“Kelambu” di Balik Nama Pram
N
|
glantur. Itulah yang menjadi gaya khas
kepenulisan seorang Soesilo Toer. Ketika menjelaskan kronologi sebuah
peristiwa, dia menjelaskan keterangan tentang kejadian itu sampai sebegitu
detail, sampai ke akar-akarnya, dan bahkan sampai keluar dari pokok pembicaraan utama, meskipun itu bukan merupakan hal
penting sekalipun. Tak heran, cara menulis yang demikian menghasilkan tulisan
kalimat-kalimat pendek dengan banyak tanda koma, yang tentu akan sangat
menjengkelkan bagi seorang juru ketik yang baru belajar, karena setiap kali dia mengetik dua
sampai tiga kata, dan dia harus kembali melihat ke tulisan tangan
atau mesin tik Soesilo
Toer. Hal itu mengingat Soesilo Toer yang mengaku (dan memang benar) adalah seorang gagap
teknologi, gaptek. Dia
tidak peduli segala hiruk-pikuk kemajuan teknologi. Dia hidup bersama dengan kita, tapi
dia hidup dengan dunianya sendiri, dunia yang mempunyai dimensi berbeda dari
orang-orang kebanyakan.
Atau bisa kita katakan, berlaku ukuran-ukuran yang lain dari ukuran biasa, sehingga
haruslah dipakaikan pula ukuran tersendiri untuk menilainya, seperti kata-kata
Hans Bague Jassin menilai Chairil Anwar.
Namun, di samping ke-mbalelo-an
dan ke-ndleya-an dalam menulis -- antara judul buku dan isi,
justru karena keedanannya
dalam menulis itulah kita disuguhi berbagai macam pengetahuan, pengalaman, dan ilmu. Cerita yang
menembus batas ruang dan waktu. Kita seakan didongengi cerita dari berbagai macam
disiplin ilmu. Mulai dari jaman Ku’ung, Socrates, Soekarno, hingga Jokowi. Cerita dari Blora, Gulat di Jakarta, Tempo Doeloe, Kampus Kabelnaya, Moskwa, Siberia, sampai Kutub Utara. Semua tumpleg blek jadi satu bagaikan gado-gado. Dia
menceritakan segala sesuatu yang dianggap aib, hal-hal yang diangap tabu, (dan bahkan gaib) dengan tanpa ragu. Dia bongkar
kejelekan-kejelekan “orang-orang suci.” Dia ungkap sisi gelap seorang “malaikat”. Semua! Dia menyadarkan kita akan
satu hal yang tak terbantahkan: yin
dan yang, plus dan minus, kekurangan
dan kelebihan, gelap dan terang, hitam dan putih, selalu berjalan beriringan. Perbedaan
itu selalu ada. Itulah
hukum alam: hukum keseimbangan, yang bila salah satu berat timbangan ada yang
tidak sama, dengan sendirinya hukum keseimbangan tersebut akan “menjalankan
tugas”, dan
membuatnya kembali menjadi imbang.
Pram dalam Belenggu adalah buku seri keempat dari
pentalogi buku tentang Pramoedya Ananta Toer untuk melengkapi tiga buku
sebelumnya, Pram dari Dalam, Pram dalam
Kelambu, dan Pram dalam Bubu,
yang selanjutnya akan ditutup dengan Pram
dalam Tungku, yang berisi kumpulan penilaian masyarakat tentang sosok
Pramoedya Ananta Toer. Dalam buku ini, seperti yang sudah-sudah, jangan harap
pembaca akan melulu diceritai sosok penulis terbesar (sampai
sekarang) di Indonesia
ini. Soesilo Toer mendongengi kita bukan hanya sosok Pramoedya Ananta Toer,
melainkan juga keluarganya, masyarakatnya, lingkungannya, bangsa dan negaranya,
diselingi cerita-cerita “rahasia” lain yang mungkin saja belum diketahui oleh khalayak ramai atau
memang sengaja dihilangkan dari sejarah. Hal tersebut menjadikan judul buku
ini, Pram dalam Belenggu, hanyalah
menjadikan sosok Pramoedya Ananta Toer sebagai atau seperti layaknya “kelambu”
yang dipergunakan untuk menutupi apa yang ada di dalamnya. Karena, memang, pemilihan judul buku seri pentalogi tentang Pramoedya Ananta
Toer tidak ada sangkut-paut dengan isi. Dan, itu menjadi hak prerogratif penulis untuk menentukan judul
sebuah buku. Untuk lebih
jelas mengenai pemilihan
judul ini, biarkanlah penulis sebagai pihak yang paling berhak
untuk menjelaskan kemudian pada buku kelima: Pram dalam Tungku. Karena, memang, judul sepenuhnya menjadi kuasa
penuh bagi penulis, tidak
peduli meskipun antara judul dan isi harus bertolak belakang. Maka tidak heran,
ketika peluncuran buku seri kedua yang berjudul Pram dalam Kelambu, Gatot Pranoto, dalam pengantar sebagai moderator dalam acara itu bercerita sampai harus membaca dua
kali karena penasaran dengan kata “kelambu” yang tidak ditemui ketika kali pertama membaca. Namun
setelah selesai membaca kali kedua, dia tetap tidak menemukan. Dan
akhirnya, dia mengaku
tertipu.
Pada peluncuran buku Soetarmin
Poerwo S. Dono, Kilas Sekejap tentang
Sejarah Islam dan buku ketiga pentalogi tentang Pram, Pram
dalam Bubu,
30 April 2015, sang editor,
Gunawan Budi Susanto, atau yang lebih kita kenal dengan sapaan Kang Putu, mengaku “keteteran” ketika
menyunting naskah buku Soesilo Toer. Di satu sisi bisa saja orang
menilai itu merupakan
keluhan, di sisi lain bisa juga itu merupakan pengakuan atas
ambisi menulis dari Soesilo Toer. Tergantung pada sudut pandang mana kita melihat. Bukankah setiap orang itu spesial, berbeda, tidak ada yang sama satu
dan yang lain? Dengan sendirinya kacamata setiap orang pun tidak akan sama,
pasti berbeda-beda. Bisa saja bagi orang yang kurang teratur, melihat orang biasa hidup disiplin itu
seperti orang yang kaku. Begitu pun sebaliknya. Bagi orang disiplin, orang yang kurang teratur itu seperti
orang malas. Maka, kembali lagi segala sesuatunya tergantung pada sudut pandang mana kita melihat. Sudut pandang kita, dia,
atau orang lain. Dan semua tidak bisa disamakan. Semua harus berusaha saling mengerti satu sama lain.
Melihat dari sudut pandang kita, dia, dan orang lain, agar
kita bisa jadi manusia yang lebih mengerti satu sama lain. Bagi seorang peneliti tentang
Pramoedya Ananta Toer, apa yang ditulis oleh orang lain tentang
dia bisa
jadi merupakan
perulangan yang diulang-ulangi. Namun bagi mereka yang sama sekali belum mengenal sosok Pramoedya
Ananta Toer tentu saja itu akan menjadi hal baru dan bisa
juga perulangan yang diulang-ulangi itu akan merusak jalan sebuah cerita bila
tidak diulang-ulangi (baca ditulis). Perbedaan itulah yang harus dimengerti semua pihak.
Kalau ketidakmengertian itu tidak ada, lantas bagaimana bila kita menilai
tentang salah satu penulis buku tentang Pramoedya Ananta Toer yang bernama
Tofik Pram? Dari namanya saja apakah kita tidak akan menilai dia sebagai
pengulang, penjiplak, aji mumpung, penumpang popularitas, dan lain sebagainya? Apalagi
ketika kita melihat isi buku yang ditulisnya? Praktis sebagian besar adalah
kutipan dari tulisan pada buku-buku Pramoedya Ananta Toer. Apa nggak lebih uedyan?
Kalau ada perumpamaan yang sesuai, mungkin kita bisa
mempersamakan Soesilo Toer, dan termasuk juga Pramoedya Ananta Toer, sebagai bola, yang makin keras dijatuhkan akan kian
tinggi terbang. Kalau ada
orde yang lebih kejam daripada Orde Baru, mungkin Pramoedya Ananta Toer akan
“terbang” lebih tinggi lagi. Setiap orang punya penderitaan masing-masing,
kekecewaan masing-masing, kebahagiaan masing-masing, dan jalan hidup masing-masing
pula. Dan setiap zaman punya ujian sendiri-sendiri yang antara satu dan yang lain
jelas tidak akan sama. Kita cukup menjalaninya. Seberat apa pun itu. Semua
sudah ada yang mengatur. Tinggal bagaimana kita mau berusaha lebih keras atau
kurang keras? Apakah kita mau menyerah atau terus berusaha? Mau terus menjalani
atau berbalik arah? Kembali lagi, semua tergantung pada diri kita
masing-masing.
Dulu, ketika naskah buku Pram
dari Dalam selesai dan siap naik cetak, Soesilo Toer bilang kepada sang
anak yang ketika itu masih bekerja di
Jakarta, sebelum “menyusul” Pramoedya Ananta Toer, dia ingin agar buku itu bisa
terbit, tanpa menyebutkan buku-buku lain yang akan terbit atau cetak ulang. Maka ambisinya
jelas satu: menandingi dan atau bahkan mengalahkan tetralogi Pulau Buru milik sang kakak. Kalau Ahmad Tohari mempunyai trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Pramoedya Ananta Toer punya tetralogi Pulau Buru, Soesilo
Toer punya pentalogi Pram. Namun, kini, ketika penerbit menemukan “sampah-sampah
berserakan” yang lain, dengan ambisi menggebu penerbit “memborbardir” editor dengan sederet naskah, itu
semata-mata
adalah ambisi dari penerbit yang ingin mengangkat lebih tinggi nama Soesilo Toer, Soetarmin Peorwo
S. Dono, Gunawan Budi Susanto, Hermawan Widodo, Evy Kristina, dan penulis-penulis lain
pada masa datang. Penerbit
ingin menunjukkan pada dunia bahwa Blora bukan hanya kota termiskin di Jawa
Tengah, bukan hanya oblone sak ara-ara, dan
kabupaten yang kata gubernur sekarang, Ganjar Pranowo, APBD-nya selama lima
belas tahun belakangan selalu terlambat. Blora juga punya jati, minyak, sate,
dan tokoh-tokoh seperti Tirto Adhie Soerjo, Samin Soerosentiko, Haryo
Penangsang, Maridjan Kartosoewirjo, Mas Marco Kartodikromo, dan tak ketinggalan
pula Pramoedya Ananta Toer. Selain itu juga, hal ini merupakan salah satu cara
yang penerbit lakukan untuk mematahkan ramalan dari Andries Teeuw yang
mengatakan bahwa penulis seperti Pramoedya Ananta Toer hanya lahir sekali dalam
seabad. Karena penerbit percaya, peramal itu meramalkan sesuatu yang tidak bisa
diramalkan. Namun yang
lebih penting dan utama dari itu semua
adalah mewujudkan ambisi Pataba: masyarakat Indonesia membangun adalah masyarakat
Indonesia membaca menuju masyarakat Indonesia menulis.
Akhir kata, penerbit mengucapkan semangat membaca buku seri keempat dari
pentalogi buku tentang Pramoedya Ananta Toer, sebuah “misi ambisius” dari Soesilo Toer, adik Pramoedya
Ananta Toer, untuk “menandingi” dan atau bahkan “mengalahkan” tetralogi Pulau Buru milik sang
kakak. Ambisi itulah yang membuat
dia tetap bertahan hidup
dan ingin menembus angka seratus tahun (hampir sama seperti
Chairil Anwar yang masih “mau hidup seribu tahun lagi”) agar bisa melihat panen jati yang mulai
dia tanam sejak 2004 ketika pindah ke Blora. Dan, kini, ambisi itu tinggal selangkah
lagi terwujud dan semoga menjadi kenyataan. Semoga saja.
Blora,
2 Agustus 2015, 21:50
Benee Santoso
"PRAM DALAM BELENGGU" karya SOESILO TOER
Penyunting: Gunawan Budi Susanto
Penerbit : PATABA Press
Cetakan pertama: Februari, 2016
Tebal buku: xvi + 226
halaman, 14 x 21 cm
ISBN: 978-602-71978-7-9
Harga: Rp 60.000,00 (belum
termasuk ongkos kirim)
Pemesanan:
* Purwokerto dan sekitarnya: Yuli Rm (081568241918)
* Cirebon dan sekitarnya: Hermawan Widodo (081914020214).
* Semarang dan sekitarnya: Kang Putu (087731631118).
* Jogja dan sekitarnya: Marheriyanto, Fakultas Teknologi Pertanian UGM Jogja(081328274794)/Senja Mulyana (085721364525/082138878011).
* Mojokerto dan sekitarnya: Rockhand (089619090001)
* Karawang dan sekitarnya: Khamid Istakhori (085695622555)
* Malaysia: Zaidi Musa, Kedai Hitam Putih(+60123840415)
*
Jakarta dan sekitarnya: Yohana Sudarsono: (085693269444/089677578419) /
Koesalah Soebagyo Toer Jl. Turi III No 27 RT
05/10 Kemiri Muka, Beji, Depok 16423 (087785067160)
#Pemesanan dari berbagai kota lain di Indonesia
bisa ke Benee Santoso
Jalan Sumbawa Nomor 40 Kelurahan Jetis, Kota Blora, Jawa Tengah
Telepon +6287742070671/+6285711631124 BBM: 537CB695 WA: 089653169450Wechat/Line : ben_kim13
Jalan Sumbawa Nomor 40 Kelurahan Jetis, Kota Blora, Jawa Tengah
Telepon +6287742070671/+6285711631124 BBM: 537CB695 WA: 089653169450Wechat/Line : ben_kim13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar