Antara Tragedi, Karma, dan Nestapa
B
|
uku Penjagal
Itu Telah
Mati ini adalah kumpulan
cerita pendek kedua karya Gunawan Budi Susanto yang sampai tuntas sudah saya lahap. Gaya berceritanya khas, sama dengan gaya penulis ini dalam kumpulan esai Edan-edanan
pada Zaman Edan (2008)dan kumpulan cerita pendek pertama Nyanyian Penggali Kubur (2011). Bolehlah saya namakan gaya itu sebagai “mati ketawa ala sampean bukan?”.
Ya, itulah paten penulis kelahiran Bojonegoro -- yang pada masa lalu termasuk Karesidenan
Blora-Rembang – pada 11 Juli 1961 itu.
Itu
mengingatkan saya pada tokoh pers dari Bojonegoro, Tirto
Adhie Soerjo, cucu Bupati
Blora, anak kolektor pajak dan cicit Bupati
Lasem yang kawin dengan keturunan Raja
Demak, sang Ong Kadut. Gunawan Budi Susanto dibesarkan di Blora dan sekolah di Sekolah Dasar Negeri Jetis 2, yang
tidak lain adalah tanah warisan Mastoer yang pada era
Orde Baru dijual oleh lurah. Sekolah itu bersebelahan
dengan rumah masa kecil pengarang kontroversial individualis dan pembela aliran
realisme, Pramoedya Ananta Toer. Aliran itu di
Indonesia disebarkan kali pertama oleh
Marco Kartodikromo, yang tewas di pembuangan Digul, yang dalam banyak publikasi disebutkan
kelahiran Solo. Padahal, yang kelahiran Solo adalah sang istri yang setia menengok dia di
pembuangan. Marco kelahiran Cepu, seperti pendiri Negara Islam Indonesia, Maridjan Kartosoewirjo, yang tewas ditembak di Pulau Seribu, Pulau Ubi, di Teluk
Jakarta yang pada masa lalu dikenal dengan nama Pulau Onrust.
Gunawan
Budi Susanto adalah anak korban tragedi kemanusiaan tahun 1965; holocaust yang
oleh banyak pihak dinilai setara dengan
apa yang dilakukan Adolf Hitler terhadap Yahudi Jerman, walau
dia keturunan Yahudi tulen. Itulah yang dalam bahasa Latin
dikenal dengan nama sindrom tantrum.
Menelusuri
cerita Gunawan Budi Susanto dalam buku ini, saya
tidak ragu menyatakan Gunawan Budi Susanto pun menderita
sindrom itu. Dia
dipaksa oleh situasi, kondisi, dan toleransi lingkungan menjadi manusia lain. Dan,dia terjebak
dalam situasi setengah putus asa menghadapi tragedi hidup, terutama dalam cerita pendek “Ibu Terus-menerus
Bungkam”. Namun akhirnya dia
menemukan pencerahan dari kekeliruan, kesalahan, penderitaan, dan lain-lain sebagai basis dari keberhasilan yang tertunda. Guilermo Tolentino
tidak salah ketika menyatakan, “Pengalaman
adalah basis ilmu, kesulitan adalah pendorong jiwa (semangat), dan kerja
keras adalah pencerahan.”
Tepat
seperti D.D. Setiabudi, Indo Pasuruan, orang Jawa
lulusan pertama dan suka kekerasan dari universitas di Swiss,
yang menyatakan bakat itu cuma 30
persen, sedangkan sisanya adalah keringat. Begitulah
kira-kira dalam membaca kumpulan cerita pendek Gunawan Budi Susanto ini.
Saya
mengalami trauma tahun 1965 tidak langsung,
dimulai dari pencabutan paspor,
wajib lapor, dan baru kemudian mengalami langsung
tahun 1973 yang oleh banyak pihak disebut sebagai kebodohan dan pengkhianatan. Saya tahu, kalau tidak
pulang saya bisa hidup bermanja-manja di negeri yang dulu menjadi penjajah. Namun apakah itu punya makna? Tak soal hidup macam apa, yang utama
adalah makna hidup itu sendiri. Dan, bagi
saya dan barangkali juga Gunawan Budi Susanto, tugas manusia adalah menjadi
manusia, menciptakan surplus value atau value added.
Orde
Baru, yang katanya orde
final,
akhirnya toh tumbang juga. Semua sudah
menjadi sejarah masa lalu. Sekarang,
tugas kita membuat sejarah sesuai dengan situasi dan kondisi dan toleransi yang
baru. Lebih dari 30 tahun kita hidup dalam demam thugocracy=pemanisan. Dalam In
Memoriam A.A. Navis tulisan
dedengkot wartawan Indonesia, Rosihan Anwar, dinyatakan
thugocracy diartikan sebagai orang
bebas, vrijeman
(Belanda), pareman
(Minang),
dan preman yang bermakna derogatif: orang
yang tidak peduli hukum dan suka kekerasan ke dalam cracy yang lebih manusiawi. Itu adalah
suatu langkah yang penuh tanda tanya.
Kalau
kita ingat ajaran Descartes yang tidak pernah usang, kita harus berani
mencoba supaya tidak usang lagi, yaitu Non
cogito ergo cogito, saya tidak
berpikir pun saya berpikir. Kalau saya membaca sembilan cerita pendek dalam buku
Gunawan Budi Susanto ini, Penjagal Itu
Telah Mati, saya bukan sedang berpikir tentang membaca cerita pendek, melainkan berpikir menelusuri reportase proses atau proses tentang...
itu sendiri, melihat sendiri, mengalami sendiri seperti Peristiwa
1948 di Blora -- kota yang sampai sekarang dikenal
sebagai salah satu kota termiskin di Jawa Tengah, tetapi
juga
satu-satunya kota di Indonesia yang mampu menerbitkan ensiklopedia. Dan,
bukan kota yang lain. Orang-orang yang dituduh anggota PKI
dibunuh di depan publik yang digiring dari Pasar
Kota Blora, yang berjarak kurang
dari 100 meter dari tempat pembunuhan massal
itu, yaitu di alun-alun. Kalau beringin di tengah alun-alun itu bisa bicara, dia
akan omong dan menulis seperti yang dilakukan Gunawan Budi Susanto. Trauma yang
akan melekat sampai ajal menjemput.
Ya,
apalah arti cerita pendek, apakah pengaruhnya? Mohanda Karamchand
Gandhi (1869-1948), pejuang
perlawanan diam ala ahimsa yang berhasil mengguncang
Amerika Serikat dan negeri penjajah Inggris untuk
memberikan kebebasan mengurus India sesuai dengan
kehendak bangsa India sendiri, walau secara
tragis setahun setelah India merdeka (1947) mati dibunuh oleh salah seorang
pengikutnya 1948, menyatakan, “What
you do may not seem (so) important but it is very
important that you do it.”
Dan,
itu dilakukan Gunawan Budi Susanto, Darju Prasetya, Asahan, Sutomodihardjo,
Kaslan B, dan ratusan,
bahkan ribuan lain, untuk
menggoreskan sejarah kelam bangsanya. Sejarah yang dibuat bukan oleh para
pemenang dan pemegang kekuasaan, melainkan oleh
mereka yang peduli terhadap sejarah sebagai memori kolektif. Sejarah yang siapa
tahu, seperti pendapat Toynbee, sejarawan Inggris, akan
membuat suatu bangsa menjadi lebih bijak, yang
siapa tahu historia visol vagistra. Itulah peran dan makna yang dilakukan Gunawan Budi Susanto.
Nyanyian Penggali Kubur adalah
tragedi, Penjagal Itu
Telah Mati adalah karma,
dan “Ibu Terus-menerus
Bungkam” adalah petaka nestapa yang membuat Gunawan Budi Susanto lahir baru dengan pencerahan
yang menerangi batin bawah sadarnya. Inilah norma yang layak dibaca untuk
direnungkan sebagai bagian dari syarat kemanusiaan.
“Maka
bacalah buku ini dan bukan bakarlah,” kata
Pramoedya Ananta Toer. Saya punya moto sendiri,“Bacalah dan
bakarlah....” Silakan selesaikan sendiri kalimat tersebut.
Blora, 15 Maret 2015
Soesilo Toer
“PENJAGAL ITU TELAH MATI” karya GUNAWAN BUDI
SUSANTO
Penerbit: PATABA Press
Cetakan pertama: Juli, 2015
Tebal buku: xxviii + 152 halaman, 13 x 19 cm
ISBN: 978-602-71978-4-8
Harga: Rp. 50.000,00 (belum termasuk ongkos
kirim)
Pemesanan:
Pemesanan:
Benee Santoso
Jalan Sumbawa Nomor 40 Kelurahan Jetis, Kota Blora, Jawa Tengah
Telepon +6287742070671/+6285711631124 BBM: 537CB695 WA: 089653169450 Wechat/Line : ben_kim13
Jalan Sumbawa Nomor 40 Kelurahan Jetis, Kota Blora, Jawa Tengah
Telepon +6287742070671/+6285711631124 BBM: 537CB695 WA: 089653169450 Wechat/Line : ben_kim13