Jumat, 05 Februari 2016

PRAM DALAM BELENGGU


 
Kelambu di Balik Nama Pram





N
glantur. Itulah yang menjadi gaya khas kepenulisan seorang Soesilo Toer. Ketika menjelaskan kronologi sebuah peristiwa, dia menjelaskan keterangan tentang kejadian itu sampai sebegitu detail, sampai ke akar-akarnya, dan bahkan sampai keluar dari pokok pembicaraan utama, meskipun itu bukan merupakan hal penting sekalipun. Tak heran, cara menulis yang demikian menghasilkan tulisan kalimat-kalimat pendek dengan banyak tanda koma, yang tentu akan sangat menjengkelkan bagi seorang juru ketik yang baru belajar, karena setiap kali dia mengetik dua sampai tiga kata, dan dia harus kembali melihat ke tulisan tangan atau mesin tik Soesilo Toer. Hal itu mengingat Soesilo Toer yang mengaku (dan memang benar) adalah seorang gagap teknologi, gaptek. Dia tidak peduli segala hiruk-pikuk kemajuan teknologi. Dia hidup bersama dengan kita, tapi dia hidup dengan dunianya sendiri, dunia yang mempunyai dimensi berbeda dari orang-orang kebanyakan. Atau bisa kita katakan, berlaku ukuran-ukuran yang lain dari ukuran biasa, sehingga haruslah dipakaikan pula ukuran tersendiri untuk menilainya, seperti kata-kata Hans Bague Jassin menilai Chairil Anwar.
Namun, di samping ke-mbalelo-an dan ke-ndleya-an dalam menulis -- antara judul buku dan isi, justru karena keedanannya dalam menulis itulah kita disuguhi berbagai macam pengetahuan, pengalaman, dan ilmu. Cerita yang menembus batas ruang dan waktu. Kita seakan didongengi cerita dari berbagai macam disiplin ilmu. Mulai dari jaman Ku’ung, Socrates, Soekarno, hingga Jokowi. Cerita dari Blora, Gulat di Jakarta, Tempo Doeloe, Kampus Kabelnaya, Moskwa, Siberia, sampai Kutub Utara. Semua tumpleg blek jadi satu bagaikan gado-gado. Dia menceritakan segala sesuatu yang dianggap aib, hal-hal yang diangap tabu, (dan bahkan gaib) dengan tanpa ragu. Dia bongkar kejelekan-kejelekan “orang-orang suci.” Dia ungkap sisi gelap seorang “malaikat”. Semua! Dia menyadarkan kita akan satu hal yang tak terbantahkan: yin dan yang, plus dan minus, kekurangan dan kelebihan, gelap dan terang, hitam dan putih, selalu berjalan beriringan. Perbedaan itu selalu ada. Itulah hukum alam: hukum keseimbangan, yang bila salah satu berat timbangan ada yang tidak sama, dengan sendirinya hukum keseimbangan tersebut akan “menjalankan tugas”, dan membuatnya kembali menjadi imbang.
Pram dalam Belenggu adalah buku seri keempat dari pentalogi buku tentang Pramoedya Ananta Toer untuk melengkapi tiga buku sebelumnya, Pram dari Dalam, Pram dalam Kelambu, dan Pram dalam Bubu, yang selanjutnya akan ditutup dengan Pram dalam Tungku, yang berisi kumpulan penilaian masyarakat tentang sosok Pramoedya Ananta Toer. Dalam buku ini, seperti yang sudah-sudah, jangan harap pembaca akan melulu diceritai sosok penulis terbesar (sampai sekarang) di Indonesia ini. Soesilo Toer mendongengi kita bukan hanya sosok Pramoedya Ananta Toer, melainkan juga keluarganya, masyarakatnya, lingkungannya, bangsa dan negaranya, diselingi cerita-cerita “rahasia” lain yang mungkin saja belum diketahui oleh khalayak ramai atau memang sengaja dihilangkan dari sejarah. Hal tersebut menjadikan judul buku ini, Pram dalam Belenggu, hanyalah menjadikan sosok Pramoedya Ananta Toer sebagai atau seperti layaknya “kelambu” yang dipergunakan untuk menutupi apa yang ada di dalamnya. Karena, memang, pemilihan judul buku seri pentalogi tentang Pramoedya Ananta Toer tidak ada sangkut-paut dengan isi. Dan, itu menjadi hak prerogratif penulis untuk menentukan judul sebuah buku. Untuk lebih jelas mengenai pemilihan judul ini, biarkanlah penulis sebagai pihak yang paling berhak untuk menjelaskan kemudian pada buku kelima: Pram dalam Tungku. Karena, memang, judul sepenuhnya menjadi kuasa penuh bagi penulis, tidak peduli meskipun antara judul dan isi harus bertolak belakang. Maka tidak heran, ketika peluncuran buku seri kedua yang berjudul Pram dalam Kelambu, Gatot Pranoto, dalam pengantar sebagai moderator dalam acara itu bercerita sampai harus membaca dua kali karena penasaran dengan kata “kelambu” yang tidak ditemui ketika kali pertama membaca. Namun setelah selesai membaca kali kedua, dia tetap tidak menemukan. Dan akhirnya, dia mengaku tertipu.
Pada peluncuran buku Soetarmin Poerwo S. Dono, Kilas Sekejap tentang Sejarah Islam dan buku ketiga pentalogi tentang Pram, Pram dalam Bubu, 30 April 2015, sang editor, Gunawan Budi Susanto, atau yang lebih kita kenal dengan sapaan Kang Putu, mengaku “keteteran” ketika menyunting naskah buku Soesilo Toer. Di satu sisi bisa saja orang menilai itu merupakan keluhan, di sisi lain bisa juga itu merupakan pengakuan atas ambisi menulis dari Soesilo Toer. Tergantung pada sudut pandang mana kita melihat. Bukankah setiap orang itu spesial, berbeda, tidak ada yang sama satu dan yang lain? Dengan sendirinya kacamata setiap orang pun tidak akan sama, pasti berbeda-beda. Bisa saja bagi orang yang kurang teratur, melihat orang biasa hidup disiplin itu seperti orang yang kaku. Begitu pun sebaliknya. Bagi orang disiplin, orang yang kurang teratur itu seperti orang malas. Maka, kembali lagi segala sesuatunya tergantung pada sudut pandang mana kita melihat. Sudut pandang kita, dia, atau orang lain. Dan semua tidak bisa disamakan. Semua harus berusaha saling mengerti satu sama lain. Melihat dari sudut pandang kita, dia, dan orang lain, agar kita bisa jadi manusia yang lebih mengerti satu sama lain. Bagi seorang peneliti tentang Pramoedya Ananta Toer, apa yang ditulis oleh orang lain tentang dia bisa jadi merupakan perulangan yang diulang-ulangi. Namun bagi mereka yang sama sekali belum mengenal sosok Pramoedya Ananta Toer tentu saja itu akan menjadi hal baru dan bisa juga perulangan yang diulang-ulangi itu akan merusak jalan sebuah cerita bila tidak diulang-ulangi (baca ditulis). Perbedaan itulah yang harus dimengerti semua pihak. Kalau ketidakmengertian itu tidak ada, lantas bagaimana bila kita menilai tentang salah satu penulis buku tentang Pramoedya Ananta Toer yang bernama Tofik Pram? Dari namanya saja apakah kita tidak akan menilai dia sebagai pengulang, penjiplak, aji mumpung, penumpang popularitas, dan lain sebagainya? Apalagi ketika kita melihat isi buku yang ditulisnya? Praktis sebagian besar adalah kutipan dari tulisan pada buku-buku Pramoedya Ananta Toer. Apa nggak lebih uedyan?
Kalau ada perumpamaan yang sesuai, mungkin kita bisa mempersamakan Soesilo Toer, dan termasuk juga Pramoedya Ananta Toer, sebagai bola, yang makin keras dijatuhkan akan kian tinggi terbang. Kalau ada orde yang lebih kejam daripada Orde Baru, mungkin Pramoedya Ananta Toer akan “terbang” lebih tinggi lagi. Setiap orang punya penderitaan masing-masing, kekecewaan masing-masing, kebahagiaan masing-masing, dan jalan hidup masing-masing pula. Dan setiap zaman punya ujian sendiri-sendiri yang antara satu dan yang lain jelas tidak akan sama. Kita cukup menjalaninya. Seberat apa pun itu. Semua sudah ada yang mengatur. Tinggal bagaimana kita mau berusaha lebih keras atau kurang keras? Apakah kita mau menyerah atau terus berusaha? Mau terus menjalani atau berbalik arah? Kembali lagi, semua tergantung pada diri kita masing-masing.  
Dulu, ketika naskah buku Pram dari Dalam selesai dan siap naik cetak, Soesilo Toer bilang kepada sang anak yang ketika itu masih bekerja di Jakarta, sebelum “menyusul” Pramoedya Ananta Toer, dia ingin agar buku itu bisa terbit, tanpa menyebutkan buku-buku lain yang akan terbit atau cetak ulang. Maka ambisinya jelas satu: menandingi dan atau bahkan mengalahkan tetralogi Pulau Buru milik sang kakak. Kalau Ahmad Tohari mempunyai trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Pramoedya Ananta Toer punya tetralogi Pulau Buru, Soesilo Toer punya pentalogi Pram. Namun, kini, ketika penerbit menemukan “sampah-sampah berserakan” yang lain, dengan ambisi menggebu penerbit “memborbardir editor dengan sederet naskah, itu semata-mata adalah ambisi dari penerbit yang ingin mengangkat lebih tinggi nama Soesilo Toer, Soetarmin Peorwo S. Dono, Gunawan Budi Susanto, Hermawan Widodo, Evy Kristina, dan penulis-penulis lain pada masa datang. Penerbit ingin menunjukkan pada dunia bahwa Blora bukan hanya kota termiskin di Jawa Tengah, bukan hanya oblone sak ara-ara, dan kabupaten yang kata gubernur sekarang, Ganjar Pranowo, APBD-nya selama lima belas tahun belakangan selalu terlambat. Blora juga punya jati, minyak, sate, dan tokoh-tokoh seperti Tirto Adhie Soerjo, Samin Soerosentiko, Haryo Penangsang, Maridjan Kartosoewirjo, Mas Marco Kartodikromo, dan tak ketinggalan pula Pramoedya Ananta Toer. Selain itu juga, hal ini merupakan salah satu cara yang penerbit lakukan untuk mematahkan ramalan dari Andries Teeuw yang mengatakan bahwa penulis seperti Pramoedya Ananta Toer hanya lahir sekali dalam seabad. Karena penerbit percaya, peramal itu meramalkan sesuatu yang tidak bisa diramalkan. Namun yang lebih penting dan utama dari itu semua adalah mewujudkan ambisi Pataba: masyarakat Indonesia membangun adalah masyarakat Indonesia membaca menuju masyarakat Indonesia menulis.
Akhir kata, penerbit mengucapkan semangat membaca buku seri keempat dari pentalogi buku tentang Pramoedya Ananta Toer, sebuah “misi ambisius dari Soesilo Toer, adik Pramoedya Ananta Toer, untuk “menandingi” dan atau bahkan “mengalahkan” tetralogi Pulau Buru milik sang kakak. Ambisi itulah yang membuat dia tetap bertahan hidup dan ingin menembus angka seratus tahun (hampir sama seperti Chairil Anwar yang masih “mau hidup seribu tahun lagi”) agar bisa melihat panen jati yang mulai dia tanam sejak 2004 ketika pindah ke Blora. Dan, kini, ambisi itu tinggal selangkah lagi terwujud dan semoga menjadi kenyataan. Semoga saja.



Blora, 2 Agustus 2015, 21:50
Benee Santoso



"PRAM DALAM BELENGGU" karya SOESILO TOER
Penyunting: Gunawan Budi Susanto
Penerbit : PATABA Press
Cetakan pertama: Februari, 2016
Tebal buku: xvi + 226 halaman, 14 x 21 cm
ISBN: 978-602-71978-7-9
Harga: Rp 60.000,00 (belum termasuk ongkos kirim)

Pemesanan:
* Purwokerto dan sekitarnya: Yuli Rm (081568241918)
* Cirebon dan sekitarnya: Hermawan Widodo (081914020214).
* Semarang dan sekitarnya: Kang Putu (087731631118).
* Jogja dan sekitarnya: Marheriyanto, Fakultas Teknologi Pertanian UGM Jogja(081328274794)/Senja Mulyana (085721364525/082138878011).
* Mojokerto dan sekitarnya: Rockhand (089619090001)
* Karawang dan sekitarnya: Khamid Istakhori (085695622555)
* Malaysia: Zaidi Musa, Kedai Hitam Putih(+60123840415)
* Jakarta dan sekitarnya: Yohana Sudarsono: (085693269444/089677578419) / Koesalah Soebagyo Toer Jl. Turi III No 27 RT 05/10 Kemiri Muka, Beji, Depok 16423 (087785067160)
#Pemesanan dari berbagai kota lain di Indonesia bisa ke Benee Santoso
Jalan Sumbawa Nomor 40 Kelurahan Jetis, Kota Blora, Jawa Tengah
Telepon +6287742070671/+6285711631124 BBM: 537CB695 WA: 089653169450Wechat/Line : ben_kim13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar