronim. Dua kata akhir sudah
terbuka artinya, tinggal dua kata depan. Sesudah puyeng sampai mblelek aku
selesaikan sandi yang akronim tersebut. Yang bunyi lengkapnya adalah “Suami
Yang Edan Harta”. Dan aku tak ingin menceritakan tentang diriku sendiri, yang
pasti usahaku menjadi Islam sejati makin buram saja, apalagi sebagai predikat
Haji dan Syeh yang mabrur. Barangkali kalau akronim yang kupecahkan itu benar
rasanya kok memper. Soalnya Pram bersama istrinya itu penah tinggal ngontrak di
Kebayoran Baru, yang waktu itu masih menjadi kawasan elit. Sekarang sudah
tenggelam oleh perkembangan kawasan. Tapi kalau Syeh itu merupakan predikat,
aku yang pertama akan mengacungkan jempol.
Tahun-tahun
pertama aku tinggal di rumah Pram di Kober, aku dapat deal, obyekan. Berupa
jadi guru. Murid pertama, satu-satunya dan terakhir adalah cang Ilyas, yang tak
lain adalah mertua lelaki Pram sendiri. Tidak tahu kenapa aku yang dipilih,
bukan Mbak Ies atau Mas Liek. Tak pusing aku, dan tak memikirkan berbagai
alasan keputusan cang Ilyas, yang menurut pengamatanku sangat patuh atas
keyakinannya. Jidatnya ngleyer, bersih dan tenang adem, menggambarkan jiwanya
yang mantap tenang. Juga karena sering dibasuh. Usahanya jual berbagai
kebutuhan pokok rumah tangga, termasuk kayu bakar. Kompor waktu itu belum
ngetrend banget. Kadang aku juga disuruh belanja ke Tanah Abang Bukit.
Disamping mendapat tambahan uang jajan mengajar, aku juga diupah setiap kali
habis belanja. Ia pasti tahu kebiasaanku, di hari libur suka diajak anak-anak
Betawi sekitar untuk memancing di empang-empang ikan mujaher di sepanjang kali
Ancol subuh-subuh. Nikmat menyenangkan memang, tapi itu mencuri. Dia kuatir,
aku sama sekali tidak tertangkap basah centengnya yang katanya terkenal
beringas dan tanpa ampun.
Namun
maling prof lebih licik. Subuh adalah jam-jam yang paling mengasyikkan ngorok
dengan hembusan sepoi angin laut. Untuk mencegah aku hanyut terbawa arus
lingkungan itulah caranya cang Ilyas, walau sekejap pun ia tidak cuap-cuap.
Sungguh ia seorang pendidik, guru jadi murid yang baik. Pram sendiri beberapa
kali berucap tentang fakta ini. Entah kok rasanya ia gagal mendidik anak
perempuannya. Kenangan manis Pram itu sangat membekas karena semua kekurangan
kebutuhan rumah tangga Pram terpenuhi tanpa repot-repot dengan cara mengutang
ke warung mertuanya. Tak pernah ditagih dan tak pernah dicek cocok dengan
besarnya utang atau tidak. Ini yang menyebabkan Afrah gemes, guondiek, kata
orang Blora untuk menekankan gedenya kegemesan seseorang.
Mungkin
kenangan manis sang mertua inilah kemudian ketika sang anak mantu terusir dan
mengalami pasang surut dalam kehidupan rumah tangganya ia punya nadar untuk
menghajikan sang mertua ke Tanah Suci. Tidak pernah dengar aku apakah istrinya
Pram yang baru, Mimin, jadi sewot dan gemes oleh rencana mulia yang gila
tersebut. Yang jadi fakta Pram gagal menghaji-mabrurkan bekas mertuanya. Keburu
meninggal karena kangker paru-paru. Mertuanya itu perokok berat daun kaung. Rokok
kegemaram Betawi Orak, walau setahuku mertua Pam adalah keturunan Badui Luar,
Banten, yang dikenal, katanya, sebagai pengikut yang patuh.
Sebagai
tambahan Banten adalah daerah wewenang Dauwes Dekker, semasa masih dinas. Dan
dari sinilah ia yang bernama samaran Multatuli, mengangkat praktek kekejaman
kolonialisme Belanda ke dunia internasional dalam drama percintaan terselubung
Saijah dan Adinda yang menggetarkan hati banyak pembaca. Termasuk Lenin, sang
tokoh Revolusi Oktober turut memberikan komentarnya, agar kekejaman
kolonialisme itu menjadi bukti suatu kekuasaan yang kejam, tidak adil, tidak
manusiawi dan harus dihancurkan dengan cara revolusi.
Pram
sendiri beberapa kali mengaku Multatuli sebagai salah seorang guru
sepiritualnya. Sebagai rasa solidaritas yang tulus atas nasib saudara setanah
airnya yang tertindas oleh kekejaman kekuasaan, ketika pemerintah ORLA
mendirikan Departemen Petera, Departemen Pengerahan Tenaga Rakyat, sekitar
tahun ’55-’58, Pram salah seorang yang getol untuk membangun kawasan Banten,
terutama daerah Malingping sebagai proyek percontohan. Kelihatannya proyek itu
gagal, walau Pram berhasil menulis ‘Sekali Peristiwa di Banten Selatan’. Tentu
kegagalan itu bukan semata karena Pram bukan ekonom yang memahami tentang
pembangunan kawasan tertinggal.
Waktu
itu problem dan pemecahan masalah seperti itu belum berkembang. Kegagalan
terutama adalah kelihatannya pemerintah kurang serius dan sungguh-sungguh.
Salah satu indikasinya relawan yang berjubel dan berminat untuk proyek
tersebut, termasuk aku, kurang mendapat respon, bahkan departemen itu sendiri
kemudian juga bubar. Kalau dokumen dadakan itu terpelihara, pasti tercatat
namaku. Aku belum lagi pikun, departemen itu terletak di daerah Cikini, tidak
jauh dari sebuah show room mobil yang sekitar tahun 1954 pernah diberondong
dengan bren oleh bridage 17 TRIP, yang bermarkas di Jalan Raden Saleh, sekitar
satu setengah kilometer Depatermen Petera. Masalah latar belakang terjadinya
insiden tersebut aku kurang paham. Hal itu kudengar dari salah seorang tokoh
peristiwa tersebut, yang waktu itu bekerja di Jalan Madura, di mana aku sendiri
pernah bekerja.
Justru
keberhasilan pembangunan kawasan boleh dikata sukses ketika modal Uni Soviet
turut berkiprah di negeri ini. Mereka yang sudah kenyang makan garam dalam
masalah pembangunan kawasan menunjuk Cilegon Banten sebagai pusat studi
pengembangannya, dengan membangun tanur baja pertama di sana. Mereka
memproyeksikan Cilegon sebagai mata pusaran untuk pembangunan kawasan Jawa
Barat dan Sumatera bagian Selatan. Prediksi itu terbukti benar walau
pembangunan Cilegon mengalami pasang surut. Buktinya sekarang Propinsi Banten
menurut data statistik, kalau BPS tidak berorientasi ABS, merupakan kawasan
industri yang paling berkembang di Indonesia, mengungguli propinisi
metropolitan.
Pram
gagal menghajikan bekas mertuanya. Sebagai pelipur lara ia membiayai istri barunya
ke tanah suci. Tak tahu, apakah Pram berkeinginan menghajikan orang tuanya atau
tidak. Yang kutahu tugas penuh berkah dan rahmat itu diemban oleh Soesatyo, adik
Pram terkecil, yang lolos dari tangan-tangan usil kekuasaan. Namun sudah empat
tahun terakhir ini ia tergolek di tempat tidur, seperti laiknya krangrang merah
telanjang bulat sepanjang hari karena kena stroke. Kurasa usus dan waduknya,
yang terbiasa terisi dedaunan desa diubah polanya menjadi serba lemak dan
daging, nasi kebuli dan kopi-madu ala negeri padang pasir. Tak ada yang bisa
menolong, termasuk dirinya. Untung ia punya istri dan ipar ponakan yang setia
dan tabah. Kalau tidak aku yakin sudah ketemu kakak tertuanya di alam misteri.
Entah kalau di sana pun keadaannya sama dengan di dunia nyata kita ini. Kalau
tidak, ada kemungkinan si bungsu ini bakal kena hajar untuk yang kedua kali.
Tapol
lain yang juga dikembalikan dari Buru adalah tokoh lumayan gede. Berita yang
beredar adalah wakil ketua Ikatan Dokter Indonesia, dokter Ashar Sosromunandar.
Orang cukup keker. Senyumnya unik dengan alis tebal yang sudah bercampur uban.
Dan justru di situ bagiku yang bikin kangen dan susah melupakan. Dalam
lingkungan tahanan ia selalu pakai celana dalam komprang yang sudah
terkontaminasi dengan berbagai cairan, walau kegiatannya sepanjang yang kutahu
adalah mencuci sandangnya sendiri. Baru kalau ia dinas pengobatan para tapol
pakai pakaian lain. Kala itulah kelihatan klimis dan ketokohannya yang
menonjol. Itu dilengkapi dengan kacamatanya tebal dan jalannya yang berat
sedikit, sedikit saja ngegang. Beda dengan langkah bung Karno yang kentara
banget. Wajah bung Karno sempurna, kalau pak dokter ini agak mblelek dan berbau
kampungan. Dan ia dua kali beruntung, pertama laku kawin, dan kedua keluarganya
tetap setia, juga anak-anaknya yang kulihat sering mbezuk dengan kiriman
seabrek.
Aku
sendiri minta agar keluarga sedikit mungkin bezuk mengingat keadaanku yang
ngere. Juga karena posisiku sebagai pencuci piring cukup membuat diriku tak
pernah kekurangan jaminan. Namun akibatnya fatal. Berat badanku naik. Celana
dan dan baju di alam bebas seperti sesak dan menyempit. Hal yang terasa ganjil
adalah saat duduk bersila, perut seperti menekan dubur. Sesak dan menyesakkan.
Bukan itu saja, terasa ada sesuatu yang mengganjal di sana. Tadinya kukira
cuwilan e’ek yang nyangkut, eh ternyata bukan. Kurasa daging tumbuh, mengingat
kalau tersenggol terasa sengkring-sengkring. Makin hari makin gatal dan perih.
Akhirnya suatu kali ketika aku ke belakang e’ekku yang mantap gede dilamuri
dengan merah segar, darah!
Aku
gendadapan, blingsatan, kebingungan. Tak ada yang harus kutumpahkan kegalauan
hatiku, kecuali kepada sang mblelek. Dan nasehatnya justru sangat mengagetkan,
“Puasa aja, Bung!”
Gila
sahutku dalam hati. Sudah ditahan, sudah kehilangan beraksi, disuruh puasa. Apa
enggak pembodohan namanya. Dan lagi pendapatku, ditahan itu bukan cuma puasa,
itu tirakat gede-gedean. Puasa menurutku prinsipnya cuma memindahkan dari makan
siang menjadi makan malam. Ditahan dengan istilah tirakat jauh mengungguli
puasa. Makanya nasehat yang kunilai kebangetan itu sangat mengecewakan hatiku.
Namun mau apa, kukira nasehatnya itupun asal bunyi, karena secara naluri ia toh
juga tersiksa. Kebebasannya diberangus. Dan kalau melihat lamanya, ia jauh
mengungguli diriku.
Orang
bilang perkawinan adalah cara memberangus diri sendiri, tapi ditahan adalah
pemberangusan pribadi dengan todongan senjata. Jadi intinya jauh berbeda.
Kukiran, dan ini menurutku paling valid, siksaan orang ditahan bukannya
perihnya hentakan fisik tapi adalah perihnya hentakan batin, naluri seks.
Pengalamanku sendiri membuktikan bahwa ketidaklancaran metabolisme kegiatan
jorok yang ngangeni dan membius itu sangat fatal. Tidak lancar berarti gangguan
menghumbalang seluruh aktifitas ke luar dan ke dalam. Sebaliknya kelancaran
menimbulkan efek serba positif.
Pernah
kubaca, atau kudengar. Mungkin kudengar karena membaca bagiku adalah bukan
kegiatan yang intens tetapi insidentil saja. Bahwa kelancaran metabolisme seks
yang berhasil, menimbulkan efek-efek prestasi yang mengejutkan baik dalam
bidang studi, sport maupun kegiatan yang mempergunakan kerja otak. Pokoknya ia
memberi stimul ajaib. Lhah kalau kebebasan kita terjerat dengan jeruji besi
apakah itu bukan bencana?
Bukan
itu saja. Hal itu mendorong langsung pada kejiwaan dan mental. Tapi juga
timbulnya berbagai penyakit psikis. Lebih parah lagi bahwa sebagian besar
lelaki di atas empatpuluh tahun terancam terkena penyakit prostat, penyempitan
pembuluh saluran kencing, akibat kekuranglancaran hubungan rumah tangga. Jadi
bagi tapol-tapol yang tidak bisa penyaluran hobi yang bikin ketagihan ini sama
saja dengan menantikan bencana.
Bukti
penelitian ngawur ini bisa kutemukan atas bencana kami sendiri. Pram yang
paling lama pernah mengalami ditahan, kena prostat paling dulu. Koesalah, juga
setali tiga uang. Karena ia mencoba menghindar dengan memaksakan diri, bencana
laki-laki itu ditambah bonus sakit hernia, atau istilah joroknya kondor.
Terakhir aku yang tirakat sekitar enam tahun dapat anugerah dua sertifikat
juga. Cuma hanya berkat mukjizat saja aku lepas dari bencana kaum lelaki ini
tanpa operasi.
Dongengnya
begini : Suatu kali di pagi dalam keadaan gerimis tanpa sarapan dan minum air
putih hangat aku ke kebon, mencangkul. Waktu itu baru panen alang-alang. Aku
diliputi oleh nafsu merombak kebon warisan orang tua itu dari bero menjadi
hijau. Singkat kata ngebut. Pulangnya aku demam dan minum dua pil anti pilek.
Meriangku kurang, tapi jadi beser. Temponya makin sering dan suatu saat aku
kepingin pipis. Tak keluar air. Tombak tumpulku sakit, perih dan tegang.
Kunanti, kupaksa, kuhentakkan, sia-sia. Aku kalut dan kesakitan. Jalan
keluarnya aku pergi ke dokter terdekat, sesuatu yang bagiku langkah mewah. Tapi
terpaksa. Sebab aku sudah yakin dengan sindiran publik yang berbau mencemooh
diri sendiri itu, orang miskin dilarang sakit. Dokter yang isunya pernah
ngobati gendruwo kesasar itu bilang, aku kena penyakit radang kandung kemih.
Obat diberikan dan aku pulang.
Aku
sempatkan mampir ke pangkalan pengobatan alternatif tak jauh dari dokter dengan
predikat sumpah Hipocrates tadi. Sang tokoh pengobatan alternatif, yang
bertampang dukun itu memandangku seadanya dan keluar hipotesis: “Bapak kena
gejala sakit gula.”
Ia
mendongeng panjang lebar akan membuat ramuan Aceh, Dayak dan Kubu. Ia
meyakinkan aku akan sembuh dalam trempo beberapa jam dengan harga tigaprapat
juta. Pringisan kesakitan yang kuderita tak digubrisnya. Dan aku potong sebelum
ia habis ceramah, bahwa aku tak mampu. Aku katakan bekas tapol dan pulang kampung
jadi buruh nyangkul. Ia seperti mendelik kaget dan membanting harga menjadi
sepuluh ribu untuk konsultasi yang serta merta kubayar dan segera aku minggat
dari hadapannya.
Namun
sesudah minum obat dokter pemerintah itu rasa sakit bukan berkurang, malah
tambah parah dan aku kembali ke dokter minta disuntik penawar sakit. Rasanya
aku belum disuntik. Barangkali ia belum biasa praktek nyuntik, tapi bilangnya
sudah. Dan aku bayar sesuai tarip. Sakit makin tak tertahankan, tak tahu jalan
keluar, mau nangis, sakit mangalahkan air mataku. Aku pringisan, istri
kebingungan, blingsatan tak tahu apa yang diperbuat. Tetangga sebelah yang dari
semula tahu penderitaanku menganjurkan aku ke dokter spesialis dan aku turuti
dengan becak. Semula aku naik sepeda. Tadinya aku pakai pantolan, sekarang
pakai sarung ala santri. Kupikir lebih praktis dan cepat bila ada sesuatu yang
diperlukan mendadak. Tampak agak jauh, sedang pengendara becak sepertinya
keliren, atau sengaja seperti seolah rumah dokter itu jauh, maksudnya supaya
dapat imbalan yang sesuai seleranya.
Dokter
cepat menangani, pasien lain yang lebih dulu dikesampingkan. Dan aku digarap.
Selang yang ia pasang dalam pembicaraan dengan perawat dua digit lebih rendah
dari yang seharusnya. Namun harus dipasang demi pasien. Dalam tempo kurang dari
lima menit, kantong urine penuh. Sakit, nyeri dan tegang mengendor. Aku
bersyukur, dan lebih bersyukur lagi ketika ia menyodorkan tarip sebesar tigaratus
lima puluh ribu. Maksudnya, bahwa istriku mampu membayar, karena aku tak tahu
persis dari mana ia mendadak punya duit segede itu.
Pulang
naik becak aku sudah pringisan dengan para tetangga yang kebetulan melihat,
dengan mengempit kantong kemih dan selang berjuntai dari balik sarung. Waktu
itu hari sudah sore dan menjelang maghrib ketika aku buang besar dan ngeden,
selang copot dan terburai. Segala plester dan segala yang dipakai untuk
memperkuat kemapanan selang yang dipasang tidak berfungsi. Dan aku balik naik
becak ke dokter spesialis, yang pengakuannya berasal dari tempat kelahirannya
tokoh Boedi Oetomo, dokter Soetomo, tapi nyambung hidup dengan buka praktek di
kota, yang dokter Soetomo pernah juga dapat tugas sebagai dokter Gubernemen.
Bedanya dokter Soetomo menemukan jodoh di situ, dokter spsesialis ini sudah
seabrek dengan produk ‘kiih raos’ ala urang Bandung teak. Dan malam itu nyawaku
tertunda dicabut dan tidur bak tanpa nyawa, sangat pulas…( b e r s a m b u n g )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar